Selasa, 23 Januari 2007

Siapa Ulil Amr?

Bertanya Pada Ayatullah Ja’far Subhani

Siapa Ulil Amr?

Soal: mengapa Ulil Amr dalam ayat “Ya ayyuha al-ladzina amanu ati’ulloha wa ati’urrasula wa ulil amri minkum” ditafsirkan untuk orang-orang tertentu saja?

AJS: Ada dua pendapat mengenai maksud Ulil Amr; pertama, maksudnya adalah komandan-komandan perang Islam. Kedua, maksudnya adalah ulama dan cendekiawan.

Kelompok pertama mengatakan demikian karena melihat lahirnya lafaz “al-amr” yang berartikan “perintah” sehingga mereka mengatakan bahwa maksudnya adalah komandan-komandan militer. Padahal dari dua sisi pendapat ini tidak benar:

1. Ada kemungkinan lafaz “al-amr” bermakna posisi dan kedudukan, berarti secara utuh sesuai dengan pendapat kedua.

2. Ayat ini adalah mukadimah ayat selanjutnya, yang akan kita paparkan teks dan terjemahannya, di mana sebab-sebab turunnya tidak sesuai dengan pendapat pertama, bahkan akan menguatkan pendapat kedua. Mengenai sebab-sebab turunnya, para mufassir mengatakan bahwa seorang yang berpura-pura muslim berbeda pendapat dengan seorang yahudi tentang sebuah masalah. seorang Yahudi berkata: “Masalah ini kita bawa saja ke hadapan Muhammad”. Karena Yahudi tersebut tahu bahwa Nabi Muhammad tidak mengambil suapan. Akan tetapi orang yang berpura-pura muslim (munafik) tersebut berkata: “Sebaiknya yang menghukumi masalah kita ini Ka’ab al-Asyrab (seorang Yahudi) saja. Karena munafik itu tahu bahwa ia pasti akan mengambil suapan, dan orang yang mengambil suapan akan menghukumi sesuai dengan kemauan orang yang menyuap. [1] Pada kejadian inilah turun ayat ulil amr dan ayat selanjutnya.
Teks kedua ayat tersebut adalah “Ya ayyuha al-ladzina amanu ati’ullaha wa ati’urrasula wa ulil amri minkum fa in tanaza’tum fi syaiin farudduhu ilallahi wa ilarrasuli in kuntum tu’minuna billahi wa alyaumi al-akhiri dzalika khoirun wa ahsanu ta’wilan”. Hai orang- orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul- Nya, dan ulil amri di antara kalian! jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu benar- benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [2]

“Alam tara ila alladzina yaz’umuna annahum amanu bima unzila ilaika wa ma unzila min qoblika yuridun an yatahakamu ila attaghuti wa qod umiru an yakfuru bihi wa yuridu asy-syaithonu an yudhillahum dholalan ba’idan”. Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari taghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka dengan penyesatan yang sejauh- jauhnya. [3]

Dengan penjelasan ini maka jelaslah pendapat kedua, karena masalah menghukumi adalah tugas ulama agama, bukan tugas para komandan. Masalahnya sekarang adalah apakah yang dimaksud ulama dan cendekiawan di sini semua ulama dan cendekiawan atau kelompok tertentu yang tidak berbuat salah? Jawabannya bisa diambil dari ayat itu sendiri.

a. Lafaz “ulil amr” dihubungkan kepada lafaz “ar-rasul” dan yang menasabkan keduanya adalah satu kata kerja. Yaitu “ ati’urrasula wa ulil amri minkum”. Artinya, ulil amr dalam masalah menghukumi sebagaimana rasul menghukumi, yaitu rasul tidak mungkin bersalah dalam menghukumi. Dengan demikian maka yang dimaksud dengan ulama di sini adalah orang-orang yang terjaga dari berbuat dosa (maksum).

b. Ketaatan dalam ayat tersebut hukumnya wajib secara mutlak, tanpa ada syarat. Ketaatan tanpa ada batasan. Seperti Misalnya; “taatilah mereka dengan syarat tidak memerintah untuk berbuat dosa dan menentang syariat atau dengan syarat mereka tidak berbuat salah dan dosa”. Kewajiban untuk menaati mereka bisa disimpulkan bahwa mereka tidak sama sekali tidak bertentangan dengan syariat dalam menghukumi. Kemaksuman mereka ini dari segala bentuk kesalahan dan dosa.

c. Allah dalam memerintahkan untuk menaati kedua orang tua, membatasi dengan syarat, “wa wasshoina al-insana bi walidaihi husnan wain jahadaka li tusyrika bii ma laisa laka bihi ‘ilmun fa la tuti’huma”.[4] Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada kedua orang ibu bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya.

Dalam ayat ini, ketaatan kepada kedua orang tua hukumnya tidak mutlak. Sementara ketaatan kepada ulil amr hukumnya mutlak. Di sisi lain kita tahu bahwa menaati makhluk yang memerintahkan untuk menentang syariat hukumnya haram.

Rasulullah saw bersabda: “Tidak boleh menaati makhluk yang melakukan maksiat Allah”.[5] Senada dengan kandungan hadis tersebut, dalam ayat al-Quran juga tertera: “Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji”.[6]

Dengan melihat dua topik ini:

Pertama, menaati ulil amr dalam ayat tersebut tidak bersyarat dan hukumnya wajib.
Kedua, menaati seseorang yang menyuruh untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan syariat hukumnya haram.

Kesimpulannya:
Orang yang disebutkan dalam Al-Quran sebagai ulil amr adalah orang-orang yang maksum, dan tidak pernah sama sekali memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan syariat. Mereka tidak pernah berbuat salah. Hanya 12 Imam saja yang menjadi representasi dari ulil amr. Karena semua kaum muslimin sepakat bahwa selain dua belas imam tidak maksum dan mungkin untuk berbuat dosa.

Selain kandungan ayat tersebut ada lebih dari 30 hadis musnad dam mursal yang menjelaskan tentang ulil amr dan maksudnya adalah para imam maksum as.[Emi Ms]

Sumber: Koran Hauzah, 20/10/1385. Th kelima/ no135, hal 3.

[1] . Majma’ Al-bayan, jilid 2, hal 264.
[2] . QS, An-Nisa’: 59.
[3] . Idem, ayat 60.
[4] . QS, Al-Ankabut: 8.
[5] . Wasail As-Syiah, jilid 8, bab haji 58, hadis ke 7.
[6] . QS, Al-A’raf: 28.

Tidak ada komentar: