Akal sebagai sumber hukum dalam sejarah pemikiran Syiah
Akal sebagai sumber hukum dalam sejarah pemikiran Syiah
Saleh Lapadi
Banyak pemikir yang menyebutkan bahwa dalam pemikiran Syiah setelah kegaiban Imam Mahdi af, Ibnu Junaid adalah seorang faqih pertama yang mempergunakan akal secara luas dalam proses penyimpulan hukumnya. Hal itu membuat ia dituduh mempergunakan qiyas. Dalam pembelaannya, ia menulis buku yang berjudul Kasyf at-Tanbih (sebagian menulis Tanwiyah) wa al-Ilbas Ala Aghmar as-Syiah fi Amr al-Qiyas. Buku ini yang membuat Ayatullah Sistani menjelaskan apa yang dimaksud dengan qiyas yang dipakai oleh Ibnu Junaid. Bahkan tidak jelas, apakah Ibnu Junaid meyakini Qiyas Aulawiyat dan Manshus al-Illah ataukah qiyas yang dipakai oleh Ahli Sunah. Yang menjadi masalah adalah buku-buku Ibnu Junaid dalam perjalanan sejarah tidak ada tersisa untuk dikaji apakah dalam kajian akal yang dimaksud adalah sumber ataukah alat.
Melihat hal itu, sulit untuk meyakini bahwa akal yang dipakai adalah akal sebagai sumber. Terlebih lagi dengan melihat bahwa Syaikh Mufid sebagai muridnya, ternyata akal yang ditekankannya bukan akal sebagai sumber tetapi sebagai alat. Dalam buku “Silsilah Muallafat as-Syaikh al-Mufid, jilid 9, at-Tadzkirah fi Ilmi al-Ushul, hal 28” Syaikh Mufid menyebutkan:
“Ketahuilah! Prinsip-prinsip hukum syariat ada tiga; al-Quran, Sunah dan ucapan para Imam. Cara-cara yang dapat dipakai untuk sampai ke tiga sumber itu salah satunya adalah akal. Akal dapat mengenal hujjiyah al-Quran dan makna hadis-hadis”.
Syaikh Mufid (W. 413) sekalipun menekankan akal, namun tidak sampai meletakkannya sebagai sumber hukum sebanding dengan al-Quran dan Sunah. Akal menurut Syaikh Mufid sebagai penyingkap.
Sayyid Murtadha (W. 436) merupakan ulama pertama yang mendudukan akal sebagai salah satu sumber hukum. Bedanya, ia meletakkan akal setelah al-Quran, Sunah dan Ijma’. Akal tidak setara dengan tiga sumber di atas. Akal menjadi sumber ketika tidak ditemukan dalil dari ketiga sumber di atas. Dalam buku “Rasai as-Syarif al-Murtadha, jilid 1, hal 318” Sayyid Murtadha menulis: “Bila kita mengasumsikan bahwa sebuah masalah baru tidak ditemukan dalam dalil-dalil sebelumnya (Al-Quran, Sunah dan Ijma’), kaka untuk menyelesaikan masalah ini perlu merujuk pada hukum akal. Pada dasarnya, dalam masalah ini, hukum ilahi adalah ini”.
Syaikh Thusi (W. 460) dalam bukunya Iddah al-Ushul, tidak membahas secara terpisah, dalam 12 bab bukunya, masalah akal, namun tidak berarti tidak membicarakannya sama sekali. Syaikh Thusi menganggap akal memiliki posisi yang agung, namun dalam bukunya akal tidak sebagai sumber, melainkan sebagai alat. Dalam Iddah al-Ushul lebih sering ditemui pembahasan yang perlu tolok ukur. Ia mengatakan bahwa tolok ukurnya adalah akal. Sama seperti Sayyid Murtadha, ia juga mengakui akal sebagai sumber hukum, tapi setelah tidak ditemukannya dalil dari al-Quran, Sunah dan Ijma’.
Dalam Iddah al-Ushul, jilid 2, hal 434 ia menyebutkan: “Dan kapan saja terjadi sebuah peristiwa yang hukumnya belum dijelaskan, maka itu menunjukkan bahwa masalah itu dihukumi oleh akal”. Syaikh Thusi memberikan alasan “Bila peristiwa itu punya hukum syariat, maka pasti masalah itu telah dijelaskan atau diisyaratkan”.
Melihat pada awal munculnya kajian akal dalam fiqih Syiah, akal tidak diletakkan sama rata dengan al-Quran, Sunah dan Ijma’. Akal dijadikan sumber ketika ketiga sumber tersebut tidak punya penjelasan atas hukum sebuah masalah.
Dapat dikatakan bahwa untuk pertama kalinya Ibnu Idris (W. 598) meletakkan akal sejajar dengan ketiga sumber hukum yang lain. Sekalipun ibnu Idris dalam buku as-Sarair tidak menjelaskan secara terperinci masalah ini, namun ini dapat dianggap sebagai sebuah permulaan yang baik. Dalam as-Sarair, jilid 1, hal 46, 222, 330, 377 dan jilid 2, hal 116, Ibnu Idris menuliskan: “Kebenaran tidak akan keluar dari empat hal; al-Quran, Sunah Nabi yang mutawatir dan disepakati, Ijma’ dan akal”.
Bila kita cukupkan penelitian kita di sini, memang terlihat bahwa Ibnu Idris menyejajarkan akal dengan dalil yang lain. Namun bila kita teruskan pembacaan kita ia menulis: “Bila ketiga dalil (al-Quran, Sunah dan Ijma’, -pen) tidak ditemukan, maka yang dijadikan rujukan oleh peneliti dalam sumber syariat adalah berpegangan dengan dalil akal dalam masalah itu”. Ini menunjukkan bahwa keyakinan Ibnu Idris juga belum sampai pada tahapan meletakkan akal sejajar dengan ketiga dalil lainnya!
Muhaqqiq al-Hilli (W. 676) merupakan ulama Syiah yang pertama kalinya membahas masalah dalil akal dengan luas dalam bab tersendiri. Dalam bukunya al-Mu’tabar ia membagi pembahasan dalil akal menjadi dua bagian; pertama Mustaqillat Aqliyah seperti kajian baiknya keadilan dan buruknya kezaliman. Kedua, Mustaqillat Ghair Aqliyah. Berbeda dengan penjelasan Mustaqillat Ghair Aqliyat yang dibahas saat ini dalam ilmu Usul Fiqh, Muhaqqiq Hilli membahasnya terbatas pada bab alfadh dan pengertian sebuah kata atau kalimat.
Sekali lagi, bila merujuk pada buku al-Mu’tabarnya, tidak ada penjelasan secara khusus mengenai akal sebagai sumber hukum.
Muhammad bin Makki Syamsuddin yang dikenal sebagai Syahid awal (W. 786) dalam pendahuluan buku Dzikr as-Syiah miliknya meneruskan pembahasan masalah akal yang ditulis oleh Muhaqqiq Hilli. Bedanya, Syahid awal hanya menambahkan dan mengubah tempat pembahasan saja. Sebagai contoh ia menambahkan masalah mukadimah wajib dan beberapa masalah lainnya ke dalam pembahasan Mutaqillat Aqliyah.
Fadhil Tuni (W. 1071) adalah ulama Syiah pertama yang membahas masalah akal secara terperinci. Ia dalam bukunya al-Wafiyah membagi akal dalam 7 pembahasan. Dengan ketelitiannya ia mampu membagi pembahasan Muataqillat Aqliyah dan Ghair Aqliyah. Setelah berhasil membagi dengan baik, ia menjelaskan dengan baik penggunaan akal dalam menyimpulkan hukum syariat. Bahkan dapat dikatakan bahwa setelah Fadhil Tuni, pembahasan akal menjadi jelas.
Hal ini dapat dimaklumi karena Fadhil Tuni hidup di zaman keemasan Akhbariyun. Ia terpaksa harus menjelaskan akal sebagai sumber hukum dengan baik. Karena Akhbariyun tidak menerima akal sebagai sumber hukum sejajar dengan al-Quran dan Sunah. Ketidaksetujuan mereka muncul dari kerancuan yang ditemukan dalam ucapan ulama Syiah sebelumnya. Dengan melihat kenyataan itu, Fadhil Tuni menyusun pembahasan akal dengan baik dan patut mendapat pujian untuk usahanya. Buku al-Wafiyah menyingkap kerancuan mengenai masalah akal yang selama ini dipahami oleh Ahkbariyun.
Setelah Fadhil Tuni menulis buku al-Wafiyah menjelaskan secara terperinci mengenai akal, pembahasan masalah akal dalam karya-karya ulama setelahnya tidak mengalami perkembangan, secara kualitas dan kuantitas, yang semestinya. Hal ini dapat dilihat bagaimana ulama Syiah seperti Mirza Qummi tidak banyak menjelaskan masalah ini. Syaih Anshari, Akhund Khurasani dalam bukunya tidak memberikan kajian tersendiri mengenai akal, tapi dibahas sebagai pengantar dalam kajian lafad. Syaikh Muhammad Husein Isfahani punya pembahasan yang bagus mengenai masalah akal.
Buku terbaik yang membahas masalah akal adalah buku Ushul al-Fiqh yang ditulis oleh Muhammad Ridha Muzhaffar. Setelah buku Ushul Fiqh Muzhaffar, buku terbaik yang menjelaskan masalah ini adalah tulisan Syahid Shadr dalam bukunya Halaqat al-Ushul. Perbedaannya, buku Syahid Shadr memiliki kelebihan dalam ketelitian dan kedalaman pembahasan Ghair Mustaqillat Aqliyah. Sementara kelebihan buku Ushul Fiqh Syaikh Muzhaffar detil masalah yang dikaji dalam Mustaqillat Aqliyah.
Sumber:
1. Ensiklopedia ahli-ahli Ushul Fiqh Syiah (Danesh Nameh Ushuliyan Syiah, Muhammad Reza Zamiri, Qom, 1384 HS).
2. Fiqih dan akal (Fiqh va Aql, Abul Qasim Ali Dust, Teheran, 1383 HS).
3. Pengantar ilmu fiqih (Madkhal Ilm Fiqh, Reza Islami, Qom, 1384 HS).
4. Posisi akal dalam menyimpulkan hukum (Jaigah Aql Dar Estenbat Ahkam, Said Qammashi, Qom, 1384 HS).
5. Pengantar sejarah ilmu Ushul Fiqih (Dar Amadi Beh Tarikh Ilm Ushul, Muhammad ali Pour, Qom, 1382 HS).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar