Minggu, 11 Februari 2007

Petualangan Israel; dalam sekuel mengais identitas di bawah Masjidul Aqsha


Petualangan Israel; dalam sekuel mengais identitas di bawah Masjidul Aqsha

Saleh Lapadi

Israel adalah bangsa yang dibangun dari sebuah fantasi besar bernama Israel Raya. Mereka mengakui tanah air mereka terbentang dari sungai Furat sampai Afrika. Pengakuan ini hanya didukung oleh fakta-fakta absurd dari Talmud yang ditafsirkan oleh mereka. Tidak itu saja, kehadiran mereka di tanah Palestina dan membangun negara Israel pun berkat isu kontroversial holocoust.

Mereka memprovokasi dunia untuk menerima bahwa holocoust adalah sejarah paling jelas dan tidak terbantahkan. Itulah mengapa mereka giat di setiap negara yang ada di dunia untuk memantau siapa saja yang mencoba meneliti kembali kasus kontroversial tersebut dengan tuduhan anti semit. Telah banyak ilmuwan yang harus mendekam dalam penjara karena mencoba ingin membaca kembali sejarah holocoust.

Tidak cukup dengan itu, mereka dengan bantuan Amerika berhasil mengusulkannya ke PBB dan diterima. Saat ini, siapa saja yang mencoba mengorek kembali masalah holocoust artinya harus siap menghadapi badan dunia PBB. Israel dan Amerika cepat-cepat menggolkan itu setelah presiden Ahmadi Nejad dengan lontaran pertanyaan-pertanyaan cerdas. “Bila memang holocoust pernah terjadi, mengapa rakyat Palestina yang harus menjadi sasaran balas dendam?” Apa salah rakyat Palestina? Mereka tidak pernah ikut memasukkan orang-orang Yahudi ke dalam kamar-kamar gas. Mereka tidak pernah ikut membantai orang Yahudi.

Alasan pendirian negara Israel sendiri berdasarkan fakta sejarah kontroversial yang tidak punya bukti. Ahmadi Nejad malah kemudian menantang, “Bila memang benar ada holocoust, beri kesempatan para ilmuwan melakukan penelitian!” Tentu ini tidak dapat diterima oleh Israel. Itulah mengapa masalah ini harus ditetapkan oleh PBB.

Israel didirikan dan ditopang oleh fakta yang absurd kalau tidak dikatakan bohong. Lalu?

Yahudi Israel perlu mencari identitas lain untuk menunjukkan bahwa mereka pernah eksis dalam sejarah. Tidak hanya dalam fakta-fakta absurd Talmud dan holocoust. Itulah mengapa mereka kemudian membuat sebuah dongeng lain tentang rumah peribadatan Sulaiman. Mereka mengklaim bahwa di bawah Masjidul Aqsha terdapat bekas peninggalan sejarah mereka yang terkait dengan rumah peribadatan Sulaiman. Untuk membuktikan itu, mereka lalu mulai menggali terowongan di bawah Masjidul Aqsha. Terowongan telah dibuat, tapi fakta keberadaan rumah peribadatan Sulaiman belum ditemukan juga.

Kebohongan demi kebohongan terus dibangun untuk menetapkan eksistensi mereka. Kebohongan tidak akan pernah kekal. Suatu saat semua ini bakal terungkap. Namun, menarik untuk melihat statemen Sayyid Hasan Nasrullah bahwa “Israel lebih lemah dari sarang labah-labah”. Karena akidah dan keyakinan yang dibangun di atas kebohongan tidak punya kekuatan. Dengan datangnya sebuah ujian, maka segalanya akan lenyap. Sarang labah-labah masih lebih kuat karena ia berpijak pada sesuatu yang jelas dan pasti. Berbeda dengan Israel yang berpijak dari ketiadaan.

Sebenarnya, usaha pencarian identitas ini tidak hanya dilakukan di tanah Palestina. Ketika Bush menginvasi Irak dan, berkat bantuan rakyat Irak, ia berhasil menggulingkan Sadam Husein, para peneliti dan pendeta Israel segera menuju Irak. Mereka berusaha untuk menemukan peninggalan-peninggalan bersejarah yang ada kaitannya dengan mereka. Kehadiran mereka bisa dikatakan sederhana, tapi memuat makna yang dalam. Pencarian identitas sebuah bangsa.

Mereka datang ke Irak dan menetap di daerah Hilla. Tempat di mana pasukan Polandia bertugas di sana. Para peneliti yang sibuk menggali peninggalan bersejarah di bawah pengawasan empat orang pendeta Yahudi. Tentunya mereka tidak sendiri. Karena di samping mereka berseliweran para pedagang dan pelancong sebagai mata rantai semua ini. Tentunya, tanpa melupakan kehadiran Mossad. Intelijen Israel ini mengorganisir segalanya. Mereka berharap dapat menemukan sesuatu yang terkait dengan sejarah Yahudi di masa Hammurabi. Dan pasukan Polandia sebagai tameng pengaman mereka.

Pada awal-awal kedatangan orang-orang Yahudi Israel ke Irak dan membeli tanah-tanah orang Irak, ulama Syi’ah telah mengingatkan masyarakat. Tujuan mereka membeli bukan untuk ditinggali begitu saja. Tapi ada maksud-maksud lain di balik itu.

Jaringan mereka telah melakukan pencurian kekayaan nasional Irak. Tidak dapat ditaksir seberapa besar kerugian pemerintah Irak. Belum lagi yang dicuri dan dibawa ke Amerika. Mereka tidak hanya melakukan penggalian ilegal, tapi juga menjarahi museum-museum Irak.

Mereka sangat berharap menemukan data-data yang berhubungan dengan Yahudi. Karena slogan Israel Raya bakal memiliki pijakan historis. Hal yang selama ini mereka cari. Mereka ingin agar ada fakta sejarah yang mendukung mereka. Selama ini, yang ada hanyalah imajinasi mereka yang kemudian memaksa mereka menafsirkan Talmud seperti itu.

Kembali pada masalah Palestina. Semua peperangan yang dilakukan antara Israel dan Palestina. Pembantaian yang dilakukan oleh Israel. Perjuangan rakyat Palestina untuk membela tanah airnya. Dan segala peristiwa yang terjadi di tanah Palestina pendudukan belum mampu membuat masyarakat dunia percaya dengan klaim Israel selama ini. Mereka kehilangan identitas. Frustrasi menghantui mereka.

Kekalahan atas Hizbullah semakin membuat mereka tidak punya cara untuk menunjukkan identitas dan eksistensinya. Israel semakin terpojokkan. Lalu tamparan itu datang dari seorang presiden sederhana namun bersahaja bernama Ahmadi Nejad. Ia menjadi simbol kebebasan orang untuk mempertanyakan keaslian kasus holocoust. Logikanya sederhana tapi kokoh, menohok Israel.

Iran menjadi pusat perlawanan terhadap Israel. Selain masyarakat dunia, mulai banyak pemimpin-pemimpin dunia yang berani buka suara terhadap Israel. Yang paling memalukan adalah ketika Hamas memenangkan pemilihan parlemen di Palestina. Ismail Haniyah terpilih menjadi perdana menteri. Tenyata, pemerintahannya tidak mengakui Israel sebagai negara. Bila sebuah negara besar, seperti Iran, tidak mengakui keberadaan Israel, maka hal itu masih dapat ditolerir. Namun, negara kecil yang setiap harinya diberondong dengan senapan berpeluru uranium ringan berani menantangnya. Amerika saja bak kerbau dicocok hidung ketika berhadapan dengan Israel.

Penentangan terhadap pemerintah Haniyah harus dilakukan. Amerika dan negara-negara Eropa sepakat menghentikan bantuannya. Haniyah dalam salah satu wawancaranya menyebutkan bahwa kami (baca: bangsa Palestina) diperlakukan lebih buruk dari Irak. Sekalipun diembargo, Irak masih diberi kesempatan untuk menjual minyaknya untuk pangan. Kami diembargo setiap hari oleh Israel.

Israel dan sekutunya harus melakukan itu. Karena sikap pemerintah Haniyah artinya tidak mengakui identitas Israel. Pemerintah Israel mengalami krisis identitas yang sangat parah. Karena sikap pemerintah Haniyah memukul tepat di urat leher Israel yang membuat mereka menggelepar-gelepar. Dengan segala cara mereka berusaha menyelamatkan Israel dari sekarat.

Abu Mozen lantas dipanggil ke Amerika, tentunya bukan untuk melancong. Ia dijanjikan bantuan. Dalam konflik senjata antara Hamas dan Fatah, pemerintah sempat menahan sebuah truk yang berisi senjata made ini Amerika yang diselundupkan dari Mesir. Ditengarai oleh pemerintah masih ada beberapa truk lainnya yang lolos.

Dalam konflik Hamas dan Fatah, raja Abdullah muncul bak penyelamat. Rupanya ia ingin mencalonkan dirinya sebagai penerima hadiah nobel perdamaian. Bila melihat urutan masalah di atas, maka sikap raja Abdullah mengkhianati rakyat Palestina. Rakyat Palestina memberikan hak suaranya kepada Hamas. Sebagai pemerintah yang sah, Fatah harus menghormati kebijakan Hamas. Dan raja Abdullah seharusnya berpihak kepada Hamas. Sikap raja Abdullah dengan mengajak Fatah dan Hamas ke negaranya untuk berunding kiranya perlu menjadi pertanyaan. Karena kejadian perusakan Masjidul Aqsha berurutan dengan kunjungan Simon Peres ke Qatar, lagi-lagi Qatar mengkhianati perjuangan bangsa Palestina. Ia melakukan pembicaraan tertutup dengan jaringan media Aljazeera. Setelah itu, Fatah dan Hamas diajak berunding oleh raja Abdullah. Perundingan itu jelas memakan waktu. Dan pada kesempatan itulah Israel melakukan aksinya.

Mengapa Israel memilih hari selasa, tanggal 18 Muharram hari selasa Minggu kemari untuk melakukan aksinya secara terang-terangan merusak Masjidul Aqsha? Jawabannya kembali pada usaha untuk mencari identitas diri. Pada tanggal itu adalah hari di mana Nabi Muhammad saw diperintahkan untuk mengganti arah kiblat. Pada waktu salat, Nabi menghadap ke Baitul Maqdis, Masjidul Aqsha. Allah memerintahkan kepada beliau untuk mengalihkan kiblatnya menghadap Masjidul Haram.

Menurut orang-orang Yahudi, itu menunjukkan bahwa Masjidul Aqsha bukan milik kaum muslimin. Ada hal lain yang membuat kaum muslimin diperintahkan balik menghadap Ka’bah. Mereka melakukan aksinya tepat ketika 1400 tahun yang lalu, kaum muslimin membalikkan wajahnya dari Masjidul Aqsha menghadap Masjidul Haram. Hari itu dianggap sebagai satu petunjuk dalam mewujudkan dan memuaskan fantasi pencarian identitas yang selama ini mereka dambakan.

Ini memberikan kesempatan kepada kaum muslimin untuk mengintrospeksi dirinya. Jangan sampai perbuatan dan perilaku memberikan kesempatan kepada Israel untuk mendapatkan alasan lagi, seperti janji Talmud dan holocoust, untuk melakukan kezaliman yang lebih. Dan itu hanya dapat diraih dengan persatuan kaum muslimin.

Qom, 11 Februari 2007

Tidak ada komentar: