Minggu, 29 April 2007

Diskusi Jihad di Milist ISLAT


Diskusi Jihad di Milist ISLAT

Bung Revoltase, saya sangat berterima kasih sekali karena pada akhirnya kasak-kusuk tentang hubungan agama dan pengikutnya difloorkan juga di milist ini. Selain itu, adalah masalah jihad, yang katanya, Spencer sedang membolak-balik ayat-ayat tentang jihad. Kedua masalah ini saling berhubungan erat. Masalah pertama bila dapat diselesaikan akan menjadi landasan untuk jawaban bagi permasalahan kedua. Namun, bukan berarti tanpa menjawab yang masalah pertama kemudian masalah jihad tidak mungkin terselesaikan.

Dalam kesempatan kali ini saya ingin sedikit membicarakan tentang masalah jihad.

Bung Revoltase, Menurut saya, masalah jihad yang lagi diteliti oleh Spencer yang tentunya berdasarkan pesanan bukan harus dijawab oleh kaum muslimin. Namun, Spencer dan kawan-kawan lah yang harus cerdas melihat lagi perkembangan wawasan keagamaan di kawasan lain. Karena ia dituntut untuk obyektif. Kecuali kalau pesan sponsor yang lebih kuat, mau apa lagi.

Dalam Syi’ah, Setelah revolusi Islam yang dibimbing oleh Imam Khomeini produk-produk hukum yang dihasilkan tidak seperti dahulu lagi, hantam kromo. Yang terjadi sekarang adalah produk hukum di bawah payung hukum positif. Saya jadi teringat dahulu ketika masih mondok sebagian dari guru kami menyampaikan fatwa bahwa mengambil harta orang kafir itu halal. Kemudian dalam perkembangannya disampaikan lagi fatwa bahwa itu haram. Alasannya, adalah itu akan membuat sistem masyarakat menjadi kacau dan anarkis. Salah satu tolok ukur kebenaran sebuah fatwa yang terkait erat dengan masalah sosial akan ditimbang dengan kaidah tadi. Dengan demikian, pada saat yang sama kajian lintas mazhab bahkan hukum internasional menjadi kajian yang menjanjikan. Salah satunya seperti yang telah saya contohkan dalam masalah ekspansi sebuah negara Islam dalam pandangan Imam Khomeini pada postingan sebelumnya.

Saya bawakan sebuah hadis populer tentang amar makruf dan nahi mungkar yang mengatakan bahwa bila menghadapi kemungkaran maka; pertama dilawan dengan hati kemudian dengan lidah dan terakhir dengan tangan. Kata tangan dalam hadis tersebut tidak terbatas pada tangan yang ada di badan kita ini saja namun mencakup alat-alat atau sikap-sikap yang menunjukkan tindakan kekerasan. Dalam Syi’ah, proses memakai tindakan kekerasan ini sudah tidak lagi menjadi milik setiap individu tetapi khusus terkait dengan pemerintah yang berkuasa. Dalam fikih Syi’ah hukum selain pembagian yang biasa kita kenal ada pembagian lain yang menjadi trend setelah revolusi Iran adalah hukum pemerintahan (wila’i) dan hukum yang biasa (taklifi). Dengan demikian, hadis tadi memiliki dua jenis hukum. Pertama, hukum pemerintahan yang terkait dengan tindakan kekerasan. Sementara kedua, masalah hati dan lidah menjadi milik semua masyarakat sebagai salah satu mekanisme kontrol sosial. Kesimpulannya, setiap individu muslim tidak berhak melakukan tindakan kekerasan atas nama amar makruf dan nahi mungkar. Konsep amar makruf dan nahi mungkar pada tahapan tindakan kekerasan tidak boleh dilakukan oleh individu tetapi oleh sebuah badan yang memang bertugas untuk itu.

Bila pada tahapan amar makruf dan nahi mungkar ada tahapan di mana setiap individu tidak memiliki akses ke sana karena akan memunculkan keonaran dan chaos, maka dalam bentuk derajat yang lebih, hal ini berlaku terhadap jihad. Bila dalam amar makruf dan nahi mungkar ada syarat-syaratnya sebagaimana diatur dalam fikih politik Islam, maka dalam masalah jihad syarat-syarat tersebut harus lebih diperhatikan dan disikapi dengan lebih berhati-hati dan bukannya dengan sembrono. Mengapa harus demikian? Karena dalam jihad ada kemungkinan nyawa yang melayang. Dan bila sampai salah dalam menyikapi maka pemimpin yang memberi perintah tersebut akan dimintai pertanggungjawabannya di akherat kelak. Belum mengenai hak-hak masyarakat sipil. Itulah, mengapa jihad yang bukan karena membela diri hanya akan sah, dalam Syi’ah, bila mendapat izin dari wali faqih.

Kita lihat bagaimana pasukan Muqtadha Shadr di Irak, sekalipun jihad sudah wajib, namun ia masih harus tunduk kepada Ayatullah Sistani marja’ terbesar di sana. Mungkin kita akan berpikir bahwa kekuatan pasukan Syi’ah di Irak lemah, ternyata tidak demikian. Ingat! Setelah pembantaian orang-orang Syi’ah di sebuah Huseiniyah setelah pemboman kuburan dua Imam Syi’ah, kota Baghdad dikuasai oleh pasukan Syi’ah selama beberapa waktu sementara pasukan Amerika kembali dan mendekam di barak-barak mereka karena ketakutan akan pembalasan orang-orang Syi’ah. Hanya karena perintah Ayatullah Sistani agar mereka mengembalikan kekuasaan kepada Amerika sebagai yang ditunjuk oleh PBB untuk menjaga keamanan di Irak yang membuat mereka mengembalikan kekuasaan ke Amerika.

Apakah Spencer mengetahui pemahaman jihad model demikian? Konsep yang seperti ini akan dilirik bila proyek yang dikerjakannya mencoba melihat masalah lebih obyektif.

Dalam tulisan-tulisan yang menjelaskan masalah jihad di Indonesia yang masih sejalan dengan proyek Spencer dan dengan gaya pendekatan Abu Zaid, mereka mencoba melihat konteks ketika kata jihad diturunkan dalam ayat al-Quran. Bagaimana dalam kamus orang-orang Arab jahiliyah yang dimaksud dengan kata jihad tidak lebih dari sikap barbar mereka yang suka berperang. Pada tataran ini memang benar. Namun, kalau Islam memang harus dimaknai semacam ini, maka tentu saja Islam sudah sejak lama musnah. Para Imam Syi’ah tidak perlu bersusah-payah melakukan jihad untuk menentang pemaknaan jihad yang dipakai oleh para khalifah pada masa mereka. Bagaimana Imam Ali pernah menentang ekspansi atas nama jihad yang dilakukan oleh Khalifah Umar karena telah keluar dari makna jihad yang sebenarnya. Yang ada di kepalanya adalah keperkasaan bangsa Arab. Dalam sejarah ditulis bagaimana untuk menyemangatkan pasukannya dengan isu-isu ras Arab dan harta rampasan perang.

Bagaimana kita membandingkan jihad yang seperti ini, dengan jihad yang dilakukan oleh Imam Ali berhadapan dengan mereka yang mengkhianatinya. Sejarah mencatat sampai saat perang akan dimulai, beliau masih tetap memberitahukan apa sebenarnya yang tengah dilakukan oleh mereka. Beliau masih berusaha menuntun mereka. Dan ketika peperangan dimulai oleh pihak lawan, pasukannya diperintahkan untuk diam. Pasukan musuh melontarkan anak panah hingga seorang anak buahnya tewas. Masih saja beliau menahan pasukannya untuk maju. Sehingga jatuh korban yang ketiga baru kemudian beliau memerintahkan pasukannya untuk maju. Itu karena dengan jatuh korban ketiga telah menandakan bahwa buat lawan tidak ada lagi jalur diplomasi. Jihad dalam Islam yang ditunjukkan oleh sebagian umat Islam seperti ini.

Saya ingin mengajak saudara Revoltase melihat kembali keputusan MUI tentang sekularisme. Serentak semua pendukung sekularisme melakukan protes bahwa kata sekularisme yang dimaksudkan oleh MUI bukan yang dimaksudkan oleh mereka. Sejarah mencatat proses pemaknaan kata sekularisme sehingga maknanya tidak hanya satu. Apa yang disampaikan oleh MUI itu salah satu maknanya namun itu tidak dipakai oleh mereka yang pro dengan sekularisme di Indonesia.

Ketika untuk keuntungan mereka, ada namanya proses pemaknaan terhadap sebuah kalimat. Namun ketika untuk Islam, hal yang seperti itu tidak berlaku. Jihad harus tetap dengan pemaknaan yang dahulu. Seakan-akan untuk selain Islam segalanya mengalami perkembangan sementara ketika membicarakan Islam, maka Islam harus dimaknai dengan hal-hal yang negatif saja tidak lebih. Saya ingat bagaimana teman-teman di JIL selalu ingin membuktikan bagaimana Amerika telah berubah bahkan saat ini Amerika adalah tempat di mana dengan bebas setiap agama dapat tumbuh dan berinteraksi dengan bebas.

Kami tidak punya masalah dengan itu. Yang kami inginkan adalah pandang kami juga bisa mengalami perubahan. Sekalipun perubahan itu tidak kalian sukai (sekalipun juga kami tidak terlalu berharap untuk itu). Namun, jadikan perubahan itu sebagai sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari seorang manusia muslim, bila seorang selain muslim bisa berubah.

Setelah revolusi Iran, kata jihad mengambil makna baru. Ada jihad pembangunan. Jihad sudah tidak lagi dengan memanggul senjata namun dengan memanggul pena dan buku, bakul dan pacul dan lain-lain. Jihad telah memiliki perluasan makna menjadi lebih mulia (namun bukannya jihad perang tidak mulia).

Anda bisa membayangkan bila energi yang sebegitu besar yang kita miliki di Indonesia harus terhambur untuk berjihad seperti yang dipahami oleh orang-orang seperti Amrozi. Mengapa makna jihad tidak diperluas? Memasuki sendi-sendi kehidupan masyarakat baik. Ini dapat menjadi sebuah isu baik guna bangkit lagi dari keterpurukan. Sekali lagi itu karena proses obyektifikasi mereka atas Islam ideal tidak berjalan sempurna. Atau dengan kata lain mereka gagal mengonsep Islam ideal dalam tataran praktis bersanding dengan agama dan ideologi lain di Indonesia. Bagaimana bisa bila yang dibicarakan tidak keluar dari masalah bid’ah.

Apakah Spencer mau juga melihat masalah ini?

Mungkin Bung Revoltase perlu mengikuti terus hasil-hasil kajian Spencer...

Wassalam

Saleh Lapadi

Akal sebagai sumber hukum dalam sejarah pemikiran Syiah


Akal sebagai sumber hukum dalam sejarah pemikiran Syiah

Saleh Lapadi

Banyak pemikir yang menyebutkan bahwa dalam pemikiran Syiah setelah kegaiban Imam Mahdi af, Ibnu Junaid adalah seorang faqih pertama yang mempergunakan akal secara luas dalam proses penyimpulan hukumnya. Hal itu membuat ia dituduh mempergunakan qiyas. Dalam pembelaannya, ia menulis buku yang berjudul Kasyf at-Tanbih (sebagian menulis Tanwiyah) wa al-Ilbas Ala Aghmar as-Syiah fi Amr al-Qiyas. Buku ini yang membuat Ayatullah Sistani menjelaskan apa yang dimaksud dengan qiyas yang dipakai oleh Ibnu Junaid. Bahkan tidak jelas, apakah Ibnu Junaid meyakini Qiyas Aulawiyat dan Manshus al-Illah ataukah qiyas yang dipakai oleh Ahli Sunah. Yang menjadi masalah adalah buku-buku Ibnu Junaid dalam perjalanan sejarah tidak ada tersisa untuk dikaji apakah dalam kajian akal yang dimaksud adalah sumber ataukah alat.

Melihat hal itu, sulit untuk meyakini bahwa akal yang dipakai adalah akal sebagai sumber. Terlebih lagi dengan melihat bahwa Syaikh Mufid sebagai muridnya, ternyata akal yang ditekankannya bukan akal sebagai sumber tetapi sebagai alat. Dalam buku “Silsilah Muallafat as-Syaikh al-Mufid, jilid 9, at-Tadzkirah fi Ilmi al-Ushul, hal 28” Syaikh Mufid menyebutkan:

“Ketahuilah! Prinsip-prinsip hukum syariat ada tiga; al-Quran, Sunah dan ucapan para Imam. Cara-cara yang dapat dipakai untuk sampai ke tiga sumber itu salah satunya adalah akal. Akal dapat mengenal hujjiyah al-Quran dan makna hadis-hadis”.

Syaikh Mufid (W. 413) sekalipun menekankan akal, namun tidak sampai meletakkannya sebagai sumber hukum sebanding dengan al-Quran dan Sunah. Akal menurut Syaikh Mufid sebagai penyingkap.

Sayyid Murtadha (W. 436) merupakan ulama pertama yang mendudukan akal sebagai salah satu sumber hukum. Bedanya, ia meletakkan akal setelah al-Quran, Sunah dan Ijma’. Akal tidak setara dengan tiga sumber di atas. Akal menjadi sumber ketika tidak ditemukan dalil dari ketiga sumber di atas. Dalam buku “Rasai as-Syarif al-Murtadha, jilid 1, hal 318” Sayyid Murtadha menulis: “Bila kita mengasumsikan bahwa sebuah masalah baru tidak ditemukan dalam dalil-dalil sebelumnya (Al-Quran, Sunah dan Ijma’), kaka untuk menyelesaikan masalah ini perlu merujuk pada hukum akal. Pada dasarnya, dalam masalah ini, hukum ilahi adalah ini”.

Syaikh Thusi (W. 460) dalam bukunya Iddah al-Ushul, tidak membahas secara terpisah, dalam 12 bab bukunya, masalah akal, namun tidak berarti tidak membicarakannya sama sekali. Syaikh Thusi menganggap akal memiliki posisi yang agung, namun dalam bukunya akal tidak sebagai sumber, melainkan sebagai alat. Dalam Iddah al-Ushul lebih sering ditemui pembahasan yang perlu tolok ukur. Ia mengatakan bahwa tolok ukurnya adalah akal. Sama seperti Sayyid Murtadha, ia juga mengakui akal sebagai sumber hukum, tapi setelah tidak ditemukannya dalil dari al-Quran, Sunah dan Ijma’.

Dalam Iddah al-Ushul, jilid 2, hal 434 ia menyebutkan: “Dan kapan saja terjadi sebuah peristiwa yang hukumnya belum dijelaskan, maka itu menunjukkan bahwa masalah itu dihukumi oleh akal”. Syaikh Thusi memberikan alasan “Bila peristiwa itu punya hukum syariat, maka pasti masalah itu telah dijelaskan atau diisyaratkan”.

Melihat pada awal munculnya kajian akal dalam fiqih Syiah, akal tidak diletakkan sama rata dengan al-Quran, Sunah dan Ijma’. Akal dijadikan sumber ketika ketiga sumber tersebut tidak punya penjelasan atas hukum sebuah masalah.

Dapat dikatakan bahwa untuk pertama kalinya Ibnu Idris (W. 598) meletakkan akal sejajar dengan ketiga sumber hukum yang lain. Sekalipun ibnu Idris dalam buku as-Sarair tidak menjelaskan secara terperinci masalah ini, namun ini dapat dianggap sebagai sebuah permulaan yang baik. Dalam as-Sarair, jilid 1, hal 46, 222, 330, 377 dan jilid 2, hal 116, Ibnu Idris menuliskan: “Kebenaran tidak akan keluar dari empat hal; al-Quran, Sunah Nabi yang mutawatir dan disepakati, Ijma’ dan akal”.

Bila kita cukupkan penelitian kita di sini, memang terlihat bahwa Ibnu Idris menyejajarkan akal dengan dalil yang lain. Namun bila kita teruskan pembacaan kita ia menulis: “Bila ketiga dalil (al-Quran, Sunah dan Ijma’, -pen) tidak ditemukan, maka yang dijadikan rujukan oleh peneliti dalam sumber syariat adalah berpegangan dengan dalil akal dalam masalah itu”. Ini menunjukkan bahwa keyakinan Ibnu Idris juga belum sampai pada tahapan meletakkan akal sejajar dengan ketiga dalil lainnya!

Muhaqqiq al-Hilli (W. 676) merupakan ulama Syiah yang pertama kalinya membahas masalah dalil akal dengan luas dalam bab tersendiri. Dalam bukunya al-Mu’tabar ia membagi pembahasan dalil akal menjadi dua bagian; pertama Mustaqillat Aqliyah seperti kajian baiknya keadilan dan buruknya kezaliman. Kedua, Mustaqillat Ghair Aqliyah. Berbeda dengan penjelasan Mustaqillat Ghair Aqliyat yang dibahas saat ini dalam ilmu Usul Fiqh, Muhaqqiq Hilli membahasnya terbatas pada bab alfadh dan pengertian sebuah kata atau kalimat.

Sekali lagi, bila merujuk pada buku al-Mu’tabarnya, tidak ada penjelasan secara khusus mengenai akal sebagai sumber hukum.

Muhammad bin Makki Syamsuddin yang dikenal sebagai Syahid awal (W. 786) dalam pendahuluan buku Dzikr as-Syiah miliknya meneruskan pembahasan masalah akal yang ditulis oleh Muhaqqiq Hilli. Bedanya, Syahid awal hanya menambahkan dan mengubah tempat pembahasan saja. Sebagai contoh ia menambahkan masalah mukadimah wajib dan beberapa masalah lainnya ke dalam pembahasan Mutaqillat Aqliyah.

Fadhil Tuni (W. 1071) adalah ulama Syiah pertama yang membahas masalah akal secara terperinci. Ia dalam bukunya al-Wafiyah membagi akal dalam 7 pembahasan. Dengan ketelitiannya ia mampu membagi pembahasan Muataqillat Aqliyah dan Ghair Aqliyah. Setelah berhasil membagi dengan baik, ia menjelaskan dengan baik penggunaan akal dalam menyimpulkan hukum syariat. Bahkan dapat dikatakan bahwa setelah Fadhil Tuni, pembahasan akal menjadi jelas.

Hal ini dapat dimaklumi karena Fadhil Tuni hidup di zaman keemasan Akhbariyun. Ia terpaksa harus menjelaskan akal sebagai sumber hukum dengan baik. Karena Akhbariyun tidak menerima akal sebagai sumber hukum sejajar dengan al-Quran dan Sunah. Ketidaksetujuan mereka muncul dari kerancuan yang ditemukan dalam ucapan ulama Syiah sebelumnya. Dengan melihat kenyataan itu, Fadhil Tuni menyusun pembahasan akal dengan baik dan patut mendapat pujian untuk usahanya. Buku al-Wafiyah menyingkap kerancuan mengenai masalah akal yang selama ini dipahami oleh Ahkbariyun.

Setelah Fadhil Tuni menulis buku al-Wafiyah menjelaskan secara terperinci mengenai akal, pembahasan masalah akal dalam karya-karya ulama setelahnya tidak mengalami perkembangan, secara kualitas dan kuantitas, yang semestinya. Hal ini dapat dilihat bagaimana ulama Syiah seperti Mirza Qummi tidak banyak menjelaskan masalah ini. Syaih Anshari, Akhund Khurasani dalam bukunya tidak memberikan kajian tersendiri mengenai akal, tapi dibahas sebagai pengantar dalam kajian lafad. Syaikh Muhammad Husein Isfahani punya pembahasan yang bagus mengenai masalah akal.

Buku terbaik yang membahas masalah akal adalah buku Ushul al-Fiqh yang ditulis oleh Muhammad Ridha Muzhaffar. Setelah buku Ushul Fiqh Muzhaffar, buku terbaik yang menjelaskan masalah ini adalah tulisan Syahid Shadr dalam bukunya Halaqat al-Ushul. Perbedaannya, buku Syahid Shadr memiliki kelebihan dalam ketelitian dan kedalaman pembahasan Ghair Mustaqillat Aqliyah. Sementara kelebihan buku Ushul Fiqh Syaikh Muzhaffar detil masalah yang dikaji dalam Mustaqillat Aqliyah.

Sumber:

1. Ensiklopedia ahli-ahli Ushul Fiqh Syiah (Danesh Nameh Ushuliyan Syiah, Muhammad Reza Zamiri, Qom, 1384 HS).

2. Fiqih dan akal (Fiqh va Aql, Abul Qasim Ali Dust, Teheran, 1383 HS).

3. Pengantar ilmu fiqih (Madkhal Ilm Fiqh, Reza Islami, Qom, 1384 HS).

4. Posisi akal dalam menyimpulkan hukum (Jaigah Aql Dar Estenbat Ahkam, Said Qammashi, Qom, 1384 HS).

5. Pengantar sejarah ilmu Ushul Fiqih (Dar Amadi Beh Tarikh Ilm Ushul, Muhammad ali Pour, Qom, 1382 HS).

JIHAD IBTIDA’I DAN KEBEBASAN BERAGAMA: Melacak pendapat ulama Syi’ah


JIHAD IBTIDA’I DAN KEBABASAN BERAGAMA: Melacak pendapat ulama Syi’ah

Saleh Lapadi

Kami tidak pernah menyukai peperangan,

Namun kami senantiasa berpikir untuk membela diri,

Karena kami hidup dan cerdas... (Sayyid Ali Khamane’i)

Jihad merupakan sebuah kata kunci dalam ajaran Islam. Dengan jihad, Islam mampu mempertahankan dirinya dari ancaman musuh. Jihad juga yang memberikan semangat pemeluk Islam untuk melakukan dakwah bahkan ekspansi. Tanpa jihad mungkin Islam hanya tinggal sejarah. Karena dua fungsi penting inilah teks-teks agama memberikan ganjaran yang berlipat-lipat bagi mereka yang melakukannya. Bahkan pada kondisi-kondisi tertentu mereka dikecualikan ketika meninggal. Sebagai penghormatan, mereka yang meninggal karena berjihad (baca: syahid), tidak memerlukan kain kafan sebagaimana orang lainnya meninggal, melainkan ia dikuburkan dengan pakaian yang ada di badannya sebagai sebuah penghormatan.

Ketika kedudukan jihad mendapat tempat khusus, maka semestinya ia dikaji lebih serius. Kesalahan memahaminya akan berdampak sangat serius dalam kehidupan sehari-hari, bahkan dapat menghancurkan tatanan sosial masyarakat. Beberapa peristiwa yang terjadi diklaim sebagai jihad, padahal bila dikaji lebih lanjut jauh dari substansi jihad itu sendiri. Apa lagi bila melihat politik global yang berniat mendiskreditkan Islam lewat jihad yang dilakukan secara sembrono yang pada hakikatnya bukan jihad.

Dalam makalah ini, penulis ingin menjelaskan lebih lanjut mengenai pandangan ulama Syi’ah kontemporer tentang jihad di masa kegaiban besar. Makalah ini ingin menjawab pertanyaan, “Esensi jihad ibtida’i setelah kegaiban Imam Mahdi af, Imam kedua belas Syi’ah dan hubungannya dengan kebebasan beragama”.

Kebanyakan orang yang tidak memahami konsep Islam tentang jihad memaknainya sebagai sebuah metode untuk memaksakan agama. Jihad adalah cara ampuh untuk membuat orang memeluk agama Islam dengan cepat. Tentunya, cara berpikir ini juga memiliki akar dalam pemikiran Islam. Ibnu Abbas dan as-Suddi ketika membicarakan masalah kebebasan beragama dalam ayat “Laa Ikraaha fi ad-Din” mengkhususkannya pada sebagian Ahlul Kitab atau menganggapnya telah dimansukh. Pandangan ini menunjukkan, sekalipun pertanyaan ini diketahui oleh mereka, namun usaha untuk mengompromikan antara kebebasan beragama dan jihad ibtida’i untuk kaum musyrik dan orang kafir yang bukan Ahul Kitab merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Akhirnya, Ibnu Abbas dan mereka yang punya pandangan serupa di awal-awal Islam mengambil sebuah kesimpulan bahwa ayat “Laa ikraaha fi ad-Din” dikhususkan hanya untuk orang kafir Ahlul Kitab, sementara kepada orang-orang musyrik harus diperangi. Atau ayat kebebasan beragama telah dimansukh oleh ayat jihad. Yakni, ayat kebebasan beragama hanya berlaku pada awal-awal masa kenabian dan setelah turunnya ayat jihad, maka ayat tersebut menjadi mansukh (dihapus) dan tidak dapat dipakai lagi.

Jihad Ibtida’i di Masa Gaib Besar

Berbeda dengan Ahli Sunnah, Syi’ah punya kepentingan untuk membahas apakah pada masa kegaiban Imam Mahdi af. seorang wali fakih memiliki izin untuk menyerukan jihad ibtida’i atau tidak? Selain teks-teks yang membicarakan masalah ini, ulama Syi’ah meyakini bahwa jawaban terhadap persoalan ini dapat menjadi solusi sekian banyak masalah. Bila jawabannya adalah “iya”, maka keharusan untuk menjelaskan alasan rasional terhadap isu kebebasan beragama yang dijunjung tinggi oleh Islam menjadi sebuah tuntutan. Karena adanya izin itu membuat sebuah negara Islam menjadi ancaman bagi negara-negara lain atau sekurang-kurangnya bagi pemeluk-pemeluk agama lain. Namun, bila jawabannya adalah “tidak”, maka yang perlu dilakukan adalah menjustifikasi jihad ibtida’i yang dilakukan oleh Nabi. Sekalipun justifikasi ini harus dilakukan oleh keduanya, namun pada posisi kedua, seorang muslim, Islam dan negara Islam bukanlah ancaman bagi pemeluk, agama dan negara lain.

Imam Khomeini dalam pandangannya mengakui konsep wilayah mutlak fakih, namun dalam masalah jihad ibtida’i ia mensyaratkan keberadaan Imam yang adil (Imam Mahdi af.). Sebagaimana beliau menjelaskan dalam jihad difa’i (membela diri) tidak disyaratkan keberadaan Imam yang adil. Cukup ketika sebuah negara mendapat ancaman, maka kewajiban setiap orang untuk membela negaranya. Satu hal lagi yang membuat pandangan Imam Khomeini berbeda dari yang lainnya adalah sekalipun Imam yang adil telah ada, namun sebagai syarat memulai jihad ibtida’i adalah dengan membentuk pemerintahan. Dengan demikian, jihad ibtida’i dalam Syi’ah hanya akan terpenuhi dengan dua syarat; Pertama, adanya Imam yang adil dan kedua terbentuknya pemerintah[1].

Ayatullah Shane’i ketika ditanya mengenai apakah kewenangan seorang wali fakih sama dengan kewenangan Nabi dan para Imam as.? Beliau menjawab, “Sesuai dengan fatwa Imam Khomeini, ada satu perbedaan; masalah jihad ibtida’i[2].

Dengan penjelasan ini, Syi’ah pasca kegaiban besar Imam Mahdi af. tidak pernah menjadikan jihad ibtida’i sebagai metode untuk menyebarkan keyakinannya, bahkan lebih dari itu, Syi’ah bukan merupakan ancaman bagi siapapun. Lalu apa?

Justifikasi jihad ibtida’i di mata ulama Syi’ah

Sekurang-kurangnya ada empat pendapat dalam khazanah pemikiran Syi’ah yang menjelaskan substansi jihad ibtida’i. Namun, sekalipun ada empat pandangan, keempat-empatnya dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar; pertama, dengan memilah Islam dan iman. Kedua, kesesuaian agama dengan fitrah manusia dan termasuk hak-hak asasi manusia. Jihad ibtida’i diwajibkan untuk menetapkan agama sebagai pembelaan terhadap hak-hak asasi manusia. Keempat pandangan itu sebagaimana berikut:

1. Pemaksaan Islam lahiriah dan bukan iman batin.

Pendapat ini diyakini oleh Quthb ad-Din ar-Rawandi (W. 573 H). Ketika Rawandi dihadapkan pada dua kaidah yang termaktub dalam ayat “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)”. (2:256) dan ayat “Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka”. (2:193)

Setelah meletakkan kedua ayat tersebut secara berdampingan, Rawandi kemudian menarik sebuah pertanyaan menarik; Paksaan model apa yang lebih dari membunuh orang bila tidak memeluk agama Islam?

Rawandi dalam menghadapi pertanyaan ini menyebutkan bahwa tidak ada kontradiksi antara kedua ayat di atas. Subyek masalah keduanya sejak awal berbeda. Makna dari tidak adanya paksaan dalam beragama adalah iman. Iman hanya dapat dicapai dengan kemampuan dan ikhtiar setiap manusia. Iman tidak dibangun dari paksaan. Yang menarik dari penjelasannya yang panjang lebar mengenai masalah ini dengan membawakan beberapa ayat al-Quran. Secara sengaja salah satu ayat tersebut penulis nukilkan; “Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (10: 99). Beliau menyebutkan sebuah poin penting yang perlu untuk direnungkan. Pertanyaan yang diajukan oleh al-Quran ini menyebutkan bahwa pemaksaan untuk memeluk agama adalah mungkin, namun oleh siapa? Memaksa orang untuk memeluk agama hanya berada di tangan Allah Yang Maha Kuasa. Alasannya, karena ia menguasai hati setiap manusia.

Pada sisi yang lain, jihad yang diwajibkan kepada kaum muslimin agar Islam menjadi mulia dan undang-undang serta syariat ilahi yang memerintah. Jelas bahwa ketundukkan orang-orang selain muslim kepada Islam berhubungan dengan perilaku. Dan perilaku manusia di luar dari masalah iman yang bingkainya adalah hati. Dengan demikian, perintah jihad bertujuan agar sikap buruk untuk menyerang dan menguasai kaum muslimin menjadi terkendali dengan menerima Islam sebagai agama mereka.[3]

Analisa

Ada dua poin penting yang disampaikan oleh Rawandi dalam memberikan solusi di atas. Pertama, ayat tidak ada pemaksaan dalam agama berhubungan dengan iman, sementara ayat jihad memerintah pemaksaan dalam agama, namun tidak ada kaitannya dengan iman batin, melainkan iman lahiriah atau Islam. Kedua, beliau secara jelas meyakini bahwa jihad ibtida’i substansinya adalah jihad difa’i (bela diri). Jihad ibtida’i pada dasarnya adalah usaha membela diri dari serangan dan kejahatan dari orang-orang selain muslim.

Pada poin pertama, ada masalah sangat mendasar yang lalai dicatat oleh Rawandi dalam usahanya memilah antara iman dan Islam. Masalah itu ada pada kebebasan dalam memeluk Islam lahiriah tidak hanya iman batiniah. Karena kebebasan dalam ayat 256 surat al-Baqarah tidak terkait hanya dengan iman tetapi dalam memeluk Islam itu sendiri. Ayat bersifat mutlak; mencakup Islam dan iman. Tentunya, Rawandi akan mengatakan bahwa kemutlakannya telah dibatasi dengan ayat jihad tadi. Ini juga bertentangan dengan sebagian ayat-ayat lain yang menjelaskan adanya kafir dzimmi yang wajib membayar jizyah. Artinya, ayat jihad juga tidak punya otoritas untuk memaksa seseorang menjadi muslim karena mereka dapat memilih menjadi kafir dzimmi sebagaimana yang terjadi di zaman Rasulullah. Dengan demikian, ayat jihad tidak menjadi pengkhusus ayat kebebasan beragama pada batas Islam lahiriah saja. Ayat jihad bahkan tidak punya hubungan dengan masalah menjadikan orang lain sebagai muslim.

Di samping itu, apa gunanya bagi Islam memaksa orang untuk memeluk Islam tapi tidak mensyaratkan iman. Padahal, pada pintu awal menjadi seorang muslim ada sebuah hubungan erat antara Islam dan iman. Seorang akan disebut muslim karena beriman kepada Allah sebagai pencipta dan Nabi Muhammad saw sebagai utusan-Nya. Bahkan hasil pemaksaan untuk memeluk Islam malah menjadi kontra produktif. Karena manusia secara fitrah diciptakan menginginkan kebebasan. Bila mereka dipaksa untuk memeluk Islam dan hidup seperti kaum muslimin, maka paksaan itu bagaikan bom waktu, menunggu kesempatan untuk meledak.

Pada poin kedua, usaha mengembalikan jihad ibtida’i menjadi jihad difa’i patut diacungi jempol. Sayangnya, alasan yang dikemukakan oleh Rawandi terlalu sempit. Beliau menyebutkan bahwa jihad ibtida’i dilakukan untuk mengamankan masyarakat muslim atau negara Islam dari kezaliman, kejahatan dan kekuasaan kafir. Dan itu lebih dikhususkan lagi pada kezaliman yang bersifat lahiriah. Jihad ibtida’i dilakukan untuk membuat mereka tunduk dan tidak lagi melakukan kezaliman dan kejahatan terhadap kaum muslimin. Sayangnya, sekali lagi, beliau menafsirkannya dengan pemaksaan untuk memeluk Islam lahiriah sekalipun tidak beriman.

Kritikan yang paling tepat adalah ketika beliau membatasi alasan jihad ibtida’i terhadap orang kafir karena melakukan tindakan kezaliman dan kejahatan terhadap kaum muslimin atau negara Islam. Dan ditambah lagi kezaliman dan kejahatan itu bersifat fisik. Sementara bila kita merujuk pada teks-teks agama, dengan mudah didapatkan bahwa tujuan datangnya Islam adalah untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Dari kegelapan kesyirikan dan kekufuran menuju cahaya tauhid. Dari kegelapan kezaliman dan kejahatan menuju keadilan dan kebaikan. Islam datang tidak hanya untuk menyentuh sisi fisik manusia, namun juga mentalnya. “Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya” (2: 256).

Dengan penjelasan Rawandi, jihad ibtida’i yang substansinya adalah jihad difa’i hanya bila diserang dan dizalimi. Sementara itu, bila kaum muslimin dan atau negara Islam tidak diserang, maka tidak ada kewajiban jihad. Padahal, dengan melihat tujuan datangnya Islam yang mencakup kemazluman fisik dan mental, Islam juga membela kaum mustadh’afin yang dizalimi akidah dan agamanya, sekalipun tidak menzalimi fisiknya. Islam memerintahkan berjihad ibtida’i karena ada hak-hak asasi manusia di sana yang terzalimi dan terinjak-injak.

Dengan kata lain, jihad ibtida’i lebih umum dari hanya sekedar yang disampaikan oleh Rawandi. Jihad tidak dimaknai semata-mata untuk membela diri sebagaimana terjadi dalam sejarah Nabi Muhammad saw. Ada sebab-sebab lain yang membuat Nabi melakukan jihad. Peperangannya dengan Yahudi Khaibar lebih dikarenakan mereka membatalkan perjanjian perdamaian secara sepihak dan setelah itu ikut bersama pasukan Ahzab menyerang kaum muslimin di Madinah. Yakni, sebab pertama adalah pembatalan perjanjian perdamaian yang membuat Nabi memerintahkan kaum muslimin berjihad lalu keikutsertaan mereka dalam perang Ahzab. Mengapa demikian? Karena sejarah mencatat sekalipun banyak yang ikut dalam perang Ahzab, namun yang benar-benar berperang hanyalah orang-orang Quraisy Mekkah, itu pun hanya sekelompok kecil yang dipimpin oleh Amr bin Abdi Wud yang mampu melompati parit yang digali oleh kaum muslimin. Yahudi Khabar sekalipun mengikuti kelompok Ahzab, namun tidak secara langsung terjun ke medan pertempuran berhadap-hadapan dengan pasukan kaum muslimin.

2. Pemaksaan hak-hak asasi manusia dan bukan keyakinan pribadi.

Di antara pemikir Islam Syi’ah kontemporer, Allamah Thaba’thaba’i adalah yang paling getol berusaha untuk menjelaskan dan membenarkan jihad ibtida’i. Allamah Thaba’thaba’i membenarkannya dengan alasan membela hak-hak asasi manusia. Dan untuk itu, beliau menyusun argumentasinya dengan beberapa prinsip-prinsip berikut ini:

· Akidah tauhid adalah hak setiap manusia.

Sebagaimana manusia memiliki hak-hak asasi, membela hak-hak tersebut juga merupakan hak asasinya. Hak-hak asasi memiliki nilai karena nilai manusia itu sendiri. Salah satu hak asasi manusia adalah akidah tauhid. Penjelasan prinsip ini dengan baik diberikan oleh Syahid Muthahhari. Beliau berkata:

“Sebuah masalah yang patut direnungkan adalah apakah kalimat tauhid “Laa Ilaaha Illah Allah” merupakan bagian dari hak-hak asasi manusia atau tidak? Tauhid sebagaimana kebebasan merupakan bagian dari hak-hak asasi manusia. Pembelaan terhadap hak-hak asasi manusia lebih mulia dari pembelaan terhadap hak-hak pribadi dan ras. Tolok ukur sesuatu lebih mulia dari yang lainnya bukan dikarenakan ia harus dibela. Sesuatu itu lebih mulia dikarenakan ia adalah hak. Ketika tolok ukur adalah hak maka tidak menjadi penting apakah ia adalah hak pribadi atau hak sebuah ras tertentu. Yang menjadi ukuran adalah membela hak-hak manusia. Sebagai contoh, kebebasan termasuk hak yang paling mulia dari manusia. Ketika kebebasan telah menjadi sesuatu yang paling mulia, maka tidak lagi menjadi penting ia merupakan hak pribadi atau ras tertentu. Pertanyaannya di sini adalah, bila terjadi kebebasan dipasung di sebuah tempat yang tidak ada hubungannya dengan kebebasan saya atau ras saya, apakah membela hak-hak mereka yang terpasung dengan nama membela hak-hak asasi manusia dapat dibenarkan?”[4]

· Membela hak asasi manusia dibenarkan

Bila diterima bahwa akidah tauhid merupakan bagian dari hak-hak asasi manusia, maka pembelaan terhadapnya dibenarkan. Dan, sekali lagi, alasannya karena ia merupakan hak yang harus diwujudkan dengan menghilangkan perintangnya. Sekaitan dengan masalah ini Syahid Muthahhari berkata:

“Mungkin saja seseorang secara pribadi hak-haknya tidak dilanggar. Lebih dari itu, tidak ada pelanggaran atasnya sebagai anggota masyarakat. Namun, dari sisi kemanusiaan ada hak-haknya yang dilanggar dan ditindas. Hak-hak yang kembalinya pada kemanusiaan; kondisi di mana ada kebaikan dan keburukan. Kebaikan yang harus berada di tengah-tengah masyarakat, sementara keburukan yang harus dienyahkan. Pada kondisi yang seperti ini, bila seseorang bangkit untuk mengamalkan amar makruf dan nahi mungkar, maka apa yang dibelanya? Ia tentu tidak sedang membela hak-hak pribadinya dan tidak sedang membela hak-hak materi masyarakatnya. Ia sedang membela hak-hak maknawi yang tidak terbatas pada seseorang atau sebuah negara. Hak maknawi ini berhubungan dengan manusia dan kemanusiaan dan jihad yang semacam ini harus dipandang sebagai jihad yang suci. Karena ia membela hak-hak asasi manusia”.[5]

Untuk menjelaskan lebih jauh masalah ini, Syahid Muthahhari memberikan contoh dengan mereka yang memerangi kebebasan atas nama pembelaan terhadap kebebasan. Mereka tahu bahwa kebebasan sebagai hak manusia adalah sebuah pengertian yang suci. Bila sebuah peperangan dapat dilakukan dengan alasan membela hak asasi manusia, itu artinya perang karena membela hak asasi manusia dapat dibenarkan.

· Pemaksaan setelah menyempurnakan argumentasi

Demi tegaknya agama yang benar kewajiban yang dimiliki oleh seorang muslim adalah mengajak manusia untuk memeluknya. Pada kondisi ini, ada beberapa tahapan yang disampaikan oleh al-Quran; hikmah, nasihat yang baik dan bantahan dengan cara yang baik (16:125). Sekalipun ketiga cara ini telah ditempuh, dakwah tidak berhenti karena ketiga cara yang ditunjukkan dalam ayat di atas bukanlah cara terakhir. Bila dengan cara yang ditunjukkan di atas telah dilakukan, sementara mereka masih belum juga memeluk Islam, maka cara terakhir adalah dengan memaksa mereka memasuki Islam lewat peperangan. Ini juga dalam usaha untuk memenuhi hak-hak asasi manusia sekaligus pembelaan terhadapnya.

· Pemaksaan agama hanya pengecualian

Agama yang benar pasti sesuai dengan fitrah manusia. Oleh karenanya, setiap manusia yang masih bersih hatinya, secara fitrah pasti akan mencari agama yang benar. Dan pada kondisi alamiah sebuah masyarakat ditambah dengan tidak adanya faktor-faktor perusak akidah fitri dan di sisi lain, dakwah secara sehat dan cerdas telah dilakukan, maka tidak ada alasan untuk memaksakan agama yang benar kepada siapa pun. Sayangnya, untuk meraih kondisi natural dan ideal seperti ini terkadang diperlukan sebuah power. Pada kondisi yang semacam ini, menggunakan kekuatan dalam masalah agama dan keyakinan mendapat tempat.

Allamah Thaba’thaba’i ketika menjawab klaim mereka yang meyakini bahwa Islam disebarkan dengan pedang dan darah agar orang lain memeluk agama Islam dan tentu saja ini sangat bertentangan dengan dakwah para Nabi. Allamah Thaba’thaba’i berkata:

“Tauhid merupakan fondasi undang-undang individu dan sosial Islam. Pembelaan terhadap tauhid merupakan keharusan dan dibenarkan agar menyebar di tengah-tengah masyarakat. Pembelaan ini harus dilakukan dengan segala cara yang mungkin. Tentunya, dalam hal ini, Islam menjaga sikap moderat dan keadilan. Oleh karenanya, sebagai langkah awal, yang harus dilakukan adalah berdakwah dengan penuh kesabaran. Langkah kedua yang harus ditempuh adalah membela eksistensi Islam dan hak-hak asasi manusia seorang muslim (jiwa, kehormatan dan harta). Dan pada tahapan ketiga, membela hak-hak asasi manusia dan keyakinan tauhid (jihad, -pen). Tentunya, sebelum perang yang harus selesai adalah semua argumentasi yang diperlukan telah disampaikan, itmam al-hujjah. Hal yang telah dilakukan oleh Nabi Muhammad saw sesuai yang diperintahkan oleh Allah swt: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah, dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” (16:125). Perintah ini umum sifatnya dan mencakup kondisi perang sekalipun. Allah swr berfirman: “Agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata (pula)” (8:42).

Bila ada yang mengajukan keberatan bahwa Islam mempergunakan cara-cara paksaan dalam memeluk agama, maka akan kami katakan bahwa hal yang demikian tidak menunjukkan kelemahan. Pemaksaan yang dilakukan setelah memenuhi syarat itmam al-hujjah, pemenuhan seluruh syarat dalam dakwah dan untuk menghidupkan sisi kemanusiaan manusia, maka dengan sangat terpaksa hal itu dilakukan pada sebagian orang. Hal yang lumrah dilakukan oleh semua negara terhadap mereka yang melanggar aturan-aturan sosial. Awalnya, mereka akan diminta untuk menuruti undang-undang yang ada dan setelah itu, dengan segala kekuatan yang dimiliki, orang tersebut harus dipaksa untuk menaati peraturan. Terkadang usaha ini memakan korban, namun bagaimanapun juga mereka harus taat dengan undang-undang; baik rela maupun tidak.

Selain sesuai dengan aturan yang berlaku di negara manapun, pemaksaan itu hanya akan bertahan hingga satu keturunan. Sementara keturunan kedua dan selanjutnya, dengan pendidikan dan pengajaran yang baik mereka akan memeluk Islam dengan kerelaan. Karena Islam sesuai dengan fitrah manusia”.[6]

Analisa

Pandangan yang dibangun oleh Allamah Thaba’thaba’i, sekalipun mencoba memberikan solusi baru, namun pada akhirnya kesimpulan yang dapat diambil darinya tidak berbeda dengan pandangan pertama. Kedua-duanya sama meyakini bahwa pemaksaan agama dapat dibenarkan. Bila pendapat pertama pemaksaan agama mendapat justifikasi lewat makna lahiriah teks ayat al-Quran, pendapat kedua berdasarkan dasar-dasar rasional.

Masalah terbesar yang dimiliki oleh tafsiran ini adalah bagaimana mungkin setelah melalui semua pendahuluan yang sedemikian panjang dibenarkan pemaksaan tauhid sebagai sebuah keyakinan? Allamah Thaba’thaba’i sendiri adalah orang yang secara tegas menyatakan bahwa iman tidak mungkin dapat dipaksakan. Ketika menafsirkan ayat “Laa Ikraaha fi ad-Diin”, beliau memaknai dengan “nafy ad-Din al-Ijbari” (penolakan beragama secara paksa).[7] Hal ini dikarenakan iman adalah masalah hati dan hanya dengan sebab-sebab tertentu dapat terwujudkan dan bukan lewat pemaksaan.

Atas dasar ini jugalah, Syahid Muthahhari dalam penjelasannya mengenai jihad, mengajukan keberatan terhadap gurunya Allamah Thaba’thaba’i dengan ucapannya”.

“Sekalipun kita mengakui tauhid sebagai salah satu dari hak-hak asasi manusia, itu tidak berarti membenarkan peperangan dengan bangsa lain untuk memaksakan akidah tauhid kepada mereka. Karena akidah tauhid pada esensinya tidak dapat menerima pemaksaan”.[8]

Dengan alasan ini, Syahid Muthahhari tidak dapat menerima kesimpulan yang ditarik oleh Allamah Thaba’thaba’i. Beliau menambahkan:

“Tidak dibenarkannya peperangan untuk memaksa agama dan keyakinan, tidak lantas dipahami bahwa tidak harus membela akidah tauhid dan juga jangan dipahami bahwa ia bukan merupakan bagian dari hak-hak asasi manusia. Ketidakbolehan ini dikarenakan iman dan keyakinan pada prinsipnya tidak dapat dipaksa dengan cara apapun. Itulah mengapa al-Quran mengatakan “Laa Ikraaha fi ad-Din”.[9]

“Islam tidak memerintahkan untuk memaksakan akidah tauhid kalian harus berperang. Akidah tauhid sebagai sebuah keyakinan tidak mungkin dapat dipaksakan. Iman harus diidentifikasi kemudian dipilih dan diterima. Memilih sesuatu tidak boleh dengan paksaan begitu juga dengan menerima, “Laa Ikraaha fi ad-Din”.[10]

Inkonsistensi pandangan Allamah Thaba’thaba’i dalam hal ini sangat mengherankan. Namun, yang lebih mengherankan lagi adalah tidak adanya penjelasan yang memadai sekaitan dengan ayat-ayat yang tidak memperbolehkan pemaksaan agama. Allamah menutup begitu saja pembahasan diperbolehkan memaksakan agama setelah itmam al-hujjah. Ayat pelarangan memaksa agama tidak dapat dikhususkan dengan alasan telah menyempurnakan semua argumentasi yang dibutuhkan. Karena koridor masalahnya sejak awal berbeda. Pemaksaan tidak mendapat tempat di dalam hati.[11]

3. Memusnahkan penghalang kebebasan beriman

Pandangan ini menunjukkan bahwa substansi jihad ibtida’i hanya diperbolehkan pada kondisi memusnahkan penghalang untuk beriman. Hakikat jihad ibtida’i malah sebaliknya dari pemahaman yang ada, jihad ibtida’i malah bertujuan mewujudkan kebebasan berakidah dan beragama. Jihad diwajibkan ketika kebebasan berakidah ditindas oleh penguasa. Jihad datang untuk membebaskan masyarakat untuk dapat memilih agamanya sesuai dengan keyakinannya.

Perkembangan Islam dapat mencapai seluruh penjuru dunia dengan syarat ada kebebasan untuk berdakwah. Tanpa kebebasan berdakwah dan memilih, penyebaran Islam menjadi tidak mungkin. Dan ini harus dijamin oleh setiap pemerintah yang ada. Karena kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati. Dengan gambaran ini, jihad yang diwajibkan oleh Islam tidak punya hubungan langsung dengan masyarakat kebanyakan, melainkan hanya terkait erat dengan pemerintah yang memiliki akidah yang tidak benar, tidak memberikan kesempatan dakwah Islam sampai ke masyarakat. Pada kondisi inilah, kepada kaum muslimin diperintahkan untuk berjihad dengan pemerintah yang otoriter dan tidak membebaskan.

Pandangan ini memiliki dua prinsip:

1. Kebebasan berakidah dan berpikir merupakan hak asasi manusia. Kepada pemerintah yang melanggar hak-hak asasi manusia dan tidak memberikan kesempatan memilih kepada rakyatnya, Islam memberikan izin untuk memeranginya. Islam memerintahkan untuk memeranginya agar penghalang ini musnah dan masyarakat secara bebas dapat memilih agama yang diinginkannya.

2. Ketika akidah seperti tauhid merupakan hak-hak asasi manusia yang diterima dan dihormati, maka membela hak-hak asasi manusia dapat dibenarkan. Memerangi pemerintah yang mengganggu dan menghalangi penyebaran akidah tauhid dengan sendirinya dapat dibenarkan.

Sekaitan dengan ini, Syahid Muthahhari berkata:

“Kami berkata bahwa kita harus hidup secara bebas. Kebebasan menjamin setiap akidah dan pemikiran dapat didakwahkan di tengah-tengah masyarakat... Sekarang, bila ada penghalang yang menghambat dakwah kita. Sebuah pemerintah menjadi penghalang dakwah Islam dan tidak memberikan izin. Alasannya karena kalian tidak sedang berdakwah, melainkan merusak pemikiran masyarakat! (Mayoritas pemerintah memahami pemikiran yang merusak rakyat adalah pemikiran yang bila tersebar di tengah-tengah masyarakat, mereka pasti tidak akan menuruti pemerintahnya) Apakah dengan pemerintah yang seperti ini, yang menghalangi tersebarnya Islam, diperbolehkan berperang sehingga pemerintah tersebut terguling dan penghalang dakwah musnah? Benar, hal yang demikian boleh”.[12]

Penjelasan yang diberikan oleh Syahid Muthahhari membuka tabir hakikat jihad ibtida’i. Menurut beliau, hakikat jihad ibtida’i adalah difa’i. Dengan demikian, bukan saja jihad tidak bertentangan dengan kebebasan berakidah, bahkan jihad sejalan dengan kebebasan berakidah itu sendiri. Jihad dengan penjelasan seperti ini sebagai pelataran bersemainya benih kebebasan beragama. Pemerintah yang memaksakan kehendaknya harus disingkirkan agar semua masyarakat dapat merasakan kenikmatan kebebasan beragama. Dalam jihad tidak ditemukan makna pemaksaan dalam beragama.

Dalam bukunya yang lain, Syahid Muthahhari menyebutkan:

“Al-Quran memerintahkan untuk berjihad agar penghalang kebebasan pikir dan sosial masyarakat dilenyapkan. Banyak yang mempertanyakan, mengapa kaum muslimin menyerang negara lain? Bahkan pada zaman tiga khalifah (saat ini saya tidak sedang ingin mengkaji benar dan salahnya perang yang mereka lakukan), kaum muslimin yang ikut berperang tidak untuk memaksa rakyat negara yang diserang agar memeluk Isla, apa lagi memaksa mereka. Pemerintah tiran merantai kaki dan tangan rakyatnya. Kaum muslimin datang membebaskan mereka. Ini dua hal yang sering disalah mengerti oleh orang-orang. Sekalipun kaum muslimin berperang dengan kerajaan Persia atau Romawi tujuan mereka berperang untuk membebaskan rakyat yang selama ini terkungkung. Mereka bukan berperang dengan rakyat, tetapi dengan pemerintah zalim. Dengan sebab ini, masyarakat berbondong-bondong dengan semangat memilih untuk memeluk Islam. Mengapa hal yang demikian dapat terjadi? Sejarah mencatat bagaimana ketika seorang pasukan muslim yang berkulit hitam memasuki sebuah tempat, masyarakat setempat menyambutnya dengan sekuntum bunga. Kaum muslim dianggap sebagai malaikat penyelamat. Sebagian juga salah mengira ketika kaum muslimin menyerang Iran, pasti mereka memaksa masyarakat untuk memeluk Islam. Kaum muslimin saat itu tidak berurusan dengan apakah masyarakat harus memeluk Islam atau tidak. Mereka menjatuhkan pemerintah tiran lalu membiarkan masyarakat untuk memeluk agama yang diinginkan. Yang dijelakan oleh kaum muslimin terkait dengan undang-undang sebagai warga negara, bahwa bila mereka memilih Islam sebagai agama, maka sama dengan kaum muslimin lainnya, tidak ada perbedaan sedikit pun. Sementara bila kalian tidak memilih Islam sebagai agama, maka ada ikatan yang harus dipenuhi yang disebut dengan kontrak dzimmah. Syarat-syarat kontrak dzimmah yang dilaksanakan oleh pemerintah Islam juga tidak sulit.

Dengan demikian, prinsip persahabatan, keramahan, ketenangan, tidak menggunakan tindakan kekerasan dan pemaksaan kembali pada masalah iman, tidak pada masalah penghalang pikir dan sosial, merupakan hal yang sangat fundamental dalam dakwah Islam: Laa Ikraaha fi ad-Diin”.[13]

Analisa

Jihad ibtida’i pada makna ketiga menjadikan tauhid sebagai bagian dari hak-hak asasi manusia, sebagaimana membela hak-hak asasi manusia juga dibenarkan. Perbedaannya dengan pandangan kedua adalah jihad ibtida’i pada makna ketiga tidak hanya pemaksaan agama dan keyakinan dinafikan, melainkan sesuai dengan ide kebebasan beragama. Di samping itu, penekanan pada makna ketiga ini adalah jihad ibtida’i merupakan bagian dari amar makruf dan nahi mungkar. Islam melihat mereka yang hidup di bawah pemerintahan yang zalim dan tidak memberikan kebebasan buat mereka perlu ditolong. Di sini, substansi jihad ibtida’i menjadi difa’i karena dilakukan dengan tujuan menolong mereka yang tertindas.

Poin penting yang tidak dijelaskan oleh Syahid Muthahhari dalam masalah ini adalah jihad ibtida’i dalam konteks dunia modern dan dalam bingkai hukum internasional. Karena dengan alasan amar makruf dan nahi mungkar setiap saat sebuah negara Islam hanya dengan alasan melihat orang yang tertindas lantas melakukan jihad ibtida’i. Tidak ada bingkai yang jelas dan ini rentan disalahgunakan oleh mereka yang mengatasnamakan negara Islam. Perlu kiranya mendudukan masalah jihad dan hubungannya dengan negara Islam dan hubungannya dengan dunia internasional. Dan itu dapat dijelaskan pada pandangan ke empat.

4. Hak negara Islam dalam politik internasional

Setelah kemenangan revolusi Islam Iran, studi-studi keislaman dalam Syi’ah mengalami kemajuan yang luar biasa. Perubahan ini tidak pernah ditemukan dalam periode perjalanan Syi’ah. Mungkin kemajuan ini hanya dapat dibandingkan dengan periode Imam Ja’far Shadiq as. ketika beliau, di zamannya, berhasil mendidik pemikir-pemikir dan ilmuwan Islam dalam berbagai bidang pengetahuan.

Berdirinya negara Islam bercorakkan Syi’ah memang memiliki ciri khas sendiri yang pada gilirannya melahirkan cara pandang baru terhadap keseluruhan ilmu-ilmu Islam, terutama masalah fikih. Kajian fikih yang sebelumnya hanya terbatas untuk memberikan solusi atas permasalahan individu, sekalipun pada batas-batas tertentu juga mengkaji sistem sosial dan lain-lain, saat ini kajian fikih berkembang memberikan solusi atas masalah-masalah negara; baik yang berurusan dengan masalah dalam negeri maupun luar negeri. Dan perbedaan cara pandang itu dimulai ketika Imam Khomeini memberikan statemen yang berbunyi:

“Pemerintah atau negara dalam pandangan seorang yang benar-benar mujtahid adalah filsafat praktis dan solusi bagi seluruh dimensi kehidupan manusia yang dicerap dari seluruh bab-bab yang ada dalam fikih. Pemerintah adalah petunjuk praktis dari fikih dalam memberikan solusi atas problema sosial, politik, militer dan budaya. Fikih adalah teori yang paling realistis dan sempurna untuk mengatur manusia mulai dari ayunan hingga liang kubur”.[14]

Namun, pada saat yang sama, Imam Khomeini tidak hanya terhanyut dengan kemenangan revolusi Islam dan berhasilnya Syi’ah, setelah kekhalifahan direbut dari tangan Imam Hasan as, memiliki negara yang dipimpin oleh seorang fakih yang adil. Beliau tidak mencukupkan dirinya dengan slogan bahwa Islam, terutama fikihnya, dapat menyelesaikan seluruh permasalahan. Beliau dengan lantang mengkritik bahwa ijtihad yang ada sampai saat ini (baca: semasa hidupnya) tidak dapat menyelesaikan seluruh masalah. Perlu adanya perubahan-perubahan untuk dapat menyelesaikan masalah yang ada.

Untuk itu, beliau memberikan arahannya bagaimana sebaiknya fikih Syi’ah dapat memberikan solusi bagi permasalahan yang ada selama ini dan yang akan datang. Beliau berkata:

“Sekaitan dengan kurikulum di hauzah dan penelitian yang dilakukan di sana, saya berkeyakinan bahwa cara terbaik dan benar adalah dengan mengkaji tradisi fikih kita. Saya percaya dengan cara ijtihad Jawahir.[15] Dan tidak boleh melakukan ijtihad berbeda dengan cara ijtihad Jawahir. Ijtihad dengan cara demikian adalah benar, namun itu tidak bermakna bahwa fikih Islam tidak fleksibel. Dua unsur yang paling menentukan dalam berijtihad adalah ruang dan waktu”.[16]

Ucapan dan arahan Imam Khomeini membuka wawasan baru untuk menilai kembali kajian-kajian fikih dan meletakkannya dalam bingkai negara. Atas dasar ini, bila konsep jihad ibtida’i diletakkan dalam bingkai negara, maka bukan saja tidak ada hubungannya dengan masalah pemaksaan agama, melainkan menunjukkan sebuah identitas lain untuk jihad ibtida’i. Mengkaji fikih Islam dan sumber-sumbernya memberikan data kepada kita bahwa ekspansi yang dilakukan oleh Islam tidak pernah berhubungan dengan individu dan masyarakat. Tidak benar bahwa Islam melakukan ekspansi dikarenakan ada seseorang atau masyarakat kafir lalu dipaksakan kepadanya untuk memeluk Islam atau memilih mati. Hukuman mati yang berhubungan dengan masalah ini tidak punya hubungan dengan masalah jihad ibtida’i. Karena yang pertama berhubungan dengan hukum pidana sementara jihad berhubungan dengan hukum internasional.

Jihad ibtida’i dilakukan tidak atas nama pelaksanaan hukum individu atau sosial dan juga tidak ada hubungannya dengan masalah amar makruf dan nahi mungkar. Jihad ibtida’i adalah sebuah hukum tersendiri dalam fikih Islam yang berhubungan dengan hukum internasional. Dengan jihad ibtida’i, Islam memberikan hak kepada sebuah negara Islam untuk menyerang negara lain yang bertumpu pada kekufuran, sebagaimana Islam memberikan hak kepada negara Islam untuk melakukan hubungan damai dengan negara-negara kafir lainnya berdasarkan perjanjian-perjanjian bilateral maupun internasional. Dalam hubungan internasional, negara Islam berhak untuk melakukan perjanjian dengan negara lain dan hidup secara damai dan berdampingan, sebagaimana juga pada kondisi khusus dan kritis di mana tidak ada perjanjian damai atau negara kafir secara sepihak merusak perjanjian, maka Islam memiliki hak untuk menyerang mereka. Disyariatkannya jihad agar dapat mencegah musuh dan negara lain untuk menyerang negara Islam. Karena Islam memberikan hak baginya untuk juga melakukan pembelaan diri.

Dengan demikian, jihad ibtida’i hanya bermakna dan memiliki legitimasi untuk dilakukan dengan syarat adanya negara Islam. Begitu juga orang-orang kafir, mereka memiliki negara atau basis politik dan militer yang membahayakan negara Islam.

Penjelasan di atas, memberikan sebuah kenyataan bahwa masalah jihad ibtida’i berbeda bahkan tidak punya hubungan sama sekali dengan masalah pemaksaan agama. Jihad ibtida’i terkait dengan hukum politik internasional sementara pemaksaan agama berhubungan dengan hukum individu. Keduanya berbeda satu dengan lainnya dan tidak saling bertentangan. Bahkan keharmonisan keduanya dapat ditemukan ketika Islam telah berhasil meruntuhkan pemerintah sebuah negara kafir, orang-orang kafir yang hidup di sana tetap bebas memiliki akidah dan agama yang telah dipeluk sebelumnya. Mereka tidak akan dipaksa untuk memeluk Islam.

Ayatullah Sayyid Ali Khamane’i ketika mengkaji ayat-ayat jihad menyebutkan bahwa ayat-ayat tersebut tidak bersifat mutlak tapi bersyarat. Syaratnya adalah ketika orang-orang kafir memulai peperangan atau peperangan hanya dikhususkan terhadap pemimpin-pemimpin negara kafir. Beliau menyebutkan:

“Setelah meneliti masalah ayat-ayat jihad, saya menemukan bahwa ayat-ayat tersebut tidak memerintahkan kepada kaum muslimin untuk menyerang orang kafir karena akidahnya tapi lebih dikarenakan perbuatan mereka. Perang dengan orang kafir hanya dengan alasan bahwa orang kafir terlebih dahulu menyerang atau membahayakan negara Islam. Kewajiban Islam dan kaum muslimin adalah membela teritorial negara Islam dan hak-hak kaum muslimin atau berperang dengan negara dan pemimpin-pemimpin negara kafir yang menyengsarakan masyarakat”.[17]

Dengan penjelasan ini, substansi jihad ibtida’i kembali pada jihad difa’i. Artinya, sekalipun Islam memberikan hak kepada negara Islam untuk melakukan penyerangan, namun itu lebih dimaknai sebagai reaksi ketimbang aksi. Karena legitimasi penyerangan ini pun dikarenakan pihak pemerintah kafir menyerang atau sedang melakukan manuver yang membahayakan negara Islam dan tidak memiliki perjanjian perdamaian dengan negara Islam.[18]

Ketika ditanya mengenai posisi wali fakih pada masa kegaiban, dapatkah ia mengeluarkan hukum untuk melakukan jihad ibtida’i? Dalam fatwanya, Ayatullah Sayyid Ali Khamane’i berkata:

“Berdasarkan data-data yang kuat, seorang wali fakih memiliki hak untuk mengumumkan jihad ibtida’i. Syaratnya adalah bila wali fakih melihat ada maslahat di sana”.[19]

Dalam kondisi ini sekalipun, berbeda dengan pendahulunya Imam Khomeini yang berpendapat bahwa wali fakih tidak punya hak untuk mengumumkan jihad ibtida’i, Sayyid Ali Khamane’i tidak membatasi hak mengumumkan jihad ibtida’i hanya pada Nabi Muhammad dan para Imam as. Beliau memberikan hak itu juga kepada wali fakih adil yang telah memenuhi segala syarat yang telah ditetapkan. Dan itu selain setelah terbentuknya negara harus ada maslahat di sana.

Sekalipun dalam pandangan Sayyid Ali Khamane’i wali fakih adil memiliki hak untuk mengumumkan jihad ibtida’i, masalah ini harus dilihat dalam kerangka politik luar negeri. Negara Islam memposisikan dirinya untuk hidup berdampingan secara damai dengan negara-negara lain. Namun, bila ada bahaya yang mengancamnya, tentunya dengan data-data yang akurat, konsep jihad ibtida’i memberikan hak kepada wali fakih untuk mengumumkan jihad ibtida’i. Jihad yang kesannya adalah ofensif, namun substansinya adalah pembelaan diri.[20]

Syahid Shadr ketika ditanya mengenai sebab-sebab dan perbedaan antara jihad ibtida’i dan kolonialisme, dijawab oleh beliau:

Keyakinan terhadap Allah yang merupakan hakikat tauhid dan Islam mengharuskan Ia memerintah dan berkuasa atas kehidupan manusia. Dengan alasan ini, jihad merupakan bagian dari ajaran-ajaran penting Islam. Kewajiban jihad dapat mewujudkan salah satu dari ajaran kunci Islam. Jihad merupakan landasan dan sebab bagi terwujudnya pemerintahan tauhid di dunia. Jihad memiliki logika yang kuat dan didukung oleh argumentasi rasional yang kokoh. Jihad mengimplementasikan kekuasaan Allah di bumi. Pada prinsipnya, jihad tidak membutuhkan legitimasi. Dengan kata lain, alasan-alasan logis secara cukup ada pada ajaran jihad itu sendiri sehingga tidak membutuhkan pembenaran dari luar.

Sebaliknya, perilaku kolonialisme Barat yang mencaplok dan menguasai negara-negara lain tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun! Karena ide kebebasan yang dianut dan menjadi prinsip peradaban Barat tidak memberikan izin kepada mereka untuk menguasai negara lain. Karena pada saat yang sama, mereka telah memusnahkan kemerdekaan dan kebebasan orang dan negara lain. Dengan alasan apapun tindakan mereka tidak dapat diterima, sekalipun dengan alasan yang mereka anggap merupakan keharusan seperti ilmu dan teknologi yang mereka anggap sebagai hadiah mereka kepada peradaban manusia”.[21]

Penutup

Islam mengenal dua konsep jihad; jihad difa’i (defensif) dan jihad ibtida’i (ofensif). Jihad difa’i sebelum dilegitimasi oleh syariat Islam merupakan sebuah prinsip yang diterima oleh akal manusia. Sementara itu, konsep jihad ibtida’i oleh sebagian orang dianggap tidak rasional. Jihad ibtida’i ditengarai dibarengi dengan pemaksaan akidah. Islam dengan jihad ibtida’i bermaksud memaksa semua orang untuk memeluk Islam bila tidak harus memilih mati sebagai pilihan terakhir.

Mengkaji lebih jauh pandangan ulama Syi’ah mengenai jihad ibtida’i, dapat ditemukan beberapa hal yang berbeda dengan penafsiran jihad ibtida’i dalam Ahli Sunah. Syi’ah tidak hanya menganggap jihad ibtida’i tidak mengandung makna pemaksaan agama, bahkan lebih dari itu, Syi’ah menganggap konsep jihad ibtida’i dapat disejajarkan dengan konsep kebebasan agama. Bahkan pada kondisi-kondisi tertentu jihad ibtida’i merupakan penjamin terwujudnya kebebasan beragama.

Syarat yang harus dimiliki oleh jihad ibtida’i adalah dilakukan tidak secara sporadis, melainkan harus dilakukan dengan mendirikan negara Islam. Dan untuk melakukan jihad ibtida’i, dalam Syi’ah diberi aturan yang ketat dengan harus mendapat izin dari Nabi Muhammad saw atau para Imam Maksum as. dan wakil khusus mereka. Jihad ibtida’i menjadi sah bila direstui oleh para pemimpin yang adil.

Ulama Syi’ah berbeda pendapat mengenai wakil umum Imam Mahdi af. Apakah ia juga memiliki wewenang untuk memberikan izin kaum muslimin melakukan jihad ibtida’i atau tidak? Imam Khomeini termasuk salah satu yang mewakili ulama yang berpendapat bahwa wali fakih tidak memiliki wewenang untuk memberikan izin kaum muslimin melakukan jihad ibtida’i. Sementara penggantinya, Ayatullah Sayyid Ali Khamane’i mewakili ulama yang berpendapat bahwa seorang wali fakih memiliki wewenang memberikan izin kepada kaum muslimin melakukan jihad ibtida’i.

Bila kita menerima pendapat keempat (konsep jihad ibtida’i hanya terkait dengan hukum politik internasional) dan bersikukuh dengan pendapat Imam Khomeini, kemungkinan terjadinya kaum muslimin melakukan jihad ibtida’i hanya dapat terlaksana dengan menunggu munculnya Imam Mahdi af. Sementara bila kita mengambil pandangan Sayyid Ali Khamane’i, kaum muslimin dapat melakukan jihad ibtida’i di bawah bimbingan wali fakih yang adil. Jihad ibtida’i ini bagaikan kekuatan aktif dalam usaha membela teritorial negara Islam dan bukan untuk mengancam negara-negara lain.


[1] . Dar Justejuye Roh az Kalome Emom: Jang wa Jahod, hal 5, Teheran, 1363 H. S.

[2] . Ayatullah Yusef Sane’i, Velayate Faqih, Teheran, cetakan ke 2, 1364 H. S, dinukil dari “Bahrom, Akhawon Kozemi,, Qedmat wa Tadowum Nazariye Velayate Mutlaqe Faqih, Teheran, Sozmon Tabligote Eslomi, 1377 H. S.

[3] . ar-Rawandi, Quthb ad-Din, Fiqh al-Quran, jilid 1, hal 344-345, Maktabah Ayatullah al-‘Uzhma Mar’asyi Najafi, 1405.

[4] . Muthahhari, Murtadha, Jihad, hal 42-46 (diringkas), Entesyorote Shadra, cet ke-7, 1373.

[5] . Ibid, hal 45.

[6] . Thaba’thaba’i, Muhammad Husein, al-Mizan fi Tafsir al-Quran, hal 67-68, jilid 2, Muassasah an-Nasyr al-Islami at-Tabi’ah li Jami’i al-Mudarrisin bi Qom al-Muqaddasah, tanpa tahun.

[7] . Idem, hal 342-243.

[8] . Muthahhari, Murtadha, idem, hal 50.

[9] . Idem, hal 55.

[10] . Idem, hal 65-66.

[11] . Untuk pemahaman lebih lanjut lihat www.islamalternatif.com, makalah berjudul “Agama Tidak Bisa Dipaksakan: Sorotan kritis Teologi dan Fikih”.

[12] . Muthahhari, Murtadha, idem, hal 52-53.

[13] . Muthahhari, Murtadha, Sairi dan Sireye Nabawi, hal 253-254, Entesyorote Shadra, cet ke-6, 1368.

[14] . Shahifah Nur, Imam Khomeini, Muassasah Tanzhim wa Nasyr Atsar Imam Khomeini, 1378, juz 21, hal 289.

[15] . Maksud dari kata Jawahir dalam ucapan Imam Khomeini merujuk pada buku fikih bernama Jawahir al-Kalam fi Syarh Syara’i al-Islam karangan Syaikh Muhammad Hasan Najafi. Saking luasnya kajian buku ini dalam masalah fikih argumentatif sehingga sebagian orang menyebutnya sebagai ensiklopedia fikih Syi’ah. Buku ini memuat hampir semua pendapat ulama Syi’ah dalam masalah fikih dan argumentasi mereka. (-pen).

[16] . Ibid, juz 21, hal 289.

[17] . Sayyid Ali Khamane’i, majalah Andisye Hauzah, thn ke -4, vol 2, hal 34. Dinukil dari buku Azadi Dar Feqh wa Hudude On, Muhammad Hasan Qadrdon Qaromlaki, Bustone Ketab, 1382.

[18] . Untuk lebih luasnya, kajian ini dapat dilihat dalam buku-buku yang membahas masalah fikih politik.

[19] . Resoleh Ajwibah al-Istifta’at, Sayyid Ali Khamane’i, Syerkat Chop wa Nasyre Bainulmelali, cet ke -20, 1383, hal 228, pertanyaan nomor 1048.

[20] . Mengenai kajian ba

[21] . As-Shadr, Muhammad Baqir, Majmu’ah Kamilah Li Muallafat as-Sayyid Muhammad Baqir as-Shadr, jilid 13, hal 59 (diringkas). Dinukil dari majalah Makrifat, thn ke -16, no. 6, hal 55.