Kamis, 25 Januari 2007

Masalah Air di Karbala2


Usaha Imam Husein as untuk mendapatkan air
Usaha musuh untuk menghalang-halangi Imam Husein as mendapatkan air merupakan sebuah hakikat yang tidak saja diakui oleh sejarawan. Kenyataan ini juga ditegaskan oleh Imam Mahdi af. Dalam doa ziarah Nahiyah Muqaddasah dari beliau diriwayatkan: “Mereka menghalangimu dari usaha untuk mendapatkan air demi menghilangkan dahagamu”.

Satu hal yang disepakati oleh semua sejarawan, mulai dari hari ketujuh bulan Muharam, musuh secara serius berusaha untuk menghalang-halangi Imam Husein mendapatkan air. Dengan demikian, rasa haus yang mendera Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya terutama wanita dan anak-anak hanya berhubungan dengan tiga hari terakhir, hari ketujuh hingga hari kesepuluh. Pada hari-hari itulah Imam Husein as berusaha untuk mendapatkan air demi rombongannya, terutama anak-anak dan para wanita.

Berdasarkan riwayat Ibn ‘Atsam al-Kufi dan Ibn Syahr Asub disebutkan bahwa Imam Husein as berusaha menggali sumur di depan kemah. Dari sumur tersebut bersumber air yang jernih.[1] Ibn ‘Atsam menjelaskan lebih lanjut:

“Karena rasa haus yang sudah tidak terkira menguasai dirinya dan rombongannya, Imam Husein as mulai menggali sumur. Sumur itu tepat di samping kemah para wanita. Dari samping kemah wanita beliau sambil menghadap Ka’bah sekitar 19 langkah beliau menjauh. Di situlah Imam Husein as menggali sumur. Dari sumur tersebut keluar air yang jernih dan tawar. Beliau memerintahkan kepada sahabat-sahabatnya untuk mengambil air dari sumur dan minum. Mereka memenuhi tempat-tempat air yang dibawa. Setelah semua memenuhi tempat airnya dan minum sampai hilang dahaganya, air kemudian tidak muncul lagi bak tertelan bumi. Setelah itu sumur tersebut tidak lagi terlihat.”[2]

Penggalian sumur yang dilakukan oleh Imam Husein as adalah hal yang biasa. Apalagi bila hal itu dikaitkan dengan posisinya sebagai Imam. Sumur yang memancarkan air bersih, jernih dan tawar. Ditambahkan lagi dengan adanya riwayat yang menyebutkan bahwa pada masa itu, antara Imam Husein as dan kejernihan air dan berkahnya memiliki hubungan yang sangat erat dan bermakna. Berdasarkan riwayat dari Ibn ‘Asakir, Imam Husein as ketika berangkat dari Madinah menuju kota Makkah, di pertengahan jalan mereka berpapasan dengan Abdullah bin Muthi’. Saat itu, Abdullah bin Muthi’ sedang menggali sumur. Kepada Imam Husein as Ibn Muthi’ berkata: “Sumur yang saya gali ini dapat menyampaikan saya ke air. Saat ini kami sangat membutuhkan air dan itu akan kami lakukan dengan timba. Sudikah engkau berdoa agar Allah memberkahi sumur ini? Imam Husein as menjawab: “Bawakan aku air dari sumur ini! Ibn Muthi’ kemudian membawa dan memberikannya kepada Imam Husein as. Beliau minum dan kemudian berkumur-kumur dengannya. Air yang tersisa kemudian dituangkan ke dalam sumur. Setelah itu, sumur menjadi penuh, tawar dan jernih”.[3]

Masalah ini tidak hanya dilakukan oleh Imam Husein as, tapi juga pernah dilakukan oleh Imam yang lain. Hal itu dikuatkan oleh Syaikh Shaduq dan Ibn Syahr Asub dari Abu as-Shalt. Abu as-Shalt meriwayatkan: “Ketika Imam Ridha as dipaksa menghadap Ma’mun. Karena telah melewati perjalanan jauh, mereka berkata kepada Imam Ridha as: “Wahai Ibnu Rasulillah! Telah masuk waktu zuhur. Apakah engkau tidak ingin melakukan salat? Imam Ridha as kemudian turun dari tunggangannya dan meminta air untuk melakukan wudu. Mereka menjawab: “Kami tidak membawa air”. Akhirnya beliau menyingsingkan tangannya kemudian mulai menggali sumur. Dari sumur tersebut memancar air jernih. Mereka yang hadir bersamanya waktu itu kemudian mengambil air wudu. Saat ini sumber air itu masih ada”.[4]

Ringkasnya, saat Imam Husein as menyaksikan bagaimana musuh tidak mengizinkan mereka untuk mendapatkan air, beliau kemudian menggali sumur untuk mendapatkan air. Apa yang dilakukan oleh Imam Husein as ini terlihat oleh pasukan musuh. Segera mereka melaporkan kepada Ubaidillah bin Ziyad apa yang dilakukan oleh Imam Husein as. Ubaidillah kemudian menulis surat kepada Umar bin Saad yang isinya, “Saya mendapatkan kabar bahwa Husein dan sahabat-sahabatnya menggali sumur dan mendapat air dari sana. Engkau tidak boleh membiarkan hal ini terjadi. Bila engkau telah membaca surat ini, segera berusaha bagaimana caranya agar mereka tidak dapat memanfaatkan sumur itu”.[5]

Sekaitan dengan surat itu, tidak ada data sejarah yang mencatat mengenai usaha Umar bin Saad untuk menghalang-halangi Imam Husein as untuk memanfaatkan sumur itu. Apalagi usahanya untuk menutup sumur tersebut. Sebaliknya, kita punya data bagaimana 30 orang berkuda dan 20 orang pejalan kaki dari rombongannya yang dipimpin oleh saudaranya Abbas untuk mengambil air dari sungai Furat. Usaha itu mengakibatkan timbulnya bentrokan bersenjata. Akhirnya pasukan Imam Husein as berhasil mengisi 20 tempat air mereka dan membawanya pulang.[6] Atas dasar ini, tidak jelas nasib sumur yang disebutkan itu. Riwayat yang dilukiskan oleh Ibn ‘Atsam al-Kufi bahwa sumur itu kemudian lenyap begitu saja tidak dapat dijadikan pegangan.

Benar, menggali sumur bagi Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya bukan masalah sulit. Mereka dengan waktu singkat dapat menggali parit yang cukup lebar di sekeliling kemah yang ada.[7] Di sisi lain, ada riwayat yang menceritakan bagaimana Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya pada pagi hari Asyura (hari kesepuluh bulan Muharam), mereka sempat membersihkan dirinya (mandi) dengan mencukur bulu badan.[8] Riwayat ini menunjukkan bahwa sampai pagi hari Asyura Imam Husein as dan rombongan masih memiliki air yang cukup. Karena bila air mereka tidak cukup, maka mereka tidak akan membersihkan badan dengan air. Artinya, mereka tidak mungkin membiarkan anak-anak dan wanita dalam kondisi tidak memiliki air. Namun, akibat dari penjagaan musuh atas air sungai Furat perlahan-lahan mengakibatkan persediaan air menipis bahkan habis. Terutama bagi anak-anak dan wanita.

Melihat kondisi anak-anak dan wanita yang mulai kehausan, sebagian dari sahabat Imam Husein as dengan suara lantang memprotes sikap pasukan musuh. Membawakan contoh dari ucapan salah satu dari sahabat Imam Husein as, dapat menjelaskan bagaimana Imam Husein as dan rombongannya berada dalam kondisi yang berat dan sulit. Hurr dan Burair bin Hadir Hamadani berteriak kepada pasukan musuh: “Kalian mencegah wanita dan anak-anak untuk mendapatkan air dari sungai Furat. Sementara pada saat yang sama kalian membiarkan anjing dan babi bermain-main di sana. Kaum Majusi dan Kristen dengan bebas dapat mengambil air dan meminumnya”.[9]

Sebagaimana telah disebutkan di muka, bahwa saya tidak punya informasi mengenai nasib sumur yang digali di depan kemah. Di sisi lain, usaha Imam Husein as bersama sahabatnya berusaha keras, terutama Abbas, untuk mendapatkan air. Di saat yang sama, rasa haus yang mendera rombongan dan keluarganya memberikan kejelasan bahwa sekalipun masih ada sedikit air di kemah, namun tidak ada lagi berita tentang adanya sumur. Bila kita masih bersikeras untuk menerima berita yang dinukil oleh Ibn ‘Atsir al-Kufi, karena tidak adanya data lain, maka itu hanya dapat diterima dengan mengatakan bahwa hal itu merupakan keramat Imam Husein as atau ujian bagi rombongan dan keluarga beliau.

Yang jelas, Imam Husein as dan sahabat-sahabanya yang sibuk menghadapi serbuan musuh dari segala arah pada hari Asyura, membuat mereka memerlukan air lebih banyak. Dan pada saat yang sama, mereka tidak mampu mendapatkan air. Kondisi ini dapat menggambarkan bagaimana mereka menghadapi situasi yang sangat sulit. Pada kondisi seperti ini, kemungkinan besar mereka akan memberikan sisa air mereka untuk anak-anak dan wanita. Itulah mengapa mereka menahan dirinya untuk tidak minum dan memberikannya kepada wanita dan anak-anak dan menjemput ajalnya dengan kehausan.

Berdasarkan riwayat Ibn Syahr Asub, Ali Akbar yang berperang dengan gagah berani menghadapi musuh, ketika rasa haus semakin menyengatnya balik menuju ayahnya, Imam Husein as, untuk meminta seteguk air. Imam Husein as hanya dapat berkata: “Engkau akan mendapatkan air langsung dari tangan kakekmu Muhammad saw”.[10] Ibnu Syahr Asub menambahkan, “Abbas saudara Imam Husein as diperintahkan oleh kakaknya untuk mengambil air di sungai Furat. Akan tetapi hasilnya adalah syahadah. Musuh memotong kedua tangannya dan sambil ditegakkan dengan besi ia dibunuh. Dalam kejadian ini pun tidak disebutkan apakah ia berhasil membawa air atau tidak.[11] Dalam riwayat lain, Ibn Syahr Asub menukil, “Imam Husein as menangis di antara kemah dan sungai Furat. Ia menangisi mayat Abbas dan keluarganya yang sedang menderita kehausan”.[12]

Kita dapat melihat dalam penukilan Abu Hanifah Dinwari: “Pada saat-saat terakhir karena merasa sangat haus meminta tempat air untuk minum. Ketika tempat air telah dekat ke mulutnya, Hashin bin Namir, melepaskan panah tepat mengenai mulut Imam Husein as. Beliau tidak sempat meneguk air. Lalu tempat air dibiarkan”.[13] Hadis itu menunjukkan bahwa di kemah masih ada sisa air. Di mana sisa dari air itu diberikan kepada Imam Husein as. Karena jelas masalahnya bahwa tidak mungkin musuh yang memberinya air.

Majlisi menceritakan dalam bukunya, “Ketika Abbas telah mendapat izin dari saudaranya Imam Husein as untuk berperang, Imam meminta darinya untuk mengambil sedikit air untuk anak-anak. Abbas sendiri mendengar suara anak-anak yang merintih karena kehausan. Suara rintihan anak-anak menunjukkan bagaimana persediaan air telah habis. Berdasarkan penukilan Majlisi juga dapat disimpulkan bahwa Abbas tidak berhasil membawa air.[14][15] Abu Mikhnaf juga memberikan penjelasan bagaimana Imam Husein as berhasil menyerang pasukan penjaga air sungai Furat. Beliau berhasil mencapai tepi sungai. Pada saat ketika beliau hendak meminum air, ada yang sengaja berteriak bahwa kemah diserang. Mendengar itu, Imam Husein as tidak sempat untuk minum dan segera kembali.[16]

Dengan melihat penukilan yang dilakukan oleh para sejarawan Islam, menunjukkan bahwa Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya tetap berusaha untuk mendapatkan air bagi anak-anak dan wanita. Dengan ini diharapkan tekanan musuh dapat dikurangi.

Ada satu masalah yang perlu untuk dijelaskan. Dalam peristiwa Karbala, tidak ada satu sumber sejarah pun yang menyebutkan bahwa Imam Husein as menggendong bayinya menghadap barisan pasukan musuh sambil meminta air. Menurut data sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan adalah beliau menggendong bayinya untuk mengucapkan perpisahan. Saat itu ada yang memanah dan tepat mengenai bayi yang mati seketika. Abu Hanifah Dinwari menulis: “Pada detik-detik terakhir, Imam Husein as tinggal seorang diri berperang melawan musuh. Beliau meminta bayinya untuk digendong. Seorang tentara musuh dari Bani Asad menarik anak panahnya dan melesakkannya tepat mengenai bayi Imam Husein as. Bayinya, Ali Ashgar syahid seketika dalam pelukan ayahnya”.[17] Sejarawan lain juga menukilkan kejadian yang serupa dengan sedikit perbedaan dalam lafaznya.[18]

Kesimpulan
Pasukan Yazid bin Muawiyah yang dipimpin oleh Umar bin Saad mempergunakan air sebagai senjata untuk menekan Imam Husein as dan rombongan untuk menyerah. Namun, usaha itu tidak berhasil karena usaha Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya tidak pernah berhenti untuk mengusahakan air. Begitu juga anak-anak dan wanita yang menunjukkan kesabaran yang luar biasa menghadapi kondisi yang sulit ini. Semangat ini yang membuat Imam Husein as dan rombongan hingga detik-detik terakhir tidak menyerah. Dengan menahan rasa haus yang sangat Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya bertahan dan berperang dengan gigih. Ini jugalah yang sempat membuat kebingungan musuh. [Saleh Lapadi]
Poin penting lainnya dari riwayat ini adalah Imam Husein as hingga detik-detik terakhir tidak melepaskan perhatiannya dari penjaga air. Menurut riwayat Mufid, “Imam Husein dan Abbas bersama-sama menuju Furat dan menyerang para penjaga air. Dalam bentrokan bersenjata itu, Imam terluka di dagunya, sementara Abbas mereguk cawan syahadah”.


[1] . Ibn Syahr Asub, ibid, jilid 4, hal 50. Ibn ‘Atsam al-Kufi, ibid, hal 893.
[2] . Ibid, hal 893. Al-Majlisi, ibid, jilid 44, hal 337.
[3] . Ibn ‘Asakir, Tarjamah Raihanah Rasulullah al-Imam Mahdi Fi Sabilillah al-Husein bin Ali bin Abi Thalib Min Tarikh Madinah Dimasyq, Beirut, 1978, hal 155. Az-Dzahabi, Tarikh al-Islam Wafayat al-Masyahir Wa al-‘Alam, Beirut, 1990, jilid 5, hal 8.
[4] . Qommi, Syaikh Abbas, Muntaha al-Amal, 1368, hal 894.
[5] . Ibn ‘Atsam al-Kufi, ibid, hal 893.
[6] . Thabari, ibid, jilid 7, hal 3006-3007. Ibn Atsir, ibid, jilid 5, hal 159. Ibn ‘Atsam al-Kufi, ibid, hal 894. Abu al-Futuh al-Ishfahani, ibid, hal 119. BAladzri, ibid, jilid 2, juz 3, hal 181. Dinwari, ibid, hal 301-302. Al-Majlisi, ibid, jilid 44, hal 338.
[7] . Al-Majlisi, ibid, jilid 45, hal 4.
[8] . Thabari, ibid, jilid 7, hal 3021. Ibn Atsir, jilid 5, hal 167.
[9] . Thabari, ibid, jilid 7, hal 3029. Ibn Atsir, ibid, jilid 5, hal 173. Baladzri, ibid, jilid 2, juz 3, hal 189. Ibn ‘Atsam al-Kufi, ibid, hal 902. Mufid, ibid, jilid 2, hal 104.
[10] .Ibn Syahr Asub, ibid, jilid 4, hal 109. Ibn ‘Atsam al-Kufi, ibid, hal 907. Al-Majlisi, ibid, jilid 44, hal 321.
[11] . Ibid, jilid 4, hal 108.
[12] . Ibid, jilid 4, hal 108.
[13] . Abu Hanifah Dinwari, ibid, hal 304.
[14] . Al-Majlisi, ibid, jilid 45, hal 41.
[15] . Mufid, ibid, jilid 2, hal 113-114. Baladzari, jilid 2, juz 3, hal 201. Al-Majlisi, ibid, jilid 45, hal 50.
[16] . Ibn Syahr Asub, ibid, jilid 4, hal 58. Al-Majlisi, ibid, 45, hal 51.
[17] . Abu Hanifah Dinwari, ibid, hal 308.
[18] . Ibn Syahr Asub, ibid, jilid 4, hal 109. Ibn ‘Atsam al-Kufi, hal 908. Ibn Atsir, ibid, jilid 5, hal 186. Thabari, ibid, jilid 7, hal 3055. Mufid, ibid, jilid 2, hal 112. Baladzri, ibid, jilid 2, juz 3, hal 201. Qommi, Syaikh Abbas, Naf sal-Mahmum Nafatsah al-Mashdur, tanpa tahun, hal 161-162.

Tidak ada komentar: