Sejarah dan Strategi Dakwah Syiah Di Indonesia
Sejarah dan Strategi Dakwah Syiah Di Indonesia
Saleh Lapadi
Kita sering mendengar pepatah yang mengatakan bahwa pengalaman adalah guru terbaik. Sejarah adalah guru manusia. Sejarah memberikan data kepada kita untuk dapat melakukan evaluasi. Umat yang berhasil adalah umat yang senantiasa mengevaluasi apa-apa yang telah dilakukannya. Bila ada kekurangan akan diperbaiki dan bila berlebihan akan dikurangi sehingga terjadi keseimbangan. Itulah sebabnya mengapa Rasulullah saw mewanti-wanti kita agar senantiasa mengevaluasi diri kita sebelum Allah melakukannya nanti. Karena ketika Allah yang menghitung amal perbuatan kita, tidak akan ada yang tertinggal karena perhitungannya akan sangat teliti.
Perkembangan Syiah di Indonesia juga dapat dianalisa dengan pendekatan sejarah. Sejarah telah mencatat sejumlah keberhasilan dan kegagalan umat Islam. Munculnya mazhab-mazhab dalam Islam dan kelompok-kelompok dalam sebuah mazhab merupakan pelajaran yang sangat berharga. Sebagian dari mazhab atau kelompok itu kemudian hanya dapat dikenang dalam buku-buku sejarah. Mengetahui sebab-sebab kegagalan dan kemusnahan mereka dapat membantu perkembangan Syiah di Indonesia agar tetap eksis.
Sebagaimana sejarah mencatat sejumlah mazhab dan kelompok yang lenyap ditelan zaman, sejarah juga mencatat mazhab-mazhab dan kelompok-kelompok yang masih tetap eksis. Salah satunya adalah Syiah Imamiyah, Syiah yang meyakini 12 imam. Perkembangan Syiah berhutang budi pada Revolusi Islam Iran yang dipimpin oleh Imam Khomeini ra. Namun, dalam perkembangannya, ternyata dalam usaha penyebaran Syiah Imamiyah banyak kendala menghadang.
Tulisan ini mencoba melihat beberapa kendala yang menghalangi perkembangan dakwah Syiah di Indonesia dengan pendekatan pengalaman sejarah, sekaligus memberikan solusi alternatif. Tentunya, apa yang disoroti hanya mencakup beberapa hal yang dianggap penting oleh penulis.
1. Mudah dan Sederhana
Islam merupakan agama yang paling cepat tersebar di dunia. Salah satu penyebabnya adalah karena dari sisi pemikiran, Islam dapat diterima dan dipahami oleh semuah orang. Islam dianggap tidak kompleks dan sulit dari sisi pemikiran. Untuk memahamkan agama Islam kepada orang lain, tidak diperlukan sebuah usaha luar biasa. Itu dikarenakan Islam dapat dipahami oleh semua dengan mudah.
Pada saat yang sama, disiplin sejarah agama dan sejarah peradaban meyakini bahwa dalam perubahan sejarah, hal terpenting dan tersulit dilakukan adalah mengubah mazhab dan atau agama. Artinya, sangat mungkin sebuah masyarakat dijajah oleh bangsa lain dan harus berkorban dalam banyak hal, namun agama dan adat istiadat masih dapat mereka pertahankan. Ini menunjukkan bahwa mengubah keyakinan bukan hal yang mudah.
Di sisi lain, bila Islam ternyata mampu mengubah keyakinan dan agama orang lain atau masyarakat lain dengan cepat, maka hal yang sama harus diterapkan dalam Syiah. Di sinilah muncul pertanyaan besar, apakah Syiah yang kita dakwahkan saat ini dapat dipahami dengan mudah oleh masyarakat?
Jika kesederhanaan Islam dan Syiah menjadi sulit dan kompleks dengan penambahan masalah-masalah lain maka Syiah akan kehilangan kepopulerannya. Jika untuk menjadi seorang Syiah harus melewati serangkaian masalah terlebih dahulu dan kita tidak mampu menyederhanakannya, maka di masa yang akan datang kita akan mengalami masalah besar dalam mengembangkan dakwah Syiah di Indonesia.
Sebagai sebuah perbandingan lain, Mu’tazilah dapat menjadi sebuah contoh betapa mereka tidak pernah mampu mempengaruhi masyarakat. Penyebabnya sangat sederhana sekali, karena akidah mereka dijelaskan dengan cara yang rumit dan kompleks. Banyak ketidakjelasan di sana, bahkan tidak semua kalangan ilmuwan mampu mencerna akidah mereka. Akibatnya Mu’tazilah hanya dapat ditemukan dalam wacana ilmiah dan tidak akan pernah mampu masuk dalam pemahaman masyarakat.
Syiah harus dikembangkan bak sebuah makanan lezat dan instan. Sebuah tata pikir yang mudah, tidak kompleks. Tidak banyak kembangannya sehingga menjadi sulit dan tidak dapat dipertahankan. Kita harus mampu menjelaskan Syiah secara komprehensif dalam sebuah penjelasan ringkas.
Tentunya, menjelaskan Syiah secara sederhana namun komprehensif tidaklah mudah. Begitu juga tidak semua orang mampu melakukannya. Hal ini membutuhkan kerja sama semua pihak untuk memikirkan masalah ini bersama-sama dan dituangkan dalam bentuk tulisan; baik itu berupa buku, brosur, silabus dan lain-lain. Oleh karena itu, kita membutuhkan media murah untuk melakukan tranformasi ide ini ke masyarakat.
2. Ketat dan Kaku dalam Beragama
Kelompok Khawarij memiliki pesona tersendiri dalam sejarah Islam. Namun, tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa setelah peristiwa Nahrawan, Khawarij masih memiliki pandangan yang dapat dibanggakan dan diterima oleh masyarakat. Pada dasarnya, orang-orang Khawarij senantiasa mengidentikkan dirinya sebagai orang-orang zuhud, benci terhadap golongan kaya dan benci kezaliman. Dalam sisi pemikiran, mereka menunjukkan dirinya sebagai golongan yang berpegang teguh dengan al-Qur’an. Sikap ini tidak membuat mereka memiliki tempat khusus di dunia Islam. Saat ini, dapat dikatakan bahwa Khawarij tidak memiliki perkembangan bahkan dapat dikatakan telah terhapus dari kumpulan mazhab Islam.
Tentu perlu dicari tahu apa penyebabnya. Salah satu penyebab kemandekan bahkan kemusnahan mereka adalah keketatan dan kekakuan dalam beragama. Sebagai bahan perbandingan, coba kita lihat bagaimana di timur dunia Islam, Abu Hanifah dengan pandangan fiqihnya memberikan syarat yang mudah dalam beragama. Ia membolehkan orang melakukan salat dengan bahasa Persi dan menyatakan bahwa setiap orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat berarti telah menjadi muslim. Cara pandang Abu Hanifah membuat banyak orang mengikutinya dan mazhab Hanafiyah cepat berkembang menjadi luas. Ini salah satu pengalaman sejarah.
Sementara Khawarij begitu kaku dalam memahami dan mengaplikasikan rasa keberagamaannya. Mereka menganggap orang yang melakukan dosa besar adalah kafir dan wajib untuk dibunuh. Siapa saja yang menjadi Khawarij, maka ia harus melepaskan urusan dunianya dan ikut dalam Dar al-Hijrah dan harus siap untuk melakukan perjuangan dari pagi hingga malam. Sikap kaku yang dimiliki oleh Khawarij membuat mereka tidak diterima kalangan lain.
Setiap bentuk kekakuan dalam beragama apapun bentuknya baik dalam masalah teori, fiqih, dan bentuk kontrol sosial dalam sebuah negara akan menghalangi perkembangan sebuah mazhab.
Dalam rentang sejarah, kita dapat mengatakan bahwa kelompok Murjiah telah menguasai dunia. Tapi yang dimaksud dengan kelompok Murjiah di sini bukan Murjiah yang dimuat dalam buku “Milal wan Nihal” yang memiliki akidah bahwa tidak ada masalah jika seseorang melakukan dosa, sekalipun dosa yang dilakukan adalah dosa besar. Tapi maksud Murjiah di sini adalah sebuah kenyataan di luar. Kita dapat melihat bahwa cukup dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, ia sudah dianggap sebagai seorang muslim. Dan ketika ia melakukan dosa tidak berarti bahwa ia telah keluar dari Islam.
Bila Syiah punya cara pandang yang kaku dan menyempitkan ruang gerak pengikutnya maka Syiah tinggal menunggu waktu kebinasaannya seperti Khawarij atau paling tidak, Syiah hanya akan bertahan di sebuah kawasan tertentu.
Hal ini jugalah yang membuat Wahabi/Salafi tidak mampu mengembangkan pengaruhnya secara maksimal meskipun ditopang dengan biaya besar dan telah dikerahkan seluruh daya dan upaya untuk mengembangkan pengaruhnya di kalangan kaum muslimin. Kekakuan dalam beragama yang mereka terapkan tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh Khawarij karena mereka membuat batasan yang kaku dan ekstrim dalam mendefinisikan kekufuran dan keimanan, dan ini tidak dapat diterima oleh banyak kalangan.
3. Cara Pandang Sektarian
Kiranya diperlukan sebuah kejelasan dalam menilai Syiah, apakah Syiah adalah sebuah kelompok ataukah sebuah mazhab yang berusaha menghidayahi manusia. Bila inti ajaran Syiah adalah sebuah cara pandang terhadap Islam, maka tidak semestinya kita membatasinya sebagai sebuah kelompok.
Meskipun pengikut Syiah tidak terbatas pada sebuah ras tertentu, namun pada kenyataannya, kondisi tersebut dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari dari pengikut Syiah. Semakin kita berusaha mempersempit Syiah, berarti kita memaknai Syiah hanya sebagai sebuah kelompok.
Sejarah mencatat, setiap kelompok minoritas akan selalu mempertahankan ciri-cirinya dengan simbol-simbol tertentu. Hubungan dengan masyarakat sekitar akan mereka batasi dan mereka hanya berhubungan dengan sesama mereka. Mereka tidak akan mengawinkan anak wanitanya dengan orang lain, sebagaimana mereka tidak mencari anak wanita lain untuk anak lelakinya. Bila pengikut Syiah melakukan hal yang sama dalam kondisi sebagai minoritas maka tidak akan ada yang ingin mengenal dan mengetahui Syiah. Demikian pula sebaliknya.
Bila kita tidak mempunyai kepentingan untuk mengembangkan Syiah, maka sikap seperti kaum minoritas itu tidak akan mempunyai dampak dan kita bisa saja menambahkan sesuatu yang baru ke dalam mazhab ini. Saat ini banyak hal yang sebelumnya tidak ditemukan pada Syiah, sekarang telah ditambahkan, bahkan dijadikan sebagai sebuah kesepakatan. Bila seseorang tidak meyakini masalah itu, bahkan bila ia adalah Syiah, mereka akan mengeluarkannya dari mazhab Syiah. Orang seperti itu tidak dapat diterima dalam sebuah komunitas Syiah.
Permasalahannya adalah ketika kita ingin mengembangkan dan memperkenalkan Syiah kepada orang lain. Di sini cara pandang kita perlu diperbaiki. Syiah jangan dijadikan sebagai sebuah kelompok eksklusif. Selama kita menjadikan Syiah hanya sebagai sebuah kelompok, maka ia tidak dapat berkembang sebagaimana mestinya, bahkan setiap hari akan semakin mengecil. Syiah harus dikembalikan sebagai mazhab yang memiliki risalah untuk memberi petunjuk dan hidayah kepada umat manusia. Kita perlu mengeluarkannya dari sifat kelompok menjadi sebuah ajaran yang dapat diterima oleh semua orang.
4. Minus Informasi Terpusat
Ijtihad adalah salah satu dari keunggulan ajaran Syiah. Hal ini dibuktikan dengan perkembangan ilmu-ilmu pengantar ijtihad, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Namun sayangnya, sering terjadi penyalahgunaan. Dengan alasan ijtihad, banyak orang melontarkan pandangan-pandangan yang malah tidak diterima oleh masyarakat umum.
Masalah paling urgen bagi Syiah saat ini adalah tidak adanya informasi terpusat. Kita tidak tahu kepemimpinan Syiah berada di tangan siapa. Setiap mujtahid, dengan mudah melontarkan pandangannya setiap saat yang terkadang berbeda dengan pendapat mujtahid lain dan tidak dapat diterima oleh masyarakat umum. Syiah bukanlah sebuah ajaran yang setiap saat bisa ditambah sesuka hati. Sebuah organisasi kecil saja tidak mudah untuk bisa menambah aturan-aturannya apa lagi ini sebuah mazhab.
Bisa saja kita berandai-andai dan mengatakan bahwa 100 tahun kemudian, ulama besar Syiah akan berkumpul dan melakukan perubahan-perubahan. Dalam syiah, gambaran pandangan itu seperti apa?, Siapa yang memiliki tugas untuk menjelaskan akidah Syiah? Di mana ulama Syiah sepakat dalam sebuah masalah? Ini pertanyaan-pertanyaan yang perlu mendapat jawaban jelas dan pasti dari ulama Syiah.
Bila pusat-pusat pemikiran Syiah berbilang dan tidak ada definisi yang tuntas mengenai masalah ini, yang menjadi korban adalah para pengikut Syiah sendiri. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Bila seorang telah Syiah, ia harus mengikuti pandangan yang mana? Siapa yang harus didengarnya?
Penjelasan ini mungkin menimbulkan pertanyaan lain bahwa bila informasi tentang Syiah telah dipusatkan, itu berarti tidak ada kebebasan berpendapat, tertutupnya pusat-pusat penelitian dan tidak ada lagi tempat untuk berbeda. Ini dua masalah yang berbeda. Penelitian punya tempat tersendiri dan masyarakat perlu kebesaran hati untuk memberikan kesempatan kepada mereka yang duduk di pusat-pusat penelitian untuk melakukan aktivitasnya. Tapi, masyarakat dari sisi keberagamaannya, baik itu Syiah atau tidak, perlu mengetahui apa kewajibannya, apa yang harus dilakukannya.
Bila kita sepakat bahwa Syiah perlu diperkenalkan kepada orang lain, maka dibutuhkan sebuah kesepakatan puncak dalam masalah-masalah penting. Kesepakatan puncak ini dapat dicerap ketika, setidak-tidaknya, dalam prinrip-prinsip sederhana dan primer ada kesepakatan sampai pada batas-batas tertentu.
Sebagai contoh, para marja Syiah kontemporer telah berbicara banyak dan luas tentang tidak adanya perubahan dalam al-Quran. Mereka bahkan telah memberikan peringatan bahwa dalam Syiah tidak diyakini adanya tahrif al-Quran. Namun, tetap saja ada satu dua ulama Syiah yang meyakini adanya tahrif al-Quran dalam Syiah. Ini bukan permasalahan baru, sejak dahulu hal yang seperti ini sudah ada. Saat ini, pengikut Syiah membutuhkan sebuah majelis ulama yang mengeluarkan sebuah fatwa terpusat. Sehingga ketika mereka telah mengkaji dan mengeluarkan fatwa, yang lain harus mengetahui bahwa pandangan yang dikeluarkan oleh majelis ulama Syiah ini adalah sebuah prinsip dan tidak ada pandangan lain lagi.
Sebagai contoh, sekitar tahun 1931-1933 sempat terjadi perdebatan serius tentang masalah Raj’ah di kota Qom. Perdebatan ini akhirnya mencapai puncak sehingga hampir timbul konflik. Akhirnya, masalah ini ditanyakan kepada Ayatullah Abdul Karim Hairi Yazdi, marja terbesar Syiah saat itu di Iran. Dengan mudah dan santai beliau menuliskan fatwanya: “Bila seseorang tidak meyakini akan Raj’ah, ia tidak keluar dari Syiah”. Perdebatan sengit itu langsung redam.
Pengikut Syiah di Indonesia sendiri, mempunyai potensi untuk mengumpulkan semua kecenderungan yang ada. Karena itu sudah menjadi salah satu kepribadian bangsa Indonesia. Syiah Indonesia perlu mengkaji titik-titik kesamaan yang dimiliki. Kesamaan yang ada ini dapat menjadi solusi meredam berkembangnya pandangan-pandangan yang berbeda yang menggoyahkan tatanan sosial masyarakat. Ketika orang-orang yang memiliki kelayakan secara ilmiah atau sebuah badan ulama tertentu tidak mengeluarkan pandangan dalam menyikapi sebuah masalah, maka akan muncul pandangan-pandangan dari mereka yang tidak memiliki kelayakan untuk mengeluarkan pendapat. Hal ini sangat rentan dan akan menimbulkan sebuah konflik.
Hal yang sama terjadi di pusat-pusat Syiah seperti Qom dan Najaf. Ketika seorang marja tidak mengeluarkan pandangannya tentang sebuah masalah agar tidak muncul sebuah problem, solusinya akan diambil alih oleh orang-orang yang tidak layak untuk mengeluarkan fatwa. Tentu mereka tidak bisa disalahkan seratus persen, karena mereka sendiri perlu tahu apa yang harus dilakukan. Ketika tidak ada penjelasan sedang mereka dituntut untuk melakukan sesuatu, perlu penjustifikasian untuk perbuatan mereka maka mereka akan menerima pendapat dari siapa saja.
Bila di Indonesia kita telah menyamakan visi dan ada kesepakatan, kita akan mampu menyampaikan pendapat kita sekaligus memperkenalkan Syiah dengan baik. Namun, selama tidak ada kesamaan persepsi, sulit dibayangkan kita dapat berkiprah di Indonesia kelak.
5. Minus Sikap Moderat
Sejarah mencatat banyak ulama Syiah yang memiliki hubungan baik dengan ulama Ahli Sunah. Syekh Mufid dan Syekh Thusi merupakan salah satu contohnya. Keduanya cukup getol melakukan kajian perbandingan fiqih Syiah dan Ahli Sunah. Buku al-Khilaf yang memuat ragam mazhab Islam dalam sebuah masalah fiqih merupakan salah satu karya berharga Syekh Thusi dalam masalah ini.
Murid-murid Syekh Thusi yang berhijrah ke daerah Rey di Iran—pusat mazhab Syafi’i dan Hanafi—telah berhasil disulap menjadi pusat pemikiran mazhab Syiah tanpa terjadi konflik. Orang-orang Syiah masuk ke sana dengan menunjukkan sikap moderat dan cinta damai. Sebuah sikap warisan dari hauzah Najaf. Bila kita membuka buku-buku Ahli Sunah yang menceritakan tentang tokoh-tokoh ulama, akan ditemukan nama Allamah Hilli yang disebut-sebut sebagai ulama Syiah yang memiliki kepribadian moderat. Beliau tidak mencaci maki sahabat.
Setelah kedatangan ulama Syiah, kondisi kota Rey berubah drastis. Kaum Sunah ikut menghadiri ceramah-ceramah yang disampaikan oleh ulama Syiah. Sebaliknya, ulama Syiah ikut menghadiri acara-acara yang diadakan oleh Ahli Sunah. Terkadang terjadi dialog-dialog sehat di antara mereka. Semuanya berjalan tanpa masalah, sementara pengikut Syafi’i dan Hanafi sering terlibat konflik di antara mereka. Syiah dapat diterima oleh kedua belah pihak. Rahasianya adalah karena pandangan yang disampaikan bersifat seimbang dan moderat. Dengan sikap moderat, mereka berhasil menjaga dan mengembangkan Syiah.
Syiah masa kini di Indonesia perlu menunjukkan sikap moderat dan meninggalkan sikap ekstrim. Ini merupakan tuntutan zaman. Bila hal ini tidak dilakukan, Syiah tidak akan berkembang sebagaimana mestinya. Sikap moderat yang dimaksudkan di sini, bukan berarti segala sesuatunya kita sampaikan sesuai dengan maslahat secara ekstrim dan di setiap ruang dan waktu kita akan menyampaikan ajaran Syiah sesuai dengan cara pandang yang telah ada. Tidak demikian! Jelas ada ruang-ruang yang masih bisa ditolerir dan ada yang tidak bisa, seperti antara tauhid dan syirik yang tidak dapat dipertemukan. Perlu diingat bahwa Syiah memiliki akidah-akidah jelas dan bernilai yang harus dipertahankan. Kita perlu membedakan mana yang merupakan substansi Syiah dan mana yang bukan.
Hal lain yang perlu diingat, setiap masyarakat tidak dapat menerima segala macam cara. Ada sejumlah cara tertentu yang dapat mereka terima dengan baik. Jadi kita tidak dapat dengan serta merta menyampaikan Syiah dengan gaya menentang arus dan cara pandang masyarakat setempat.
6. Minus Penguasaan Kondisi Ruang dan Waktu
Selain mempergunakan cara moderat, Syiah masuk ke Iran melalui tasawwuf. Perlahan-lahan tasawwuf yang ada diperbaiki. Sebagian besar mereka yang semula adalah Syiah tasawwuf berubah menjadi Syiah fiqih. Tentunya yang tidak bisa dilupakan bahwa Iran sejak awal memang mempunyai potensi itu.
Berbeda dengan Syiah, dakwah Wahabi/Salafi di mana pun, khususnya di Afrika, yang paling awal diserang adalah kelompok tasawwuf. Pada prinsipnya, Wahabi/Salafi menolak tasawwuf dan tidak memberikan ruang sedikitpun untuknya.
Karena kondisi setiap masyarakat berbeda-beda maka sudah tentu, cara yang dipakai juga akan berbeda-beda. Namun perlu diperhatikan bahwa banyak kondisi yang sebenarnya dapat dimanfaatkan dan lewat kondisi itu kita bisa mendakwahkan Syiah. Apa yang dilakukan oleh Wali Songo merupakan contoh paling jelas dalam dakwah di Indonesia. Mereka mampu melihat kondisi yang ada di masyarakat dan sesuai dengan kondisi itu mereka memasukkan ajaran-ajaran Islam. Namun, apakah tugas mereka telah selesai? Tentu jawabannya adalah tidak. Apa yang mereka lakukan adalah langkah awal, kaum muslimin setelahnya memiliki kewajiban untuk melanjutkan cara mereka ini dan memperbaiki cara pandang masyarakat.
Salah satu keunggulan Syiah dibandingkan mazhab yang lain adalah sistem pemikirannya yang kaya. Di Syiah ada cara pandang fiqih, kezuhudan, kearifan, begitu juga kajian-kajian akhlak tingkat tinggi. Dapat dikatakan Syiah adalah sebuah mazhab rasional dan pada kondisi tertentu, hal ini dapat dimanfaatkan demi perkembangan Syiah.
Di Arab Saudi, jurusan teologi tidak diizinkan berdiri. Sementara pada waktu yang sama, Syiah dengan mudah dapat memanfaatkan teologi yang disukai oleh orang-orang Mesir dan sebagian besar kaum muslimin di seluruh dunia, termasuk Indonesia, untuk mengembangkan dakwahnya. Sedangkan Wahabi/Salafi memiliki kecenderungan yang sangat ketat dalam masalah hadis. Dalam Syiah, selain kajian-kajian hadisnya bersifat serius, ia juga dilengkapi dengan sistem berpikir seperti irfan, filsafat dan lain-lain.
Hendaknya kekayaan khazanah pemikiran Syiah ini tidak dipersempit. Bila seseorang hanya mampu menguasai salah satu dari disiplin ilmu dari khazanah pemikiran Syiah, semestinya ia tidak mengambil keputusan-keputusan final, tapi biarkanlah ruang kosong yang ada dipenuhi oleh mereka yang memilki kelebihan dalam disiplin ilmu lain. Bila tidak, Syiah akan dianggap hanya memiliki sebuah satu cara pandang saja. Dan untuk merubah cara berpikir seperti ini, dibutuhkan energi yang cukup besar.
Qom, 5 Mei 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar