Syi'ah Arab Saudi
SYI’AH ARAB SAUDI; Korban Konflik dan Kepicikan Wahabi
Saleh Lapadi
Hubungan yang kurang mesra antara Syi’ah dan Sunni pasca hukuman mati Saddam mulai memakan korban. Korban ini tidak hanya terjadi di Irak yang memang disusupi oleh provokator. Ada tiga pihak yang bermain api di sana; Amerika dan Inggris, kelompok partai Ba’ts dan kelompok takfir yang menganggap semua kaum muslimin yang berbeda dengannya adalah kafir. Kelompok ketiga ini lebih banyak disuplai dari Arab Saudi pusat Wahabi.
Karena Arab Saudi adalah pusat Wahabi, mereka kemudian menekan Syi’ah yang berada di sana. Masalah ini, sekalipun telah ada sejak kemunculan Wahabi di Arab Saudi, namun dengan memanasnya kawasan Timur Tengah, membuat masalah ini muncul lagi. Pemerintah juga mulai memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi.
Sebagai contoh, Shadiq al-Jubran, praktisi hukum, salah satu tokoh minoritas mazhab Syi’ah di Arab Saudi sudah biasa bila dikatakan sebagai kafir. Berkali-kali ia diasingkan dari negara yang tidak menghargai kebebasan beragama. Penjara dan pengasingan telah membesarkannya. Kesulitan yang dialami oleh kelompok Syi’ah di Arab Saudi dikarenakan mereka akan senantiasa berhadapan dengan orang-orang Wahabi yang senantiasa menekan mereka baik di kantor, sekolah dan lain-lain.
Menghadapi tekanan yang demikian, sepuluh tahun belakangan, orang-orang Syi’ah di Arab Saudi telah berusaha untuk ikut berpartisipasi dalam berbagai bidang. Usaha mereka membuahkan hasil dengan adanya perubahan dalam undang-undang peradilan. Dalam pilkada mereka berhasil memenangkan calonnya. Bahkan sampai pada kondisi di mana pada hari libur yang berkaitan dengan mazhab Syi’ah, mereka diliburkan.
Saat ini mereka khawatir setelah sempat menghirup kebebasan sekalipun kecil. Kekhawatiran mereka sangat beralasan dengan melihat kenyataan yang sedang terjadi di Timur Tengah secara keseluruhan. Tentu pemerintah Arab Saudi akan bersikap keras terhadap Syi’ah sebagai masyarakat minoritas. Bahkan ada yang menganalisa bahwa bukan saja mereka akan semakin ditekan, tapi bakal dianggap musuh yang paling dekat.
Hari-hari belakangan ini, sikap dan pergerakan ulama Wahabi terlihat intensitasnya hampir sama ketika revolusi Islam di Iran menang. Arab Saudi sedang menghadapi di Irak dengan membiayai pasukan yang loyal dengan Wahabi untuk menahan laju penyebaran Syi’ah.
Tony Jones yang banyak melakukan penelitian terhadap kelompok Syi’ah Arab Saudi, yang tinggal di daerah Timur Arab ini, mengatakan bahwa perubahan begitu cepatnya. Kondisi seperti berbalik pada tahun 1980. Ia beralasan bagaimana Raja Abdullah tidak lagi memperhatikan bagaimana penggunaan bahasa yang sangat provokatif terhadap Syi’ah. Ia seakan-akan membiarkan ulama Wahabi mempergunakan kata apa saja untuk meluapkan emosi mereka.
Bulan kemarin, tiga puluh ulama Wahabi mengeluarkan statemen agar Ahli Sunah yang ada di kawasan untuk membela Sunni yang sedang berperang melawan Syi’ah di Irak. Abdurrahman al-Barrak salah satu mufti Arab Saudi memfatwakan untuk menyerang Syi’ah.
Al-Jubran, yang berdomisili di kota al-Hufuf yang mayoritas bermazhab Syi’ah mengatakan bahwa sangat sulit bahkan mustahil untuk dapat mengontrol lagi fatwa-fatwa yang semacam ini.
Padahal, menurut data yang ada, 15 persen dari penduduk Arab Saudi bermazhab Syi’ah. Mereka hidup di kawasan Timur Arab Saudi. Kawasan yang kaya minyak. Kawasan di mana untuk pertama kalinya minya di temukan di Arab Saudi. Kawasan yang membuat Arab Saudi menjadi negara petro dolar.
Semenjak tahun 1932 ketika negara Arab Saudi terbentuk senantiasa disiksa. Mereka tidak pernah melakukan pemberontakan sekalipun di zaman raja Pahlevi. Ali al-Marzuq, seorang aktivis Syi’ah di Arab Saudi mengatakan dari tahun 1981 sampai tahun 1983 menjalani hidupnya di penjara. Ia berkata: “Setelah kemenangan revolusi Islam Iran, orang-orang Syi’ah Arab Saudi melakukan demonstrasi untuk merayakan kelahiran Imam mereka. Dalam demonstrasi itu banyak dari orang-orang Syi’ah yang ditangkap. Setelah kejadian itu, dimulailah eksodus orang-orang Syi’ah Arab Saudi ke Iran.
Pada tahun 1993, terjadi perubahan besar dalam kebijakan pemerintah. Hal itu setelah al-Jubran dan tokoh-tokoh Syi’ah Arab Saudi lainnya bertemu dengan raja Fahd. Ia meminta kepada mereka yang diasingkan agar kembali. Mereka yang dipenjara akan dibebaskan dengan melakukan baiat dan menunjukkan loyalitasnya terhadap negara. Fahd juga berjanji untuk meninjau kembali masalah-masalah yang dihadapi oleh orang-orang Syi’ah. Kebijakan ini diterima dengan gembira oleh orang-orang Syi’ah Arab Saudi. Pada waktu ulama Wahabi belum menunjukkan sikap kerasnya.
Setelah itu, orang-orang Syi’ah Arab Saudi berkiprah dan turut andil dalam pemilihan kepala daerah setempat. Dalam masalah ekonomi juga mereka berpartisipasi. Diharapkan ketika pemerintah tidak menekan lebih jauh, sikap orang-orang Syi’ah tetap tidak akan menunjukkan gejolak. Beberapa tahun yang lalu, masyarakat Syi’ah kota Qathif mendapat izin untuk memperingati hari Asyura.
Saleh Lapadi
Hubungan yang kurang mesra antara Syi’ah dan Sunni pasca hukuman mati Saddam mulai memakan korban. Korban ini tidak hanya terjadi di Irak yang memang disusupi oleh provokator. Ada tiga pihak yang bermain api di sana; Amerika dan Inggris, kelompok partai Ba’ts dan kelompok takfir yang menganggap semua kaum muslimin yang berbeda dengannya adalah kafir. Kelompok ketiga ini lebih banyak disuplai dari Arab Saudi pusat Wahabi.
Karena Arab Saudi adalah pusat Wahabi, mereka kemudian menekan Syi’ah yang berada di sana. Masalah ini, sekalipun telah ada sejak kemunculan Wahabi di Arab Saudi, namun dengan memanasnya kawasan Timur Tengah, membuat masalah ini muncul lagi. Pemerintah juga mulai memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi.
Sebagai contoh, Shadiq al-Jubran, praktisi hukum, salah satu tokoh minoritas mazhab Syi’ah di Arab Saudi sudah biasa bila dikatakan sebagai kafir. Berkali-kali ia diasingkan dari negara yang tidak menghargai kebebasan beragama. Penjara dan pengasingan telah membesarkannya. Kesulitan yang dialami oleh kelompok Syi’ah di Arab Saudi dikarenakan mereka akan senantiasa berhadapan dengan orang-orang Wahabi yang senantiasa menekan mereka baik di kantor, sekolah dan lain-lain.
Menghadapi tekanan yang demikian, sepuluh tahun belakangan, orang-orang Syi’ah di Arab Saudi telah berusaha untuk ikut berpartisipasi dalam berbagai bidang. Usaha mereka membuahkan hasil dengan adanya perubahan dalam undang-undang peradilan. Dalam pilkada mereka berhasil memenangkan calonnya. Bahkan sampai pada kondisi di mana pada hari libur yang berkaitan dengan mazhab Syi’ah, mereka diliburkan.
Saat ini mereka khawatir setelah sempat menghirup kebebasan sekalipun kecil. Kekhawatiran mereka sangat beralasan dengan melihat kenyataan yang sedang terjadi di Timur Tengah secara keseluruhan. Tentu pemerintah Arab Saudi akan bersikap keras terhadap Syi’ah sebagai masyarakat minoritas. Bahkan ada yang menganalisa bahwa bukan saja mereka akan semakin ditekan, tapi bakal dianggap musuh yang paling dekat.
Hari-hari belakangan ini, sikap dan pergerakan ulama Wahabi terlihat intensitasnya hampir sama ketika revolusi Islam di Iran menang. Arab Saudi sedang menghadapi di Irak dengan membiayai pasukan yang loyal dengan Wahabi untuk menahan laju penyebaran Syi’ah.
Tony Jones yang banyak melakukan penelitian terhadap kelompok Syi’ah Arab Saudi, yang tinggal di daerah Timur Arab ini, mengatakan bahwa perubahan begitu cepatnya. Kondisi seperti berbalik pada tahun 1980. Ia beralasan bagaimana Raja Abdullah tidak lagi memperhatikan bagaimana penggunaan bahasa yang sangat provokatif terhadap Syi’ah. Ia seakan-akan membiarkan ulama Wahabi mempergunakan kata apa saja untuk meluapkan emosi mereka.
Bulan kemarin, tiga puluh ulama Wahabi mengeluarkan statemen agar Ahli Sunah yang ada di kawasan untuk membela Sunni yang sedang berperang melawan Syi’ah di Irak. Abdurrahman al-Barrak salah satu mufti Arab Saudi memfatwakan untuk menyerang Syi’ah.
Al-Jubran, yang berdomisili di kota al-Hufuf yang mayoritas bermazhab Syi’ah mengatakan bahwa sangat sulit bahkan mustahil untuk dapat mengontrol lagi fatwa-fatwa yang semacam ini.
Padahal, menurut data yang ada, 15 persen dari penduduk Arab Saudi bermazhab Syi’ah. Mereka hidup di kawasan Timur Arab Saudi. Kawasan yang kaya minyak. Kawasan di mana untuk pertama kalinya minya di temukan di Arab Saudi. Kawasan yang membuat Arab Saudi menjadi negara petro dolar.
Semenjak tahun 1932 ketika negara Arab Saudi terbentuk senantiasa disiksa. Mereka tidak pernah melakukan pemberontakan sekalipun di zaman raja Pahlevi. Ali al-Marzuq, seorang aktivis Syi’ah di Arab Saudi mengatakan dari tahun 1981 sampai tahun 1983 menjalani hidupnya di penjara. Ia berkata: “Setelah kemenangan revolusi Islam Iran, orang-orang Syi’ah Arab Saudi melakukan demonstrasi untuk merayakan kelahiran Imam mereka. Dalam demonstrasi itu banyak dari orang-orang Syi’ah yang ditangkap. Setelah kejadian itu, dimulailah eksodus orang-orang Syi’ah Arab Saudi ke Iran.
Pada tahun 1993, terjadi perubahan besar dalam kebijakan pemerintah. Hal itu setelah al-Jubran dan tokoh-tokoh Syi’ah Arab Saudi lainnya bertemu dengan raja Fahd. Ia meminta kepada mereka yang diasingkan agar kembali. Mereka yang dipenjara akan dibebaskan dengan melakukan baiat dan menunjukkan loyalitasnya terhadap negara. Fahd juga berjanji untuk meninjau kembali masalah-masalah yang dihadapi oleh orang-orang Syi’ah. Kebijakan ini diterima dengan gembira oleh orang-orang Syi’ah Arab Saudi. Pada waktu ulama Wahabi belum menunjukkan sikap kerasnya.
Setelah itu, orang-orang Syi’ah Arab Saudi berkiprah dan turut andil dalam pemilihan kepala daerah setempat. Dalam masalah ekonomi juga mereka berpartisipasi. Diharapkan ketika pemerintah tidak menekan lebih jauh, sikap orang-orang Syi’ah tetap tidak akan menunjukkan gejolak. Beberapa tahun yang lalu, masyarakat Syi’ah kota Qathif mendapat izin untuk memperingati hari Asyura.
Qom, 24 Januari 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar