Kitab Akal dan Jahl
Kitab Akal dan Jahl[1]
Hadis Pertama
Kajian Ilmiah HPI
أَخْبَرَنَا أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ قَالَ حَدَّثَنِي عِدَّةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا مِنْهُمْ مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى الْعَطَّارُ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنِ الْحَسَنِ بْنِ مَحْبُوبٍ عَنِ الْعَلَاءِ بْنِ رَزِينٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ ع قَالَ لَمَّا خَلَقَ اللَّهُ الْعَقْلَ اسْتَنْطَقَهُ ثُمَّ قَالَ لَهُ أَقْبِلْ فَأَقْبَلَ ثُمَّ قَالَ لَهُ أَدْبِرْ فَأَدْبَرَ ثُمَّ قَالَ وَ عِزَّتِي وَ جَلَالِي مَا خَلَقْتُ خَلْقاً هُوَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْكَ وَ لَا أَكْمَلْتُكَ إِلَّا فِيمَنْ أُحِبُّ أَمَا إِنِّي إِيَّاكَ آمُرُ وَ إِيَّاكَ أَنْهَى وَ إِيَّاكَ أُعَاقِبُ وَ إِيَّاكَ أُثِيبُ
Artinya:
Abu Jakfar Muhammad bin Ya’kub[2] mengabarkan kepada kami, ia berkata sebagian sahabat kami[3]; di antaranya Muhammad bin Yahya al-‘Atthar, telah meriwayatkan dari Ahmad bin Muhammad dari Hasan bin Mahbub dari ‘Alla bin Razin dari Muhammad bin Muslim dari Abu Jakfar as. bersabda: “Ketika akal tercipta, Allah mengajaknya berbicara, “Maju!” Kemudian akal maju ke depan. “Mundur!” Kemudian akal mundur ke belakang[4]. Kemudian Allah berfirman, “Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, Aku tidak pernah menciptakan makhluk yang lebih kucintai selainmu. Aku tidak akan menyempurnakanmu kecuali pada seseorang yang kucintai. Ketahuilah! Karena keberadaanmu aku memerintah dan melarang dan memberikan siksaan atau pahala”.
Syarah Hadis
Salah kata kunci dalam hadis ini adalah akal. Dan untuk memahami hadis secara keseluruhan, perlu memahami beberapa terminologi yang dipergunakan sekaitan dengan kata akal.
1. Akal secara bahasa.
Al-Khalil al-Farahidi dalam kamusnya menyebutkan bahwa akal adalah lawan dari jahl atau kebodohan[5]. Pada saat yang sama, ketika sampai pada kata jahl beliau mengartikannya sebagai lawan dari ilmu[6]. Dengan memperbandingkan pemaknaan yang diberikan oleh Al-Khalil, maka dapat ditarik satu kesimpulan bahwa kata akal memiliki makna yang sama dengan ilmu yang kedua-duanya lawan dari jahl atau kebodohan. Sebagian ahli bahasa Arab yang lain, sekalipun memberikan makna yang lain dari yang disampaikan oleh al-Khalil, namun pada hakikatnya sama[7].
2. Akal dalam istilah ilmu kalam.
Ilmu kalam memaknai kata akal sebagai proposisi-proposisi populer yang diterima oleh semua orang atau mayoritas dan dengan itu mereka memuji sebuah perilaku[8].
3. Akal dalam istilah akhlak.
Dalam buku-buku akhlak ketika mempergunakan kata akhlak, maka yang dimaksud adalah akal praktis saja. Mahdi Hairi Yazdi memilih makna kata akal yang dipakai oleh ulama akhlak dengan akal praktis. Setelah itu ia menukilkan ucapan al-Farabi yang membagi akal teoritis dan praktis sekaligus memberikan perbedaannya. Kata al-Farabi: “Akal teoritis adalah sebuah kekuatan yang memberikan kemungkinan kepada manusia untuk mengetahui hakikat sesuatu yang berada di luar kehendaknya. Akal praktis adalah kekuatan yang membuat manusia mampu melihat dan menyaksikan sesuatu yang berada di bawah kekuasannya”. Oleh Mahdi Hairi Yazdi disimpulkan bahwa perbedaan antara keduanya pada ma’lumat dan bukan pada ‘ilm. Dengan dasar ini, akal praktis mengetahui ma’lumat yang mampu dikuasai oleh jiwa, sementara akal praktis mengetahui ma’lumat yang tidak mampu dikuasai oleh jiwa[9].
4. Akal dalam istilah burhan.
Dalam bab burhan, akal bermakna ma’qul, akan tetapi bukan ma’qul masyhur melainkan ma’qul yaqini yang menyusun premis; mayor dan minor[10].
5. Akal dalam istilah psikologi.
Menurut filsafat psikologi derajat paling tinggi dari ilmu yang mengetahui hal-hal yang universal adalah akal[11].
6. Akal dalam istilah filsafat metafisik.
Akal dikaji dalam filsafat metafisik dan menjadi bagian dari pembagian pertama dari wujud yang menjadi obyek filsafat metafisik. Akal didefinisikan sebagai wujud yang tidak didahului oleh materi dan waktu, namun didahului oleh sebabnya yaitu nur al-anwar[12].
7. Akal dalam istilah fikih.
Dalam ilmu fikih, akal memiliki dua makna. Pertama, akal sebagai salah satu dari sumber-sumber hukum yang bersanding dengan al-Quran, Hadis dan Ijma’. Kedua, akal sebagai perkakas yang menjadi pelayan keseluruhan sumber-sumber hukum[13].
Untuk mendapat kejelasan yang lebih mengenai akal, kiranya perlu melihat pada beberapa istilah lain yang sering digunakan seperti jiwa (nafs) dan fitrah. Sekaitan dengan jiwa dan akal, ruh manusia bila ditinjau dari sudut hubungannya dengan badan disebut jiwa (nafs), sementara disebut akal karena tidak ada hubungannya dengan badan, bahkan karena hubungannya dengan alam kudus. Tentunya, penjelasan ini tidak bertentangan dengan kaidah yang mengatakan bahwa ruh itu sederhana dan simpel; tidak memiliki rangkapan. Namun, pada saat yang sama dapat ditarik pemahaman sejumlah kekuatan dan potensi yang dimilikinya yang dalam istilah sering disebut quwa nafs (kekuatan-kekuatan ruh atau jiwa). Dengan demikian, kesederhanaan ruh dan berbilangnya kekuatannya tidak saling menegasikan. Karena kekuatan-kekuatan itu merupakan bagian dari beragam derajat yang dimiliki oleh ruh simpel manusia. Dan ini adalah salah satu contoh dari kaidah Mulla Shadra tentang wadah fi ‘aini katsrah dan katsrah fi ‘aini wadah (tunggal dalam kebinekaan dan bineka dalam ketunggalan).
Fitrah adalah bentuk asal manusia dan keberadaannya yang menjadi sumber sebagian dari pengetahuan dan kecenderungan transendental[14]. Beberapa perbedaan antara akal dan fitrah:
1. Dari sisi semantik, kata fitrah tidak memiliki sinonim dan lawan kata, sementara untuk kata akal ada beberapa sinonim yang disebutkan oleh ahli-ahli bahasa seperti, nuha, hijr dan fahm dan di sisi lain memiliki lawan kata seperti jahl dan humq.
2. Dalam teks-teks al-Quran dan Hadis tidak ada bukti bahwa keduanya memiliki satu makna bahkan yang ada malah sebaliknya; secara tegas disebutkan bahwa dua istilah ini selain berbeda secara substansi berbeda pula dalam aplikasi.
3. Fitrah adalah bentuk dari keberadaan manusia yang sesuai dengan keberadaan malakuti, sementara akal adalah bagian dari wujud atau bagian dari kekuatan-kekuatan jiwa. Dengan demikian, pikiran dan berpikir merupakan bagian dari fitrah manusia, sebagaimana sebagian dari pengetahuan bukan pekerjaan akal seperti mengenal keindahan. Mengenal keindahan hanya dapat dilakukan oleh fitrah. Selain memiliki pengetahuan, fitrah juga memiliki kecenderungan.
Ungkapan hadis “Allah mengajaknya berbicara” menunjukkan untuk mengeluarkan akal dari kegelisahan dan mengajaknya agar lebih dekat bahkan sebuah bentuk penghormatan dan cinta kepada akal. Ini sering dilakukan oleh seorang dengan kekasihnya. Sebagai contoh, Allah pernah menegur Nabi Musa as. di bukit Sina dengan menanyakannya “Wahai Musa! Apa yang berada di samping kananmu”, padahal Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Ungkapan hadis “Maju!” Kemudian akal maju ke depan. “Mundur!” Kemudian akal mundur ke belakang” dapat dimaknai sebagai cipta (takwini) dan tinta (tasyri’i). Perintah dan larangan cipta dalam hadis tersebut menunjukkan bertambah dan berkurang. Pertambahan dan pengurangan pada setiap derajat pada kekuatan-kekuatan yang berproses. Sementara bila perintah dan larangan itu merupakan tinta, maka perintah ke depan menunjukkan ketaatan dan perintah ke belakang menunjukkan larangan untuk bermaksiat. Tentunya, ini tidak menafikan penafsiran lain seperti, maju untuk muncul dan turun ke dunia dalam kehidupan setiap orang yang lahir di dunia. Dan kembali dari dunia menuju Allah ketika menemui kematian.
Menanggapi apakah akal adalah makhluk yang paling pertama diciptakan dapat dipahami dari potongan hadis di atas “Aku tidak pernah menciptakan makhluk yang lebih kucintai selainmu”, menunjukkan bahwa akal bukanlah makhluk pertama yang diciptakan oleh Allah. Sementara cinta adalah kecenderungan hati terhadap sesuatu yang sesuai dengannya. Cinta tidak berdiri sendiri, melainkan dari dua sisi. Ada hadis yang diriwayatkan dari Imam Shadiq as. ketika seorang lelaki bertanya kepada beliau tentang ucapan orang ketiga yang mengatakan, “Aku mencintaimu”. “Bagaimana saya dapat mengetahui bahwa ia benar mencintaiku?” Imam Shadiq as. menjawab, “Uji hatimu! Bila engkau mencintainya, niscaya ia juga mencintaimu”[15]. Sebagaimana akal adalah makhluk yang paling dicintai oleh allah, demikian pula Alah adalah yang paling dicintai oleh akal.
“Aku tidak akan menyempurnakanmu kecuali pada seseorang yang kucintai”, potongan hadis ini menunjukkan bahwa kesempurnaan akal bukan pemberian dan ciptaan Allah, melainkan usaha dari seorang hamba. Tanpa usaha, maka jangan mengharapkan akal seseorang akan menyempurna. Hal yang ditekankan oleh Imam Musa bin Jakfar as., “Barang siapa yang ingin kaya dari harta, kelapangan hati dari hasud dan keselamatan agamanya, hendaknya ia merendahkan dirinya di hadapan Allah dalam urusannya, niscaya akalnya menjadi sempurna”[16]. Hadis ini menuntun kita bahwa menurut data, orang yang lahir dan dibesarkan dalam kondisi jiwa yang bersih, mengerahkan segenap kekuatannya untuk menuntut ilmu dan mengamalkan akhlak yang mulia, dengan sendirinya dirinya lebih bercahaya dan akalnya bertambah dan semakin menyempurna. Kesempurnaan itu bahkan membuat ia dapat melihat rahasia-rahasia alam. Derajat ini memerlukan taufik rabbani yang tumbuh di atas fondasi keberadaan akal dan bukan pada kesempurnaannya.
Lanjutan hadis ini diikuti oleh penekanan dari Allah “Ketahuilah!”. Penegasan ini untuk menunjukkan bahwa sekalipun akal adalah makhluk yang dicintai-Nya dan memiliki derajat yang tinggi di sisi Allah, ada kalanya ia lalai. Sekalipun pada awalnya akal telah diperintah untuk maju dan mundur, namun sangat mungkin ia lalai dan merasa bahwa perintah dan larangan tidak hanya tertuju kepada dia saja, namun juga bersama yang lain. Di sini, untuk mengingatkan bahwa perintah dan larangan dan pahala dan siksa tertuju padanya, Allah sengaja mempergunakan kata “Ketahuilah!”. Dengan ini, diharapkan bahwa akal yang memiliki derajat tinggi di hadapan Allah tidak merasa sombong, karena ketinggian derajat tidak boleh membuat seseorang menjadi sombong. Bahkan lebih dari itu, ia senantiasa memerlukan pengingatan agar tidak menyimpang dari tujuan penciptaannya.
Hal yang tidak boleh dilupakan pada akhir hadis yang berbunyi “Karena keberadaanmu aku memerintah dan melarang dan memberikan siksaan atau pahala”, terutama yang terkait dengan siksaan dan pahala menunjukkan bahwa akal dan bukan lainnya yang layak untuk mendapatkan siksa dan pahala karena zat dan esensinya atau lewat kekuatan tempat bersumber ketaatan dan maksiat yang ada pada manusia. Hadis ini tidak menunjukkan bahwa siksa dan pahala hanya terkait dengan akal murni, sekaligus juga tidak menegasikan kebangkitan jasad.[Saleh L]
[1] . Hasil diskusi dua mingguan hadis Usul Kafi yang diselenggarakan oleh Divisi Kajian Ilmiah HPI pada tanggal 31 Agustus 2006.
[2] . Abu Jakfar Muhammad bin Ya’kub adalah Kulaini sendiri sang penulis buku hadis al-Kafi. Penyebutan namanya sendiri memberikan tiga kemungkinan; pertama, para perawi al-Kafi yang meriwayatkan darinya seperti an-Nu’mani, as-Shafwani dan selain keduanya. Kedua, ucapan beliau sendiri yang dinukil oleh para perawi. Ketiga, berita dari Kulaini sendiri tentang dirinya sendiri dan menganggap dirinya sebagai orang ketiga. Cara ketiga ini oleh Najisi dianggap sebagai cara para perawi terdahulu (qadim) dalam menulis hadis.
[3] . Allamah Majlisi menyebutkan bahwa setiap kali Kulaini menyebutkan “sebagian sahabat kami” dari Ahmad bin Muhammad bin Isa, maka selain Muhammad bin Yahya al-‘Atthar ada beberapa perawi lainnya seperti; Ali bin Musa al-Kamidzani, Daud bin Kurah, Ahmad bin Idris dan Ali bin Ibrahim bin Hasyim. (Lihat Mir’ah al-‘Uqul, cetakan kedua, 1402 H.
[4] . Sering muncul pertanyaan sekaitan dengan hadis ini, bahwa apakah akal dalam proses itu (diperintah ke depan dan ke belakang) melakukan itu dengan akal juga atau tidak? Pertanyaan ini tidak berarti apa-apa, karena esensi akal itu adalah dirinya sendiri.
[5] . Al-Farahidi, Abu Abdurrahman al-Khalil bin Ahmad, Kitab al-‘Ain, Jilid 1, hal 159, Muassasah Dar al-Hijrah, cetakan ke 2, 1409 H.
[6] . Idem, jilid 3, hal 391.
[7] . Lihat: al-Jauhari, Ismail bin Hammad, as-Shihhah Taj al-Lughah wa Shihhah al-‘Arabiyah, jilid 5, hal 1769, Beirut, Dar al-‘llm wa al-Malayin, cetakan ke 4, 1407 H. Ibnu Manzhur, Lisan al-‘Arab, jilid 11, hal 458, Adab al-Hauzah, 1405 H.
[8] . Yazdi, Mahdi Hairi, Kavushaye Aqle Nazari, hal 240-241, Teheran, 1360 H. S.
[9] . Yazdi, Mahdi Hairi, Idem, hal 241-242.
[10] . Idem, hal 241.
[11] . Idem, hal 242.
[12] . Idem, hal 244.
[13] . Ali Dust, Abul Qasim, Fikih va akal, hal 34, Teheran, Pezhouheshgah Farhanggi va Andisheye Eslami, cetakan ke 2, 1383 H. S.
[14] . Rashad, Ali Akbar, Fetrat be Masabeye dal dini, hal 9, jurnal Qabasat vol 36, 1384 H. S,
[15] . Kulaini, Muhammad bin Ya’kub, al-Kafi, jilid 2, Kitab al-‘Asyarah, Bab an-Nadir, hal 652, Teheran, 1365 H. S.
[16] . Idem, jilid satu, Kitab Aql wa Jahl, hal 18.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar