Masalah Air di Karbala1
Masalah Air di Karbala
DR. Asqar Furuqi
Pendahuluan
Peristiwa Karbala, air dan kehausan merupakan hal yang paling menonjol. Penekanan terhadap air dan rasa haus membuat banyak hal-hal yang ditafsirkan dengan masalah ini. Percakapan yang terjadi antara kedua pasukan yang berhadap-hadapan juga banyak membicarakan masalah air. Air membentuk citra keteraniayaan Imam Husein as dan betapa kejamnya musuhnya.
Pentingnya masalah air tidak hanya terbatas pada kejadian sepuluh bulan Muharam. Masalah air dapat ditelusuri jauh sebelum hari kesepuluh, hingga terjadi pembantaian itu. Bahkan bila ingin ditarik lebih jauh lagi, Muslim bin Aqil, berdasarkan sebuah riwayat, dalam perjalanannya dari Madinah ke Kufah, dua pengawalnya mati karena kehausan setelah tersesat beberapa lama.[1] Muslim bin Aqil telah sampai ke Kufah. Dalam kondisi terluka dan tertangkap. Di istana Dar al-Hukumah ia menghembuskan nafas terakhirnya, sekalipun tempat air telah diberikan kepadanya. Hal itu dikarenakan ia banyak mengeluarkan darah dari mulutnya membuat ia tidak sempat lagi merasakan sejuknya air untuk terakhir kalinya. Akhirnya ia dengan bibir kering menjemput kesyahidannya.[2]
Menjemput syahadah dengan bibir kering memang membuat sedih dan trenyuh hati siapa yang mendengarnya.
Demikian juga dalam acara memperingati Asyura, banyak sair-sair yang dibacakan mengenai peristiwa Karbala berkaitan dengan air dan kehausan. Berdasarkan ini, saya berusaha dalam artikel pendek ini, dengan berlandaskan sumber-sumber tepercaya, untuk mengkaji lebih lanjut mengenai masalah air dan kehausan yang dialami oleh Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya. Sebelum masuk pada masalah, ada satu poin penting yang perlu saya ingatkan bahwa dengan berlandaskan pada sumber-sumber yang ada. Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya berusaha untuk mencari air buat keluarganya di tengah kehausan yang hebat mendera. Mereka berusaha untuk menenangkan para sahabat dan keluarganya untuk meningkatkan semangat dalam menghadapi musuh.
Air sebagai senjata
Menakjubkan! Manusia sepanjang sejarah menganggap air sebagai benda berharga yang berperan melestarikan kehidupan makhluk hidup. Air membuat manusia gembira, damai dan tenang. Namun, air juga dipakai untuk membunuh manusia dan menghancurkan sebuah komunitas. Air dipakai sebagai senjata untuk membuat jutaan manusia menderita kehausan dan mati. Air mengubah kehidupan menjadi kematian. Dengan ini, bukan hal yang aneh bila air dipakai untuk memusnahkan Islam dan kaum muslimin.
Para pemberontak pada tahun 35 Hijriah mengepung rumah Khalifah Utsman bin Affan. Mereka berusaha untuk mencegah Utsman untuk mendapatkan air. Imam Ali as berusaha sekuat tenaga agar Utsman dapat meminum air. Untuk itu diutuslah kedua anaknya; Hasan dan Husein untuk mengantarkan air kepada Utsman.[3] Muawiyah yang masih memiliki permusuhan dengan Islam sejak zaman Jahiliah pada perang Shiffin juga berusaha untuk menggunakan air sebagai senjata untuk melawan pasukan Imam Ali as. Namun, ia terlambat untuk menguasai sumber air. Imam Ali as dengan pasukannya telah terlebih dahulu menguasainya. Imam Ali as tidak melarang pasukan Muawiyah untuk memanfaatkan air yang berada dalam kekuasaannya.[4]
Imam Husein as sebagaimana kakek dan ayahnya tidak mempergunakan air sebagai senjata. Lebih dari itu, oleh beliau, air dipakai sebagai alat untuk menunjukkan wajah Islam yang sebenarnya dan bagaimana hubungan antar sesama muslim. Ketika Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya ditemui oleh pasukan yang dipimpin oleh Hurr bin Riyahi, beliau memerintahkan pasukannya untuk memberikan air yang masih mereka miliki. Hal itu dilakukannya setelah melihat bagaimana pasukan Hurr begitu kehausan. Bahkan dalam sebuah riwayat disebutkan, Imam Husein as dengan tangannya sendiri memberi mereka minum.[5]
Hal ini berbeda seratus delapan puluh derajat ketika mereka diperintah untuk menghabisi Imam Husein as beserta para sahabatnya. Musuh mempergunakan air untuk menekan pasukan Imam Husein as. Ubaidillah bin Ziyad ketika mengirimkan pesan kepada Hurr memerintahkan agar mereka menggiring Imam Husein as dan rombongan ke padang pasir. Tempat di mana mereka tidak dapat berteduh dan tidak terdapat sumber air.[6]
Sesaat ketika Imam Husein as dan rombongan tiba di tanah Karbala, Umar bin Saad mendapat perintah dari Ubaidilah bin Ziyad untuk menghalang-halangi Imam Husein as dan rombongan untuk mendapatkan air. Sekaitan dengan ini, Abu Hanifah Dinwari menulis:
“Ibn Ziyad menulis surat kepada Umar bin Saad yang isinya memerintahkannya untuk menghalang-halangi Imam Husein as mendapatkan air. Bahkan lebih dari itu, jangan sampai mereka dapat minum air barang seteguk pun. Hal yang sama telah dilakukan terhadap Utsman bin Affan”.[7]
Mendapat perintah itu, Umar bin Saad segera menempatkan Amr bin Hajjaj Zubaidi untuk melakukan tugas ini disertai 500 pasukan berkuda. Pasukan penjaga air ini mulai dari hari ketujuh hingga hari kesepuluh secara serius menjaga pinggiran sungai Furat. Tujuannya adalah jangan sampai Imam Husein as dan rombongan dapat memanfaatkan air.[8] Mereka tidak hanya bertugas menghalang-halangi Imam Husein as dan rombongannya untuk dapat sampai ke sumber air, tapi juga melancarkan perang urat syaraf. Sebagai contoh, Abdullah bin Hashin al-Azdi dari kabilah Bujailah berteriak: “Wahai Husein! Apakah engkau melihat air ini? Bentuknya bak langit yang biru jernih. Engkau tidak akan merasakan seteguk pun dari air ini sampai engkau mampus!”[9] Syimr juga termasuk salah satu dari mereka yang mengolok-olok Imam Husein as dan rombongannya.[10]
Sebenarnya, Umar bin Saad tidak hanya menempatkan Amr bin Hajjaj sebagai komandan pasukan penjaga air. Ia memang menugaskan seseorang secara khusus untuk berteriak: “Wahai anak Fathimah dan Rasulullah! Engkau tidak akan mencicipi air ini sebelum kepalamu lepas dari badan atau menyerah dan ikut dengan perintah Ubaidillah bin Ziyad.”[11]
Dengan melihat dialog-dialog dan kejadian di atas, dapat disimpulkan beberapa poin penting sekaitan dengan tujuan musuh menghalangi Imam Husein as untuk mendapatkan air barang seteguk:
Air merupakan salah satu senjata yang dipakai, selain senjata yang sudah dikenal selama ini. Harapannya, dengan menghalangi akses Imam Husein as untuk mendapatkan air, tekanan terhadap mereka lebih kuat dan kekuatan pasukan menjadi lemah. Dengan demikian perlawanan tidak banyak berarti.
Adanya anak-anak dan wanita dalam rombongan dapat melemahkan kekuatan pasukan Imam Husein as. Dalam perhitungan mereka, wanita dan anak-anak tidak mampu bertahan lama dari rasa haus. Dengan ini, pasukan Imam Husein as bakal menyerah.
Dialog-dialog di atas menunjukkan bahwa Bani Umayyah masih belum puas dengan usaha mereka sebelumnya. Mereka kembali mengulangi tragedi Utsman bin Affan yang dikepung dan tidak diberi air. Mengungkapkan kembali kejadian itu ingin menunjukkan bahwa Imam Husein as adalah penyebab terbunuhnya Utsman bin Affan. Kehausan Utsman ketika menjelang ajalnya dijadikan alasan untuk mencegah Imam Husein as dan rombongan untuk mendapatkan seteguk air.
DR. Asqar Furuqi
Pendahuluan
Peristiwa Karbala, air dan kehausan merupakan hal yang paling menonjol. Penekanan terhadap air dan rasa haus membuat banyak hal-hal yang ditafsirkan dengan masalah ini. Percakapan yang terjadi antara kedua pasukan yang berhadap-hadapan juga banyak membicarakan masalah air. Air membentuk citra keteraniayaan Imam Husein as dan betapa kejamnya musuhnya.
Pentingnya masalah air tidak hanya terbatas pada kejadian sepuluh bulan Muharam. Masalah air dapat ditelusuri jauh sebelum hari kesepuluh, hingga terjadi pembantaian itu. Bahkan bila ingin ditarik lebih jauh lagi, Muslim bin Aqil, berdasarkan sebuah riwayat, dalam perjalanannya dari Madinah ke Kufah, dua pengawalnya mati karena kehausan setelah tersesat beberapa lama.[1] Muslim bin Aqil telah sampai ke Kufah. Dalam kondisi terluka dan tertangkap. Di istana Dar al-Hukumah ia menghembuskan nafas terakhirnya, sekalipun tempat air telah diberikan kepadanya. Hal itu dikarenakan ia banyak mengeluarkan darah dari mulutnya membuat ia tidak sempat lagi merasakan sejuknya air untuk terakhir kalinya. Akhirnya ia dengan bibir kering menjemput kesyahidannya.[2]
Menjemput syahadah dengan bibir kering memang membuat sedih dan trenyuh hati siapa yang mendengarnya.
Demikian juga dalam acara memperingati Asyura, banyak sair-sair yang dibacakan mengenai peristiwa Karbala berkaitan dengan air dan kehausan. Berdasarkan ini, saya berusaha dalam artikel pendek ini, dengan berlandaskan sumber-sumber tepercaya, untuk mengkaji lebih lanjut mengenai masalah air dan kehausan yang dialami oleh Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya. Sebelum masuk pada masalah, ada satu poin penting yang perlu saya ingatkan bahwa dengan berlandaskan pada sumber-sumber yang ada. Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya berusaha untuk mencari air buat keluarganya di tengah kehausan yang hebat mendera. Mereka berusaha untuk menenangkan para sahabat dan keluarganya untuk meningkatkan semangat dalam menghadapi musuh.
Air sebagai senjata
Menakjubkan! Manusia sepanjang sejarah menganggap air sebagai benda berharga yang berperan melestarikan kehidupan makhluk hidup. Air membuat manusia gembira, damai dan tenang. Namun, air juga dipakai untuk membunuh manusia dan menghancurkan sebuah komunitas. Air dipakai sebagai senjata untuk membuat jutaan manusia menderita kehausan dan mati. Air mengubah kehidupan menjadi kematian. Dengan ini, bukan hal yang aneh bila air dipakai untuk memusnahkan Islam dan kaum muslimin.
Para pemberontak pada tahun 35 Hijriah mengepung rumah Khalifah Utsman bin Affan. Mereka berusaha untuk mencegah Utsman untuk mendapatkan air. Imam Ali as berusaha sekuat tenaga agar Utsman dapat meminum air. Untuk itu diutuslah kedua anaknya; Hasan dan Husein untuk mengantarkan air kepada Utsman.[3] Muawiyah yang masih memiliki permusuhan dengan Islam sejak zaman Jahiliah pada perang Shiffin juga berusaha untuk menggunakan air sebagai senjata untuk melawan pasukan Imam Ali as. Namun, ia terlambat untuk menguasai sumber air. Imam Ali as dengan pasukannya telah terlebih dahulu menguasainya. Imam Ali as tidak melarang pasukan Muawiyah untuk memanfaatkan air yang berada dalam kekuasaannya.[4]
Imam Husein as sebagaimana kakek dan ayahnya tidak mempergunakan air sebagai senjata. Lebih dari itu, oleh beliau, air dipakai sebagai alat untuk menunjukkan wajah Islam yang sebenarnya dan bagaimana hubungan antar sesama muslim. Ketika Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya ditemui oleh pasukan yang dipimpin oleh Hurr bin Riyahi, beliau memerintahkan pasukannya untuk memberikan air yang masih mereka miliki. Hal itu dilakukannya setelah melihat bagaimana pasukan Hurr begitu kehausan. Bahkan dalam sebuah riwayat disebutkan, Imam Husein as dengan tangannya sendiri memberi mereka minum.[5]
Hal ini berbeda seratus delapan puluh derajat ketika mereka diperintah untuk menghabisi Imam Husein as beserta para sahabatnya. Musuh mempergunakan air untuk menekan pasukan Imam Husein as. Ubaidillah bin Ziyad ketika mengirimkan pesan kepada Hurr memerintahkan agar mereka menggiring Imam Husein as dan rombongan ke padang pasir. Tempat di mana mereka tidak dapat berteduh dan tidak terdapat sumber air.[6]
Sesaat ketika Imam Husein as dan rombongan tiba di tanah Karbala, Umar bin Saad mendapat perintah dari Ubaidilah bin Ziyad untuk menghalang-halangi Imam Husein as dan rombongan untuk mendapatkan air. Sekaitan dengan ini, Abu Hanifah Dinwari menulis:
“Ibn Ziyad menulis surat kepada Umar bin Saad yang isinya memerintahkannya untuk menghalang-halangi Imam Husein as mendapatkan air. Bahkan lebih dari itu, jangan sampai mereka dapat minum air barang seteguk pun. Hal yang sama telah dilakukan terhadap Utsman bin Affan”.[7]
Mendapat perintah itu, Umar bin Saad segera menempatkan Amr bin Hajjaj Zubaidi untuk melakukan tugas ini disertai 500 pasukan berkuda. Pasukan penjaga air ini mulai dari hari ketujuh hingga hari kesepuluh secara serius menjaga pinggiran sungai Furat. Tujuannya adalah jangan sampai Imam Husein as dan rombongan dapat memanfaatkan air.[8] Mereka tidak hanya bertugas menghalang-halangi Imam Husein as dan rombongannya untuk dapat sampai ke sumber air, tapi juga melancarkan perang urat syaraf. Sebagai contoh, Abdullah bin Hashin al-Azdi dari kabilah Bujailah berteriak: “Wahai Husein! Apakah engkau melihat air ini? Bentuknya bak langit yang biru jernih. Engkau tidak akan merasakan seteguk pun dari air ini sampai engkau mampus!”[9] Syimr juga termasuk salah satu dari mereka yang mengolok-olok Imam Husein as dan rombongannya.[10]
Sebenarnya, Umar bin Saad tidak hanya menempatkan Amr bin Hajjaj sebagai komandan pasukan penjaga air. Ia memang menugaskan seseorang secara khusus untuk berteriak: “Wahai anak Fathimah dan Rasulullah! Engkau tidak akan mencicipi air ini sebelum kepalamu lepas dari badan atau menyerah dan ikut dengan perintah Ubaidillah bin Ziyad.”[11]
Dengan melihat dialog-dialog dan kejadian di atas, dapat disimpulkan beberapa poin penting sekaitan dengan tujuan musuh menghalangi Imam Husein as untuk mendapatkan air barang seteguk:
Air merupakan salah satu senjata yang dipakai, selain senjata yang sudah dikenal selama ini. Harapannya, dengan menghalangi akses Imam Husein as untuk mendapatkan air, tekanan terhadap mereka lebih kuat dan kekuatan pasukan menjadi lemah. Dengan demikian perlawanan tidak banyak berarti.
Adanya anak-anak dan wanita dalam rombongan dapat melemahkan kekuatan pasukan Imam Husein as. Dalam perhitungan mereka, wanita dan anak-anak tidak mampu bertahan lama dari rasa haus. Dengan ini, pasukan Imam Husein as bakal menyerah.
Dialog-dialog di atas menunjukkan bahwa Bani Umayyah masih belum puas dengan usaha mereka sebelumnya. Mereka kembali mengulangi tragedi Utsman bin Affan yang dikepung dan tidak diberi air. Mengungkapkan kembali kejadian itu ingin menunjukkan bahwa Imam Husein as adalah penyebab terbunuhnya Utsman bin Affan. Kehausan Utsman ketika menjelang ajalnya dijadikan alasan untuk mencegah Imam Husein as dan rombongan untuk mendapatkan seteguk air.
bersambung...
[1] . Mufid, Muhammad bin Nu’man, al-Irsyad, diterjemahkan oleh Sayyid Hasyim Rasuli Mahallati, Entesharate Elmiyeh Eslamiyeh, cetakan ke -2, tanpa tahun, jilid 2, hal 37. Allamah Najisi, Muhammad Baqir, Teheran, 1385, jilid 44, hal 335.
[2] . Ibid, jilid 2, hal 61. Mas’udi, Abu al-Hasan Ali bin Husein, Muruj az-Dzahab wa Ma’adin al-Jawahir, Teheran, 1360, jilid 2, hal 63.
[3] . Thabari, Muhammad bin Jarir, Tarikh Thabari, jilid 6, hal 2247. Ibn Atsir, Izzuddin Ali, al-Kamil fi at-Tarikh, jilid 3, tahun 35, hal 278. Mas’udi, ibid, jilid 2, hal 701. Miskawaih ar-Razi, Abu Ali, Tajarib al-Umam, Teheran, jilid 1, hal 414.
[4] . Nashr bin Muzahim Nanari, Peikar Seffin, 1366, hal 219-222. Ya’qubi, Ahmad bin Abi Ya’qub, Tarikh Ya’qubi, jilid 2, hal 88-89. Dinwari Abu Hanifah, Ahmad bin Daud, Akhbar at-Thiwal, Teheran, 1366, hal 208-210. Ibn Thaba’thaba, Muhammad bin Ali, Tarikh Fakhri, hal 122-123.
[5] . Thabari, ibid, jilid 7, hal 2990. Mufid, ibid, jilid 1, hal 79. Ibn Atsir, ibid, jilid 5, hal 149.
[6] Thabari, ibid, jilid 7, hal 3000-3001. Ibn Atsir, ibid, jilid 5, hal 156. Baladzri, Ahmad bin Yahya bin Jabir, Ansab al-Asyraf, Beirut, 1997, jilid 2, hal 176. Ibn Syahr Asub, Manaqib Aalu Abi Thalib, tanpa tahun, jilid 4, hal 96. Mufid, ibid, jilid 2, hal 84-85.
[7] . Ibid, hal 301.
[8] . Ibn ‘Atsam al-Kufi, Abu Muhammad bin Ahmad bin Ali, al-Futuh, Teheran, 1372, hal 887. Abu Hanifah Dinwari, ibid, hal 301. Ibn Atsir, ibid, jilid 5, hal 185. Ibn Syahr Asub, ibid, jilid 4, hal 97. Thabari, ibid, jilid 7, hal 3006, Mufid, ibid, jilid 2, hal 88.
[9] . Ibn Atsir, ibid, jilid 5, hal 158. Thabari, ibid, jilid 7, hal 3006. Baladzri, idem jilid 2 dan 3, hal 118. Abu al-Futuh al-Ishfahani, Maqatil at-Thalibin, tanpa tahun, hal 118. Mufid, ibid, jilid 2, hal88.
[10] . Abu al-Futuh, ibid, hal 118. al-Majlisi, ibid, jilid 45, hal 51-52.
[11] . Ibn ‘Atsam al-Kufi, ibid, hal 83.
[1] . Mufid, Muhammad bin Nu’man, al-Irsyad, diterjemahkan oleh Sayyid Hasyim Rasuli Mahallati, Entesharate Elmiyeh Eslamiyeh, cetakan ke -2, tanpa tahun, jilid 2, hal 37. Allamah Najisi, Muhammad Baqir, Teheran, 1385, jilid 44, hal 335.
[2] . Ibid, jilid 2, hal 61. Mas’udi, Abu al-Hasan Ali bin Husein, Muruj az-Dzahab wa Ma’adin al-Jawahir, Teheran, 1360, jilid 2, hal 63.
[3] . Thabari, Muhammad bin Jarir, Tarikh Thabari, jilid 6, hal 2247. Ibn Atsir, Izzuddin Ali, al-Kamil fi at-Tarikh, jilid 3, tahun 35, hal 278. Mas’udi, ibid, jilid 2, hal 701. Miskawaih ar-Razi, Abu Ali, Tajarib al-Umam, Teheran, jilid 1, hal 414.
[4] . Nashr bin Muzahim Nanari, Peikar Seffin, 1366, hal 219-222. Ya’qubi, Ahmad bin Abi Ya’qub, Tarikh Ya’qubi, jilid 2, hal 88-89. Dinwari Abu Hanifah, Ahmad bin Daud, Akhbar at-Thiwal, Teheran, 1366, hal 208-210. Ibn Thaba’thaba, Muhammad bin Ali, Tarikh Fakhri, hal 122-123.
[5] . Thabari, ibid, jilid 7, hal 2990. Mufid, ibid, jilid 1, hal 79. Ibn Atsir, ibid, jilid 5, hal 149.
[6] Thabari, ibid, jilid 7, hal 3000-3001. Ibn Atsir, ibid, jilid 5, hal 156. Baladzri, Ahmad bin Yahya bin Jabir, Ansab al-Asyraf, Beirut, 1997, jilid 2, hal 176. Ibn Syahr Asub, Manaqib Aalu Abi Thalib, tanpa tahun, jilid 4, hal 96. Mufid, ibid, jilid 2, hal 84-85.
[7] . Ibid, hal 301.
[8] . Ibn ‘Atsam al-Kufi, Abu Muhammad bin Ahmad bin Ali, al-Futuh, Teheran, 1372, hal 887. Abu Hanifah Dinwari, ibid, hal 301. Ibn Atsir, ibid, jilid 5, hal 185. Ibn Syahr Asub, ibid, jilid 4, hal 97. Thabari, ibid, jilid 7, hal 3006, Mufid, ibid, jilid 2, hal 88.
[9] . Ibn Atsir, ibid, jilid 5, hal 158. Thabari, ibid, jilid 7, hal 3006. Baladzri, idem jilid 2 dan 3, hal 118. Abu al-Futuh al-Ishfahani, Maqatil at-Thalibin, tanpa tahun, hal 118. Mufid, ibid, jilid 2, hal88.
[10] . Abu al-Futuh, ibid, hal 118. al-Majlisi, ibid, jilid 45, hal 51-52.
[11] . Ibn ‘Atsam al-Kufi, ibid, hal 83.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar