Selasa, 24 April 2007

ARTI FITNAH: Antara Intelektualitas dan Emosionalitas


ARTI FITNAH: Antara Intelektualitas dan Emosionalitas

Ayatullah M.T.Misbah Yazdi[1]

Sesungguhnya, cikal bakal semua penyimpangan individu dan sosial kembali kepada dua faktor yang paling dominan dalam perilaku manusia, yaitu penyimpangan yang bermuara pada pemikiran dan kecondongan. Andaikan pemikiran setiap orang benar dan kecondongan batinnya pun tersalurkan secara proporsional, niscaya dunia ini jadi surga. Problem dan krisis sosial yang menggenang sesungguhnya hanya berurusan dengan perilaku manusia, yang ujung-ujungnya bisa ditelusuri sampai pada basis-basis pemikirannya, yakni kebodohan manusia.

Sebagai contoh, sebuah masalah sosial yang belum dipahami seringkali dianggap jelas. Di sini saya ingin mengingatkan kita semua akan salah satu ucapan Imam Khumeini yang berulang kali beliau katakan, bahwa mereka sama sekali tidak peduli terhadap masalahnya. Adapun sekaitan dengan masalah pribadi, beliau mengatakan bahwa "ia benar-benar tidak memahami masalahnya", atau "dalam masalah ini ia salah".

Boleh jadi seseorang telah memahami permasalahan dengan baik dan benar, namun ia tidak punya kecondongan dan gereget untuk berbuat sesuai dengan pemahamannya itu. Bukankah sering terjadi pada seseorang yang tahu bahwa perbuatan itu tidak baik, tidak didukung oleh argumentasi logis, malah sangat membahayakan masyarakat. Beski begitu, ia tetap melakukannya hanya untuk memuaskan hawa nafsu dan hasratnya. Maka, bisa dipastikan bahwa penyimpangan yang terjadi pada masa awal kelahiran Islam tidak keluar dari dua faktor di atas.

Seperti yang kita ketahui bahwa budaya yang berkembang pada zaman permulaan Islam adalah sastra. Di dalamnya kita temukan kata fitnah. Yaitu kata yang dipakai untuk mengungkapkan penyimpangan perilaku masyarakat dari jalan yang sebenarnya. Kata fitnah ini juga digunakan Allah swt dalam al-Quran untuk hal yang sama.

Sekaitan dengan fitnah, Imam Ali as pernah merangkaikannya dalam sebuah ungkapan yang sangat indah. Beliau berkata, "Penyebab terjadinya sebuah fitnah ialah ketaatan pada hawa nafsu. Hukum-hukum bid'ah yang dibuat sedemikian rupa berbeda dengan kitab Allah. Pemimpin diangkat dari orang-orang yang tidak komit pada agama Allah. Seandainya kebatilan tidak bercampur dengan kebenaran, niscaya tidak ada rasa takut dalam jiwa pembela kebenaran. Dan, jika kebenaran terjaga bersih dari kebatilan, niscaya musuh-musuh tidak akan berkutik, mulut mereka terbungkam seribu bahasa. Akan tetapi, yang terjadi adalah pencampuradukan antara kebenaran dan kebatilan. Dalam kondisi demikian ini, kekuasaan setan semakin kuat mencengkram pengikutnya. Yang selamat hanya mereka yang diselimuti kebaikan dari Allah" (Syarh Nahjul Balaghah, Ibnu Abil Hadid, ketab khane-ye Ayatullah Mar'asyi, 1404, 3:240).

Menurut Imam Ali as, fitnah sosial berawal dari dua faktor. Pertama, hawa nafsu dan kecondongan yang ada pada setiap jiwa manusia. Bila ini dapat dikontrol, niscaya manusia akan bergerak di atas arah yang benar. Ketika itu, tidak lagi terjadi ketaatan yang berlebihan pada kecondongan hawa nafsu. Pengendalian dan penguasaan hawa nafsu ini sanggup menahan terjadinya sebuah penyimpangan.

Faktor kedua, yaitu penafsiran-penafsiran dan pemikiran-pemikiran yang diajukan sebagai kado agama, padahal tidak ada hubungannya dengan agama itu sendiri, sama sekali. Penisbahan bid'ah-bid'ah kepada agama direkayasa sebegitu rupa agar masyarakat awam yang tidak mengerti permasalahan yang sebenarnya percaya bahwa penafsiran dan pemikiran semacam ini bersumber dari agama.

"Hukum-hukum bid'ah" yang diucapkan oleh Imam Ali mengisyaratkan hal terakhir ini. Sebagian manusia yang terjebak dalam masalah ini pada mulanya beranggapan bahwa masalahnya terkait dengan agama, oleh sebab itu mereka mengamalkannya. Tanpa disadari, perilaku semacam ini telah menyimpang jauh dari agama. Bila hal ini terjadi, secara otomatis al-Quran akan dipinggirkan, diasingkan, sebagai akibat dari "berbeda dengan kitab Allah".

Tatkala pandangan-pandangan baru yang berbeda dengan al-Quran dijajakkan di tengah masyarakat, sudah barang tentu akan menyebabkan sebagaian orang meninggalkan kitab Allah itu. Pada gilirannya, masyarakat akan menyaksikan bahwa "pemimpin diangkat dari orang-orang yang tidak memiliki komitmen pada agama Allah". Artinya, Hubungan kemasyarakatan yang terjalin tidak lagi mengacu pada tolok ukur keagamaan. Pada akhirnya, hubungan sosial akan mengambil bentuk yang berbeda dan bahkan bertabrakan dengan agama itu sendiri.

Imam Ali as melanjutkan, "Seandainya kebatilan tidak bercampur dengan kebenaran niscaya tidak ada rasa takut pada jiwa pembela kebenaran. Bila kebenaran terjaga bersih dari kebatilan, niscaya musuh-musuh tidak akan berkutik, mulut mereka terbungkam seribu bahasa". Seandainya kebatilan terpisah dari kebenaran, dan orang tidak lagi kebingungan menentukan mana yang benar dan mana yang batil, niscaya tidak ada seorangpun yang mengikuti kebatilan. Masyarakat secara fitri adalah pengikut kebenaran. Masyarakat yang mentaati kebatilan lebih disebabkan oleh pandangan bahwa di antara setumpuk kebatilan yang ada pasti ada selapis kebenaran di dalamnya.

"Akan tetapi, yang terjadi adalah pencampuradukan antara kebenaran dan kebatilan". Siapa saja yang ingin melakukan fitnah, pertama yang dilakukannya ialah mengemas kebenaran dan kebatilan dalam sebuah paket memikat lalu menjajakannya ke tengah masyarakat. Seumpama penjual bunga ingin merangkai hiasan bunga, ia akan mengambil beberapa tangkai bunga lalu merangkainya sedemikian rupa. Bila aroma semua tangkai bunga yang akan dirangkai itu tidak sedap, tak ada seorangpun yang akan datang untuk membeli hiasan bunganya. Tapi, bila ia merangkai sejumput bunga yang berbau wangi dengan sekuntum bunga yang beracun, sangat mungkin sekali ada orang yang tertipu. Ia membeli hiasan bunga itu karena mencium harumnya bunga, namun ia tidak tahu kalau hiasan telah teracuni lantaran satu kuntum bunga beracun. Akan tetapi, kalaulah bunga beracun ini disisipkan ke dalam rangkaian bunga yang berbau busuk, tidak akan ada seorang pun yang akan mendekat dan mencoba menghirup baunya.

"Pada kondisi demikian ini, kekuasaan setan semakin kuat mencengkram pengikutnya". Hak dan batil telah bercampur aduk. Setan menemukan sasaran empuk, karena masyarakat dalam kebingungan. Mereka yang siap menjadi sasaran empuk setan adalah orang-orang yang tertipu, karena kebenaran telah bercampur dengan kebatilan. Mereka tidak mampu lagi memilah mana yang benar, mana yang batil. Mereka asyik menghitung sisi-sisi positif dan butir-butir kebenaran, pada saat yang sama mereka lupa bahwa di sela-sela kebenaran telah ditaburkan racun kebatilan yang mematikan. Setan pada kondisi yang seperti ini menjadi pemburu yang hebat. Yang selamat hanya mereka yang diselimuti kebaikan dari Allah swt. Pada kondisi yang demikian sulit ini, siapakah yang dapat selamat? Hanya orang-orang yang, sesuai dengan Takdir dan Kemahabijaksanaan Allah, berusaha menemukan dan menggenggam kebenaran.[Saleh L]


[1] Dar Partuye Ozarakhsy-e Nur, M.T.Misbah Yazdi, Muasasah Amuzesyi va Pezwuhesyi Imam Khomeini, Qom, 1381 HS.

Tidak ada komentar: