Jumat, 19 Januari 2007

POLIGAMI: Sebuah Usaha Memahami Teks

POLIGAMI: Sebuah Usaha Memahami Teks
Oleh: Emi Nur Hayati Ma’sum Said

Sejarah mencatat bahwa poligami telah ada sebelum datangnya Islam. Sekaitan dengan masalah poligami yang ada pada umat terdahulu, Islam tidak menghapusnya. Islam menjelaskan tujuan puncak dari sebuah perkawinan di mana poligami merupakan sebuah kajiannya. Dalam masalah poligami, Islam tidak diam saja membiarkan apa yang telah terjadi dahulu melainkan seperti biasanya, untuk mensejajarkannya dengan tujuan puncak yang telah digariskannya, Islam memberikan beberapa aturan-aturan. Syarat-syarat dan batasan-batasan tertentu telah disiapkan. Tentunya, hal itu tidak lain untuk menanggulangi dampak sosial yang bakal terjadi. Dan itu semua karena sang pembuat hukum ini adalah Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.

Poligami bukan sekedar sarana untuk menyalurkan syahwat, tetapi ada tujuan-tujuan mulia dibaliknya yang perlu diperhatikan. Sekali lagi, memandang masalah poligami tidak boleh terlepas dari masalah perkawinan itu sendiri. Apa yang menjadi tujuan sebuah perkawinan, juga harus ada pada poligami. Memisahkan masalah poligami dari perkawinan adalah awal terjerumusnya siapa saja yang ingin mengkaji masalah poligami. Tujuan poligami tidak lepas dari tujuan perkawinan. Dan, perkawinan sebagai salah satu perintah Allah tidak lepas dari tujuan penciptaan manusia. Dengan kondisi yang seperti ini, bila tujuan penciptaan manusia adalah penyembahan kepada-Nya[1] yang akan berakhir pada liqa’ullah[2], maka salah satu elemen yang dapat menghantarkan manusia mencapai tujuan penciptaannya adalah perkawinan. Itulah mengapa Nabi saw. dalam hadis masyhurnya, perlu menekankan bahwa "An Nikahu sunnati ..." perkawinan adalah sunnahku, dan barang siapa yang membencinya bukan termasuk ummatku.[3] Nah, bila perkawinan merupakan sebuah unsur yang dapat membantu seorang hamba mendekatkan diri kepada Allah maka poligamipun demikian. Perkawinan adalah jembatan bagi pasangan suami dan isteri untuk meraih ketenangan, cinta dan kasih sayang maka poligami juga bertujuan untuk itu. Allah menjadikan pasangan untuk kalian dari jenis kalian sendiri; supaya kalian merasakan ketenangan dan menjadikan diantara kalian cinta dan kasih sayang; sesugguhnya yang demikian ini adalah tanda-tanda bagi orang-orang yang berpikir.[4]

Dua tujuan perkawinan yang telah disebutkan mewakili tujuan-tujuan yang sifatnya non materi. Sedangkan dimensi materi tujuan sebuah perkawinan setiap orang berbanding searah dengan jumlah yang melakukannya. Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana juga memberi beberapa tuntunan mengenai tujuan perkawinan yang sifatnya materi ini. Salah satu tujuan perkawinan adalah untuk mendapatkan keturunan. Namun, tidak sembarangan keturunan harus dihasilkan. Keturunan yang hendaknya dapat menghantarkan mereka (orang tua dan anak) mencapai tujuan yang telah disinggung di atas. Allah berfirman: "Dan orang-orang berdoa, Ya Allah! karuniakanlah kami isteri dan anak-anak yang baik dan menyenangkan dan jadikanlah kami pemimpin orang-orang yang beriman".[5] Perkawinan merupakan sarana untuk mengendalikan dan menyalurkan kebutuhan seks. Perkawinan dapat mencegah perzinahan, Imam Shadiq as. berkata: "Sesungguhnya orang yang paling dahsyat azabnya pada Hari Kiamat adalah yang meletakkan nutfahnya dalam rahim yang haram baginya (zina)".[6] Perkawinwn adalah sebuah lembaga yang dapat menyelesaikan banyak masalah sosial manusia. Tujuan yang seperti itu dimiliki juga oleh poligami.

Kebolehan poligami dalam Islam jangan dipandang sebagai keharusan. Sebagaimana perkawinan itu sendiri tidak harus (baca: wajib) bagi setiap orang. Boleh jadi kondisi seseorang mengharuskannya untuk menikah, namun bagi orang lain haram dan yang lainnya sunnah, makruh atau sah-sah saja (mubah). Semua bergantung pada kondisi pribadi masing-masing. Poligami pun demikian. Poligami dalam islam tidak disyareatkan untuk semua orang. Hukum poligami disiapkan oleh Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana untuk menanggulangi beberapa masalah yang ditemui oleh pasangan suami isteri dalam perkawinannya atau karena tujuan-tujuan yang lebih penting lainnya. Sebagaimana hal itu dengan gamblang disebutkan pada awal ayat yang membolehkan berpoligami.[7]

Sekalipun kedua syarat di atas (adanya problem dalam rumah tangga baik dari sisi suami atau wanita dan guna meraih tujuan mulia lainnya) telah dimiliki oleh seseorang bukan berarti ia langsung bisa melakukan poligami begitu saja. Ada satu hal penting yang harus dimiliki seorang suami. Dan, itu adalah siap untuk berlaku adil. Sebagaimana disebutkan pada akhir ayat tiga surat An Nisa’: "...Bila kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka seyogyanya beristeri tidak lebih dari satu ....".

Syarat terakhir (berlaku adil) yang diberlakukan oleh Allah bukan untuk memberatkan apalagi mengharamkan masalah poligami, namun itu lebih nyata pada dampak sosial yang akan terjadi bila seorang suami tidak berlaku adil kepada isteri-isterinya. Terlebih-lebih ayat tersebut berkaitan erat dengan pengasuhan anak yatim. Setelah ditinggal ayahnya ia masih harus menerima perlakuan yang tidak adil dan itu tentunya akan diwarisinya. Artinya generasi yang akan dihasilkan bukan yang baik dan menyenangkan dan bisa mendoakan orang tuanya malah sebaliknya. Dan ini bertolak belakang dengan tujuan perkawinan itu sendiri. Terlebih-lebih isteri dan anak adalah amanat ilahi yang perlu dijaga dan jangan membiarkannya rusak. Syarat harus berlaku adil adalah untuk membantu suami agar dapat menjaga amanat ilahi dengan lebih baik.

Dalam poligami tidak ada masalah yang sulit sebagaimana yang dibayangkan banyak orang. Masalah poligami kembali pada penerapannya. Kesiapan seorang suami dituntut sebelum melakukan poligami. Sama seperti kesiapan calon suami isteri untuk melakukan perkawinan. Semua perbedaan-perbedaan yang ada dibicarakan untuk ditanggulangi dikemudian hari. Dalam melakukan poligami paling sedikit ada tiga orang yang berperan. Pertama, suami kemudian isteri pertama dan terakhir isteri kedua, begitu seterusnya sampai isteri keempat.. Namun yang paling berperan adalah sang suami.

Berbicara mengenai penerapan poligami dapat ditinjau dari berbagai macam sudut, namun dengan tanpa melupakan tiga syarat di atas. Dengan tidak mengindahkan ketiga syarat-syarat di atas memang seseorang masih saja dapat melakukan poligami. Hal itu dikarenakan tidak adanya teks-teks agama yang mengharamkannya. Namun, hal itu akan memiliki dampak negatif yang luas. Pertama, Orang akan memandang Islam mensyariatkan sesuatu yang malah memiliki akibat sebaliknya dari yang diinginkan. Inginnya memberi petunjuk namun malah membuat banyak orang memandang negatif kepadanya. Kedua, wanita-wanita yang menjadi “korban” poligami akhirnya membenci aturan syariat agama. Kedua hal inilah yang paling mendasar buat mereka yang tidak meyakini atau sekurang-kurangnya tidak menerima hukum poligami. Benar, kedua-duanya yang menanggungnya adalah wanita. Akhirnya, poligami bukan hanya tidak memiliki tujuan-tujuan mulia bahkan isinya, kata sebagian orang, hanya dehumanisasi wanita.

Satu hal yang sering terlupakan adalah penerapan yang akhirnya menimbulkan dampak negatif ini (baca: salah) disikapi sebagai pandangan Islam juga. Padahal, penerapan yang ada biasanya hanya mengambil halalnya saja sementara syarat-syarat dan aturan-aturannya tidak pernah diperhatikan. Lebih dari itu, sebenarnya penerapan poligami lebih didominasi oleh budaya masyarakat setempat. Islam memiliki tuntunan-tuntunan berkaitan dengan poligami dan tidak hanya tiga syarat penting di atas. Namun ini tidak pernah diperhatikan dengan baik oleh mereka yang akan melakukan poligami. Dan di sisi lain, kelemahan ulama dalam mensosialisasikan masalah ini kepada masyarakat. Akan tetapi, ini bukan menjadi bukti bahwa penyelewengan yang dilakukan atas nama poligami bersumber semuanya dari Islam.

Beberapa alasan dikemukakan berkenaan dengan penolakan akan poligami. Namun, dalam tulisan ini akan coba diangkat beberapa kritikan yang oleh penulis bisa menjadi titik temu beberapa alasan sekaligus.
Dari sisi dalil; ayat al-Quran dan hadis menyatakan bahwa poligami dilarang dan bukan sunnah Nabi.
Dari sisi sejarah; telah terjadi lembaran-lembaran hitam dalam sejarah bahwa wanita menjadi korban dan budak nafsu kaum laki-laki pelaku poligami.
Dari sisi kesejahteraan; poligami penyebab terlantarnya isteri tua dan anak-anak yang pada akhirnya menambah jumlah keluarga broken home.

"Nikahilah sebagian dari perempuan yang sesuai bagi kalian; dua, tiga atau empat".[8] Kalau sebagian orang mengatakan bahwa poligami adalah bukan sunnah nabi dan dilarang oleh al-Quran. Dalil mereka adalah menggabungkan dua ayat 3 dan ayat 24 surat Nisa': “Jika kalian takut tidak bisa berbuat adil maka cukup satu isteri saja” . Ayat berikutanya mengatakan: “Sama sekali kalian tidak akan bisa berbuat adil”. Karena ayat yang pertama menyatakan bolehnya berpoligami dengan syarat menjaga keadilan diantara isteri-isteri, sementara ayat kedua menunjukkan bahwa tidak adanya kemungkinan bagi suami untuk menjaga keadilan diantara para isteri. Maka kesimpulan dari penggabungan dua ayat ini adalah pelarangan poligami.

Jelas, bahwa penggabungan dua ayat dengan bentuk semacam ini hasilnya tidak lain kecuali hanya menggeserkan ayat-ayat al-Quran. Bagaimana mungkin dari satu sisi Allah mengizinkan manusia untuk berpoligami dengan mensyaratkan berbuat adil diantara para isterinya dan dari sisi lain mengatakan bahwa: kalian sama sekali tidak akan bisa berbuat adil, otomatis hasilnya adalah poligami dilarang. Perkataan manusia biasa saja tidak bisa kita terima apalagi perkataan Allah yang maha fasih dan tinggi bahasa-Nya. Allah dalam memberikan taklif (wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah) kepada hambanya senantiasa berdasarkan hikmah-Nya. Allah tidak menugaskan seseorang kecuali berdasarkan kemampuannya (Baqarah 286). Untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan apa yang dimaksudkan Allah, ketika kita menggabungkan dua ayat ini, kita harus melihat kalimat akhir dari ayat 129 Nisa', sehingga jelas keadilan apa yang diminta oleh Allah dari laki-laki yang mau berpoligami. Akhir ayat 129 mengatakan “ wa lan tastatiu an ta’dilu bain annisai wa lau harastum” kalian tidak akan pernah bisa berbuat adil diantara isteri-isteri kalian. ayat ini menunjukkan pada keadilan yang tidak mungkin bisa dilakukan artinya menjaga persamaan secara mutlak diantara para isteri, itu tidak mungkin terjadi. Karena keadilan dalam berpoligami ini ada dua macam; Pertama, keadilan secara hukum (qanun) seperti memenuhi kebutuhan materi dan ini bukan tidak mungkin bisa dilakukan. Kedua, keadilan menjaga persamaan secara mutlak diantara para isteri dalam hal cinta dan kasih sayang dan ini tidak mungkin bisa dilakukan, karena hal ini diluar ikhtiyar manusia. Dan wajar kalau terjadi perbedaan dalam mencintai dan menyayangi seseorang, maka perbedaan ini akan menyebabkan perbedaan juga dalam memperlakukannya. Dengan demikian, bila seseorang memiliki isteri lebih dari satu dan dia ingin memperlakukan semua isterinya secara sama baik dalam memenuhi kebutuhan materi maupun batin di antara mereka, hal ini tidak mungkin terjadi. Karena semua orang tidak ada yang memiliki kesamaan antara satu dengan lainnya. Boleh jadi yang satu lebih cantik dan yang lain agak jelek, atau yang satu lebih muda dan yang lain lebih tua, yang satu lebih menarik dan yang lain tidak menarik dan perbedaan-perbedaan lain yang ada pada setiap isteri. Perbedaan yang ada pada setiap isteri inilah dengan sendirinya akan menyebabkan perbedaan derajat cinta suami terhadap mereka dan perbedaan rasa cinta ini juga dengan sendirinya akan mempengaruhi perlakuan lahiriyah suami terhadap mereka. Allah tidak menginginkan keadilan yang semacam ini (dari sisi batin seperti cinta dan kasih sayang) dari hambanya untuk menjaganya secara sama karena hal ini tidak mungkin, akan tetapi yang diminta Allah adalah suami jangan sampai berlebihan dalam memperhatikan kebutuhan salah satu dari para isteri, sementara dia tidak menghiraukan yang lainnya, sehingga isteri yang diabaikan kelihatan bukan sebagai isterinya dan jangan sampai terjadi salah satu dari isterinya merasa tidak mendapatkan keadilan dari suaminya sekalipun itu kebutuhan materi. Inilah yang bisa kita pahami dari ayat “wa lan tastatiu an ta’dilu bainan nisai wa lau harastum fa la tamilu kul almaili fatadzaruha ka al mu’allaqah”.[9]

Untuk mencerahkan pemikiran sebagian orang yang mengatakan bahwa wanita menjadi korban dan budak nafsu kaum laki-laki pelaku poligami, kita katakan bahwa penetapan hukum poligami yang ada dalam islam tidak berlaku untuk setiap orang laki-laki, melainkan hanya bagi mereka yang sudah mempertimbangkan apakah kalau dia melakukan poligami tidak menyebabkan munculnya keburukan baik untuk keluarganya maupum masyarakat, bahkan dengan poligami justru mendatangkan kebaikan dan rahmat bagi keluarga dan lingkungan masyarakatnya. Kebaikan hukum poligami kembalinya pada kehidupan masyarakat. Batasan-batasan dan ketentuan yang ditetapkan juga dengan tujuan mencegah terjadinya keburukan yang sudah dipertimbangkan sebelumnya. Dengan demikian praktek poligami bisa dilakukan oleh orang yang meyakini bahwa dirinya mampu menjaga keadilan diantara isteri-isterinya.

Ketika seorang laki-laki berkeyakinan bahwa dirinya mampu menjalankan syarat-syarat poligami dan memiliki sarana untuk melakukannya, maka dialah salah satu dari orang yang diizinkan oleh agama untuk berpoligami. Sebaliknya orang yang hanya memikirkan kebutuhan pribadinya dengan tanpa melihat kebaikan dan keburukan keluarganya, dia hanya sibuk memenuhi kebutuhan seksnya, dia berpikir bahwa perempuan hanya sebagai sarana dan alat untuk memenuhi syahwat laki-laki; islam tidak mengizinkan orang semacam ini untuk berpoligami.[10]

Yang sangat disesalkan adalah adanya praktek-praktek poligami yang dilakukan oleh penguasa-penguasa Islam setelah terjadinya perubahan sistem pemerintahan agamis menjadi sitem pemerintahan dinasti. Ironisnya, pengalaman semacam ini mereka nisbatkan kepada Islam. Sementara Islam tidak membenarkan praktek mereka. Yang terpenting disini adalah bahwa undang-undang dan hukum Islam dari sisi dasar dan metode dengan undang-undang yang ada dikalangan masyarakat sangat berbeda. Undang-undang sosial yang ada pada masyarakat tertentu bisa berubah bersamaan dengan perubahan waktu dan bergantung dengan kebutuhan mereka; undang-undang islam (wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah) selamanya tidak akan berubah. Sekaitan dengan hukum mubah seseorang bisa meninggalkannya atau mengerjakannya. kalau seseorang ingin berpoligami dengan dasar kebaikan. Artinya, dia tidak merubah hukum poligami. karena poligami itu hukumnya mubah maka seseorang bisa meninggalkannya. Dengan demikian karena hukum poligami dibolehkan bukan berarti harus dilakukan bahkan boleh juga untuk ditinggalkannya. Karena Islam yang menetapkan hukum poligami, maka jika terjadi pelecehan terhadap kaum perempuan, itu bukan berarti islam yang salah, tapi karena penerapannya yang salah yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mendapatkan izin dari Islam untuk berpoligami.

Sebagaimana yang kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari keluarga poligami sering terjadi isteri tua tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari suami dan anak-anak juga tidak mendapatkan kasih sayang dan pendidikan yang cukup dari ayahnya. Hal inilah yang menjadi masalah dan kekhawatiran kaum perempuan dan orang-orang yang kontra poligami. Masalah ini juga kembalinya kepada pribadi-pribadi yang tidak memiliki syarat untuk berpoligami. Kalau terjadi pelanggaran dalam penerapan poligami bukan berarti kita harus mempersalahkan hukumnya karena sebagaimana pembahasan diatas bahwa penetapan hukum poligami dalam Islam bukan berlaku untuk setiap orang tetapi untuk orang-orang yang memiliki syarat-syarat berpoligami. Bahkan yang terpenting adalah bagaimana menyelesaikan masalah mereka. Tentu saja harus di lihat apakah problem yang terjadi ada kaitannya dengan hukum (undang-undang) atau dengan moral. Kalau problem yang terjadi ada kaitannya dengan hukum seperti; isteri tidak mendapatkan haknya secara layak, maka dia bisa mengadukan masalahnya kepada pengadilan, namun bila kasusnya berkaitan dengan moral bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Kesimpulannya, bahwa Islam menetapkan segala bentuk hukum tidak keluar dari tabiat dan fitrat manusia, hukum wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah semuanya untuk kemaslahatan manusia. Dari sekian banyak hukum yang menjadi pembahasan kita adalah poligami. Kalau poligami mendatangkan keburukan maka kita harus kembali pada personnya bukan malah menyalahkan hukum Allah. dan kita cari jalan penyelesaian dengan melihat apakah masalahnya bisa diselesaikan secara hukum atau dengan cara merubah pemikiran pelakunya jika masalahnya berkaitan dengan moral.

Dengan demikian maka jelaslah bahwa poligami bukanlah sesuatu yang perlu dikhawatirkan sebagaimana sebagian orang merasa ketakutan dengan poligami. Khususnya kaum perempuan menjadi korban dan budak nafsu kaum laki-laki pelaku poligami. Tentu saja harus dilihat juga bahwa diantara perempuan-perempuan yang dimadu mereka sering terjangkit penyakit hasud dan cemburu sesama mereka sendiri secara berlebihan yang dengan sendirinya menimbulkan ketidak harmonisan dengan suaminya dan keterlantaran anak-anaknya. Dan ini juga timbul karena sikap suami yang tidak menjaga keadilan sesama mereka. Konklusinya adalah semua harus saling sadar bahwa hidup ini sebagai jembatan untuk mencapai pada kesempurnaan, sehingga masing-masing bisa memacu yang lain untuk bisa sampai pada kesempurnaan, jika demikian ini terjadi pada keluarga poligami maka keluarga inilah sebuah contoh sempurna dari “Rumahku adalah surgaku”.

[1] . QS. 51: 56.
[2] . QS. 84: 6.
[3] . Al-Bihar. Allamah Majlisi. 103/ 220/ 18.
[4] . QS. 30: 21.
[5] . QS. 25: 74.
[6] . Al-Bihar. 79/26/28.
[7] . QS. 4: 2-3. Pembolehan poligami dengan alasan untuk mengasuh anak-anak yatim.
[8] . QS. 4: 3.
[9] . Akhlaq Dar Quran, jilid 3, hal 66.
[10] . Allamah Sayed Muhammad Husein Thaba’tabai, Tafsir al-Mizan, jilid 4, hal 319.

Tidak ada komentar: