Sabtu, 17 Februari 2007

Ibu yang mengingkari anaknya


Ibu yang mengingkari anaknya

Al-Kulaini meriwayatkan hadis ini di bab Nawadir di akhir kitab Qadha (peradilan) dengan sanad dari ‘Ashim bin Hamzah as-Saluli. Syaikh (at-Thusi) meriwayatkan hadis ini dalam Ziayadat Qadhaya Tahdzibiyah (Tambahan dalam masalah peradilan dari buku Tahdzib) dari Dhamrah bin Hamzah as-Saluli.

Ia berkata:

“Aku mendengar teriakan seorang anak muda di kota Madinah. Ia berkata: “Adakah orang yang paling adil di sini? Orang yang dapat memutuskan perkaraku dengan ibuku”.

Umar bin Khatthab menghampirinya dan berkata: “Wahai pemuda! Mengapa engkau ingin mengajukan perkara atas ibumu?

Ia menjawab: “Sebelumnya aku berada di dalam tubuh ibuku selama sembilan bulan. Ia juga yang menyusui aku selama dua tahun. Ketika aku mulai beranjak dewasa; dapat membedakan kebaikan dari keburukan dan mana yang benar dan salah, ia mencampakkan aku. Ia mengaku tidak mengenal diriku”.

Umar kemudian bertanya kepada wanita itu: “Wahai wanita! Benarkah apa yang diucapkan oleh pemuda ini?”

Wanita itu menjawab: “Demi Zat yang bertirai cahaya. Tidak ada mata yang dapat melihat-Nya. Demi kebenaran yang dibawa oleh Muhammad saw! Aku tidak punya anak dan aku tidak mengenalnya. Aku tidak tahu dia dari kabilah mana. Ia hanya seorang pemuda yang ingin merusak kehormatanku di tengah-tengah keluarga dan familiku. Aku seorang wanita Quraish. Aku belum pernah kawin”.

Umar bertanya kepadanya: “Apakah engkau memiliki saksi?”

Ia menjawab: “Iya, mereka ini adalah saudara-saudaraku”. Datang sekitar empat puluh orang dari keluarganya yang siap untuk bersumpah. Di hadapan umar mereka kemudian bersumpah bahwa si pemuda hanya berniat untuk merusak kehormatan wanita ini. Wanita ini dari keturunan Quraish dan belum menikah sekalipun.

Umar bin Khatthab memerintahkan pengawalnya untuk membawa si pemuda ke penjara. Dan selama ia dipenjara para saksi yang telah bersumpah tadi harus diperiksa lebih lanjut. Bila kesaksian mereka benar, maka si pemuda harus dihukum sebagai orang yang telah melakukan kebohongan yang mencemarkan nama baik orang lain.

Ketika mereka bergerak membawa si pemuda, mereka berpapasan dengan Imam Ali bin Abi Thalib as. Si pemuda langsung berteriak lantang memohon kepada Imam Ali as: “Wahai anak paman Rasulullah! Aku seorang pemuda yang teraniaya”. Ia kemudian mengulangi ucapan yang telah disampaikan di hadapan Umar. Kemudian ia melanjutkan: “Umar memerintahkan pengawal agar menjebloskan aku ke penjara”.

Imam Ali as menjawab: “Balikkan ia ke Umar!”

Ketika si pemuda dibawa ke hadapan Umar, Khalifah Umar kemudian bertanya kepada mereka: “Aku memerintahkan kalian untuk menjebloskannya ke penjara, mengapa sekarang kalian membawanya kembali ke hadapanku?”

Mereka menjawab: “Ali bin Abi Thalib yang memerintahkan kepada kami untuk membawanya ke hadapanmu. Mengapa kami mengikuti perintahnya? Karena engkau pernah berkata bahwa ikuti apa saja yang diperintahkan oleh Ali dan jangan menentangnya”.

Ketika mereka masih bercakap-cakap, Imam Ali as datang menghampiri mereka.

Ia berkata: “Hadapkan ibu si pemuda ini!”

Mereka lantas menghadirkan kembali ibu si pemuda.

Imam Ali as berkata: “Wahai pemuda! Sampaikan apa yang hendak engkau ucapkan!”

Si pemuda mengulangi apa yang telah disampaikannya sebelumnya.

Imam Ali kemudian berkata kepada Umar: “Apakah engkau memberi aku izin untuk mengadili mereka?”

Umar menjawab: “Subhanallah, mengapa tidak. Aku pernah mendengar dari Rasulullah saw bahwa “Yang paling alim dan mengetahui di antara kalian adalah Ali bin Abi Thalib”.

Imam Ali as kemudian berpaling kepada wanita dan bertanya: “Apakah mereka ini adalah saksi-saksimu?”

Wanita itu menjawab: “Iya, mereka adalah saudara-saudaraku”.

Imam Ali as bertanya kepada saudara-saudaranya: “Apakah kalian menerima aku menghukumi urusan kalian antara kalian dan wanita ini?”

Mereka serempak menjawab: “Iya, wahai anak paman Rasulullah. Engkau menjadi wakil yang menghukumi antara kami dan saudari kami”.

Imam Ali as kemudian berkata: “Aku bersaksi di hadapan Allah dan aku bersaksi di hadapan orang-orang yang hadir saat ini. Aku telah menikahkan pemuda ini dengan wanita ini dengan mas kawin sebesar empat ratus dirham dari uangku sendiri. Wahai Qanbar (pelayan Imam Ali as), Ambilkan uangku!” Qanbar membawa uang Imam Ali as dan meletakkannya di tangan si pemuda.

Imam Ali as melanjutkan: “Ambillah uang itu wahai pemuda! Berikan uang ini kepada wanita itu. Jangan engkau menghadapku kecuali telah mandi junub”.

Si pemuda bangkit dan memberikan uang mas kawinnya kepada wanita itu. Kemudian ia mengajak wanita itu untuk meninggalkan tempat tersebut. Ia berkata: “Wanita ini telah menjadi keluargaku”.

Si wanita tiba-tiba berteriak: “Neraka, neraka, wahai anak paman Muhammad! Apakah engkau ingin aku mengawini anakku sendiri? Pemuda ini adalah anak dari suamiku. Saudara-saudaraku memaksaku untuk kawin dengan seseorang. Setelah aku melahirkan anakku dan setelah ia menjadi dewasa, mereka mengancamku agar mengusirnya dan tidak mengakuinya sebagai anak. Demi Allah! dia adalah anak dan jantung hatiku”.

Ibu itu kemudian menarik tangan anaknya dan pergi dari tempat itu.

Umar bin Khatthab kemudian dengan suara lantang berkata: “Tolong dirimu wahai Umar! Bila tidak ada Ali, niscaya celakalah Umar” (Lau Laa Ali La Halaka Umar).”

Hadis ini juga diriwayatkan oleh penulis buku Fadhail Ibnu Syadzan dari al-Waqidi dari Jabir dari Salman dengan sedikit perbedaan dalam ibarat.[infosyiah]

Sumber: Allamah Muhammad Taqi at-Tustari, Qadhau Amiril Mukminin Ali bin Abi Thalib as, Qom, 1408 HQ, cetakan ke-2.

Tidak ada komentar: