Minggu, 29 April 2007

Diskusi Jihad di Milist ISLAT


Diskusi Jihad di Milist ISLAT

Bung Revoltase, saya sangat berterima kasih sekali karena pada akhirnya kasak-kusuk tentang hubungan agama dan pengikutnya difloorkan juga di milist ini. Selain itu, adalah masalah jihad, yang katanya, Spencer sedang membolak-balik ayat-ayat tentang jihad. Kedua masalah ini saling berhubungan erat. Masalah pertama bila dapat diselesaikan akan menjadi landasan untuk jawaban bagi permasalahan kedua. Namun, bukan berarti tanpa menjawab yang masalah pertama kemudian masalah jihad tidak mungkin terselesaikan.

Dalam kesempatan kali ini saya ingin sedikit membicarakan tentang masalah jihad.

Bung Revoltase, Menurut saya, masalah jihad yang lagi diteliti oleh Spencer yang tentunya berdasarkan pesanan bukan harus dijawab oleh kaum muslimin. Namun, Spencer dan kawan-kawan lah yang harus cerdas melihat lagi perkembangan wawasan keagamaan di kawasan lain. Karena ia dituntut untuk obyektif. Kecuali kalau pesan sponsor yang lebih kuat, mau apa lagi.

Dalam Syi’ah, Setelah revolusi Islam yang dibimbing oleh Imam Khomeini produk-produk hukum yang dihasilkan tidak seperti dahulu lagi, hantam kromo. Yang terjadi sekarang adalah produk hukum di bawah payung hukum positif. Saya jadi teringat dahulu ketika masih mondok sebagian dari guru kami menyampaikan fatwa bahwa mengambil harta orang kafir itu halal. Kemudian dalam perkembangannya disampaikan lagi fatwa bahwa itu haram. Alasannya, adalah itu akan membuat sistem masyarakat menjadi kacau dan anarkis. Salah satu tolok ukur kebenaran sebuah fatwa yang terkait erat dengan masalah sosial akan ditimbang dengan kaidah tadi. Dengan demikian, pada saat yang sama kajian lintas mazhab bahkan hukum internasional menjadi kajian yang menjanjikan. Salah satunya seperti yang telah saya contohkan dalam masalah ekspansi sebuah negara Islam dalam pandangan Imam Khomeini pada postingan sebelumnya.

Saya bawakan sebuah hadis populer tentang amar makruf dan nahi mungkar yang mengatakan bahwa bila menghadapi kemungkaran maka; pertama dilawan dengan hati kemudian dengan lidah dan terakhir dengan tangan. Kata tangan dalam hadis tersebut tidak terbatas pada tangan yang ada di badan kita ini saja namun mencakup alat-alat atau sikap-sikap yang menunjukkan tindakan kekerasan. Dalam Syi’ah, proses memakai tindakan kekerasan ini sudah tidak lagi menjadi milik setiap individu tetapi khusus terkait dengan pemerintah yang berkuasa. Dalam fikih Syi’ah hukum selain pembagian yang biasa kita kenal ada pembagian lain yang menjadi trend setelah revolusi Iran adalah hukum pemerintahan (wila’i) dan hukum yang biasa (taklifi). Dengan demikian, hadis tadi memiliki dua jenis hukum. Pertama, hukum pemerintahan yang terkait dengan tindakan kekerasan. Sementara kedua, masalah hati dan lidah menjadi milik semua masyarakat sebagai salah satu mekanisme kontrol sosial. Kesimpulannya, setiap individu muslim tidak berhak melakukan tindakan kekerasan atas nama amar makruf dan nahi mungkar. Konsep amar makruf dan nahi mungkar pada tahapan tindakan kekerasan tidak boleh dilakukan oleh individu tetapi oleh sebuah badan yang memang bertugas untuk itu.

Bila pada tahapan amar makruf dan nahi mungkar ada tahapan di mana setiap individu tidak memiliki akses ke sana karena akan memunculkan keonaran dan chaos, maka dalam bentuk derajat yang lebih, hal ini berlaku terhadap jihad. Bila dalam amar makruf dan nahi mungkar ada syarat-syaratnya sebagaimana diatur dalam fikih politik Islam, maka dalam masalah jihad syarat-syarat tersebut harus lebih diperhatikan dan disikapi dengan lebih berhati-hati dan bukannya dengan sembrono. Mengapa harus demikian? Karena dalam jihad ada kemungkinan nyawa yang melayang. Dan bila sampai salah dalam menyikapi maka pemimpin yang memberi perintah tersebut akan dimintai pertanggungjawabannya di akherat kelak. Belum mengenai hak-hak masyarakat sipil. Itulah, mengapa jihad yang bukan karena membela diri hanya akan sah, dalam Syi’ah, bila mendapat izin dari wali faqih.

Kita lihat bagaimana pasukan Muqtadha Shadr di Irak, sekalipun jihad sudah wajib, namun ia masih harus tunduk kepada Ayatullah Sistani marja’ terbesar di sana. Mungkin kita akan berpikir bahwa kekuatan pasukan Syi’ah di Irak lemah, ternyata tidak demikian. Ingat! Setelah pembantaian orang-orang Syi’ah di sebuah Huseiniyah setelah pemboman kuburan dua Imam Syi’ah, kota Baghdad dikuasai oleh pasukan Syi’ah selama beberapa waktu sementara pasukan Amerika kembali dan mendekam di barak-barak mereka karena ketakutan akan pembalasan orang-orang Syi’ah. Hanya karena perintah Ayatullah Sistani agar mereka mengembalikan kekuasaan kepada Amerika sebagai yang ditunjuk oleh PBB untuk menjaga keamanan di Irak yang membuat mereka mengembalikan kekuasaan ke Amerika.

Apakah Spencer mengetahui pemahaman jihad model demikian? Konsep yang seperti ini akan dilirik bila proyek yang dikerjakannya mencoba melihat masalah lebih obyektif.

Dalam tulisan-tulisan yang menjelaskan masalah jihad di Indonesia yang masih sejalan dengan proyek Spencer dan dengan gaya pendekatan Abu Zaid, mereka mencoba melihat konteks ketika kata jihad diturunkan dalam ayat al-Quran. Bagaimana dalam kamus orang-orang Arab jahiliyah yang dimaksud dengan kata jihad tidak lebih dari sikap barbar mereka yang suka berperang. Pada tataran ini memang benar. Namun, kalau Islam memang harus dimaknai semacam ini, maka tentu saja Islam sudah sejak lama musnah. Para Imam Syi’ah tidak perlu bersusah-payah melakukan jihad untuk menentang pemaknaan jihad yang dipakai oleh para khalifah pada masa mereka. Bagaimana Imam Ali pernah menentang ekspansi atas nama jihad yang dilakukan oleh Khalifah Umar karena telah keluar dari makna jihad yang sebenarnya. Yang ada di kepalanya adalah keperkasaan bangsa Arab. Dalam sejarah ditulis bagaimana untuk menyemangatkan pasukannya dengan isu-isu ras Arab dan harta rampasan perang.

Bagaimana kita membandingkan jihad yang seperti ini, dengan jihad yang dilakukan oleh Imam Ali berhadapan dengan mereka yang mengkhianatinya. Sejarah mencatat sampai saat perang akan dimulai, beliau masih tetap memberitahukan apa sebenarnya yang tengah dilakukan oleh mereka. Beliau masih berusaha menuntun mereka. Dan ketika peperangan dimulai oleh pihak lawan, pasukannya diperintahkan untuk diam. Pasukan musuh melontarkan anak panah hingga seorang anak buahnya tewas. Masih saja beliau menahan pasukannya untuk maju. Sehingga jatuh korban yang ketiga baru kemudian beliau memerintahkan pasukannya untuk maju. Itu karena dengan jatuh korban ketiga telah menandakan bahwa buat lawan tidak ada lagi jalur diplomasi. Jihad dalam Islam yang ditunjukkan oleh sebagian umat Islam seperti ini.

Saya ingin mengajak saudara Revoltase melihat kembali keputusan MUI tentang sekularisme. Serentak semua pendukung sekularisme melakukan protes bahwa kata sekularisme yang dimaksudkan oleh MUI bukan yang dimaksudkan oleh mereka. Sejarah mencatat proses pemaknaan kata sekularisme sehingga maknanya tidak hanya satu. Apa yang disampaikan oleh MUI itu salah satu maknanya namun itu tidak dipakai oleh mereka yang pro dengan sekularisme di Indonesia.

Ketika untuk keuntungan mereka, ada namanya proses pemaknaan terhadap sebuah kalimat. Namun ketika untuk Islam, hal yang seperti itu tidak berlaku. Jihad harus tetap dengan pemaknaan yang dahulu. Seakan-akan untuk selain Islam segalanya mengalami perkembangan sementara ketika membicarakan Islam, maka Islam harus dimaknai dengan hal-hal yang negatif saja tidak lebih. Saya ingat bagaimana teman-teman di JIL selalu ingin membuktikan bagaimana Amerika telah berubah bahkan saat ini Amerika adalah tempat di mana dengan bebas setiap agama dapat tumbuh dan berinteraksi dengan bebas.

Kami tidak punya masalah dengan itu. Yang kami inginkan adalah pandang kami juga bisa mengalami perubahan. Sekalipun perubahan itu tidak kalian sukai (sekalipun juga kami tidak terlalu berharap untuk itu). Namun, jadikan perubahan itu sebagai sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari seorang manusia muslim, bila seorang selain muslim bisa berubah.

Setelah revolusi Iran, kata jihad mengambil makna baru. Ada jihad pembangunan. Jihad sudah tidak lagi dengan memanggul senjata namun dengan memanggul pena dan buku, bakul dan pacul dan lain-lain. Jihad telah memiliki perluasan makna menjadi lebih mulia (namun bukannya jihad perang tidak mulia).

Anda bisa membayangkan bila energi yang sebegitu besar yang kita miliki di Indonesia harus terhambur untuk berjihad seperti yang dipahami oleh orang-orang seperti Amrozi. Mengapa makna jihad tidak diperluas? Memasuki sendi-sendi kehidupan masyarakat baik. Ini dapat menjadi sebuah isu baik guna bangkit lagi dari keterpurukan. Sekali lagi itu karena proses obyektifikasi mereka atas Islam ideal tidak berjalan sempurna. Atau dengan kata lain mereka gagal mengonsep Islam ideal dalam tataran praktis bersanding dengan agama dan ideologi lain di Indonesia. Bagaimana bisa bila yang dibicarakan tidak keluar dari masalah bid’ah.

Apakah Spencer mau juga melihat masalah ini?

Mungkin Bung Revoltase perlu mengikuti terus hasil-hasil kajian Spencer...

Wassalam

Saleh Lapadi

Tidak ada komentar: