Minggu, 18 Februari 2007

Manusia dan Kematian


Manusia dan Kematian

Emi Nur Hayati Ma’sum Said

Kematian adalah sebuah fenomena yang ada di dunia ini. Kapan saja dan di mana saja diperlukan, ia harus menjemput manusia untuk meninggalkan dunia yang fana ini. Dengan jemputan kematian, ruh manusia harus berpisah dengan badannya. Dengan kata lain, kematian adalah jembatan yang harus dilalui oleh manusia untuk menuju dunia lain dari dunia fana ini. Satu masa seseorang hidup bersama kita, namun bila kematian menjemputnya maka ia harus meninggalkan dunia ini dengan tanpa kembali lagi. Kita telah banyak menyaksikan keluarga dan sanak famili kita sendiri telah meninggalkan dunia ini dan tidak kembali.

Namun, mengapa sebagian manusia tidak berpikir bahwa kematian ini akan menjemputnya juga? Padahal, ia sering menyaksikan orang lain yang ajalnya sudah ditentukan telah dijemput oleh kematian? Atau sama sekali ia tidak berpikir kalau kematian satu saat bakal menjemputnya? Meskipun ia mempercayainya, akan tetapi ia merasa takut dan lari dari kematian. Untuk membuka teka-teki ini, penulis ingin mengkaji urgensi kematian menurut al-Quran dan hakikatnya menurut ucapan para Imam Maksum a.s. dan sebab ketakutan manusia dari kematian dan jalan keluarnya serta pengaruh dan manfaat mengingat kematian.

Kematian adalah berpisahnya ruh dari badan. Badan akan rusak secara keseluruhan sementara ruh akan meneruskan kehidupannya yang abadi setelah mengalami perpisahan dengan badan. Allah berfirman dalam ayat-Nya: “Pada hari ketika tiap- tiap diri mendapati segala kebaikan dihadapkan (di mukanya), begitu juga (kejahatan yang telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh; dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan Allah sangat Penyayang kepada hamba- hamba- Nya”. [1]

Bila manusia senantiasa sadar bahwa dunia ini hanya ladang untuk menanam amal kebaikan, dan akhirat adalah tempat untuk hidup abadi, sama sekali ia tidak akan berbuat curang dan penipuan. Imam Ali a.s. dalam hal ini berkata: “orang yang memahami akhir kehidupannya, ia tidak akan berbuat curang dan penipuan. [2]

Kematian merupakan sebuah keharusan

Setiap manusia yang menginjakkan kakinya di muka bumi, pasti akan merasakan kematian. Karena kematian adalah sebuah kepastian, di mana tidak seorang pun bisa menghindarinya. Dalam hal ini Allah menjelaskan dengan baik, dalam ayat-ayat-Nya: “Tiap- tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan”. [3]

“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendati pun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh”. [4]

Katakanlah:" Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah) , yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan". [5]

“Dan datanglah sakaratulmaut dengan sebenar- benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya”. [6]

“Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu (Muhammad ), maka jika kamu mati, apakah mereka akan kekal”.[7]

Pada hakikatnya, manusia di dunia ini tidak hidup secara abadi. Pada waktu tertentu ia harus meninggalkan dunia. Manusia tidak mampu menolak kedatangan kematian atas dirinya. Di mana saja ia berada kematian pasti akan menjemputnya. Manusia tidak mungkin lari dari kematian yang mendatanginya.

Kematian dalam ucapan Rasulullah saw.

“Kematian bagiku bagaikan minuman segar di siang hari yang sangat panas”. [8]

“Meninggalnya manusia dari dunia ini bagaikan keluarnya bayi dari kandungan ibunya, di mana ia keluar dari suasana yang gelap, sempit dan tekanan menuju suasana yang terang, luas dan nyaman”. [9]

Imam Husein a.s. mengatakan: “Kematian adalah kebahagiaan yang paling besar yang mendatangi manusia” kemudian beliau melanjutkan: “Kematian adalah pelepas dahaga dan pelepas kesusahan setiap mukmin, sebaliknya bagi orang kafir, kematian adalah perpindahan dari istana menuju penjara”. [10]

Imam Baqir a.s. berkata: “Kematian adalah tidur yang mendatangi kalian setiap malam hanya saja masanya panjang”. [11]

Kematian bagi seorang mukmin adalah kebahagiaan, kesenangan dan ketenangan, di mana manusia dalam hidupnya senantiasa mencari-cari kesenangan dan ketenangan itu sendiri, yang senantiasa dicari-carinya. Kalau Rasulullah memosisikan kematian setara dengan minuman segar, bagaikan bayi yang keluar dari perut ibunya. Kalau para imam memosisikan kematian sebagai ketenangan dan kebahagiaan, karena memang manusia di dunia ini materi pun senantiasa mencari-carinya, apalagi untuk kehidupan yang abadi. Lantas mengapa manusia takut akan kematian? Sebenarnya karena dosa-dosa yang diperbuatnyalah sehingga ia takut mati. Sementara, orang mukmin karena pengetahuannya akan kematian dan hidup setelah mati, ia menyiapkan dirinya dan menyambut kedatangan kematian.

Faktor-faktor penyebab ketakutan manusia akan kematian dan jalan keluarnya

Ketakutan manusia akan kematian berakar pada kecintaannya akan kehidupan abadi. Manusia yang takut akan kematian bisa dibagi menjadi dua kelompok:

Pertama; manusia yang tidak memiliki keyakinan akan hidup setelah mati dan Hari Kiamat. Mereka berkeyakinan bahwa kehidupan yang ada ini semata-mata kehidupan materi, sehingga kematian yang mereka saksikan adalah sebagai akhir dari kehidupan ini. Dan ia benci dengan kematian, karena dengan kematian hidup dan aktivitas hidupnya terhenti.

Kedua; manusia pemeluk agama-agama ilahi, hanya saja mereka tidak memiliki keyakinan pasti akan keberlangsungan ruh dan kehidupan setelah mati. Oleh karena itu, mereka takut akan kematian. [12]

Berkaitan ketakutan manusia akan kematian, bisa dikaji pada beberapa faktor:

1. Adanya kemungkinan bahwa dengan kematian kemanusiaan dan hidupnya akan tercabut. ini berakar pada tidak adanya keyakinan akan kehidupan setelah mati dan Hari Kiamat. Jalan keluarnya dan cara penyembuhan dari ketakutan ini adalah manusia hendaknya belajar tentang prinsip-prinsip akidah dan menguatkannya dengan argumentasi-argumentasi rasional sehingga ia bisa meyakini bahwa setelah kepergian manusia dari alam yang fana ini, ada dunia lain yang akan dilaluinya. [13]

2. Kecintaan dan ketergantungan yang dahsyat kepada dunia. Kecintaan kepada dunia adalah pemisah antara manusia dengan Tuhannya. Sehingga berpisah dari dunia baginya sangat sulit. Kecintaan kepada dunia berakar pada keyakinannya bahwa dunia adalah tempat tinggal yang hakiki. Jalan keluarnya; perkuat hubungan dengan dirinya dengan kehidupan akhirat dan cintailah Allah dan Rasul serta ahlul baitnya dan jangan semata-mata hidup hanya untuk dunia yang fana ini. [14]

3. Kematian, adalah pemisah antara manusia dengan derajat dan kedudukannya, pemisah antara manusia dengan keluarga dan sanak kerabatnya.[15] Jalan keluarnya; bertafakur tentang kehidupan setelah mati dan ketergantungan kepada mereka tidak ada nilainya.

4. Dengan kematian, seseorang berpikir bahwa keluarganya tidak memiliki pengayom dan mengalami kesulitan. Pemikiran semacam ini berakar dari tidak adanya tawakal kepada Allah bahwa Dia adalah pemberi rezeki makhluk-makhluk-Nya.[16] jalan keluarnya; selain harus bertawakal kepada Allah, hendaknya melihat kenyataan bahwa orang yang sukses menghadapi hidup juga mencakup anak-anak yang sejak kecil ditinggal mati ayahnya, bahkan orang-orang yang hidupnya mewah dan kedua orang tua mereka masih hidup tidak memiliki keberhasilan dalam hidupnya.

5. Tidak memiliki bekal kebaikan, catatan amalnya kosong dari amal kebaikan dan penuh dengan amal kejelekan.[17] Dengan kata lain, ia membangun dunianya dengan baik tetapi merusak akhiratnya. Sehingga dia tidak mau keluar dari tempat yang indah menuju tempat yang porak-poranda. Jalan keluarnya; bertaubat dan beramal saleh. Dalam hal ini Allah berfirman: Katakanlah: "Hai orang-orang yang menganut agama Yahudi, jika kamu mendakwakan bahwa sesungguhnya kamu sajalah kekasih Allah bukan manusia-manusia yang lain, maka harapkanlah kematianmu, jika kamu adalah orang-orang yang benar* Mereka tidak akan mengharapkan kematian itu selama-lamanya disebabkan kejahatan yang telah mereka perbuat dengan tangan mereka sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui akan orang- orang yang lalim”. [18]

Seseorang datang menghadap Rasulullah saw. dan bertanya: “Ya Rasulullah! Mengapa saya takut akan kematian? Beliau bertanya: “Apakah kamu punya harta kekayaan?” ia menjawab: “Iya” Rasul bertanya: “Apakah kamu menyiapkan bekal akhiratmu?” ia menjawab: “Tidak!”. Rasulullah menjawab: “Sebab inilah kamu takut mati”.[19]

Dalam sebuah pertemuan dengan Imam Hasan a.s. seseorang bertanya: “Wahai putra Rasulullah! Mengapa kita takut akan kematian?” Beliau menjawab: “karena kalian telah merusak akhirat kalian dan membangun dunia kalian” sebab itulah kalian takut meninggalkan apa yang kalian bangun menuju kehancuran”. [20]

Pengaruh mengingat kematian

Ada beberapa pengaruh dalam diri manusia, jika ia mau mengingat kematian: [21]

1. Kemauan hawa nafsunya akan menurun dan padam.

2. Manusia akan bangun dari kelalaian.

3. Hati manusia menjadi kuat dengan janji-janji Allah.

4. Mengurangi selera manusia.

5. Manusia tidak akan rakus.

6. Dunia baginya tidak berarti.

7. Dengan mengingat kematian, seseorang tidak cenderung kepada dunia. Imam Shadiq a.s. dalam hal ini berkata: “perbanyaklah mengingat kematian! Karena tidak ada manusia yang memperbanyak mengingat kematian melainkan orang yang tidak condong kepada dunia. [22]

8. Orang yang banyak mengingat kematian, hatinya akan dihidupkan oleh Allah dan dimudahkan baginya masa-masa sakratulmaut. [23]

Kesimpulannya, dengan mengingat kematian manusia akan selamat dari kejelekan, karena hatinya senantiasa hidup dan jauh dari kelalaian. Dan tidak cenderung kepada gemerlapan duniawi.


[1] . QS, Al-Imran: 30.

[2] . Nahjul Balghah, Khutbah 14.

[3] . QS, Ali Imran: 185.

[4] . QS, An-Nisa: 78.

[5] . QS, Al-Jum’ah: 8.

[6] . QS, Qaaf: 19.

[7] . QS, Al-Anbiya’: 34.

[8] . Safinah Al-Bihar, jilid 2, hal 553.

[9] . lihat: Nahjul Fashohah, kalimat ke 2645.

[10] . Mahajjah Al-Baidho’, jilid 8, hal 255.

[11] . Ibid.

[12] . Lihat: Goftar-e Falsafi; Ma’ad Az Nazar-e Ruh wa Jesm, Muhammad Taqi Falsafi, hal 172.

[13] . Ringkasan Mi’raj As-Sa’adah, Ahmad Naraqi, tahqiq, Ahmad Ahmad Birjandi, hal 67.

[14] . Insan az Marg ta Barzakh, Nikmatullah Salehi Haji Abady, hal 33.

[15] . Hayat-e Javedani, Amir Devany, hal 135.

[16] . Ringkasan Mi’raj As-Sa’adah, hal 69.

[17] . Tafsir Namunah, Makarim Shirazy, jilid 24, hal 122.

[18] . QS, Al-Jum’ah: 6-7.

[19] . Muntkhab Mizan Al-Hikmah, Muhammad Ray Shahry, hal 470.

[20] . Bihar Al-Anwar, jilid 6, hal 129.

[21] . Muntkhab Mizan Al-Hikmah, hal 928, hadis ke 5859.

[22] . Muntkhab Mizan Al-Hikmah, hal 469, hadis ke 5860.

[23] . Ibid, hadis ke 5857.

Tidak ada komentar: