Senin, 29 Januari 2007

Peran Wanita Di Karbala


Peran Wanita Di Karbala
Saleh Lapadi

Peristiwa pembantaian di padang pasir Karbala adalah sebuah pertarungan antara kebenaran dan kebatilan. Dalam peristiwa itu, Imam Husein as dengan rombongannya berhasil mendemonstrasikan secara sempurna simbol-simbol asli agama. Dengan indah sebuah ketaatan terhadap pemimpin diperankan oleh sahabat-sahabat, kaum kerabat, wanita dan anak-anak. Kesabaran menjadi tulang punggung pertunjukkan kebenaran. Amar makruf dan nahi mungkar tidak pernah lepas dari sikap dan tindakan.

Setiap variabel yang ada saling mendukung sehingga berhasil memunculkan sebuah adegan paling dramatik dalam sejarah kehidupan manusia. Ali Asghar bayi yang masih menyusui dengan indah memainkan perannya sehingga siapa saja yang mendengar kisah itu bakal tersentuh hatinya. Ada anak-anak seperti Abdullah yang akhirnya merenggut cawan kesahidan berdampingan dengan Imam Husein as. Ada seorang anak remaja yang bernama Qasim. Seorang remaja tampan yang wajah dan perilakunya paling mirip Nabi Muhammad saw. Setiap sahabat yang merindukan Nabi, pasti akan mencarinya untuk memuaskan kerinduannya. Pemuda, wanita dan orang-orang tua semuanya memainkan perannya dengan sempurna.

Ketika setiap pribadi yang hadir di Karbala memainkan perannya dengan sempurna, maka yang menjadi pertanyaan adalah apa peran para wanita di Karbala. Mungkinkah kita dapat mencari hubungan antara sikap dan tindakan wanita dengan pemimpinnya (Imamah)? Dalam kondisi bingung karena perang yang berkecamuk, bagaimana mereka memainkan perannya sebagai istri yang melihat jasad suaminya dibantai? Pada saat yang bersamaan mereka juga harus bersikap sebagai seorang ibu dan saudara. Peran yang sangat sulit dibebankan kepada mereka. Namun, itulah Karbala. Para wanita yang lemah dari sisi fisik, mampu membalik keadaan. Kekalahan fisik yang dialami oleh rombongan Asyura dibalik menjadi kemenangan. Mereka menggantikan kekerasan dengan cinta. Mereka menggantikan materi dengan maknawiyah. Keserakahan dengan pengorbanan.

Prolog
Memahami peran wanita di Karbala tidak sesulit yang dibayangkan. Peran itu akan terungkap dengan memulainya dari beberapa pertanyaan. Apa sebenarnya tujuan keberangkatan Husein ke Karbala? Pendekatan apa yang dipakai oleh Imam Husein as untuk menggolkan tujuannya? Seperti apa usaha Imam Husein as untuk memobilisasi orang-orang untuk mendukung idenya? Media seperti apa yang dimilikinya untuk memublikasikan perjuangannya? Ini merupakan sejumlah pertanyaan yang dapat menyingkap peran wanita dalam peristiwa Karbala.

Sejarah mencatat bahwa alat publikasi hanya dimiliki oleh penguasa. Imam Husein as dengan tangan kosong memasuki kawasan Karbala. Bisa dibayangkan bahwa bila dalam peperangan di Karbala Imam Husein as menang, itu tidak dapat berbuat banyak dalam mengubah keadaan. Karena media dipegang oleh penguasa dan dengan mudah mereka akan meniup isu baru untuk melenyapkan kabar kemenangan itu. Atau dengan jumlah yang lebih besar, Yazid akan mengirim pasukan untuk membasmi Imam Husein as. Apa lagi bila Imam Husein as mengalami kekalahan. Padahal pesan Karbala harus sampai kepada setiap manusia merdeka. Kawasan padang pasir Karbala tidak boleh menjadi kuburan perjuangan Imam Husein as. Padang Karbala harus menjadi titik tolak penyebaran pesan Karbala. Untuk itu, diperlukan media yang dapat mengantarkan pesan Asyura ke setiap penjuru dunia.

Imam Husein as memerlukan media untuk menyampaikan pesannya. Kepergiannya bukan untuk kepentingan pribadi. Ia menuju Kufah untuk menegakkan agama kakeknya. Amar makruf dan nahi mungkar menjadi landasan revolusi Husein.

Di sisi lain, masyarakat hanya mengetahui bahwa penguasa adalah lambang kebenaran. Karena mereka telah menggagahi konsep khalifatullah untuk kepentingan mereka. Setiap yang menjadi khalifah adalah wakil Tuhan di bumi. Dan pada saat yang sama, dengan memakai topeng khalifah mereka hendak menghancurkan agama.

Untuk melakukan pencerahan, perlu cara yang tepat. Imam Husein as dengan cerdik membaca semua itu dan memikirkan cara terbaik untuk melawan penguasa yang tidak saja korup, tapi juga berkeinginan untuk menghapus agama. Di sini konsep Imamah menjadi penting. Dalam sejarah, kecerdikan setiap Imam dalam merespon dan menyikapi masyarakat dan kondisi yang dihadapinya membuat agama selamat sampai ke tangan kita. Wilayah menjadi rahasia besar mengapa agama tidak dapat dipisahkan dari politik.

Itulah salah satu alasan mengapa Imam Husein as membawa besertanya anak-anak dan wanita. Anak-anak dan wanita merupakan pelanjut dan media untuk menjelaskan apa sebenarnya yang terjadi. Sejarah mencatat hanya dalam jangka waktu yang tidak lama. Dimulai dari Karbala hingga sampai di istana Yazid, berapa banyak orang yang tersadarkan dengan ucapan-ucapan anak-anak. Bagaimana di tengah kerumunan orang, Zainab al-Kubra as saudara Imam Husein as bangkit dengan lantang berpidato yang membuat orang-orang tercengang bahwa apa yang selama ini terjadi hanya permainan media penguasa. Itulah mengapa disebutkan bahwa Husein sebagai yang memulai revolusi Karbala, tapi Zainab yang mengekalkannya hingga hari ini.

Disain Asyura
Untuk menghadapi musuh, Imam Husein as memanfaatkan semua kemampuan dan potensi yang ada. Tanpa diragukan salah satunya adalah wanita.

Islam muncul dan memberikan cara pandang baru kepada manusia tentang wanita. Pada zaman Nabi, wanita bersikap aktif, berperan dan ikut andil dalam perjalanan sejarah Islam. Di zaman Yazid, wanita mulai dikembalikan perannya seperti zaman jahiliah. Saat itu wanita dianggap sebagai ongkos dan bukan modal. Wanita hanya dilihat sebagai alat dan bukan makhluk yang berpikir dan memiliki loyalitas. Wanita balik kembali menjadi alat tanpa kehendak dan bukan manusia yang independen. Mampu mengambil sikap sendiri. Imam Husein as membawa besertanya para wanita untuk sekali mengembalikan nilai-nilai wanita yang diperjuangkan oleh kakeknya.

Kembali pada masalah Karbala. Setiap revolusi memiliki dua sisi. Filsafat yang mendasarinya dan metode yang dipakai untuk melakukan revolusi. Ketika mendisain Karbala, Imam Husein as juga telah memikirkannya. Imam membagi dua; syahadah dan atau tertawan. Wanita memainkan perannya pada edisi kedua Karbala, menjadi tawanan.

Tepat sore harinya ketika Imam Husein as menemui syahadah, Zainab menerima tongkat estafet pesan risalah Karbala. Pesan yang harus disampaikannya kepada dunia. Dengan mantap dan tanpa ada keraguan sedikit pun, Zainab mulai melakukan tugasnya. Ia senantiasa mengajukan pertanyaan dan membongkar apa yang sesungguhnya terjadi di Karbala. Pasukan Yazid yang menawan Zainab dan para wanita dan anak-anak, terpaksa hanya bisa menjawab dengan terbata-bata. Mereka lemah di hadapan Zainab. Rombongan Imam Husein as memang lemah dari sisi jumlah, namun kekuatan Zainab sang public relation Karbala mampu membalikkan keadaan. Yazid dan antek-antek terpaksa tidak dapat berbuat banyak di bawah sorotan mata rakyat yang meminta penjelasan dan pertanggungjawabannya. Pada akhirnya, Yazid malah menyalahkan komandan pasukannya di Karbala.

Zainab al-Kubra dengan diplomasi cerdas mampu membalikkan keadaan. Ia berhasil membuat penguasa mati kutu dan hanya bisa menjawab dan memberikan pertanggungan jawab di hadapan khalayak ramai. Rakyat juga akhirnya mengetahui bahwa Yazid dan antek-anteknya sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam peristiwa ini.

Tiga hal yang menjadi tugas Zainab al-Kubra. Dan ketiga-tiganya dilaksanakan dengan baik dan sempurna. Tugasnya adalah:

1. Memperkenalkan siapa pemimpin yang sebenarnya dengan jalan menyiapkan informasi lebih lanjut kepada masyarakat.

2. Mengevaluasi perilaku Yazid dan antek-anteknya sebelum dan sesudah peristiwa Karbala.

3. Mencerahkan rakyat dengan menjelaskan kebijakan dan niat buruk penguasa.

Wanita dan Karbala
1. Pembelaan sebelum terjadi peristiwa Karbala.
Sejarah Karbala sebuah sejarah yang memiliki kekhususannya sendiri. Sejarah yang penuh dengan cinta, ubudiah dan pengorbanan. Para wanita memainkan peran yang sangat penting. Mariah, seorang wanita dari kabilah Abdul Qais. Rumahnya, di Kufah, biasa dipakai sebagai tempat kumpul orang-orang yang mencintai Ahlul Bait as. Ketika mendapat kabar bahwa Imam Husein as telah sampai di Karbala, ia memerintahkan kepada laki-laki yang biasa hadir di rumahnya untuk membantu Imam Husein as.[1]

Mereka yang berani menolong utusan Imam Husein as, Muslim bin Aqil hanyalah wanita. Thau’ah ibu dari Walad, istri dari Asid al-Hadhrami yang memberikan tempat berlindung.[2]

Dalhum binti Amr, istri dari Zahir bin Qais, memarahi suaminya yang menolak bertemu dengan Imam Husein as ketika didatangi oleh utusannya. Mendengar itu, istrinya langsung memaksanya untuk menemui Imam Husein as. “Mengapa engkau menolak diajak oleh anak Rasulllah? Pergi dan dengarkan apa katanya! Begitu yang diucapkan oleh istrinya.[3] Setelah menemui Imam Husein as ia menceritakan apa yang terjadi. Ia akan bergabung dengan pasukan Imam Husein as. Istrinya sangat bahagia mendengar keputusannya itu.

2. Pembelaan di Karbala.
Peristiwa yang paling menggiriskan hati adalah ketika di Karbala. Padang pasir Karbala pada tanggal 10, mulai dari pagi hingga sore hari, menyaksikan pembantaian cucu Nabi. Para wanita juga melakukan tugasnya dengan baik.

Pada malam harinya tanggal 9 Muharam, Imam Husein as mengumpulkan sahabat-sahabatnya. Beliau mempersilahkan para sahabatnya untuk pergi meninggalkannya seorang diri. Karena musuh hanya mencarinya saja. Namun, mereka satu-satu menunjukkan sikap kekesatriaannya dan tidak bergeming dari niat sebelumnya, bersama cucu Rasulullah hingga titik darah penghabisan. Karena mereka bertahan, Imam Husein as meminta kepada mereka yang ikut bersama istrinya untuk membawa istrinya ke tempat yang aman. Sementara keluarga Imam Husein as tetap bersamanya di Karbala. Di sini, Imam Husein as tidak membawa anak-anak dan wanita dari keluarganya. Karena mereka adalah pembawa pesan Karbala.

Salah seorang sahabat bernama Ali bin Mazhahir kembali ke kemahnya, ia disapa oleh istrinya. ‘Apa yang dibicarakan oleh Imam Husein as?, tanyanya. Ali menyampaikan apa yang dikatakan oleh Imam Husein as. Seketika ia menangis tersedu-sedu. Ia berkata: “Wahai anak Mazhahiri! Engkau tidak bersikap adil terhadapku. Engkau ingin masuk surga seorang diri tanpaku”. Ali tidak tahan mendengar ucapan istrinya. Ia menemui Imam Husein as dan menyampaikan apa yang terjadi. Ia berkata: “Wahai Ibn Rasulullah! Istriku tidak bersedia dibawa ke tempat aman”. Sebelum Imam menjawab, tiba-tiba terdengar suara tangisan keras di balik kemah. Ia berkata: “Wahai anak Fathimah! Apakah kami tidak layak untuk membantu anak-anak dan saudara-saudaramu?”[4]

3. Pembelaan setelah peristiwa Karbala.
Topi Imam Husein as, pengalas topi perangnya, berasal dari kulit. Seseorang mengambilnya dan dibawa pulang. Topi itu dicuci karena terkena darah Imam Husein as. Istrinya, Ummu Abdillah, berkata: “Mengapa engkau mencuri pakaian cucu Rasullah dari anak perempuannya dan mencucinya di rumahku? Pergi! Keluar dari rumah ini![5]

Salah satu dari anggota pasukan Umar bin Saad bernama Khuli bin Yazid, membawa pulang kepala Imam Husein as ke rumahnya. Hal itu dilakukan karena pintu istana Ubaidillah tertutup ia terpaksa membawanya ke rumahnya. Ia meletakkan kepala Imam Husein as di rumah istri keduanya. Setelah meletakkan kepala Imam Husein as, ia mendekati istri keduanya, Nawwar dari kabilah Asad Hadhrami. Ketika ditanya oleh istrinya, ia menjawab bahwa ia membawa kejutan. Aku membawa kepala Husein dan kepala itu ada di rumahmu. Seketika istrinya berteriak dan menyuruhnya keluar dari rumah. Celakalah engkau yang telah membawa kepala cucu Rasulullah! Demi Allah! Aku tidak sudi bersamamu dalam satu atap. Ia berdiri dan keluar dari rumah sembari mengajak istri pertama.[6]

4. Pembelaan di Istana Yazid.
Ketika tawanan sampai di Syam, para tawanan dipersilahkan masuk ke dalam istana Yazid. Terlebih dahulu di sana telah ditancapkan kepala Imam Husein as di atas tombak. Zainab al-Kubra ketika memasuki ruangan dan melihat kepala saudaranya di ujung tombak, secara tiba-tiba langsung berteriak “Ya Husainaa.., Wahai kecintaan Allah! Wahai putra Mekkah dan Mina! Wahai putra Fathimah az-Sahra penghulu para wanita! Wahai putra dari anak wanita Musthafa![7]

Mendengar ratapan Zainab yang memilukan hati, semua yang hadir menangis tersedu-sedu. Yazid dan antek-anteknya hanya terdiam bungkam seribu bahasa. Zainab dengan cerdas memilih kata-kata yang memang pernah didengar oleh sebagin besar yang hadir. Hanya dengan beberapa ucapan, Zainab berhasil menguasai keadaan dan mengubahnya dari kebencian terhadap Husein menjadi kecintaan.

Epilog
Keberadaan wanita dalam menyukseskan misi Karbala memainkan peran yang sangat penting. Tidak memperhitungkan keberadaan mereka sama artinya dengan menafikan kesinambungan pesan Asyura. Pesan untuk umat manusia. Dan itu hanya dapat dilakukan oleh wanita.

[1] Abu Mikhnaf, Maqtal al-Husein, hal 18.
[2] . Ibid.
[3] . Ibid.
[4] . Muhammad Washif, Enghelab Mughaddas Husein as, 1386, hal 153.
[5] . Syaikh Abbas Qummi, Nafas al-Mahmum, Beirut, 1992, hal 132.
[6] . Ibid, hal 207.
[7] . Ibid, hal 13.


Qom 28 Januari 2007

Tidak ada komentar: