Jumat, 26 Januari 2007

Jawaban Al-Biruni Buat Raja Abdullah



Abu Raihan Al-Biruni;
Reaksi Terhadap Pewaris Bani Umayah Masa Kini
Rasul Ja’fariyan

Dalam kabar sebelumnya disebutkan bahwa raja Abdullah sang penguasa Arab Saudi bangkit dari tempat duduknya menyambut penceramah yang menyebutkan bahwa hari Asyura, hari kesepuluh dari bulan Muharam, sebagai hari lebaran. Sikap Abdullah ini memicu kemarahan Syi’ah Arab Saudi.

Sebenarnya masalah ini telah dibahas secara terperinci dalam buku-buku. Semua buku yang ada menyebutkan bahwa menerima hari Asyura sebagai hari raya merupakan warisan Islam warna Mu’awiyah. Bukan ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw.

Sekalipun demikian, tampaknya tidak salah bila saya berusaha kembali mengulangi lagi membahas masalah ini. Sebagai pembuka, saya akan membuka kajian ini dengan melihat analisa historikal yang dilakukan oleh Abu Raihan al-Biruni (360-440). Seorang penulis sejarah yang kritis dan diakui oleh semua mazhab Islam. Analisanya akan saya nukilkan kemudian disambung dengan penjelasan dari saya.

Abu Raihan al-Biruni dalam bukunya “al-Atsar al-Baqiyah” buku yang mencoba membandingkan ilmu penanggalan yang ada di masyarakat dunia sekaligus membicarakan masalah ilmu perbintangan. Dalam bukunya itu ia menulis:

“Hari pertama bulan Muharam merupakan hari besar. Karena hari itu merupakan hari pertama perpindahan tahun. Sementara hari kesembilan di bulan Muharam disebut Tasu’a. Hari kesembilan disebut demikian dengan membandingkannya dengan Asyura, hari kesepuluh. Hari kesembilan adalah hari di mana-mana orang-orang zuhud Syi’ah melakukan salat. Sementara hari kesepuluh disebut Asyura karena hari ini merupakan hari yang mengandung fadhilah. Keutamaan hari ini telah dikenal dan masyhur.

Diriwayatkan dari Rasulullah saw: “Ya Ayyuhannas! Pada hari ini bersegeralah kalian untuk melakukan perbuatan baik. Ini hari besar. Dan pada hari ini Allah memberi berkah-Nya”.

Kaum muslimin menganggap dan menghormati hari ini sebagai hari besar, sehingga Husein bin Ali terbunuh di kota Tuff. Ia dibunuh bersama Ahlul Bait Nabi Muhammad saw dari keturunan Ali bin Abi Thalib. Mereka melakukan perbuatan terhadap Husein dan keluarga Nabi yang tidak pernah dilakukan oleh masyarakat manapun di dunia. Bahkan tidak ada satu kelompok pun yang melakukan perbuatan yang demikian terhadap orang yang paling jahat sekalipun. Perbuatan mereka adalah membunuh dengan terlebih dahulu membuat Husein dan keluarga Nabi kehausan, kemah-kemah mereka dibakar, kepala-kepala mereka dipenggal dan ditancapkan di ujung rombak lalu diacung-acungkan, menggiring kuda-kuda untuk menginjak-injak jasad mereka, menghina kehormatan mereka, menawan wanita dan anak-anak lalu menaikkan mereka di atas unta sambil menghina.

Pada hari ini, Bani Umayah menghias diri, memakai celak mata dan memakai pakaian baru. Hari ini mereka merayakannya sebagai hari raya. Mengadakan acara perkawinan, melayani tamu dan membagi-bagikan makanan. Kebiasaan ini dilakukan sepanjang mereka berkuasa di tengah-tengah masyarakat. Kebiasaan ini tetap dilakukan sepeninggal dinasti Umayyah.

Sementara itu, orang-orang Syi’ah membaca sair-sair kesedihan. Mereka menangis dan meratapi kejadian yang menimpa Husein. Hal ini dilakukan di kota Baghdad dan kota-kota lainnya. Mereka pada hari ini pergi ke Karbala untuk melakukan ziarah. Mereka tidak senang dengan kelakuan masyarakat yang ikut memakai pakaian baru dan memperbaharui perkakas mereka pada hari itu.

Ketika berita syahadah Husein sampai di Madinah. Anak perempuan Aqil bin Abi Thalib keluar sambil membaca sair:

Apa jawaban kalian terhadap Nabi (di hari kiamat)
Bila ia bertanya: “Kalian sebagai umat terakhir apa yang kalian lakukan?
Apa yang kalian lakukan dengan keluargaku ketika aku tiada?
Sebagian dari mereka kalian bunuh dan sebagian lainnya kalian tawan?
Aku telah menasihati kalian
Ini bukan balasan yang seharusnya kalian lakukan
Kalian melakukan perbuatan dosa terhadap keluargaku!”[1]

Beberapa poin yang perlu diketahui:

Abu Raihan al-Biruni menyebutkan bahwa hari ke sepuluh bulan Muharam sebagai hari yang memiliki berkah sesuai dengan riwayat yang dibuat oleh Bani Umayah. Riwayat ini tidak memiliki dasar. Untuk membenarkan perilaku dan kebijakan mereka atas pembantaian mereka atas Imam Husein as dan keluarganya di Karbala, mereka terpaksa harus membuat hadis-hadis palsu semacam ini.

Hal yang menarik dalam tulisan al-Biruni, ia menangkap riwayat ini sebagai hadis buatan. Ini dapat ditemui pada kelanjutan buku tersebut. Saat al-Biruni berusaha menjelaskan kata Asyura, ia menukil sebuah hadis dari Rasulullah saw. Riwayat itu menceritakan bahwa ketika Nabi memasuki kota Madinah dengan melakukan puasa Asyura. Al-Biruni lantas melakukan penghitungan matematis untuk menetapkan kapan persisnya Nabi memasuki kota Madinah. Ia berhasil membuktikan bahwa kedatangan Nabi di Madinah tidak ada hubungannya dengan bulan Muharam. Ini sekaligus membuktikan bohongnya hadis yang menyebutkan bahwa Nabi memasuki kota Madinah untuk pertama kalinya dengan berpuasa.

Ini menunjukkan bahwa pada dasarnya, menganggap hari Asyura sebagai hari yang memiliki berkah dan berpuasa pada waktu itu hanya sebuah kebohongan sejarah. Lebih lanjut lagi, al-Biruni ketika menukil lebih lanjut ucapan-ucapan tentang berkah hari Asyura memberikan penekanan bahwa riwayat-riwayat ini berasal dari “awam muhadditsin” (ahli hadis yang awam). Mereka melakukan ini agar pengikut Ahli Kitab di zaman itu menjadi tenang dan senang.

Perlu kiranya menyorot lebih jauh mengenai laporan al-Biruni mengenai ketidaksetujuan orang-orang Syi’ah dengan kebijakan penguasa Bani Umayah pada waktu itu. Ketidaksenangan mereka bersumber dari peristiwa Karbala. Peristiwa pembantaian Imam Husein as beserta keluarga dan rombongannya. Dan kebiasaan yang masih tersisa dari perilaku Bani Umayah adalah apa yang dilakukan sampai saat ini oleh sebagian orang.

Ironis! Sepanjang sejarah dapat ditemukan bagaimana orang-orang Ahli Sunah mengenang kejadian paling menyedihkan dalam sejarah. Tapi orang-orang yang masih mengikuti kebiasaan Bani Umayah berusaha untuk menghidupkan kembali perilaku itu dengan menjadikan sepuluh hari pertama bulan Muharam, terutama hari kesepuluh, Asyura, sebagai hari besar dan dirayakan dengan penuh kegembiraan. [Saleh Lapadi]



[1] . Abu Raihan al-Biruni, al-Atsar al-Baqiyah, hal 420.

Tidak ada komentar: