Minggu, 24 Juni 2007

Kecerdikan Hamas kecemasan Barat

Kecerdikan Hamas kecemasan Barat

Saleh Lapadi

Pada bulan Januari tahun 2006 Hamas dalam pemilihan anggota Dewan Legislatif Palestina memenangkan mayoritas kursi yang disediakan. Dari 132 kursi yang diperebutkan Hamas berhasil merebut 76 kursi. Kemenangan ini akibat keikutsertaan Hamas dalam pemilu setelah pada tahun 1996 mereka melakukan boikot terhadap pemilihan. Di samping itu kemenangan mereka diakibatkan penurunan drastis popularitas Fatah setelah dinilai korup dan tak mampu mengurusi Palestina. Kemenangan Hamas dilakukan dalam pemilihan umum yang bersih dan diawasi oleh negara-negara asing.

Dalam sistem politik Palestina, Perdana Menteri dipilih oleh Presiden Otoritas Nasional Palestina dan bukan dipilih oleh Dewan Legislatif Palestina atau tidak juga dipilih secara langsung oleh rakyat. Meskipun begitu, sang perdana menteri masih umumnya mewakili koalisi mayoritas di parlemen. Dan pada tanggal 29 Maret 2006 Ismail Haniyeh terpilih menjadi Perdana Menteri Palestina sampai Presiden Otoritas Nasional Palestina Mahmud Abbas pada tanggal 14 Juni 2007 membubarkan pemerintah koalisi Hamas-Fatah dan mengangkat Salam Fayyad sebagai Perdana Menteri yang baru.

Kemenangan Hamas dalam pemilihan anggota Dewan Legislatif yang berujung pada pengangkatan Ismail Haniyeh sebagai Perdana Menteri memunculkan kecemasan bagi Israel, Barat dan negara-negara Arab pro perdamaian Arab Israel. Sejak awal membentuk kabinetnya Ismail Haniyeh mengumumkan tidak mengakui secara resmi keberadaan negara Israel. Hal itu membuat negara-negara Barat menghentikan bantuan kepada Palestina. Hanya keteguhan hari rakyat Palestina yang benci dengan sikap Israel selama ini yang memberi semangat kepada pemerintahan Haniyeh.

Konflik Hamas dan Fatah

Konflik yang terjadi selama ini antara Hamas dan Fatah merupakan sebuah miniatur dari tarik-menarik antara kekuatan-kekuatan yang ingin melakukan perdamaian dengan Israel dan kekuatan-kekuatan yang menganggap hanya perjuangan yang dapat membebaskan rakyat Palestina dari kebiadaban Israel. Fatah mewakili kelompok pro perdamaian dengan Israel dan Hamas mewakili kelompok yang kontra perdamaian dengan Israel. Rakyat Palestina sendiri telah muak dengan berbagai macam perundingan yang dilakukan dengan Israel, karena ujung-ujungnya Israel tidak pernah menghormati hasil-hasil perundingan itu. Setiap kali perjanjian gencatan senjata ditandatangani, Israel adalah pihak pertama yang melanggar perjanjian itu. Itulah mengapa rakyat Israel memilih dan mendukung Hamas yang memperhatikan mereka dan benar-benar berjuang bagi rakyat Palestina.

Di satu sisi, Hamas yang secara sah memerintah di Palestina diboikot oleh negara-negara Barat dan sebagian negara-negara Arab yang menghentikan bantuannya, bantuan dana tetap mengucur untuk Fatah. Tidak itu saja dalam ketegangan yang semakin memuncak, Fatah mendapat kiriman senjata beberapa truk lewat Mesir. Hamas berhasil menghentikan sebuah truk yang membawa senjata dan beberapa truk yang lain berhasil lolos dan sampai ke tangan Fatah.

Perundingan Mekkah dan Kabinet Persatuan

Konflik antar Fatah dan Hamas semakin meruncing. Korban yang jatuh di kedua belah pihak semakin besar. Raja Abdullah dari Arab Saudi kemudian mengusulkan sebuah perundingan di Mekkah. Ismail Haniyeh dan Mahmud Abbas menyetujui untuk menghentikan konflik yang terjadi. Raja Abdullah memanfaatkan Mekkah sebagai kiblat kaum muslimin dan simbol persatuan untuk mendamaikan kedua kelompok yang berselisih.

Sebenarnya, dalam masalah ini, usulan Raja Abdullah merupakan pengkhianatan atas suara rakyat Palestina yang telah diberikan kepada Hamas dalam pemilihan yang jujur, bebas dan rahasia. Raja Abdullah, negara-negara Arab bahkan Barat tidak pernah menyetujui pemilihan demokratis yang terjadi di Palestina. Demokrasi bagi Barat biasanya dinyanyikan dengan mengatakan bahwa sebuah pemilihan harus berlandaskan suara terbanyak. Bila sudah terpenuhi mereka akan menambahkan lagi bahwa harus ada persaingan. Bila ini juga sudah terpenuhi, biasanya mereka menambahkan alasan lain, harus ada kebebasan yang menjamin bahwa pemilihan umum itu sebagai manifestasi sebuah demokrasi. Terakhir, bila hal ini juga sudah dipenuhi, mereka akan mengatakan bahwa kelompok pemenang memiliki ideologi yang menyimpang. Seluruh syarat-syarat sebelumnya telah dipenuhi oleh Hamas, tapi mereka masih punya satu alasan pamungkas. Hamas memiliki ideologi menyimpang. Untuk itu Hamas dimasukkan dalam kelompok teroris. Padahal, kesalahan Hamas hanya satu tidak mengakui Israel dan meyakini jalan perjuangan yang dapat membebaskan mereka dari Israel.

Ismail Haniyeh secara cerdik menerima usulan Raja Abdullah dan menerima upayanya sebagai pihak penengah konflik Hamas-Fatah ini. Mahmud Abbas lebih antusias menuju Mekkah, karena itu berarti dalam tawar-menawar ini, Fatah akan mendapat jatah kue kekuasaan. Dan akhirnya memang demikian. Dalam perundingan itu disetujui untuk membentuk “Kabinet Persatuan”.

Mahmud Abbas merasa memang dengan upayanya yang tersalurkan dalam perundingan Mekkah. Namun, ternyata ia dan Raja Abdullah salah perhitungan. Karena ternyata yang paling banyak diuntungkan adalah Hamas. Secara politis, pemerintah yang dipimpinnya mau tidak mau harus diakui oleh dunia internasional, terutama kelompok kuartet; sebutan bagi kelompok Uni Eropa, Amerika, Rusia dan PBB, karena mengikutsertakan Fatah dan menteri dari kelompok netral.

Sementara itu Mahmud Abbas yang merasa gembira beberapa kabinet Palestina berasal dari orang-orangnya secara sesumbar langsung mengeluarkan pernyataan bahwa Kabinet Persatuan ini akan mengakui Israel, namun Ismail Haniyeh segera menepis isu itu. Ternyata, tidak saja ia harus menerima Hamas dan menyetujui langkah-langkah Hamas setelah Fatah mendapat kursi di kabinet Haniyeh, pernyataan Ismail Haniyeh bahwa Kabinet Persatuan juga tidak menerima Israel, membuat ia menjadi salah tingkah; baik menghadapi Hamas karena terikat perjanjian dan menghadapi Israel karena pro perdamaian Palestina Israel.

Berbeda dengan permasalahan Mahmud Abbas, kesediaan Arab Saudi menjadi pihak ketiga dalam upaya menyelesaikan konflik Hamas dan Fatah, Arab Saudi yang merasa berjasa, mau tidak mau secara finansial harus membantu kabinet Ismail Haniyeh. Dan secara politis, ketika muncul lagi konflik, Hamas tidak sendirian tapi di belakangnya ada Arab Saudi.

Sampai di sini, game yang coba dimainkan oleh Arab Saudi dalam perundingan Mekkah sebenarnya dimenangkan oleh Hamas berkat kecerdikan Ismail Haniyeh.

Usulan gencatan senjata yang ditolak

Setelah terbentuknya Kabinet Persatuan, sekali lagi terjadi pelecehan demokrasi oleh Barat. Hubungan mereka dengan pemerintah Palestina dilakukan dengan mengontak menteri-menteri dari kelompok netral. Upaya mereka ini dalam rangka memarginalkan Hamas. Namun, ini juga jelas menjadi kemenangan Hamas, karena tetap saja hubungan itu masih dalam kontrolnya. Dengan memiliki Kabinet Persatuan, upaya mengontrol kelompok-kelompok oposisi lebih baik.

Israel meradang dan tidak mampu melihat kemenangan berturut-turut dalam diplomasi dan kebijakan Hamas. Mereka kemudian melakukan serangan militer yang lebih hebat terhadap rakyat Palestina. Namun, sebagaimana biasanya tindakan teror mereka ditujukan kepada tokoh-tokoh Hamas. Tidak urung Ismail Haniyeh menjadi sasaran bahkan rumahnya menjadi sasaran tembak rudal Israel. Semakin berkurangnya jumlah korban dari tokoh-tokoh Hamas menandakan bahwa kemampuan Hamas baik dari sisi militer dan intelijen semakin baik. Apa lagi mereka menguasai jalur Gaza yang berada di luar pendudukan Israel. Ini membuat mereka dengan mudah merencanakan serangan balik ke pemukiman Yahudi.

Mengikuti taktik yang dilakukan oleh Hizbullah, Hamas lewat Brigade al-Qassam menembakkan rudal-rudal ke arah pemukiman Yahudi. Rudal-rudal yang sebagian besarnya dibuat sendiri. Perang bertahun-tahun dengan Israel membuat Brigade ini semakin dewasa. Tentu saja Israel dibuat repot karena ketakutan yang melanda pemukiman Yahudi.

Menyaksikan hal ini, kembali lagi Mahmud Abbas sebagai corong Israel meminta kepada Hamas untuk melakukan gencatan senjata. Namun, ini ditolak oleh Hamas. Bila harus melakukan gencatan senjata, maka yang harus memulainya adalah Israel dan bukan Hamas. Hamas hanya melakukan serangan balasan demi membela dirinya dan rakyat Palestina yang dibantai oleh Israel, begitu pembelaan Hamas.

Rupanya ini tidak bisa diterima oleh Mahmud Abbas. Maka dimulai lagi konflik babak kedua Hamas-Fatah yang memakan korban lebih banyak dari konflik pertama. Konflik ini dimulai dengan tekanan hebat Fatah yang diarahkan kepada Menteri Dalam Negeri yang kemudian berakhir dengan pengunduran dirinya. Ismail Haniyeh untuk sementara waktu merangkap jabatan sebagai Menteri Dalam Negeri.

Fatah memulai konflik ini dengan menyerang gedung-gedung milik Hamas, bahkan tempat tinggal Ismail Haniyeh tidak luput dari sasaran. Aksi-aksi Fatah ini berusaha menutup-nutupi siapa sebenarnya musuh rakyat Palestina. Ditambah lagi orang-orang seperti Mahmud Hilali salah seorang anggota Fatah yang punya hubungan dekat dengan Israel berusaha memperluas kawasan konflik. Sebelumnya, ia pernah membuat kamp perlawanan menentang Yasir Arafat.

Hamas tidak bisa berdiam diri melihat apa yang dilakukan oleh Fatah dan anggota-anggotanya. Para pelaku kerusuhan ditangkapi dan dijebloskan ke dalam penjara. Pemerintah yang dipimpin oleh Hamas hampir berhasil menangkap semua anggota Fatah yang bersenjata. Mahmud Abbas yang sejak semula menanti reaksi Hamas yang seperti ini dan sekaligus melanggar perundingan Mekkah, ia membubarkan Kabinet Persatuan yang dipimpin oleh Ismail Haniyeh. Ia kemudian mengangkat Sallam Fayyad untuk membentuk pemerintahan darurat tanpa perlu dukungan parlemen yang dikuasai 75 persen kursi yang ada.

Siapa Salim Fayyad?

Israel menganggap Salim Fayyad sebagai Perdana Menteri yang paling tepat. Fayyad sejak intifadhah pertama dari sekitar tahun 1987 hingga tahun 1995 bekerja di Bank Dunia. Dari Tahun 1995 sampai tahun 2001 ia menjadi wakil PLO di IMF. Dari tahun 2002 hingga 2005 ia menjadi Menteri Keuangan PLO. Setelah kemenangan Hamas, ia tidak dipakai dan diangkat kembali setelah terbentuknya Kabinet Persatuan.

Mahmud Abbas dengan mengangkat Fayyad dapat meraih beberapa tujuan yang diinginkannya. Dari satu sisi, ia akan membawa rakyat Palestina untuk menyesuaikan diri dengan kebijakan Israel. Dan dari sisi lain, ia mengharapkan Uni Eropa, Bank Dunia dan IMF dapat bekerja sama dengan pemerintah Palestina. Di samping itu, ia berhasil mengamankan kecemasan negara-negara Arab yang selama ini menginginkan perdamaian dengan Israel. Itulah mengapa ketika Mahmud Abbas membubarkan Kabinet Persatuan dan mengangkat Salim Fayyad, Persatuan Negara-negara Arab langsung mengadakan pertemuan darurat untuk membicarakan masalah ini dan relatif mereka semua menerima keputusan Mahmud Abbas.

Beberapa hari lalu, menteri-menteri luar negeri Arab mengeluarkan pernyataan agar Hamas menghormati Mahmud Abbas sebagai presiden dan pemimpin tertinggi di Palestina. Mereka memakai kata pemimpin tertinggi Palestina ditujukan kepada Mahmud Abbas, karena sepeninggal Yasir Arafat, tidak ada pribadi yang dapat mengisi kekosongan kharismatik Yasir Arafat, tidak juga Mahmud Abbas. Bahkan, mayoritas rakyat Palestina tidak mengakuinya.

Uni Eropa, Amerika bahkan Israel tanpa menunggu lebih lama langsung mendukung keputusan Mahmud Abbas. Amerika bahkan telah mengucurkan dana untuk Kabinet yang dibentuk oleh Salim Fayyad. Tidak kurang PBB memberikan dukungan secara penuh kepada keputusan Mahmud Abbas.

Dalam menyikapi keputusan Mahmud Abbas ini, negara-negara seperti Rusia, Afrika Selatan, Arab Saudi dan Sekjen Persatuan Negara-negara Arab mengambil sikap yang agak berbeda. Rusia mengembalikan masalah pada perundingan Mekkah, Afrika Selatan dengan bahasa yang agak mirip meminta kelompok-kelompok yang bertikai kembali pada Kabinet Persatuan, sementara Saud al-Faishal menunjukkan sikap tidak setujunya terhadap sikap yang diambil oleh Mahmud Abbas. Ia masih mendukung pemerintah yang dibentuk setelah perundingan Mekkah. Amr Musa sendiri mengecam pertikaian yang terjadi dan mengajak kedua belah pihak untuk kembali ke meja perundingan untuk menyelesaikan masalah yang ada.

Kecemasan Israel dan Amerika

Sekalipun rencana pembubaran Kabinet Persatuan yang diumumkan oleh Mahmud Abbas oleh New York Times hasil dari usulan dan dorongan Bush, Menteri Pertahanan Amerika mengatakan bahwa ikut campur Amerika dalam konflik ini akan merusak apa yang telah dicapai. Pencitraan yang dilakukan oleh pertemuan negara-negara Arab, Amerika, Israel dan Uni Eropa menguntungkan Fatah dan melemahkan posisi Hamas. Padahal, kenyataannya tidak demikian.

Jalur Gaza adalah satu-satunya daerah yang bebas dari pendudukan Israel dan saat ini dikuasai oleh Hamas dan pemerintah yang lahir dari kemenangan mereka di parlemen. Sementara itu, Mahmud Abbas dan pemerintah yang ditunjuknya, Salim Fayyad berdiam di kawasan yang diduduki oleh Israel, Tepi Sungai Yordan.

Bila kembali mengamati tujuan Hamas ketika memutuskan untuk mengikuti pemilihan umum adalah mendapatkan sejengkal tanah untuk menjadi basis perjuangan mereka melawan Israel dan bukan berkuasa dan mendirikan pemerintahan, maka mereka telah mencapai tujuan itu dan menang. Memiliki negara dan berkuasa bersanding dengan Israel tidak pernah ada dalam kamus Hamas bahkan secara politis mereka tidak percaya itu. Dan dalam masalah ini Mahmud Abbas dan Fatah bukan rivalnya. Sejak awal ketika Hamas memenangkan pemilu dan menguasai jalur Gaza, Mahmud Abbas dan Fatah telah menjadi pecundang.

Dengan perhitungan ini, sekalipun Amerika dan Israel berusaha keras untuk mendukung Fatah dan Mahmud Abbas lewat publikasi media besar-besaran sebagai pengganti Hamas, namun kecemasan itu tetap ada karena Hamas masih menguasai Jalur Gaza. Koran Yedioth Ahronoth menukil ucapan Perdana Menteri Israel Olmert yang mengatakan bahwa kemenangan Hamas atas Fatah mengingatkannya akan kekalahan pasukan Israel setelah keluar dari Lebanon Selatan.

Salah seorang senator garis keras Amerika dengan mengejek aksi yang dilakukan oleh Mahmud Abbas mengatakan, “Mahmud Abbas mengumumkan pembentukan pemerintahannya ketika Hamas telah menguasai Jalur Gaza.

Sebagian orang masih memberikan harapan dengan kosongnya Jalur Gaza dari anggota Fatah dengan mendirikan pemerintah di Tepi Sungai Yordan, akan memberikan kesempatan kepada Israel untuk yang kedua kalinya menduduki Jalur Gaza. Atau Jalur Gaza akan diserang habis-habisan oleh militer Israel. Dalam hal ini, analisa ini terlalu menganggap remeh kekuatan Hamas. Selama ini Tentara Israel selalu mengingat Jalur Gaza sebagai neraka bagi anggotanya dan mereka tidak akan kembali ke Jalur Gaza. Serangan udara yang diarahkan ke Gaza bukanlah hal baru bagi Hamas sehingga akan menghasilkan sebuah perubahan. Israel tahu benar bahwa serangan udara mereka memberikan kesempatan luas kepada Hamas untuk menembakkan rudal-rudal mereka ke pemukiman Yahudi.

Sebagian lain menganggap Gaza yang berbatasan dengan Mesir dengan kebijakan Hosni Mubarak di satu sisi dan di sisi lain berdampingan dengan Tepi Barat Sungai Yordan yang didukung oleh Mahmud Abbas akan menjadikan Gaza sebagai kekalahan dan kuburan Hamas. Harus dikatakan bahwa Mesir dan Yordania sejak lama punya kebijakan yang seperti ini dan sampai sekarang mereka belum mampu menghentikan Hamas atau sekurang-kurangnya dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh Fatah.

Penutup

Taktik yang selama ini dipakai oleh Hamas dalam menghadapi Israel adalah strategi yang selama ini diterapkan oleh Hizbullah. Dan itu tentunya setelah mereka sampai pada kesimpulan bahwa untuk meraih kemenangan perundingan bukan jalan yang terbaik. Apa lagi Israel adalah pihak pertama yang lebih dulu melanggar perjanjian.

Untuk itu, Hamas mengikuti pemilihan umum dan setelah menang mereka menguasai daerah Gaza sebagai basis perjuangan mereka. Ikut sertanya Hamas dalam pemilu tidak dengan harapan menjadi penguasa, tapi seperti yang dilakukan oleh Hizbullah, mereka berharap mendapat pengakuan dan sejengkal tanah untuk dapat berjuang melawan Israel dan membebaskan rakyat Palestina dari cengkeraman kejahatan Israel.

Taktik perangnya pun mengikuti model Hizbullah dalam membalas serangan dan aksi teror yang dilakukan oleh militer Israel. Brigade al-Qassam saya militer Hamas telah mampu memproduksi sendiri rudal-rudal yang bakal ditembakkan ke pemukiman Yahudi sebagai upaya bela diri atas serangan dan aksi teror Israel.

Ketika Hizbullah tak terkalahkan karena didukung penuh oleh rakyat Lebanon, saat ini Hamas mendapat dukungan dari hampir seluruh rakyat Palestina. Mereka menganggap hanya Hamas yang benar-benar memperhatikan keadaan mereka. Dan perlindungan maksimal Hamas selalu ditunjukkannya dengan membalas setiap serangan yang dilakukan oleh militer Israel.

Qom, 20 Juni 2007

1 komentar:

Anonim mengatakan...

saya ketika membaca artikel antum, dan kemduian teringat akan berita2 di TV ttg konflik internal ini. sedih juga melihat mereka salinhg bunuh