Minggu, 21 Januari 2007

Pejuang Cilik


Pejuang Cilik[1]


Pamanku Husein datang ...
Ia datang mendekati kami ...
Terlihat begitu keletihan ...
Rasa haus menyerang tenggorokan ...

Tanah dan debu beterbangan menutup penglihatanku. Namun, wajah paman masih jelas terlihat olehku. Paman meletakkan salah satu tangannya ke arah pinggang. Wajah letihnya dipenuhi debu dan tanah. Ooh... aku juga melihat darah di sana. Kemudian ia terduduk di atas tanah sambil tangannya diangkat ke atas. Wajahnya menengadah ke langit sementara bibirnya seakan-akan mengucapkan sesuatu. Mungkin paman berdoa. Ia berdiri. Perlahan-lahan paman mendekati kami.
Sukainah...!
Fathimah...! paman memanggil.
Mendengar suara itu Sukainah dengan cepat menarik penutup kain kemah untuk menyambut ayahnya. Gerakannya tergesa-gesa. Matanya membengkak kebanyakan menangis. Dengan lugunya ia bertanya,
Ayah! Akankah engkau pergi lagi...?
Ya, paman akan segera pergi lagi. Kedatangannya hanya untuk mengucapkan kata terakhir. Ucapan perpisahan. Kudekatkan tubuhku ke arahnya. Ooh... seandainya paman tidak pergi... Kami sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi. Hanya sepupuku Ali yang tertinggal itupun kondisinya buruk. Ia terbaring sakit.
Aku maju...
Sukainah berkata, Ayah...! mari kita pulang. Kembali ke Madinah. Berkumpul di samping kuburan kakek.
Paman menjawab, Tidak bisa Sukainah sayang. Pasukan musuh tidak akan mengijinkan kita melakukan itu.
Paman benar, mereka tidak akan pernah membiarkan hal itu.
Mendengar itu Sukainah menangis. Suaranya melengking tinggi dan pilu. Tangisannya membuat yang hadir di situ ikut menangis.

Aku juga ingin menangis...
Tapi... aku tidak boleh menangis. Aku seorang laki-laki. Aku telah dewasa.

Seorang laki-laki tidak boleh menangis seperti anak-anak wanita.
Akan tetapi....
Paman terlihat sudah tua. Tubuhnya sudah tidak seperkasa dulu lagi.

Tiba-tiba sepupuku Ali muncul. Kondisinya sangat lemah. Mukanya pucat. Keringat membasahi tubuhnya. Ia demam, bibi Zaenab yang mengatakan itu kepadaku. Untuk menahan tubuhnya agar dapat berdiri saja ia tidak mampu. Tangannya berpegangan pada tiang kemah. Sesaat ia memandang paman. Tatapannya terlalu dalam untuk ku maknai. Ia kemudian melangkah menuju medan pertempuran. Langkahnya tertatih-tatih.
Melihat hal itu bibi langsung berteriak,
Ali...!!!
Kembali ke kemahmu...!
Ali tidak menjawab...
Terus melangkah... dan melangkah...
Ia tidak menghiraukan panggilan bibi.
Bibi dengan langkah-langkah besar mengikutinya dari belakang. Anak-anak yang lain hanya bisa menatapi kejadian itu tanpa bisa berkata apa-apa.
Tanpa menengok ke belakang Ali berkata, ku mohon biarkan aku pergi. Jangan halangi langkahku. Ayah sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi.
Zainab! Bawa ia ke belakang. Ia harus tinggal, paman memutuskan omongan Ali.
Bibipun membawa Ali kembali ke dalam kemah.

Paman mendekati kami satu persatu dan mulai mencium. Ketika tiba giliranku, aku dapat merasakan panasnya wajah paman. Bibirnya kering. Pasti itu karena kehausan. Namun aku masih bisa mencium bau harum tubuhnya. Sesaat setelah meninggalkan kami bau wangi tubuhnya masih dapat kami rasakan.

Paman pergi...
Tidak!

Ternyata paman mendekati kemah dan meminta agar bibi memberinya Ali Ashgar. Ali Ashgar adalah anak terkecil paman. Ia masih bayi. Umurnyapun belum setahun. Aku masih ingat, di tengah perjalanan paman begitu asyik bermain dengannya. Ali Ashgar senantiasa tertawa. Tertawanya di tengah padang pasir yang melelahkan merupakan penghibur tersendiri bagi kami. Aku paling senang mendengar suara tawanya. Renyah, khas tawa seorang bayi. Akan tetapi, sudah dua hari ini tidak terdengar lagi suara tawanya. Bahkan tidak satupun dari kami yang tertawa. Anak-anak tidak sempat bermain seperti biasanya. Kami semua diterjang rasa haus yang sangat. Mungkin itu juga yang membuat Ali Ashgar tidak tertawa.

Paman mengambil Ali Ashgar dari tangan bibi. Didekatkan wajahnya. Ali Ashgar tertawa. Ali Ashgar tentu tak tahu apa yang sedang terjadi dengan ayahnya. Walau suara tawanya tidak seperti biasanya, untuk sesaat itu cukup untuk memecahkan kebisuan kami.

Akan tetapi...

Suara tawa Ali Ashgar ternyata untuk yang terakhir kalinya. Namun buatku Setidak-tidaknya untuk yang terakhir kalinya aku masih mendengar suara tawanya.

Sesaat aku seperti melihat sebuah benda melayang di angkasa. Benda itu tepat mengarah ke Ali Ashgar. Ya, benar. Benda itu tepat menancap di leher Ali Ashgar. Leher yang masih sangat lembut itu tertancap sebilah anak panah, terkoyak. Aku terpekik kaget. Kemudian menjerit sekuat tenaga. Fathimah dan Sukainah berteriak melihat adik kesayangan mereka. Keduanya seakan tidak percaya apa yang barusan dilihatnya. Adik kecil mereka harus menjadi tumbal keserakahan, kebiadaban.

Darah perlahan-lahan mulai menetes. Tepat di tempat di mana anak panah itu menghujam. Seketika tawa yang menghias bibirnya lenyap. Bibir kering itu sudah tidak mampu mengeluarkan suara tawa lagi. Kaku terkatup, bisu. Tiba-tiba suara tangis membahana. Semua tidak mampu bertahan menyaksikan pemandangan seperti itu. Larut dalam tangisan.

Aku juga ingin menangis...
Tapi... aku tidak boleh menangis. Aku seorang laki-laki. Aku telah dewasa

Tapi... Ali Ashgar masih terlalu kecil.
Anak panah itu menembus lehernya...

Fathimah dan Sukainah segera menghampiri paman. Keduanya ingin memeluk Ali Ashgar. Kutatap wajah paman. Warnanya telah berubah kemerah-merahan. Sepertinya ia memendam sesuatu. Tapi paman tidak menangis. Perlahan-lahan dengan lembut paman membersihkan darah yang mengalir dari leher Ali Ashgar. Isteri paman terlihat histeris menemukan kenyataan bahwa bayinya harus mengalami nasib mengenaskan seperti itu. Ingin sekali ia memeluk bayinya. Namun paman tidak memberikan Ali Ashgar kepada ibunya. Melainkan memberikannya kepada bibi. Istri paman menjatuhkan dirinya di atas tanah. Rambutnya kelihatan memutih. Seakan-akan kejadian ini langsung membuatnya tua.

Paman sangat tabah. Kejadian ini tetap tidak menggoyahkan ketenangannya. Namun suaranya menjadi lebih berat dari biasanya. Paman berkata, Aku dapat menanggung semua beban berat ini. Karena ku tahu Tuhan melihat semuanya.

Selesai mengucapkan kalimat tadi, paman segera melompat menaiki kudanya. Paman kali ini benar-benar akan pergi. Bila paman pergi kami sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi.
Aku berlari...
Paman... paman...!
Paman menengok ke belakang. Sesaat ia memandangiku. Kulihat matanya seakan-akan menahan beban berat. Kelopak matanya kotor oleh tanah dan debu. Bibirnya kering. Kering...
Paman...
Aah... Aku tak tahu apa yang harus kuucapkan. Aku hanya terdiam sambil memandangnya. Paman tidak menunggu lebih lama. Ia menghentakkan kudanya. Kuda bergerak ke medan pertempuran.
Sukainah, Fathimah dan Ruqayyah juga berusaha mendekati ayah mereka. Namun paman telah pergi. Ruqayyah berusaha untuk mengejar ayahnya namun ditahan oleh Fathimah. Ruqayyah menginginkan ayahnya dan juga air. Ia sangat kehausan.
Ayah...!
Ayah...!
Air... Aku haus ayah..., pintanya.
Ruqayyah memang masih terlalu kecil. Umurnyapun belum tiga tahun. Aku sangat iba melihatnya.

Bibi mengajak kami kembali ke dalam kemah. Aku bersikeras untuk tidak ikut. Aku tidak akan beranjak dari tempatku berdiri. Aku tidak ingin paman hilang dari pandanganku. Aku ingin menyaksikan semua yang dilakukannya. Anak-anak perempuan saja yang diajak ke dalam kemah, kataku. Aku bukan wanita. Aku seorang laki-laki. Lelaki dewasa...

Paman bergerak semakin menjauh. Seperti biasanya ia tidak turun dari kudanya. Namun badannya sudah tidak setegar biasanya. Agak membungkuk ke depan. Tempat yang didatanginya penuh dengan tanah dan debu yang beterbangan. Aku juga masih dapat melihat banyaknya tombak-tombak yang terhunus.

Paman sendiri...
Di hadapannya berdiri ribuan pasukan yang siap dengan pedang, tombak dan anak panahnya. Jumlah sebanyak itu akan memerangi paman seorang diri.
Paman Abbas telah mereka cincang-cincang tubuhnya.
Ali Akbar tidak mereka biarkan hidup.
Semua laki-laki dewasa telah mereka bunuh. Tak ada yang tersisa.
Paman sendiri...

Peperangan yang tak seimbang telah dimulai. Setiap kali mereka menghunus pedang, melempar tombak dan melepaskan anak panahnya hatiku menjerit.
Aku ingin berlari...
Namun, seseorang menahan tanganku.


Tempat ini mulai ditutupi oleh tanah dan debu yang mulai mengangkasa. Suara beradunya pedang tidak memberiku kesempatan mendengarkan teriakan Sukainah dan Ruqayyah. Beberapa penunggang kuda mendekati kami. Mereka memakai pakaian merah-merah. Kelihatannya mereka akan menyerang kemah. Para wanita menjerit ketakutan. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Tiba-tiba terdengar teriakan keras. Suara paman dalam sekejap menghentikan usaha mereka menyerang kemah.

Wahai kaum Abu Sofyan! Bila kalian tidak lagi memiliki agama, setidak-tidaknya jadilah manusia merdeka.

Mendengar suara lantang paman beberapa orang berpakaian merah kembali ke induk pasukannya. Kembali mereka menyerang paman. Pemandangan itu sangat memilukan hati. Paman seorang diri menghadapi ribuan pasukan bersenjata lengkap.
Paman...! spontan aku berteriak.
Pamanku Husein sangat kuat. Ia berperang bak seekor kijang melompat ke sana ke mari menerjang musuh. Mereka takut menghadapi paman. Namun jumlah yang sangat banyak membuat usaha paman sia-sia. Mereka seperti air bah datang menyerang paman. Tubuh paman terlihat terkurung di antara sabetan pedang musuh. Suara beradunya pedang seakan-akan merobek kulitku.

Paman sudah tak terlihat lagi. Debu yang beterbangan membuat segalanya terhalang. Yang ada hanya panas yang menyengat, suara beradunya pedang, tanah yang telah bercampur darah. Mataku berkelip-kelip kemasukan debu. Kuusap mataku dengan tangan kecilku. Aku ingin kembali dapat melihat apa yang terjadi dengan paman. Usahaku belum berhasil. Aku masih belum dapat melihat dengan jelas. Aku mulai tidak sabar. Kucakan tanganku ke arah mata semakin kupercepat. Akhirnya aku berhasil melihat. Namun tak ada yang dapat kulihat. Aku tak dapat melihat di mana paman berada. Dadaku berdebar-debar. Hatiku mulai gusar. Apa yang terjadi dengan paman...? Jangan-jangan...

Paman...
Pamanku Husein, di mana engkau...?
Paman! tunjukkan dirimu padaku...!
Paman........ paman.........
Aku hanya mampu berteriak.

Bibi menarik tanganku.
Aku tidak menangis.
Sepupuku Ali sedang terbaring sakit.
Aku sekarang adalah laki-laki paling besar di sini.
Aku yang bertanggung jawab.
Aku tidak menangis.
Aku hanya menginginkan pamanku...

Semua menangis berteriak memanggil-manggil nama paman.
Wahai Tuhan! Apakah paman mendengar suara kami...?
Pulangkan paman kami Tuhan!

Aku tidak menangis. Tapi air mataku sudah menggenangi mataku. Kuusap mataku dengan punggung tanganku agar tak terlihat menangis. Aku sekarang seorang lelaki dewasa. Aku tidak menangis.

Ayah.....
Ayah..... Ruqayyah masih terus berteriak memanggil paman.
Mudah-mudahan paman mendengar suaranya...
Mendengar suaranya.
Dari kejauhan tampak sebuah bayangan menunggang kuda bergerak ke arah kami. Seakan berusaha menyingkirkan debu-debu yang menghalangi jalannya. Ia terus berjalan.
Paman!
Ya, itu adalah paman.
Aku mengenalnya dengan baik.
Itu pamanku Husein.
Aku juga tahu kuda yang dikendarainya bernama Dzul Janah.
Paman datang...., teriakku.
Mengetahui itu semua berlari mendekati paman. Kami berkumpul mengelilinginya. Semua menangis.

Aku juga ingin menangis...
Tapi... aku tidak boleh menangis. Aku seorang laki-laki. Aku telah dewasa.

Kudekati Dzul Janah. Aku ingin mengusap-usap punggungnya. Tanganku tak sampai ke punggungnya. Dengan berjinjit aku berusaha tapi tetap tak dapat. Akhirnya aku hanya bisa mengusap pinggang bagian bawahnya.

Paman terluka. Bibi dengan telaten membersihkan luka-luka paman dengan kain. Paman mencoba menenteramkan hati kami dengan suara beratnya. Ia berkata:

Semoga Tuhan melindungi kalian. Semoga Tuhan menyelamatkan kalian dari kejahatan musuh. Kalian telah banyak menyaksikan musibah dan cobaan yang besar, akan tetapi kalian tidak mengadukannya. Itu karena kalian tahu bahwa Tuhan akan memberikan balasan yang berlipat ganda atas kesabaran kalian.

Paman benar-benar keletihan. Ucapannya sudah tidak seperti dulu lagi. Tenggorokannya kering.
Seandainya ada air...
Seandainya paman tidak kehausan...
Paman kemudian berdiri. Bersiap-siap menuju medan perang. Aku memegang tali kekang Dzul Janah.
Paman..........
Ayah............
Anak-anak memanggil-manggil paman.
Para wanita sudah sejak tadi tak mampu menahan tangisan.

Aku juga ingin menangis...
Tapi... aku tidak boleh menangis. Aku seorang laki-laki. Aku telah dewasa.

Tapi paman akan pergi.
Mungkinkah kepergian paman dengan pakaian terkoyak-koyak dan badan penuh luka kubiarkan tanpa tangisan...?
Aku takut...
Aku takut mereka membunuh paman.
Pamanku Abbas telah mereka cincang-cincang tubuhnya.
Sepupuku Ali Akbar tidak mereka biarkan hidup.
Saudaraku Qasim...
Aku tidak ingin paman pergi...
Dzul janah memalingkan wajahnya menghadap musuh pertanda paman akan pergi.
Aku berteriak, Dzul janah! Jangan kau bawa paman!

Paman menarik tali kekang Dzul janah. Perlahan-lahan paman bergerak menjauhi kami. Para wanita sudah tak mampu menahan diri. Mereka menaburkan tanah ke atas kepala mereka. Seakan-akan mereka tahu apa yang akan terjadi. Aku mencoba berlari mengejar paman. Beberapa langkah kuayunkan kakiku namun paman telah sampai di medan pertempuran. Pertempuran dimulai. Pedang paman berputar-putar di atas kepalanya. Siapa yang maju dialah yang paling dahulu merasakan ketajaman pedang paman.


Sekali lagi debu beterbangan menghalangi pandangan. Aku tidak dapat melihat paman dengan baik. Tiba-tiba aku melihat sejumlah anak panah dilepaskan dari busurnya. Aku melihat anak-anak panah itu di angkasa. Jatuh tepat di tengah-tengah debu tebal yang beterbangan. Mereka rupanya sudah tidak sabar lagi. Mungkin mereka ingin membunuh paman dengan panah. Hal itu untuk mencegah korban dari pihak mereka lebih banyak lagi. Atau, karena tidak mampu berperang berhadap-hadapan dengan paman? Aku tidak peduli apa alasannya. Yang kuinginkan adalah pamanku. Hanya paman...

Di belakangku bibi berteriak, Wa Mushibata, .... Wa Muhammada, .... Wa Aliyya...
Ooh musibah apa ini....
Wahai kakek! apa yang mereka lakukan...
Wahai ayah! lihat perbuatan mereka...
Aku ingin sedikit menenteramkan bibi dengan berkata, bibi! Jangan engkau menangis. Namun, aku tidak mampu. Aku tahu sepeninggal paman Husein, wanita-wanita dan anak-anak tidak memiliki siapa-siapa lagi. Tidak ada seorang laki-laki dewasa yang dapat melindungi mereka. Yang tinggal hanya bibi. Bibi yang selama ini telaten mengurusi kami.

Fathimah dan Sukainah menangis tersedu-sedu...
Ruqayyah terus memanggil-manggil ayahnya...
Istri paman menggoyang-goyangkan ayunan Ali Ashgar yang telah kosong...
Setiap kali ayunan menjauh dan mendekat dadaku seperti diaduk-aduk rasanya.

Sesaat aku melihat pasukan musuh sudah tidak lagi melepaskan anak panahnya ke tengah medan pertempuran. Aku sedikit menarik napas lega. Debu-debu yang beterbangan mulai menipis. Tidak terdengar lagi beradunya suara pedang. Tidak ada orang berteriak-teriak.
Senyap...
Pasukan musuh hanya berdiri...
Semua menanti sesuatu....

Aku bertanya-tanya dalam hatiku...
Apa yang sebenarnya telah terjadi...?

Dari tengah-tengah gumpalan debu muncul bayangan Dzul Janah. Ia sendiri. Paman tidak bersamanya.
Apa yang terjadi...?
Paman di mana..?
Dadaku semakin menggemuruh...

Dzul Janah semakin mendekat. Akhirnya aku dapat melihatnya dengan jelas. Badannya ditancapi beberapa anak panah. Darah menetes membasahi tanah tandus.
Pamanku mana...?


Dzul Janah mendekati kami dengan kepala tertunduk. Seakan-akan tak mau menjawab keingintahuan kami akan nasib paman. Pikiranku langsung berandai-andai. Bila Dzul Janah badannya terluka ditancapi anak panah sedemikian rupa bagaimana keadaan paman... Tapi aku cepat menepiskan pikiran itu. Secepat itu pula aku berlari mendekati medan pertempuran. Aku ingin mengetahui keadaan paman.

Aku mendengar suara tangisan yang semakin keras dari belakang. Aku tidak ingin menangis. Tapi.... Aku tidak melihat pamanku. Air mataku mulai menggenangi kelopak mataku bagian bawah. Aku tidak dapat bertahan.


Aku menangis.

Tapi... tidak boleh ada suara tangisan.

Aku seorang laki-laki.

Aku telah dewasa.


Aku harus menemukan paman. Langkahku semakin kupercepat. Dari belakang bibi mengejarku. Aku mendengar teriakannya. Abdullah! ...Kembali!! Aku tahu tak ada lagi orang yang akan membantunya. Menenangkan para wanita dan anak-anak. Sekarang ia sedang mengejarku dari belakang. Bibi semakin dekat. Tanganku ditangkap. Aku ditarik ke belakang. Aku berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangannya. Bibi mengetahui itu aku dipeluknya agar tidak dapat meloloskan diri. Aku meronta-ronta ingin lepas dari pelukan bibi. Aku berteriak,

Bibi! tolong lepaskan aku! Paman seorang diri...Aku ingin pergi membantunya

Usahaku tidak sia-sia. Aku dapat meloloskan diriku. Aku berlari sekuat tenaga. Kali ini bibi tak dapat mengejarku. Tiba-tiba aku mendengar suara dari balik tirai debu. Suaranya terpotong-potong.

Zai...nab! Ja..ngan biarkan Ab..dullah sam..pai ke me..dan per..tem..puran. Ta..han dia!!!

Mendengar suaranya aku semakin mempercepat lariku. Aku tahu paman terluka. Dari suaranya aku tahu itu. Aku mendengar langkah-langkah orang di belakangku. Bibi semakin mendekatiku. Ia pasti akan menangkapku lagi dan mengembalikanku ke kemah. Aku berteriak,

Aku sudah besar...
Biarkan aku ...
Paman sudah tidak punya siapa-siapa lagi yang akan membantunya...
Aku harus pergi!!!

Aku berpikir, dalam dua hari ini aku merasa lebih besar. Kekuatanku semakin bertambah. Aku menghentakkan tanganku dari pegangan bibi. Aku berhasil melepaskan diri. Bibi tidak mampu lagi menahanku. Aku berlari sekuat tenaga. Bibi sudah tidak mengejarku lagi. Aku melaju menembus tirai debu. Di sana aku dapat melihat paman dengan jelas. Ia terbaring di atas tanah. Tanah tempatnya terbaring sudah bercampur dengan darah. Mereka memanahnya tepat di dadanya.
Paman...
Paman..., teriakku.

Aku melihat seseorang berdiri di samping kepala paman dengan pedang terhunus. Wajahnya terbungkus kain. Aku tak dapat melihat dengan jelas wajahnya. Yang terlihat hanya matanya yang memancarkan sinar kebengisan. Matanya berwarna merah. Seakan-akan darah berkumpul di sana. Orang itu ingin mengayunkan pedangnya ke arah paman.

Ia ingin membunuh paman...
Paman yang tinggal seorang diri...
Paman yang terluka parah...

Sesaat aku teringat tangisan dan suara Ruqayyah yang senantiasa memanggil ayahnya...

Aku berteriak, Heeeeiii... engkau ingin membunuh pamanku...?

Orang itu tidak menghiraukan teriakan anak kecil sepertiku. Melirikku saja tidak.
Orang yang menutup mukanya itu mulai mengayunkan pedangnya ke arah leher paman.
Aku berlari...
Semakin cepat...
Aku seakan berlomba dengan waktu...
Ia tidak boleh membunuh pamanku...
Namun...
Pedang itu semakin mendekati leher paman...
Ku ulurkan tanganku untuk menghalangi laju pedang agar tidak sampai ke leher paman...
Aku...
Aku... sudah dewasa.
Ya... aku seorang laki-laki dewasa.
Tidak...
Itu tidak akan terasa sakit...
Oooooohhh...............
Tanganku sekarang seperti tangan pamanku Abbas...
Aku... sudah dewasa.
Ya... aku seorang laki-laki dewasa.
Aku masih sempat memanggil nama paman...
Aku terjatuh tepat di atas badan paman..
Paman...
Paman...
Ku letakkan kepalaku di dada paman...
Salah satu tangannya diletakkan di leherku...
Seakan-akan ia ingin melindungiku...
Dengan sekuat tenaga aku berusaha menatap wajah paman...
Sekali lagi aku hanya bisa mengucapkan...
Paman...

Sebuah panah dari atas melayang ke bawah.
Panah itu tepat mengarah kepadaku...
Semakin dekat panah itu...
Tiba-tiba aku merasa ayahku Hasan ada di sisiku...
Ya, Aku melihatnya...
Aku juga melihat pamanku Abbas...
Ali Akbar sepupuku...
Qasim saudaraku...
Aku juga melihat Ali Ashgar.
Aku melihatnya tertawa...
Ia tertawa melihatku...
Tawanya sudah seperti dulu lagi.......................................... [Saleh Lapadi]

Sumber:
www.islamalternatif.com

[1] . Abdullah bin Hasan binti Fathimah bin Rasulullah. (Disadur secara bebas dari kumpulan cerita Bacchehaye Ashura berjudul Jangjuye Kuchak karya Thahereh Ebad).

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Tulisan ini sangat indah. Saya beberapa kali membacanya dan selalu menemukan "bayangan2" yang baru. Terima kasih.

Saleh Lapadi mengatakan...

Salam,
Terima kasih apresiasinya.
Karbala memang menyisakan sesuatu yang lain.
Pantang hina!