Syi'ah Arab; Kaum muslimin yang terlupakan
Syi'ah Arab; Kaum muslimin yang terlupakan[1]
Sayyid Muhammad Ali Taqavi
Buku ini mengkaji kondisi sosial politik masyarakat Syi'ah di dunia Arab. Studi khusus mengenai masalah ini belum pernah dilakukan secara serius dalam sebuah buku. Bab pertama buku ini menjelaskan identitas Syi'ah; persoalan-persoalan sejarah dan mazhab yang membedakannya dengan mazhab Sunni. Seberapa jauh perbedaan itu berpengaruh dalam kehidupan sosial dan politik orang-orang Syi'ah. Bab dua buku ini merupakan penjelasan umum mengenai kondisi orang-orang Syi'ah di negara-negara Arab yang dikuasai oleh Ahli Sunah. Dalam bab ini kedua penulis membeberkan fakta-fakta bahwa sekalipun sebagai minoritas yang patut diperhitungkan atau mayoritas, didiskreditkan oleh penguasa. Bahkan mereka dilarang untuk melaksanakan acara-acara keagamaannya.
Bab ketiga dari buku ini menjelaskan gambaran tentang kebutuhan orang-orang Syi'ah. Apa yang mereka lakukan agar kepedihan yang dialami selama ini terkurangi. Sementara bab empat, kedua penulis membahas peran Iran sebagai negara yang mewakili Syi'ah di dunia, khususnya setelah revolusi Islam Iran.
Bab lima sampai sembilan memaparkan kondisi orang-orang Syi'ah di negara-negara Arab. Diceritakan bagaimana orang-orang Syi'ah di Irak yang mayoritas selama beberapa dekade ditindas oleh pemerintah yang Sunni. Di Bahrain, bagaimana mayoritas Syi'ah tidak dapat menggunakan hak-hak politiknya dan dari sisi ekonomi mendapat tekanan keras dari pemerintah. Di Kuwait keadaan orang-orang Syi'ah tidak lebih baik dari Bahrain dan senantiasa mereka dicurigai oleh penguasa. Kecurigaan itu agak berkurang setelah perang teluk Parsi. Sementara itu, di Arab Saudi secara resmi orang-orang Syi'ah dikucilkan oleh pemerintah. Hanya Syi'ah Lebanon yang kondisinya agak lebih baik. Itu pun setelah perang saudara mereka baru dpat meraih posisi-posisi penting sosial dan politik.
Bab sepuluh buku lebih menekankan pandangan dunia Barat terhadap masyarakat Syi'ah Arab dan begitu juga sebaliknya. Akhir buku ini memberikan beberapa poin penting sebagai bahan pertimbangan kebijakan politik luar negeri amerika.
Buku ini mendeskripsikan dengan cukup baik mengenai pengucilan strukturalis masyarakat Syi'ah Arab oleh pemerintah yang Sunni. Hal yang coba dinafikan oleh negara-negara Arab bahkan oleh masyarakat Arab. Di samping itu juga, orang-orang Syi'ah sendiri yang tidak tertarik untuk menarik kasus ini menjadi masalah publik. Terlebih lagi, ide persatuan Islam dan nasionalisme Arab di dunia Arab menjadikan membicarakan masalah monoritas sebagai hal yang tabu. Kecenderungan yang tinggi untuk bersatu; Islam atau Arab, membuat tirai penderitaan kalangan minoritas, khususnya minoritas Syi'ah, tidak pernah tersingkap. Bahkan lebih sering terjadi ide persatuan menjadi alasan untuk menindas kelompok minoritas.
Diskriminasi mazhab sangat sensitif di kalangan kaum muslimin. Dan ini kembali pada sejarah pertumbuhan Islam itu sendiri. Mayoritas kaum muslimin menyadari hal ini, namun mereka lebih memilih untuk membicarakannya secara khusus dan terbatas. Hal ini untuk tetap menunjukkan wajah persatuan Islam. Dampak negatif dari sikap yang ditunjukkan selama ini dapat dianalisa ketika realita pengucilan antara mazhab Islam dibeberkan dihadapan seorang muslim atau Arab, mereka terlihat bingung untuk memberikan solusinya dan menunjukkan sikap.
Keinginan kuat untuk mewujudkan persatuan di dunia Islam dan dunia Arab, terutama pada level nasional, membuat keberagaman tidak mendapat perhatian sebagai kekayaan budaya. Kenyataannya, dalam kamus politik Timu Tengah, keberagaman, dalam bentuk apapun, dianggap sebagai ancaman. Dari sini, dapat digambarkan bahwa usaha menekan kelompok minoritas, seperti Syi'ah, muncul dari keterancaman keragaman budaya. Dengan alasan ini, diskriminasi hak-hak politik dan sosial Kurdi irak dan Barbar Aljazair harus dikorbankan untuk membela ide kesatuan nasional atau Arab.
Kesimpulannya, dunia Arab tidak pernah berusaha untuk melihat dan mengkaji realita kelompok minoritas secara obyektif. Dengan cara pandang ini, tidak hanya ide persatuan tidak bakal terwujud, bahkan bila ada kesempatan, maka kelompok minoritas akan bereaksi dengan sangat ekstrim.
Kelebihan buku ini dapat dilihat pada kekuatan penulisannya, di samping advis yang diberikan perlu direnungkan. Buat pembca buku ini, tidak hanya mendapat penjelasan mengenai masalah yang dibahas, tapi juga diantar untuk menganalisa dan menyikapi masalah yang ada. Buku ini juga disusun untuk menjadi bahan pertimbangan pengambilan keputusan di kementrian luar negeri Amerika. Dan ini, setuju atau tidak, menambah daya tarik buku ini.
Yang lebih penting lagi, buku ini ditulis empat tahun sebelum penyerbuan Amerika ke Irak. Dan tentu saja, buku ini memiliki saham penting dalam pengambilan keputusan waktu itu. Tentunya, ini tidak mengada-ada. Karena salah satu dari penulis buku ini, Graham Fuller selama tujuh belas tahun bertugas sebagai diplomat Amerika di Timur Tengah. Setelah itu dia menjabat sebagai wakil CIA bidang rencana jangka panjang.
Kelemahan buku ini adalah tidak mengkaji secara mendalam berbagai masalah yang disebutkan. Sebagai contoh, latar belakang sejarah budaya Syi'ah, perbedaan yang ada dalam masyarakat Syi'ah tidak dikaji bersamaan dengan pandangan baru ulama kontemporer Syi'ah. Substansi masalah tidak dikaji secara detil. Namun, masih bisa dibenarkan dengan melihat pada luasnya pembahasan dan tema yang ada membuat hal itu tidak dapat dilakukan dengan baik.
Kedua penulis mengkaji masalah masyarakat Syi'ah dalam bingkai masyarakat Arab. Masyarakat yang hidup dalam kekangan, bahkan buat mayoritas Sunni sendiri. Kedua penulis berpendapat bahwa untuk keluar dari krisis ini, dapat dilakukan dengan kebebasan politik dan demokrasi. Hanya dalam suasana seperti ini, tidak hanya menguntungkan orang-orang Syi'ah, tapi juga kaum Sunni. Dengan cara pandang ini, wujud demokrasi di Irak dan Bahrain dianggap sebagai kemenangan Syi'ah dan Sunni sebagai pecundang. Sebuah kesimpulan yang tidak benar. Karena sekalipun demokrasi mengantarkan Syi'ah ke puncak kekuasaan, namun keuntungan pun berpihak pada Sunni. Bila kondisinya selain yang ada, sangat mungkin akan naik lagi penguasa zalim Sunni yang tidak hanya merugikan orang-orang Syi'ah, melainkan juga sebagian besar orang-orang Sunni.
Menurut kedua penulis, setelah revolusi Iran penderitaan orang-orang Syi'ah di Arab mendapat perhatian. Revolusi Iran juga menyuntikkan darah segar bagi kebangkitan pergerakan Syi'ah di negara-negara Arab. Keduanya sepakat bahwa dua hal ini menguntungkan politik luar negeri Iran. Keduanya juga berpendapat bahwa kondisi masyarakat Syi'ah Arab, selain Lebanon, lebih buruk setelah revolusi Iran. Pendapat ini tidak terlalu benar. Karena pada kenyataannya, setelah revolusi Islam Iran orang-orang Syi'ah Arab lebih mendapat tekanan dari penguasa. Namun, itu tidak dapat diartikan sebagai asas manfaat dari politik luar negeri iran.
Politik luar negeri Iran di tahun-tahun 1980 bahkan setelah itu lebih lebih bersifat ideologi ketimbang kepentingan nasional. Ini dapat terlihat ketika politik luar negeri Iran jelas-jelas merugikan orang-orang Syi'ah. Sebagai contoh perjuangan Syi'ah Irak dan setelah kekalahan Irak setelah mengagresi Kuwait. Semua itu dalam usaha untuk menghadapi Amerika, musuh seluruh kaum muslimin sedunia.[Saleh L]
[1] . Buku ini aslinya berujudul "The Arab Shi'a; The Forgotten Muslims (New york: St.290 pp 312221789,0 Martinis press. 1999, ISBN. Ditulis oleh Graham E. Fuller dan Rend Rahim Fancke.
1 komentar:
Posting Komentar