Selasa, 24 April 2007


Ismailiyah: Kelompok terbesar kedua Syiah[1]

Ismailiyah adalah kelompok Syiah yang terbesar kedua setelah Itsna ‘Asyariyah. Kelompok ini kurang mendapat perhatian bahkan informasi mengenainya tidak luas. Bahkan selama berabad-abad informasi yang benar dan dapat dipercaya untuk para peneliti boleh dikata hampir tidak ada. Penelitian terbaru pada abad dua puluh sangat membantu mengenal Ismailiyah. Kelompok Ismailiyah adalah pendiri negara yang bermazhab Syiah di Afrika Utara. Artikel ini berusaha untuk menjelaskan sejarah Ismailiyah namun, beberapa akidah dan pandangan keagamaan mereka tidak luput juga dari perhatian.

Sejarah Ismailiyah

Terbentuknya kelompok Syiah Ismailiyah lebih dikarenakan perbedaan penetapan pelanjut Imam Ja’far Shadiq as. Pada tahun 148 H/765 M, di kota Kufah sebagian orang-orang Syiah memisahkan dirinya. Pemisahan ini terkait erat dengan perjuangan melawan dinasti Abbasiyah. Ide mereka dibalik perjuangan tersebut adalah keyakinan bahwa pemerintahan yang berdasarkan keadilan hanya dapat dibenarkan bila dilakukan di belakang kepemimpinan Ismail bin Ja’far (anak laki tertua Imam Ja’far Shadiq AS.). Semboyan ini menarik perhatian orang-orang Syiah di Iran, Irak, Syiria, Yaman, Bahrain dan Afrika Utara. Gerakan ini biasa disebut As-Da’wah Al-Hadiyah (Dakwah Hidayah).

Pada tahun 297 H pemerintahan pertama yang berhasilkan didirikan bernama Fathimiyyun. Keberhasilan ini di bawah kepemimpinan Imam Ismailiyah. Pemerintahan Ismailiyah di bangun di Afrika Utara. Tahun-tahun itu dapat disebut sebagai masa keemasan Syiah Ismailiyah. Pada tahun 487 H/1094 M terjadi krisis terbesar dialami oleh Syiah Ismailiyah. Krisis ini terkait erat dengan kepemimpinan setelah Imam Ismailiyah. Krisis ini menyebabkan terbaginya Syiah Ismailiyah menjadi dua bagian. Musta’lawiyah dan Nizariyah. Perselisihan yang terjadi menyebabkan melemahnya Syiah Ismailiyah di hadapan Ahli Sunah.

Musta’lawiyah diakui secara resmi oleh pemerintah pusat di Afrika Utara. Bahkan boleh dikata Musta’lawiyah adalah pewaris aliran Ismailiyah. Namun Musta’lawiyah perlahan-lahan juga terbagi-bagi. Pada akhirnya, tahun 567 H ketika Dinasti Fathimiyah runtuh, Musta’lawiyah dengan sendirinya tidak lagi memiliki kekuasaan. Di masa keruntuhan Dinasti Fathimiyah kelompok Ismailiyah Thibi, yang sebagian besar Musta’lawiyah, menetap di Yaman. Mereka menanti Imam mereka yang gaib. Di masa penantian Imam gaib mereka meyakini kepemimpinan Da’i Muthlaq (penyeru mutlak). Perlahan-lahan ajaran mereka menyebar ke India. Di India dikenal sebagai Buhrah. Perhatian besar mereka akan pentingnya sastra dan pemikiran Ismailiyah menyebabkan budaya Fathimiyyun untuk kedua kalinya tumbuh kembali. Saat ini, sejumlah besar teks-teks Ismailiyah Fathimiyah dan Thibi berada di tangan Ismailiyah India.

Sementara itu saat ini, Nizariyah sempalan lain dari Ismailiyah memiliki pengikut terbesar. Pada abad pertengahan mereka banyak bertempat tinggal di Iran. Pertama mereka menempati daerah Khuzestan kemudian berpindah-pindah ke Utara, pusat Iran, Khurasan dan sampai di daerah Ma bina An-Nahrain, akhirnya mereka tersebar di daerah Rei dan Naishabur. Penyeru mutlak mereka seperti, Abu Hatim Ar-Razi dan Muhammad bin Amhad Nasafi memimpin Da’i Muthlaq di daerah Kurasan. Berkat usaha penyeru mutlak, yang rata-rata adalah orang Iran, pemikiran Neo Platonisme dikombinasikan dengan teologi Ismailiyah. Usaha mereka menghasilkan aliran filsafat Ismailiyah Neo Platonisme. Pemikir-pemikir yang memiliki saham terbentuknya pemikiran ini seperti; Abu Ya’qub Sijstani, Hamid Ad-Din Kermani, Nasir Khasru dan lain-lain. Pergolakan pemikiran yang terjadi ini pada akhirnya, dengan kepemimpinan Hassan Sabah, memunculkan gerakan Ismailiyah Nizariyah.

Hassan Sabah lahir di kota Qom. Ia meyakini ajaran Ismailiyah di kota Rei hingga memegang tampuk kepemimpinan. Pada masa itu, akhir-akhir abad ke lima Hijriah, Ismailiyah yang berada di Iran masih di bawah kepemimpinan Syiah Fathimiyyun. Perwakilan Syiah Fathimiyyun di Iran dipegang oleh Abdul Malik Bin ‘Attash. Ia tinggal di kota Isfahan. Hassan Sabah sebelum terpecahnya Ismailiyah kepada Musta’lawiyah dan Nizariyah berniat untuk memerangi Turki Saljuqi yang bermazhabkah Ahli Sunah. Ia pada tahun 483 H/1090 M berhasil menguasai istana Alamut. Pada tahun 487 H ia menjadi pemimpin Syiah Ismailiyah Iran. Dengan itu juga ia memutuskan hubungannya dengan Fathimiyyun. Bersamaan dengan itu ia mendirikan negara Nizari. Negara yang dibangunnya dikemudikan hari lebih dikenal dengan ‘Da’wah jadidah’ (seruan pembaharu). Hassan Sabah perlahan-lahan melebarkan sayap kekuasaannya hingga mencakup Syiria, Khurasan dan daerah Utara Iran. Namun batas-batas teritorial kekuasaannya terpecah-pecah.

Negara Nizariyah hanya dapat bertahan selama 166 tahun. Masa 166 tahun ini dikenal dengan masa Alamut. Tidak banyak informasi berkaitan dengan mereka. Informasi yang ada tidak lebih dari informasi yang diberikan oleh Markopolo sebagai pengamatan yang dilakukan dalam perjalanannya. Namun akar pemikiran Nizariyah dapat ditelusuri pada Sepidjamegan dan Khurramdinan.

Setelah Hassan Sabah, ada tujuh orang sepeninggalnya yang berkuasa di Alamut. Di masa-masa mereka ini kekuasaan mereka cukup kuat. Kekuatan mereka pada akhirnya harus runtuh setelah serangan bangsa Nongol. Dan runtuhnya kerajaan Nizariyah oleh serangan tentara Mongol terjadi pada tahun 654 H/1256 M. Setelah runtuhnya kerajaan Nizariyah, orang-orang Ismailiyah kemudian melakukan eksodus ke beberapa negara antara lain India, Afghanistan dan lain-lain. Penyebaran mereka di beberapa negara dilakukan dengan bentuk kehidupan seorang sufi. Imam Nizariyah sebagai mursyid mereka. Mereka sempat berkumpul di daerah Anjedan kota Qom dan akhirnya menuju India. Di India mereka dikenal dengan sebutan Khojah. Khojah adalah kelompok Syiah Ismailiyah yang terbesar. Saat ini, pengikut Syiah Ismailiyah hidup bertebaran di Kerman, Tajikistan, Khurasan, Afghanistan dan lain-lain.

Ismailiyah perspektif Barat

Eropa mengenal pemerintahan Nizariyyun di Syiria pada pertengahan kedua abad kesebelas (abad 6 H). Orang-orang Eropa menganggap mereka sebagai kelompok pembunuh (Assasin). Bahkan pengelana Spanyol terkenal Benyamin Todlay menyebut mereka sebagai para pemadat. Orang-orang Eropa tidak mengetahui bahwa mereka adalah kaum muslimin dan Syiah. Tidak itu saja, dalam pandangan orang-orang Eropa mereka adalah kelompok pemberontak, suka berperang dan taat penuh dengan pemimpinnya. Pemerintahan Roma dan Islam sangat takut dengan sepak terjang kelompok ini. Kehidupan mereka dipagari oleh benteng kokoh yang jarang orang dapat memasukinya. Pemimpin mereka biasanya disebut dengan Syaikh Al-Jabal (tetua gunung).

Orang pertama yang melihat mereka berbeda dengan pandangan sebelumnya orang-orang Eropa adalah James Victoria seorang Uskup ‘Uka’. Ia memandang Iran sebagai pusat Nizariyyun. Hanya saja ia menganggap Nizariyyun adalah kelompok Yahudi. Markopolo setelah lima belas tahun punahnya Nizariyyun mendengar cerita-cerita tentang mereka dan Syaikh Al-Jabal. Disebutkan bahwa ia memiliki sebuah taman yang digambarkan seperti surga berisikan wanita-wanita cantik, semacam kisah surga yang digambarkan Nabi Muhammad saw. Tidak sembarang orang boleh masuk ke dalam taman tersebut. Kepada para pemuda diberikan minum-minuman keras dan setelah tertidur baru mereka dipindahkan ke taman itu sehingga mereka dapat juga bersenang-senang. Para pemimpin Ismailiyah bila menginginkan terbunuhnya seseorang ia tinggal memerintahkan para pemuda untuk melaksanakan perintahnya. Bila berhasil membunuh atau terbunuh mereka dijanjikan untuk dibawa ke taman tersebut.

Sekalipun cerita-cerita kecintaan dan rela berkorban para pengikut Ismailiyah terhadap Syaikh Al-Jabal sering-sering diulang-ulang oleh tentara Salib, namun dampaknya adalah anggapan orang-orang Barat bahwa mereka adalah para pembunuh (Assasin) bukan orang-orang yang patuh dan rela berkorban buat sang pemimpin. Perlahan-lahan kata Assasin sendiri kemudian menjadi simbol para pembunuh. Bahkan Dante dalam Komedi ilahinya juga dipengaruhi kata Assasin. Ia menukil cerita bagaimana Shahriar luka mengirim para pembunuh bayarannya ke Piza untuk membunuh musuh-musuhnya.

Menurut tentara Salib, Assasin terkait erat dengan Ismailiyah Nizar Syiria. Perlahan-lahan para pengelana dan para sejarawan kata ini dipakai untuk menyebut pengikut Ismailiyah Iran. Cerita taman surganya Markopolo kemudian oleh mayoritas sastrawan Roma dimasukkan dalam karya-karya mereka. Setelah itu kajian tentang kata Assasin (pembunuh) dan Hassyasyin (pemadat) semakin populer. Sebuah Ensiklopedia Goneh Bartelomi D- Arbelo seorang Prancis memiliki pengantar yang berisikan nama kelompok-kelompok seperti Bathiniyah, Qarmathiyah, Fathimiyah, Ismailiyyun, Mulahidah, Syiah dan lain-lain. Di situ tertulis bahwa Ismailiyah adalah salah satu kelompok Syiah. Akhirnya, Silvester Dousasi ilmuwan Prancis, setelah melakukan penelitian yang luas untuk memecahkan teka-teki kata Assasin, ia sampai pada sebuah kesimpulan bahwa dikarenakan mereka mempergunakan sejenis mariyuana atau mereka mempergunakan minuman khusus mereka kemudian disebut Hassyasyin (pemadat). Dengan penjelasan ini, sedikit banyaknya, ia menerima cerita Markopolo.

Tentunya, semua penggambaran dan usaha yang telah dilakukan tidak pernah dapat ditemukan dalam teks-teks Ismailiyah. Untuk memerikan kelompok Ismailiyah ulama Islam mempergunakan kata-kata seperti; Bathiniyah, Ta’limiyah, Ismailiyah, Nizariyah dan Mulahidah. Yang memakai kata Hasyisyiah untuk menyebut kelompok Ismailiyah adalah Syiah Zaidiyah. Kata ini pun sebenarnya sebuah sebutan untuk merendahkan kelompok Nizariyah karena perbuatan jelek mereka dan bukan karena mereka adalah pemadat mariyuana.

Adanya kedutaan-kedutaan negara Eropa dan para orientalis di Iran, Syiria dan lain-lain menyebabkan pengenalan orang-orang Eropa terhadap kelompok Ismailiyah lebih luas. Ditemukannya buku ‘Ikhwan As-Shofa’ dan manuskrip-manuskrip Ismailiyah baik tulisan tangan atau yang telah dicetak di atas batu juga sangat membantu untuk lebih mengenal kelompok ini. Pengenalan yang semakin baik ini tidak berarti pandangan negatif mengenai kelompok Ismailiyah telah sirna.

Pada dasawarsa 1930 dan setelahnya, penelitian yang serius telah dilakukan terhadap sumber-sumber asli kelompok ini. Ditemukannya sekitar 250 manuskrip kelompok Ismailiyah di Gournou Badakhshan merupakan salah satunya. Asif Ali Asqar Feizi salah seorang ulama modern fiqih Ismailiyah memberikan hadiah sekitar 200 manuskrip tentang Ismailiyah ke perpustakaan Bombai menjadikan penelitian besar-besaran terhadap Ismailiyah. Perlu diketahui pula bahwa sebagian ilmuwan seperti; Masiniun, Corben, Mustafa Ghalib, ‘Arif Tamr, Farhad Daftari dan lain-lain di penghujung abad dua puluh telah berusaha mengungkap tentang kelompok Ismailiyah. Pada akhirnya Alexswich Ivanov, seorang ilmuwan Rusia, pada tahun 1933 di Bombai dengan bantuan kelompok Ismailiyah mendirikan organisasi penelitian islam dan organisasi Ismailiyah Bombai di bawah perlindungan Agha Khan ketiga. Organisasi ini sangat membantu penelitian terhadap Nizariyah.

Imam Ismailiyah

Berikut ini nama-nama para Imam Ismailiyah:

Ja’far bin Muhammad Shadiq (83-148 H)

Ismail bin Ja’far (101-159 H)

Muhammad bin Ismail (dikenal dengan nama Maimun qaddah) (141-192 H)

Abdulah bin Muhammad (179-212 H)

Ahmad bin Abdulah (198-265 H)

Husein bin Ahad (219-287 H)

Muhammad bin Husein (Ubaidulah Al-Mahdi) (260-323 H)

Muhammad Al-Qaim bi Amrilah (280-334 H)

Al-Manshur bi Alah (303-343 H)

Mu’izzun li Dinilah (317-365 H)

‘Azizun bi Alah (344-486 H)

Al-Hakim bi Alah (386-411 H)

Al-Zhahir li ‘Izaz Dinilah (411-428 H)

Al-Mustanshir bi Alah, ia selama enam puluh tahun memerintah (427-487 H)

Dan setelahnya: Setelah pemerintahan Al-Mustanshir muncul perbedaan mengenai siapa penggantinya. Perbedaan ini menghasilkan dua kelompok besar; Nizariyah dan Musta’lawiyah. Masing-masing memiliki pemimpinnya sendiri.

Perbedaan Ismailiyah dan Qaramithah

Hingga sebelum Ubaidilah Al-Mahdi, otoritas kepemimpinan adalah sebuah misteri bukan sang pemimpin (imam), semua pengikut Ismailiyah meyakini kemahdian Muhammad bin Ismail. Namun, setelah Ubaidilah Al-Mahdi menyebut dirinya sebagai Imam, dengan sendirinya ia telah menafikan kemahdian Muhammad bin Ismail. Pengangkatannya sebagai Imam ditentang keras oleh Hamdan Qarmath. Ia adalah salah satu penyeru (Da’i) kelompok Ismailiyah pada zaman itu. Hamdan Qarmath tidak mengakui keimamahan Ubaidilah Al-Mahdi. Ia tetap percaya dengan keimamahan Muhammad bin Ismail sekaligus membentuk kelompok baru yang bernama Qaramithah.

Di sisi lain para penyeru kelompok Ismailiyah yang berada di Afrika Utara yang setia dengan Ubaidilah Al-Mahdi. Mereka memintanya ke sana untuk kemudian bersama-sama membentuk pemerintahan Fathimiyah. Ubaidilah Al-Mahdi dan pengikutnya menganggap Qaramithah merugikan Ismailiyah. Oleh karenanya pada periode awalnya ia lebih menerima nama Ad-Da’wah Al-Hadiyah ketimbang sebutan Qaramithah dan Bathiniyah.

Qaramithah tetap meyakini bahwa Muhammad bin Ismail adalah Imam ketujuh dan yang terakhir. Senantiasa mereka menanti munculnya Imam yang selama ini tersembunyi. Sikap ini membuat Qaramithah juga terkadang disebut Waqifiyah. Hal itu dikarenakan mereka terhenti pada kondisi ini. Terkadang juga mereka disebut Sab’iyah (Tujuh Imam). Ketujuh Imam mereka adalah; Ali selaku Imam dan Nabi, Hasan, Husein, Ali bin Husein, Muhammad bin Ali, Ja’far bin Muhamamd dan Muhammad bin Ismail sebagai Mahdi.

Periode kelompok Ismailiyah pertama

Menurut Henry Corben, periode Ismailiyah pertama dapat dipetakan menjadi tiga bagian. Ketiga periode itu sebagai berikut:

Periode pembentukan

Periode pembentukan adalah periode pertama. Periode ini dimulai dari meninggalnya Imam Shadiq AS. Periode ini berlanjut hingga Muhammad bin Ismail menyembunyikan dirinya. Pada masa-masa ini persangkaan menyembunyikan segalanya. Hal ini lebih dikarenakan Kelompok Itsna ‘Asyariyah dan Ismailiyah sebagai dua kelompok asli Syiah sedang dalam pembentukan. Di sisi lain, pemerintahan Bani Abbasiyah tidak setuju dengan mereka. Pengejaran dan siksaan dilakukan untuk mengontrol mereka. Kondisi ini membuat mereka memilih bersembunyi. Sejumlah karya-karya yang mereka hasilkan sangat sedikit karena kondisi sa yang sulit dan akidah mereka lebih sering disampaikan dari mulut ke mulut bukan dengan tulisan.

Periode tertutup

Periode ini dimulai setelah Muhammad bin Ismail menjadi Imam Ismailiyah hingga terbentuknya pemerintahan Ismailiyah di Maroko. Kecintaan dan penghormatan masyarakat Madinah kepada Imam Kazhim AS. membuat pengaruh Muhammad bin Ismailiyah berkurang. Keadaan ini membuat pengikut Muhammad bin Ismail melakukan eksodus ke Irak dan Iran. Di sana mereka memulai kehidupan tertutup. Untuk memberi petunjuk kepada para pengikutnya di manapun berada dikirimkan penyeru (Da’i). Tidak ketinggalan anak keturunannya pergi ke Salmaniyah sebuah kota di Syiria. Kehidupan tertutup pun dilakoni di sana. Hubungan dengan masyarakat Ismailiyah dilakukan lewat penyeru mereka.

Periode kemunculan

Setelah terbentuknya pemerintahan Ismailiyah di Maroko, pemerintahan Fathimiyyun, para Imam Ismailiyah tidak lagi bersembunyi. Secara terbuka mereka mendakwahkan ajarannya. Pada masa-masa inilah pemikiran Syiah Ismailiyah dibukukan.

Ismailiyah Fathimiyah (Fathimiyyun)

Periode Ismailiyah Fathimiyyun dimulai dari tahun 297 H (909 M), yang ditandai dengan kekhalifahan Ubaidilah Al-Mahdi dilanjutkan sampai delapan khalifah setelahnya hingga tahun 487 H (1094 M). Para khalifah Fathimiyyun sebagaimana telah disebutkan di atas adalah sebagai berikut: Ubaidilah Al-Mahdi, Al-Qa’im bi Amrilah, Al-Manshur bi Alah, Mu’izzun li Dinilah, ‘Azizun bi Alah, Al-Hakim Bi Alah, Az-Zhahir li ‘Izazidinilah dan yang terakhir Al-Mustanshir bi Alah. Mereka memerintah selama 185 tahun. Selama 185 tahun ini dapat dikatakan sebagai masa keemasan Ismailiyah. Sastra Ismailiyah juga berkembang dengan pesat. Ilmuwan-ilmuwan seperti Abu Hatim, Ar-Razi, Nashir Khasru dan lain-lain hidup di masa keemasan ini. luas kekuasaan pemerintahan mereka dimulai dari Maroko hingga Mesir. Setelahnya, sebagian besar daerah-daerah kekuasaan pemerintahan Islam dikuasainya. Masiniun bahkan menamakan abad keempat hijriah (abad kesepuluh masehi) sebagai abad Ismailiyah Islam.

Sejarah Fathimiyyun pada periode ini dapat dibagi menjadi dua bagian:

Periode awal

Periode ini selama 65 tahun. Dimulai dari tahun 297 hingga 362. Periode ini dihitung mulai dari Ubaidilah Al-Mahdi menjadi khalifah di Maroko sampai ekspansi mereka ke Mesir oleh Al-Mu’izzu bi Alah sekaligus dijadikannya Mesir sebagai ibu kotanya.

Pada tahun 290 ketika Zakarawiyah bin Mahriyah melakukan pemberontakan dan menguasai banyak daerah, Ubaidilah Al-Mahdi kemudian lari ke Salmaniiyah Di Syiria. Dari Salmiyah ia pergi ke Ramulah Palestina. Dari Ramulah ia kemudian pergi ke Mesir. Di Mesir ia baru mengetahui kalau kelompok Qaramithah banyak membunuh masyarakat Salmaniyah. Oleh sebab itu, dari pada memilih Yaman ia kemudian pergi menuju Maroko. Di Maroko ia membangun sebuah kerajaan kecil. Pada akhirnya, setelah melakukan peperangan-peperangan pada bulan Rabi’u At-Tsani tahun 297 di kota Raqqadah ia menjadi khalifah. Setelah menjadi khalifah ia memilih sebutan ‘Al-Mahdi bi Alah’ dan ‘Amirul Mukminin’. Dikarenakan nama Sayyidah Fathimah, putri Rasululah, di mana Ubaidilah dan pengganti setelahnya menganggap Fathimah sebagai nenek mereka (hal ini juga dikarenakan keyakinan mereka bahwa Mahdi adalah keturunan Fathimah). Ia juga memberi gelar dirinya dengan ‘Fathimiyah’. Dengan menyebut dirinya sebagai Imam, dimulailah periode keterbukaan. Untuk menyebarkan pemikiran Syiah mereka berkeyakinan bahwa yang paling pokok untuk dilakukan adalah menghancurkan pemerintahan Bani Abbasiyah. Dan itu harus dimulai dari Mesir. Namun, mereka tidak pernah menguasai Mesir akan tetapi, Ubaidilah dengan membangun kota Mahdiyah dan ekspansinya ke Selatan Eropa yang menghasilkan rampasan perang yang banyak membuat ia mampu membangun imperiumnya yang kokoh.

Periode perkembangan

Periode ini berlangsung selama 125 tahun dan dimulai dari tahun 362 hingga 487 H. Periode ini dikenal dengan masa keemasan Syiah Ismailiyah. Pemerintahan yang dibangun sangat tangguh. Hal ini membuat mereka menulis dan membenahi akidah mereka yang selama ini disebarkan secara sembunyi-sembunyi. Al-Mu’izzu bi Alah dengan menguasai Mesir dan dengan dibantu oleh perdana menterinya Jauhar bin Abdilah pada tahun 358 menjadikan Kairo sebagai pusat pemerintahannya. Pada tahun 359 mereka membangun universitas Islam Al-Azhar. Pada tahun 361 secara resmi pemerintahannya dipindah dari Maroko ke Mesir. Al-Mu’izzu bi Alah berusaha keras untuk menyatukan semua daerah Islam. Dan itu dimulai dengan memperbaharui pondasi pemikiran keagaman dan keinginannya adalah kembali kepada pemikiran orang-orang sebelumnya. Setelah Al-Mu’izzu bi Alah wafat, ia digantikan oleh anaknya Abu Manshur Ranzar yang dikenal sebagai Al-‘Azizu bi Alah. Semasa pemerintahannya Al-‘Azizu bi Alah banyak memanfaatkan orang-orang Yahudi dan Masehi. Ia sangat menunjukkan sikap toleransinya dengan agama lain. Pada perayaan ‘Asyura dan Hadir ia mengadakannya secara besar-besaran. Menurut sumber-sumber sejarah Al-‘Azizu bi Alah dianggap sebagai khalifah Fathimiyyun yang memiliki wawasan keilmuan paling luas dibandingkan dengan yang selainnya.

Sepeninggal Al-‘Azizu bi Alah, Abu Ali Manshur anaknya memegang tampuk kepemimpinan. Ia bergelar Al-Hakim Bi Alah. Ia berkuasa dari tahun 386 hingga 411. Al-Hakim berbeda dengan ayahnya dalam memerintah berkaitan dengan orang Yahudi dan Masehi. Bahkan dengan Ahli Sunnah pun ia bersikap keras Ia bahkan sempat memerintahkan untuk melaknat khulafa Ar-Rasyidin (tanpa Imam Ali AS. tentunya). Usahanya ini untuk menarik hati kaum Syiah lainnya.

Al-Hakim pada tahun 403 memilih menjadi seorang zahid. Ia melarang orang-orang bersujud kepadanya. Ia senantiasa memakai baju para zahid. Setiap malam ia pergi ke Fustat dan Kairo. Pada tahun 411 dalam sebuah perjalanan yang dilakukannya ia tidak pernah pulang. Setelah itu anaknya Abul Hasan Ali menjadi khalifah dengan gelar Az-Zhahir li ‘Izazidinilah.

Abu Tanin anak Az-Zhahir menjadi khalifah menggantikan ayahnya. Ia bergelar Al-Mustanshir bi Alah. Ketika menjadi khalifah umurnya baru tujuh tahun. lama masa pemerintahannya 60 tahun. Ia juga adalah akhir khalifah dari dinasti Fathimiyyun. Mengingat ia menjadi khalifah pada umur tujuh tahun kekuasaan yang sebenarnya dipegang oleh menteri-menterinya. Pengaruh mereka membawa dampak yang buruk. Pemerintah menjadi sangat rasialis, partai-partai oposisi semakin banyak bahkan roda pemerintahan dilandaskan kolusi. Kenyataan ini sangat melemahkan pasukan Al-Mustanshir. Nashir Ad-Daulah kemudian menguasai Mesir. Bahkan Ketika di Mesir khutbah yang dibacakan atas nama kekhalifahan bani Abbasiyah. Mesir mengalami masa paceklik yang parah dari tahun 457 hingga 462. Al-Mustanshir untuk kedua kalinya menjadi khalifah menggulingkan Nashir Ad-Daulah dengan bantuan Badr Al-Jamali. Setelah itu ia membangun kembali ekonomi Mesir. Semua penentangnya dibunuh dan setelah itu Badr Al-Jamali dijadikannya sebagai perdana menterinya. Dua puluh tahun masa akhir dari pemerintahannya sangat menyenangkan masyarakat Mesir. Untuk kedua kalinya mesir dikuasai oleh dinasti Fathimiyyun. Setiap khutbah yang dibacakan atas nama Al-Maustanshir. Serbuan tentara Mongol ke Iran, Irak dan Syiria membuat kekuasaan fathimiyyun atas daerah-daerah ini terputus.

Pada tahun 487 Al-Muatanshir wafat. Perselisihan muncul dalam penentuan siapa yang akan menjadi khalifah di antara kedua anaknya Nizar dan Musta’la. Perselisihan yang cukup sengit ini menyebabkan pecahnya Fathimiyyun menjadi dua kelompok besar, Nizariyah dan Musta’lawiyah. Perpecahan ini juga sebagai akhir dari kekuasaan dinasti Fathimiyyun.

Ismailiyah Musta’lawi (Musta’lawiyah)

Musta’lawiyah adalah kelompok Ismailiyah yang mengikuti Musta’la bi Alah sepeninggal ayahnya Al-Mustanshir. Dan sepeninggal Musta’la mereka adalah pengikut Amir. Sepeninggal Amir kelompok Musta’lawiyah ini terbagi lagi menjadi dua kelompok. Pertama, Al-Hafizhiyah orang-orang yang mengikuti Hafiz anak paman Amir yang juga kemudian terkenal dengan Al-Majidiyah. Pada tahun 567 berbarengan dengan musnahnya dinasti Fathimiyyun kelompok inipun musnah. Kedua, At-Thibiyah adalah orang-orang yang mengikuti cucu Amir yang namanya At-Thib. Kelompok ini sesuai dengan perjalanan waktu di ikuti oleh masyarakat Buhrah Gujarat India. At-Thibiyah juga terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, At-Thibiyah periode Yaman yang pada abad kesepuluh Hijriah terbagi menjadi dua kelompok; Ad-Dawudiyah di India dan Sulaimaniyah di Yaman. Kedua, At-Thibiyah periode India yang dimulai dari abad kesepuluh Hijriah.

Ismailiyah Nizariyah yang pada tahun 487 karena meninggalnya Al-Mustanshir berselisih masalah kekhilafahan dengan Musta’lawiyah. Pengikut mereka banyak dari orang-orang Iran dan Syiria. Kelompok Nizariyah juga memiliki dua periode.

Ismailiyah Nizariyah pada periode Alamut (483-654)

Pemerintahan Nizari yang berada di Iran dipimpin oleh Hassan Sabah dan tujuh khalifah sepeninggalnya (mereka dikenal dengan penguasa-penguasa Alamut). Tujuan Hassan Sabah dengan mendirikan pemerintahan Nizari untuk berhadap-hadapan dengan pemerintahan Saljuqi. Sementara pemerintahan Fathimiyyun di Mesir di bawah perdana menteri Badr Al-Jamali tidak mampu membela pengikut Ismailiyah kawasan timur.

Sejarah Ismailiyah periode Alamut dapat dibagi menjadi tiga bagian:

Dari tahun 483-557 pembentukan negara Ismailiyah Nizari oleh Hassan Sabah (W. 518) dan dilanjutkan oleh Hassan Sabah sendiri dengan menguatkan kekuatannya yang diteruskan oleh dua penggantinya, Kiya Buzurg Unik (W. 532) dan Muhammad bin Buzurg Unik (w. 557).

Dari tahun 557-607. Khalifah keempat dan kelima pemerintahan Alamut di samping mengaku sebagai Imam mereka juga melakukan aktivitas politiknya sebagai simbol. Keduanya adalah Hassan kedua (W. 561) dan anaknya ‘Ala Nuruddin Muhammad kedua yang berkuasa selama 44 tahun hingga tahun 607.

Dari tahun 607-654 dengan tetap berusaha menjaga ajaran aslinya mereka melakukan pendekatan dengan Ahli Sunnah. Masalah pendekatan ini semasa dengan tiga khalifah Nizariyah terakhir; Jalaluddin Hassan (Hassan ketiga) (W. 618), “Alauddin Muhammad ketiga (W. 653) dan Khur Shah (W. 654).

Ismailiyah Nizariyah setelah periode Alamut

Setelah penyerangan tentara Nongol banyak sekali orang-orang pengikut Ismailiyah yang terbunuh namun pengganti Khur Shah berhasil disembunyikan dan selamat. Mereka yang selamat benar-benar melakukan taqiyyah untuk dapat mempertahankan hidupnya. Selama dua tahun mereka tidak pernah melakukan hubungan dengan Imam mereka. Pelaksanaan taqiyyah yang berkepanjangan ini mengambil bentuk yang beragam yang dampaknya sangat merugikan karena banyak tradisi bahkan identitas keagamaan mereka yang benar-benar terlupakan.

Periode setelah Alamut dapat dibagi menjadi tiga bagian:

Abad pertama setelah periode Alamut merupakan periode paling gelap. Pengikut Ismailiyah dalam kehidupan sosialnya muncul dalam bentuk-bentuk kesufian. Mereka berusaha sedapat mungkin menyembunyikan identitasnya. Perselisihan tentang pengganti Shamsuddin, anak Ruknuddin Khur Shah, membuat mereka terpecah menjadi dua golongan, Muhammad Shah dan Ghasim Shah. Para Imam kelompok Muhammad Shah memiliki pengikut terbanyak hingga abad ke enam belas. Namun, kira-kira dua abad belakangan ini kelompok ini telah musnah. Para Imam Ghasim Shah mulai dari abad ketiga belas hingga abad ke lima belas pengikutnya bertambah banyak. Pengikut kelompok ini banyak tersebar di daerah Anjedan (antara Qom dan Arak). Saat ini masih ada kelanjutannya di bawah kepemimpinan Agha Khaniyah.

Periode tajdid dan menghidupkan kembali Anjedan. Pada masa ini kelompok ini berkumpul dan hidup di daerah Anjedan.

Pertengah abad ketiga belas hingga abad ke sembilan belas para Imam Nizariyah atas nama kelompok Agha Khaniyah berusaha untuk menetapkan pemimpin mereka. Semenjak masyarakat Iran mulai banyak memeluk ajaran Syiah, dari abad ketujuh hingga abad ketiga belas, yang pada puncaknya menghasilkan pergerakan untuk mewujudkan ide-ide kemahdian. Salah satu hasil dari usaha tersebut adalah Syiahnya dinasti Safawiyah. Pada masa-masa ini, kelompok Ismailiyah bebas melakukan kegiatannya hingga masa pemerintahan Agha Muhammad Khan dari dinasti Qajar. Ia mencopot Imam Ismailiyah yang berdomisili dan memerintah di Kerman. Ketidaksetujuan Agha Khan, pemimpin Ismailiyah, membuat ia harus mundur dan berpindah menuju Arag Bam. Akan tetapi akhirnya iapun dipenjara dengan bantuan lathaif Al-Hail. Setelah ia dibebaskan dari penjara dipersiapkan perjalanannya untuk menuju Arab Saudi. Namun Agha Khan tidak pergi ke Arab Saudi melainkan menuju Yazd. Dari Yard ia melanjutkan perjalanannya ke Afghanistan, Sand, Kalkuta dan akhirnya tiba di Bombai. Dengan tibanya Agha Khan di Bombai mengakhiri masa kepemimpinan Nizariyah di Iran dan awal munculnya kepemimpinan Nizariyah India.

Muhammad Hassan Huseini (Agha Khan pertama) pada tahun 1294 Hijriah meninggal dunia. Penggantinya adalah Agha Ali Shah (Agha Khan kedua). Ia memiliki hubungan baik dengan Inggris. Ia sangat memperhatikan kondisi pengikut-pengikutnya. Ia membangun sekolah-sekolah dan seperti seorang ayah berhubungan dengan Ni’matulahiyah.

Agha Khan kedua, Agha Ali Shah, selama empat tahun masa kepemimpinannya tidak hanya memperhaitikan pendidikan pengikut Nizariyah tetapi juga kondisi ekonominya. Ia pada tahun 1302 H/1880 M karena penyakit TBC meninggal dunia dan dimakamkan di kota Najaf.

Sepeninggal Agha Ali Shah, Sultan Muhammad Shah sebagai pemimpin Ismailiyah Nizariyah. Sultan Muhammad Shah adalah seorang politikus dan tokoh reformasi yang terkenal. Sejak awal kepergiannya ke Eropa ia memiliki hubungan yang erat dengan Inggris. Beberapa gelar kehormatan didapatkannya dari pemerintah Inggris. Untuk menyelesaikan masalah-masalah pengikutnya ia menuju Afrika. Ia memperhatikan dengan serius perpindahan kelompok Nizariyah dari tahun 1840-1870 M. Pada tahun 1905 di Zangbar untuk pertama kalinya ia menyusun undang-undang dasar Nizariyyun. Petrovski dalam buku Islam di Iran menyebutkan Agha Khan ketiga adalah seorang milyuner, pemimpin yang kaya raya dan memiliki pengaruh yang luar biasa kuat di India. Dalam lanjutan tulisannya, Petrovski melanjutkan bahwa berbeda dengan pengikut Nizariyah sebelumnya pada periode Alamut, Nizariyyun saat ini memiliki kehidupan yang lebih tenang.

Agha Khan ketiga adalah pendiri AIMl. Ia, pada perang dunia pertama, mengumpulkan pemikiran-pemikirannya tentang India dalam sebuah buku dan menerbitkannya. Ia pada dasawarsa 1930 sebagai perwakilan kaum muslimin India, mengikuti konprensi london. Konprensi itu diikuti oleh Mahatma Gandi dan Muhammad Ali Jinah. Kepopulerannya semakin lengkap ketika ia menjadi pemimpin liga Bangsa Bangsa di Jenewa.

Agha Khan ketiga pada tahun 1905 menyusun undang-undang dasar Nizariyah. Di sana ditetapkan mengenai masalah warisan, perkawinan, perceraian, dan masalah-masalah lainnya dengan tujuan mengharmoniskan gerakan mereka. Satu lagi bentuk reformasi yang dilakukannya adalah penekanan terhadap kerohanian dan pengertian batin dari perilaku mazhab Agha Khan. Garis yang ditempuhnya sangat membantunya dalam hubungannya yang lebih akrab dengan Inggris. Pidato-pidatonya tentang kerohanian, pendidikan, kesejahteraan dan ekonomi menunjukkan itu. Ia membangun pusat-pusat pendidikan, perpustakaan, gedung-gedung olah raga di Afrika Timur, India dan Pakistan.

Agha Khan ketiga untuk mengontrol pengikut Ismailiyah yang berada di Iran melalui Muhammad bin Zainulabidin yang dikenal dengan sebutan Feda-e Khurasan. Pada masa itu Agha Khan menegaskan identitas Ismailiyah Iran yang memiliki corak tersendiri dibandingkan dengan Syiah Itsna ‘Asyari. Dengan alasan itulah ia melarang pengikut-pengikutnya di Iran untuk bersama-sama melakukan salat di Masjid dan mengikuti acara-acara yang dilakukan oleh Itsna ‘Asyari. Mereka harus tinggal dan melakukan salat terpisah dan senantiasa melafadkan nama-nama Imam mereka. Saat ini, ada sekitar 30 ribu kelompok Nizariyah yang hidup di Iran. Dari jumlah yang telah disebutkan sekitar setengahnya tinggal di daerah Khurasan sementara sisanya bertebaran di kota-kota; Kerman, Tehran, Sirjan, Yazd, Mahalat dan desa-desa di sekelilingnya. Demikian juga ada banyak Nizariyah yang tinggal di daerah Badakhshan Tajikistan. Hingga runtuhnya Uni Sovyet pengikut Ismailiyah Badakhshan secara mutlak tidak memiliki hubungan dengan Imam mereka. Masa itu Uni Sovyet tidak mengijinkan mereka untuk melaksanakan tradisi-tradisi keagamaan mereka.

Prince Karim adalah Imam keempat puluh sembilan Nizariyah yang dikenal dengan sebutan Agha Khan keempat pada tahun 1957 resmi menggantikan Agha Khan ketiga. Ia melanjutkan program-program yang telah dilakukan oleh ayahnya. Ia memperkuat hubungannya dengan pengikut-pengikutnya di daerah Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Utara. Saat ini kebanyakan pengikut kelompok Ismailiyah banyak hidup di Eropa, Amerika dan khususnya Kanada. Pada tahun 1995 Agha Khan keempat melakukan perjalanannya ke Tajikistan dan bertemu dengan sekitar 200 ribu pengikutnya dan pada tahun 1998 ia untuk kedua kalinya ke Tajikistan.

Sebagaimana telah diketahui bahwa Agha Khan ketiga telah mendirikan organisasi-organisasi untuk mengorganisir masalah-masalah keagamaan dan pendidikan. Pada tahun 1987 organisasi-organisasi payungnya yang aktif dalam masalah keagamaan disebut ITREB.

Agha Khan keempat untuk melaksanakan proyek-proyek baru ekonomi, sosial dan pendidikan pengikutnya membuat jaringan pengembang Agha Khan yang dikenal dengan nama AKDN. Jaringan ini bekerja di seluruh dunia berkaitan dengan masalah-masalah pendidikan, kesehatan dan pembangunan tempat tinggal. Pada tahun 1977 ia juga mendirikan pusat penelitian dan informasi Ismailiyah di london. Dalam bidang budaya pun Agha Khan keempat tidam tinggal diam. Ia mendirikan yayasan yang berkaitan dengan budaya pada tahun 1988. Salah programnya adalah memberikan hadiah arsitektur. Bantuan yang diberikan oleh para Agha Khan membuat kaum Ismailiyah lebih harmonis dan semakin kuat.

Buhra dan Thibi di India

Kelompok Thibi adalah cabang dari Ismailiyah Musta’lawiyah. Pada awalnya mereka tinggal di Yaman di gunung Haraz. Kelompok ini menghapalkan sebagian besar dari sastra Fathimiyah. Semenjak dinasti Utsmaniyah mereka terpaksa pergi ke India. Sebelum kepindahan mereka ke India di daerah Gujarat telah banyak pengikut Thibi. Pada kenyataannya, masyarakat Ismailiyah India semenjak pertengahan kedua abad kelima adalah kelompok Thibi yang kemudian menyebar ke daerah Gujarat. Bahra adalah sebutan untuk kelompok Thibi India. Kata Bahra memiliki makna berdagang. Sebab penamaan ini dikarenakan orang-orang India yang hidup di sekitar Gujarat kebanyakan adalah para pedagang. Profesi kelompok Thibi aslinya adalah berdagang. Mereka, berbeda dengan kelompok Khoja, yang mendapat tekanan dari pimpinan setempat, hidup dengan tenang tanpa gangguan.

Pada periode kekuasaan Dehli di abad kesembilan kelompok Thibi terpaksa harus melakukan taqiyyah dan berperilaku sebagaimana mazhab Ahli Sunnah. Kondisi ini terus berlangsung hingga kekuasaan di India dipegang oleh penguasa keturunan Mongol. Akbar Shah salah seorang sultan keturunan Mongol di India memberikan kebebasan kepada kelompok Bahra untuk melakukan peribadatannya sesuai dengan mazhabnya. Pada periode ini pula para pengikut Bahra terbagi menjadi dua golongan. Pertama, Dawudiyah dan kedua Sulaimaniyah. Salah satu sultan Mongol yang menindas kelompok Bahra yang berlanjut hingga masuknya pengaruh dan kekuasaan Inggris membuat kelompok Bahra untuk kedua kalinya harus hidup dalam kondisi taqiyyah. Kelompok Dawudiyah pada masa Thahir Saifuddin penyeru kelima puluh satu terbagi lagi menjadi dua kelompok. Kedua kelompok itu adalah kelompok tradisional dan kelompok reformis. Kelompok reformis menyetujui sistem pendidikan sekuler dan manajemen yang lebih demokratis. Mereka menamakan dirinya sebagai kelompok yang lebih maju. Namun kemudian Thahir Saifuddin menguasai kelompok reformis begitu juga anaknya Burhanuddin penyeru saat ini kelompok Bahra.

Saat ini di Gujarat ada sekitar 700 ribu kelompok Thibi. 60 ribu dari mereka saat ini hidup di Bombai. Sementara di Yaman ada sekitar 5 ribu orang pengikut Dawudiyah. Pada awal abad kesembilan belas sejumlah pengikut Bahra dan Khojah mendapat tawaran dari Sultan Sayyid Said dari keluarga Abu Said Oman dan Zangbar menuju Afrika. Tujuan Sultan adalah pengembangan perdagangan dan mendorong para pedagang India untuk lebih aktif di sana.

Sebagian besar pengikut Sulaimaniyah saat ini hidup di Arab Saudi. Penyeru keempat puluh sembilan mereka Syaraf Husein Mukarrami semenjak tahun 1976 hidup di sana. Ismailiyah Thibi Yaman ada sekitar 100 ribu orang. Mereka masih menjaga dengan baik sastra mereka. Syiah Druzi merupakan kelompok yang memiliki hubungan dengan Ismailiyah. Namun karena adanya perbedaan yang prinsipal dengan Ismailiyah tidak dimasukkan sebagai bagian dari Ismailiyah. Mengkaji Syiah Druzi keluar dari kajian Ismailiyah.[Saleh L]

Sumber-sumber:

Dairatul Ma’arif Buzurg-e Eslami, Madkhal Ismailiyah.

Tarekh va ‘Aghayed-e Esma’iliyah, Farhad Daftari, tarjumeh Feridun Badreh-i.

Esma’iliyah va Gharameteh dar Tarekh, ‘Aref Tamer, tarjumeh Hamira Zamurrudi.

Tarikh Ad-Da’wah Al-Isma’iliyah, Musthafa Ghalib.

Majale-ye Haft Semani.

Tarekh va Andisheha-ye kalam-e eslami, Abdurrahman Badwi, tarjumeh Saberi.

Al-Isma’iliyah bina Al-Haqaiq wa Al-Abathil, Hasyim ‘Utsman.


[1] . Tulisan ini terjemahan dari artikel yang dimuat dalam suplemen koran Hamshahri Iran Kherad Nameh tentang Syi’ahlogi Vol kedua tertanggal 26 Januari 2005 hal 12-13.

Tidak ada komentar: