Iblis; Pencetus kebanggaan
Iblis; Pencetus kebanggaan
Emi Nur Hayati Ma’sum Said
Pencetus pertama kalinya bangga diri adalah iblis, di saat Allah memerintahkan seluruh makhluk-Nya untuk bersujud di hadapan Nabi Adam as, manusia pertama. Ia tidak mau tunduk kepada perintah Tuhannya karena kebanggaan atas rasnya sebagai makhluk yang diciptakan dari api. Kebanggaan inilah yang membuatnya ia harus menerima marah dan azab Allah selamanya.
Allah berfirman:" Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?”. Menjawab iblis: "Saya lebih baik daripadanya; Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah (A’raf [7]:12).
Sebagian orang memiliki kebanggaan tersendiri. Adakalanya ia bangga karena titelnya sebagai seorang sarjana bertitel; doktor, prof, direktur eksekutif dan sebaginya.
Adakalanya bangga karena rasnya sebagai orang Eropa, Amerika, Arab, Asia, India, Iran, Pakistan, Turki, Malaysia, Indonesia dan sebaginya.
Adakalanya bangga karena keturunan ningrat, keturunan Arab, keturunan suku fulan dan fulan dan sebagainya.
Adakalanya bangga karena kekayaannya, karena sebagai orang kota, tinggal di kota metropolitan, karena kecantikannya, karena bodinya, karena hidungnya yang mancung, karena kulitnya yang putih, karena pakaiannya yang bermerek dan sebaginya.
Adakalanya bangga saat berjalan dengan istrinya yang berias cantik dan berbusana ketat, bangga saat mengendarai mobilnya yang keren, bangga saat memakai tas mahal, bangga saat bersepatu bagus dan sebaginya.
Manusia boleh berbangga diri. Namun, ia harus tahu atas dasar apa ia berbangga? Apakah kebanggaannya mengandung nilai ilahi atau nilai iblis? Apakah saat ia berbangga pada saat yang sama harus menghina orang lain? Apakah kebanggaannya bisa membuatnya ia selamat dunia maupun akhirat? Apakah saat ia berbangga diri pada saat yang sama tahu bahwa ia menunjukkan kebodohan dan ketololannya? Apakah kebanggaannya bukan berhala baginya? Apakah kebanggaan bukan perangkap baginya? Apakah kebanggaan bukan sebab kehancurannya?
Sudahkah kita berpikir apa tolok ukur kebanggaan sehingga saat berbangga harus menghinakan orang lain? Apa benar orang yang kita hina tidak sakit hati? Apakah orang yang kita hina bukan wali Allah? Apakah orang yang kita hina tidak memiliki hati yang lapang?
Oleh karena itu ada tiga hal yang tersembunyi dari pandangan manusia; pertama wali Allah, kedua
Kebanggaan bisa membuat pelakunya membangkang perintah Allah sehingga harus masuk dalam jurang kehancuran.
Imam Ali bin Abi Thalib as dalam hal ini bersabda: “Ambillah pelajaran dari setan, bagaimana ia bisa terpuruk setelah beribadah selama enam ribu tahun (tidak jelas, apakah tahun duniawi; 365 hari atau tahun ukhrawi yang seharinya sama dengan 50 ribu tahun duniawi) hanya karena kebanggaan dan kesombongan yang sesaat saja. (Nahjul Balaghah, khutbah 192).
Rasulullah saw bersabda: “Orang-orang yang bangga dan sombong pada hari kiamat dibangkitkan sebagai orang yang paling hina dan diinjak-injak oleh makhluk lainnya. (Tafsir Maraghi).
Dalam riwayat lain dikatakan: “Allah akan mengangkat orang-orang yang tawadu dan rendah hati dan menghinakan orang-orang yang sombong dan bangga diri”. (Mahajjah Al-baidha, jilid 6, hal 215).
Takabur menyebabkan hilangnya amal. Orang yang menganggap dirinya paling utama, paling tinggi dan paling-paling..., ia harus menunggu jawaban dari Allah “keluarlah sesungguhnya kalian termasuk orang-orang yang hina!”.
Rasisme adalah nilai-nilai yang dicetuskan oleh setan. Orang yang menganggap dirinya paling tinggi, paling wah, paling hebat dari yang lain, sebenarnya sedang melupakan dirinya.
Akar kekufuran ada tiga: tamak, hasut dan takabur.(Kafi, jilid 2, bab Usul al-Kufr).
Tolok Ukur Derajat Seseorang
Tolok ukur seseorang dianggap sebagai orang besar adalah karena ketaatan dan ketakwaannya kepada Allah swt, bukan titelnya, usianya yang lebih tua, ras, kekayaan dan pengalaman dan lain sebaginya.
Berbanggalah karena sebagai hamba Allah dan Allah sebagai Tuhan kita! Sebagaimana ucapan Imam Ali as: “Ya Allah! Aku bangga sebagai hamba-Mu dan Engkau sebagai Tuhanku”
Orang yang bangga diri, boleh jadi kebanggaannya ditampakkan dengan ucapan atau dengan isyarat. Bangga diri melalui ucapan boleh jadi hanya membanggakan dirinya saja, boleh jadi pada saat yang sama ia menghina dan melecehkan orang lain. Orang yang menampakkan kebanggaannya sekaligus menghina dan melecehkan orang lain, ia berdosa dua kali. Mengapa? Dari satu sisi ia lupa bahwa apa yang dibanggakannya adalah pemberian Allah, dari sisi lain ia sedang menghina dan melecehkan hamba Allah. Padahal tolok ukur ketinggian seseorang adalah karena ketaatan dan ketakwaannya kepada Allah. Dalam al-Quran Allah berfirman: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian”. (Hujurat [49]:13)
Ras bukan sebuah kebanggaan, tetapi penciptaan Allah di luar kehendak manusia. Bila manusia ada yang pendek, tinggi, jelek atau cantik, hitam atau putih, tujuannya adalah untuk mengenal satu sama lain, bukan untuk membanggakan diri dan menghina serta merendahkan yang lainnya.
Tentunya dalam al-Quran ada beberapa hal yang menjadi tolok ukur kebanggaan, antara lain ilmu, pengalaman, amanat, kemampuan dan hijrah. Namun, jangan lupa bahwa semua ini kita niatkan karena Allah. Bila kita menuntut ilmu karena ingin dipuji atau membanggakan diri, maka kita sedang berada di tebing kehancuran.
Dan sampai kapan kita harus terjerat oleh penyakit bangga diri? Sampai kapan kita harus melanjutkan cetusan iblis? Sampai kapan kita harus melihat sinis orang yang kita hinakan? Sampai kapan kita harus melihat tajam orang yang tidak kita sukai? Padahal boleh jadi orang yang kita hinakan adalah kekasih Allah. Mari kita berlindung kepada Allah agar terjauh dari sifat bangga diri. Bila sudah terjangkit secepatnya kita sembuhkan dengan berdoa dan bertindak!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar