Sabtu, 24 Maret 2007

Hermeneutika Punya Banyak Kamar


Hermeneutika Punya Banyak Kamar

Saleh Lapadi

Benar, pemikiran Hermenutika falsafi yang diusung oleh Heidegger di abad kedua puluh yang kemudian dilanjutkan oleh muridnya Gadamer memberikan warna lain bagi hermeneutika. Pendekatan yang dilakukan lewat hermeneutika falsafi memang sangat dibutuhkan. Setiap peneliti masalah-masalah yang terkait dengan hermeneutika harus memberikan porsi yang besar untuk mengkaji hermeneutika Heidegger dan mereka yang menganut ide-idenya.

Setiap peneliti, yang ingin mengkaji metodologi tafsir teks tentang memahami matan, aliran-aliran dalam kritik sastra dan filsafat ilmu-ilmu sosial serta humaniora dan setiap aliran pemikiran yang akan dipilih, pasti membutuhkan kajian tentang substansi memahami secara umum dan analisa struktur keberadaannya. Dan studi tentang keduanya ini berhutang kepada Heidegger dan murid-muridnya. Namun, itu tidak dengan sendirinya membatasi bingkai hermeneutika hanya pada hermeneutika falsafi. Dalam masalah memahami dan tafsir matan, misalnya. Senantiasa ada saja kemungkinan untuk mengajukan teori baru dalam masalah memahami teks. Pemikiran yang semacam ini mungkin tidak akan dimasukkan ke dalam studi hermenutika falsafi namun dengan sendirinya ia adalah masalah hermeneutika. Ia tidak disebut sebagai pemikiran yang berada di luar bingkai hermeneutika.

Usaha memonopoli hermeneutika dan bingkainya pada kajian-kajian hermenutika falsafi secara umum yang mencakup mazhab Jerman (Heidegger-Gadamer) dan Prancis (Ricouer-Derrida) atau hanya terbatas pada Jerman saja tidak punya alasan logis sama sekali.

Dalam tulisan ini, penulis berusaha sebisanya akan memberikan beberapa alasan mengapa klaim yang semacam itu tidak memiliki dasar logis. Dan untuk itu, mengikuti gaya logika aristotelian (walaupun tidak lengkap karena tujuan tidak dibahas), penulis memilih beberapa tema yang diklaim dapat memberikan bingkai yang jelas tentang sebuah disiplin ilmu.

Definisi Hermeneutika

Dalam perjalanan sejarah yang tidak begitu lama, hermeneutika memiliki beragam definisi. Dan setiap definisi yang ada menggambarkan secara khusus tujuan dan bingkainya.

1. John Martin (1710-1759) menganggap bahwa ilmu-ilmu humaniora berlandaskan ‘seni tafsir’ (auslegekunst) dan hermeneutika adalah nama lainnya. Dalam memahami ibarat; lisan dan tulisan, pasti ada saja keburaman yang menghalangi seseorang untuk dapat memahaminya secara sempurna. Hermeneutika adalah seni untuk dapat memahami secara sempurna dari keduanya. Seni ini seperti ilmu logika yang memiliki sekumpulan kaidah yang dipergunakan untuk membantu menghilangkan keburaman.[1]

2. Frederick August Wolf, pada ceramah-ceramahnya sekitar tahun1785-1807 tentang ‘ensiklopedia pengetahuan dan studi-studi klasik’ mendefinisikan hermeneutika sebagai berikut: ‘Ilmu tentang kaidah-kaidah yang dapat memaknai simbol-simbol.’ Ditambahkan olehnya, tujuan ilmu ini adalah mempersepsi pikiran-pikiran ujaran dan tulisan seorang penulis atau pengujar sesuai dengan apa yang dipikirkan. Penerimaan tafsir dan kegunaan hermeneutika menunjukkan bahwa ‘memahami’ tidak cukup dengan mengetahui bahasa matan namun memerlukan juga studi sejarah. Sejarah kehidupan penulis dan lingkungan tempat tinggalnya. Mufassir yang ideal adalah mengetahui apa yang diketahui oleh sang penulis.[2]

3. Schelear Macher (1768-1834), memandang hermeneutika sebagai ‘seni memahami’. Ia sangat memperhatikan masalah kesalahan pemahaman. Dan atas dasar itu ia beranggapan bahwa tafsir matan selalu dalam cobaan berat salah paham. Oleh karenanya, hermeneutika harus diupayakan sebagai sekumpulan kaidah dan metode yang dapat diajarkan guna mencegah bahaya salah paham. Tanpa kaidah dan metode ini usaha untuk memahami tidak akan pernah terwujudkan.[3]

Perbedaan definisi ini dengan pertama adalah John Martin beranggapan bahwa kebutuhan akan hermeneutika hanya ketika ada keburaman dalam usaha memahami matan. Sementara Sylaikherr Makher mengatakan bahwa seorang mufassir dalam usahanya untuk memahami matan senantiasa membutuhkan hermeneutika. Karena, menurutnya, hermeneutika tidak diadakan untuk menghilangkan keburaman melainkan sebuah ilmu yang dapat mencegah seorang mufassir dari salah paham.

4. Willhelm Dilthey (1833-1911), memandang hermeneutika adalah ilmu yang bertugas mengenalkan metodologi ilmu-ilmu humaniora. Tujuan asli dari hermeneutika Dilthey adalah mengangkat nilai ilmu-ilmu humaniora sebanding dengan ilmu-ilmu eksak.

Menurut pendapatnya, rahasia mengapa orang lebih dapat menerima proposisi-proposisi ilmu-ilmu eksak terletak pada transparansi metodologi yang dimilikinya. Dari sini, agar ilmu-ilmu humaniora dapat dikategorikan ilmu, maka hendaknya metodologinya harus dikaji secara serius sehingga prinsip-prinsipnya yang kokoh dan sama bagi semua pondasi pembenaran dan proposisi-proposisi ilmu-ilmu humaniora menjadi jelas.[4]

5. Bubner, salah satu penulis modern Jerman, dalam sebuah artikel ‘supremasi hermeneutika’ yang ditulis pada tahun 1975 mendefinisikan hermeneutika sebagai ‘ide-ide memahami’.[5]

Definisi ini dengan hermeneutika falsafi Heidegger dan Gadamer memiliki kesamaan. Hal itu dikarenakan tujuan hermeneutika falsafi adalah memerikan substansi memahami. Hermeneutika falsafi, berbeda dengan hermeneutika sebelumnya, tidak terbatas pada masalah memahami matan saja dan tidak juga terbingkai hanya pada ilmu-ilmu humaniora, melainkan mutlak pemahaman serta analisa realita pemahaman dan menjelaskan syarat-syarat keberadaan untuk menghasilkan itu.

Lima definisi di atas adalah sebagian dari definisi yang ada tentang hermeneutika. Namun kelima definisi ini setidak-tidaknya mampu menggambarkan keluasan pembahasan hermeneutika. Bagaimana semakin ke sini semakin beragam dan luas. Mengkaji ini mulai dari bingkai pengenalan hermeneutika sebagai penuntun untuk tafsir matan agama dan hukum hingga bingkai pengenalannya sebagai kritik falsafi dalam kajian substansi pemahaman dan syarat-syarat keberadaan menghasilkannya.

Keluasan bahasan hermeneutika secara transparan menunjukkan bahwa setiap definisi yang ada tidak mampu berlaku sebagai definisi lengkap bagi seluruh hasil pemikiran yang dikategorikan sebagai hermeneutika. Dan ini tidak hanya terbatas pada definisi-definisi yang telah disebutkan, bahkan secara praksis hampir tidak mungkin mendapatkan definisi, yang disebut oleh logika aristotelian jami’ dan mani’, yang mencakup seluruh aliran yang ada di dalam bingkai hermeneutika itu sendiri.

Bingkai Hermeneutika

Richard Palmer dalam usahanya untuk menjelaskan bingkai hermeneutika tanpa membatasinya hanya pada hermeneutika falsafi membagi hermeneutika dalam tiga kategori umum:

1. Hermeneutika khusus, yang menggambarkan bentuk pertama dan bagaimana terbentuknya hermeneutika sebagai cabang ilmu. Hermeneutika khusus ini berusaha untuk memperbaiki kualitas tafsir teks pada sebagian cabang ilmu seperti hukum, sastra, kitab suci dan filsafat. Hermeneutika khusus ini juga dikenal memiliki sekumpulan kaidah-kaidah dan metode untuk keperluan di atas. Dan setiap disiplin ilmu memiliki metodenya sendiri-sendiri. Dengan demikian, hermeneutika setiap disiplin ilmu terkait erat dengan disiplin itu sendiri. Sebagai contoh, hermeneutika yang dipakai untuk menafsirkan kitab suci tidak diambil dari tafsir teks sastra klasik.[6]

2. Hermeneutika umum, yang dapat dikategorikan dalam hermeneutika metodologis. Hermeneutika umum berusaha untuk memperkenalkan metode pemahaman dan tafsir. Namun, yang perlu mendapat penekanan adalah bagian hermeneutika yang mementingkan metodologi ini tidak terbatas pada sebagian ilmu tapi terkait dengan cabang-cabang ilmu yang memiliki kecenderungan tafsir. Aliran ini dimulai semenjak abad ke tujuh belas. Dan orang pertama yang menjelaskan keharmonisan dan sistem pemikiran ini adalah Sylaikher Makher, seorang teolog Jerman.

Pemikiran inti hermeneutika umum ini bertumpu pada pra anggap bahwa ada kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip umum yang memiliki otoritas dalam memahami matan tanpa tergantung pada jenis matannya. Seorang ahli hermeneutika umum senantiasa berusaha untuk memperbaiki dan menyusun kaidah-kaidah umum ini.

Usaha yang dilakukan Willhelm Dilthey dapat dimasukkan dalam kelompok hermeneutika umum. Hal itu dikarenakan pra anggap yang dimilikinya sesuai dengan hermeneutika umum. Bedanya, hermeneutikanya mencakup seluruh ilmu-ilmu humaniora. Dilthey meyakini bahwa perbuatan, ujaran dan tulisan manusia semuanya memberi hikayat akan kehidupan pemikiran dan kedalaman diri manusia dan ilmu-ilmu humaniora dalam keluasan dan keragamannya harus berusaha untuk sampai pada kehidupan dalam diri manusia selaku pemilik semua perbuatan dan hasil yang ada. Semua ini harus mengikuti prinsip, kaidah dan metode umum. Tugas dan tanggung jawab hermenutika adalah menyusun dan memilih dan memilah prinsip dan kaidah yang ada. Penjelasan yang kokoh dan benar metodologi yang berkuasa atas ilmu-ilmu humaniora.

3. Hermeneutika falsafi, yang muncul dari perenungan filosofis tentang fenomena pemahaman manusia. Hermeneutika falsafi tidak punya keinginan untuk memperkenalkan sebuah metode dan menjelaskan prinsip-prinsip yang mengatur lalu lintas pemahaman manusia dan tafsir; baik itu dalam metode memahami matan atau dalam seluruh ilmu humaniora. Bila diteliti lebih dalam lagi, hermenutika falsafi tidak hanya menunjukkan keengganannya untuk memperkenalkan sebuah metode bahkan lebih dari itu melakukan kritik terhadap metodologi yang ada.[7]

Dengan melihat bingkai ketiga kelompok yang saling berbeda dalam masalah bingkai hermeneutika yang coba diklasifikasikan oleh Pamer setidak-tidaknya menjadi jelas bahwa membatasi bingkai hermeneutika hanya pada salah satu dari ketiganya sangat tidak berdasar. Pada kenyataannya, atas nama hermeneutika, ketiga model ini tetap masih melakukan aktivitasnya secara serius dan mengembangkan apa yang menjadi keyakinannya. Tidak benar, dengan datangnya sebuah model yang baru kemudian model lama tidak terpakai dan ditinggalkan oleh pengikutnya. Lebih dari itu, sangat naif sekali bila dengan bertumpu pada satu model yang ada kemudian menafikan atau sekurang-kurangnya menganggap usaha yang dilakukan oleh mode yang lain sebagai keluar dari bingkai hermeneutika.

Hermeneutika Tanpa Nama

Hermeneutika dikenal sebagai sebuah disiplin ilmu semenjak abad ketujuh belas. Namun, sebelum dan sesudahnya, sepanjang sejarah senantiasa ada saja pemikiran yang diperkenalkan tanpa menyebut dirinya sebagai hermeneutika. Sementara pemikiran tersebut memiliki klasifikasi untuk disebut sebagai hermeneutika setidak-tidaknya bagian darinya. Untuk pemikiran-pemikiran ini sebagian orang menggolongkan mereka dalam hermeneutika tanpa nama.

St. Agustin filsuf dan teolog Kristen memiliki saham dan pengaruh yang sangat besar terhadap hermeneutika modern. Heidegger dan Gadamer banyak dipengaruhi oleh pemikiran St. Agustin. Heidegger dalam bukunya Being and Time dan dalam sebagian dari ceramah-ceramahnya berulang-ulang kali menyebut nama Agustin. St. Agustin memiliki artikel yang ditulisnya dengan judul On Christian Doctrin yang menurut sebagian orang dalam sejarah pemikiran merupakan tulisan yang paling mempengaruhi hermeneutika.[8]

Penelitian hermeneutika St. Agustin dipusatkan pada paragraf buram dalam kitab suci. Ia berkeyakinan bahwa kitab suci jelas dan dapat dipahami. Dengan pandangannya ini ia dibedakan dengan mereka yang menganggap bahwa semua kitab suci bersifat simbolik dan penuh dengan rumusan. Menurutnya, kebutuhan akan hermeneutika terbatas pada paragraf buram dan belum jelas yang dapat menghalangi usaha memahami kitab suci. Usaha ini dapat disebut sebagai fondasi penyusunan prinsip-prinsip hermeneutika.

Frederick Willhelm Nitzche (1844-1900), filsuf Jerman yang dapat disebut sebagai salah satu mata rantai terbentuknya pemikiran hermeneutika dalam karya-karyanya. Pemikiran paling pentingnya yang membuatnya masuk dalam kategori ini adalah keyakinannya akan interpretasi untuk semua pemahaman manusia. Nitzche memulainya dari sebuah keyakinan bahwa hakikat setiap sesuatu tidak dapat dipahami bahkan apa yang kita pahami hanyalah sebatas interpretasi manusia. Penafsiran ini muncul dari perspektif dan asumsi-asumsi yang dimiliki sebelumnya.

Ide bahwa semua pemahaman manusia hanyalah interpretasinya sendiri sangat ditekankan oleh hermeneutika falsafi. Dan Heidegger dalam bukunya Being and Time menunjukkan bahwa pemahaman manusia atas sesuatu, pribadi-pribadi dan diri kita sendiri senantiasa berupa hermeneutika. Maksud dari ‘pemahaman hermeneutik’ adalah senantiasa pemahaman didahului oleh ‘fore sight’ dan ‘fore structure’ yang memiliki banyak kesamaan dengan studi yang dilakukan oleh Nitzche akan dipengaruhinya persepsi manusia dengan asumsi sebelumnya.

Dalam tulisan-tulisan para pemikir seperti Ludwig Wittgeintein dan Edmund Husserl dapat ditemukan kajian-kajian yang masih sangat dekat dengan masalah hermeneutika. Heidegger seindiri metode fenomenologinya dipelajarinya dari gurunya Edmund Husserl.

Dengan penjelasan ringkas di atas, terungkap sebuah realitas lain bahwa kajian-kajian hermeneutika tidak terbatas pada tulisan-tulisan resmi dari aliran-aliran yang ada dalam hermeneutika itu sendiri. Banyak tulisan-tulisan yang tidak menamakan dirinya sebagai hermeneutika namun inti kajiannya tidak berbeda jauh dengan yang dikaji oleh para pemikir yang kemudian disebut hermeneutika.

Hermeneutika dan Islam

Hermeneutika sebagaimana disiplin ilmu lainnya yang baru muncul tidak memiliki tempat tersendiri dalam Islam. Dan dengan sendirinya, sebuah kajian terpisah bernama hermeneutika tidak dikenal dalam ilmu-ilmu Islam. Para ilmuwan Islam baik itu dari jajaran filsafat, teologi, tafsir, usul fikih juga tidak memiliki sebuah kajian terpisah dengan judul hermeneutika. Namun, sebagaimana pada sub judul hermeneutika tanpa nama yang telah disebutkan di atas, sangat mungkin sekali sebagian kajian yang terkait dengan bahasan-bahasan hermeneutika dalam pemikiran keagamaan telah disinggung. Dan satu hal yang perlu mendapatkan penekanan di sini adalah dengan keragaman aliran hermeneutika sebagian dari kajian yang dilakukan oleh ilmuwan Islam memiliki kesamaan dengan satu dari aliran yang ada dan berbeda penuh dengan aliran yang lain. Hal yang telah disinggung dalam sub judul bingkai hermeneutika.

Hermeneutika, sebelum Heidegger, secara intens hanya membatasi kajian-kajiannya pada tafsir matan dan mengkonstruksi kualitas tafsir dan memperbaiki metode memahami teks dengan benar. Hermeneutika falsafi, sekalipun tujuan aslinya tidak untuk masalah memahami matan saja namun, memiliki perhatian yang lebih dengan masalah ini. Sementara itu, ilmu-ilmu Islam dalam cabang-cabangnya dan secara khusus fikih, teologi dan tafsir memiliki hubungan yang luas dengan memahami dan tafsir matan agama. Oleh karenanya, ilmuwan Islam dalam usahanya melakukan pendekatan terhadap teks-teks agama memiliki metode tafsir sendiri dan khas. Kajian-kajian ilmuwan Islam dalam berbagai bidang bila dibandingkan dengan aliran dalam hermeneutika lebih mirip dan dekat dengan aliran tafsir matan sekalipun tidak pernah memakai jubah hermeneutika untuk dirinya.

Tiga bidang dari ilmu-ilmu Islam; fikih, teologi dan tafsir, adalah yang paling bertanggung jawab untuk memilih dan memilah masalah-masalah tafsir teks dalam usaha memahami matan agama. Oleh karenanya, pada pengantar ketiga ilmu ini ada pembahasan yang dikhususkan untuk itu. Namun tentunya kajian yang dilakukan masih sangat klasik. Dan itu dapat ditemukan di dua tempat.

Pertama dan lebih dari yang lain, dalam ilmu usul fikih. Ilmu usul fikih bertanggung jawab untuk melakukan koreksi terhadap prinsip-prinsip yang bakal dipakai dalam proses penyimpulan sebuah hukum. Seluruh pembahasan yang dimilikinya tidak terbatas pada usaha membangun prinsip-prinsip memahami matan saja. Hal itu dikarenakan dalil-dalil fikih dan sumber-sumber penyimpulan hukum tidak terbatas pada dalil naqli; Al-Quran dan Hadis. Namun pun demikian, harus dikatakan bahwa sebagian dari pembahasan ilmu usul fikih terkait erat dengan memahami matan dan prinsip-prinsip tentang memahami matan agama yang sering disebut ‘mabahits al-fazh’.

Kedua, dalam pengantar ilmu tafsir, secara terpencar-pencar, para mufassir biasanya mengkaji masalah-masalah yang berhubungan dengan kualitas pemahaman dan tafsir Al-Quran. Masalah ini sendiri adalah hermeneutika. Sebagai contoh, Allamah Thaba’thaba’i dalam tafsirnya Al-Mizan memunculkan sebuah metode tafsir yang disebutnya tafsir Quran dengan Quran (tafsir Al-Quran bi Al-Quran). Metode yang dibawakannya menambah keragaman metode tafsir Al-Quran dalam ilmu tafsir. Kajian ini dengan sendirinya adalah hermeneutika.

Penutup

Cara pandang hermeneutika falsafi tentang pemahaman secara mutlak dan memahami dan tafsir matan secara khusus adalah sesuatu yang baru dalam pemikiran Islam. Dapat dikatakan bahwa pandangan yang dapat mewakili Islam dan dapat disamakan dengan hermeneutika falsafi sampai saat ini belum ditemukan. Bahkan dalam masalah memahami dan tafsir matan ada perbedaan yang sangat mencolok bahkan sampai pada tahap bertentangan.

Namun, kenyataan ini tetap tidak dapat dijadikan justifikasi untuk memvonis bahwa masalah hermeneutika tidak ada dalam Islam. Karena, sekali lagi, hermeneutika falsafi yang diusung dan dimulai oleh Heidegger dan yang lain-lainnya bukan satu-satunya hermeneutika sebagaimana telah diuraikan sebelumnya sehingga dengannya kita membingkai hermeneutika dan menjadikannya sebagai juru bicara tunggal hermeneutika.


[1] . The Hermeneutics Reader, Edited by Kurt muller volmer, Basic Black well, 1986.

[2] . Routledge Encyclopedia of Philosophy, vol 4, Edited bu Edward Raib, 1998.

[3] . Gondin, Jean: Sources of Hermeneutics, sate university of new york press, 1995.

[4] . Grondin, Jean: Introduction to Philosophichal Hermeneutics, Yale university press, 1994.

[5] . The Hermeneutics Reader.

[6] . Contemporary Philosophy, Edited by G. Floistad, Martinus nijhoff publishers, 1982.

[7] . Ini dapat dilihat dalam tulisan Gadamer, Truth and Method.

[8] . Introduction to Philosophichal Hermeneutics.

Tidak ada komentar: