Selasa, 24 April 2007

FITNAH SOSIAL: Di Balik Kerancuan Kata dan Konsep


FITNAH SOSIAL: Di Balik Kerancuan Kata dan Konsep

Ayatullah M.T.Misbah Yazdi[1]

Saya ingin tegaskan sekali lagi bahwa pertama yang akan dipersiapkan seseorang yang hendak menebar fitnah yaitu upaya mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan. Dengan demikian, ia telah menenggelamkan masyarakat sampai masuk ke dasar jurang kebatilan. Biasanya, orang seperti ini mengumandangkan slogan-slogan indah dan memikat sekaligus menipu, karena menyelundupkan unsur-unsur kebatilan. Slogan-slogan itu digubah melalui kata-kata yang ambigu, punya banyak arti, sehingga tidak jelas dan buram. Karena pada dasarnya, memang ada kata-kata yang tidak jelas lantaran menyimpan banyak arti, di samping ada pula kata yang berarti jelas dan tegas. Kalaulah yang belakangan ini digunakan dalam slogan, tentu masyarakat tidak akan tertipu.

Orang-orang yang punya niat kotor, bermaksud aktif membohongi masyarakat, tidak pernah menyampaikan ide-idenya secara gamblang, tegas dan lugas. Dalam setiap kesempatan; pidato, tulisan, buku, seminar dan slogan, selalu saja menggunakan kata-kata dan istilah-istilah yang ambigu, diplomatis, ekuivokal. Sebagaimana kata dan istilah tersebut dapat dipakai sesuai arti harfiahnya, juga dapat dipergunakan untuk arti metaforis atau arti-arti lain yang amat berpotensi mengecoh.

Memang kita tidak hidup di zaman Imam Ali as sehingga tidak dapat menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana usaha sebagian orang menelikung masyarakat dengan cara seperti ini. Namun pada zaman ini, kita dihadapkan pada satu geliat yang dapat memberikan gambaran secara telanjang bagaimana cara kerja mereka. Yakni kata kebebasan.

Kebebasan adalah kata yang sungguh indah. Kata yang membuat dada siapa saja yang mendengarnya berdebar-debur, gairah menggelora. Kebebasan tidak pernah dibenci oleh siapa pun di dunia ini. Bayangkan sebuah burung yang terkurung dalam kisi-kisi sangkarnya. Setiap hari ia berusaha bagaimana caranya dapat keluar bebas. Betapa indah dan harunya bila seseorang datang mendekat lalu membuka tutupnya. Namun ketika ada usaha untuk mencampuradukkan antara kebenaran dan kebatilan, tidak pernah disentuh masalah seperti ini. Masalah tentang arti kebebasan.

Apa yang diinginkan dari kebebasan itu sendiri? bebas begitu saja? bebas dari Tuhan? bebas dari akal? bebas dari agama? bebas dari nilai-nilai kemanusiaan? Ataukah bebas dari kebodohan? Bebas dari kezaliman? Bebas dari perbudakan? Bebas dari pengaruh setan? Mana yang diinginkan? Tidak pernah hal seperti dijelaskan secara tegas. Bila sejak awal disebutkan bahwa yang diinginkan dari kata kebebasan adalah bebas dari pengaruh setan, niscaya tidak akan pernah ada yang menolak. Memangnya bebas dari adat istiadat yang menyimpang dan narkoba adalah sesuatu yang buruk? Akankah kalian menerima orang lain menguasai negara kita? Akankah kita biarkan intervensi asing terhadap urusan dalam negeri? Tidakkah kita menghendaki kebebasan pengaruh asing? Hal-hal ini jelas berbeda jauh dengan keinginan bebas dari keterikatan pada kehendak Tuhan. Apakah kalian menginginkan bebas dari Tuhan dan tidak ingin menjadi hamba-Nya? Apakah kalian juga ingin bebas dari nilai-nilai kemanusiaan? Bagaimana mungkin kita bebas dari rasio dan akal budi? Imam Ali as mengatakan: "Seandainya kebatilan tidak bercampur dengan kebenaran", yakni seandainya kita mampu untuk memilih dan memilah baik dan buruk, tentunya tidak akan ada lagi keraguan dan kerancuan.

Imam Ali as pada kesempatan yang lain mengatakan, "Sesuatu disebut syubhah karena ia menyerupai kebenaran" (Wasailul Syi'ah, 27:16). Jubah kebenaran dikenakan pada tubuh kebatilan agar tampil seindah kebenaran, dan inilah penyebab penyimpangan. Seandainya kebatilan tidak memiliki keserupaan dengan kebenaran, tampak jelas mana yang baik dan mana yang batil, tentu tidak akan pernah terjadi fitnah. Terjadinya fitnah adalah akibat bercampurnya kebenaran dalam kebatilan. Oleh karenanya, bila ada orang yang bertekad melakukan reformasi, dan tidak menghendaki fitnah, juga tidak ingin kata reformasi dipakai untuk hal yang lain, tentunya ia harus berusaha menyampaikannya dengan jelas dan definitif. Bila kata-katanya benar, ia harus memilah-milah antara kebenaran dan kebatilan.

Sebagai seorang reformis, ia harus mengungkapkan hal ini sejelas-jelasnya. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Bila ditanyakan apa yang Anda maksud dengan kata reformasi, jawabannya adalah "terserah masyarakat, mereka yang akan memberi makna". Bagaimana mungkin Anda membawa bendera reformasi dan mengatasnamakan diri sebagai reformis tapi tidak tahu apa arti dan konsepnya? Mereka akan membela diri bahwa "Saat ini kami mengkampanyekannya, toh pada akhirnya masyarakatlah yang akan menangkap arti yang sebenarnya?!" Bila tidak ada maksud di balik semua ini, katakan saja apa arti kebalikan dari kata reformasi. Katakan, kebobrokan apa saja yang kalian lihat dan hendak diperbaiki! Apakah Undang-Undang Dasar? Pada bagian mana dari UUD yang harus diubah dan diperbaiki? Yang pasti mereka lebih tahu apa yang diinginkan dari kata reformasi. Hanya saja untuk membohongi saya dan Anda, beginilah caranya.

Permasalahan yang paling mendasar adalah bahwa dalam UUD Iran tercantum bahwa setiap undang-undang yang dirancang di Iran harus berdasarkan hukum Islam. Pada Konferensi Berlin, mereka katakan bahwa problem mendasar dalam UUD kita ada pada satu butir ini. Yang mereka inginkan dari reformasi adalah menghapus Islam dan wilayatul-faqih dari butir-butirnya. Reformasi yang mereka teriakan tidak lebih dari ini. Seandainya ada maksud lain dari kata reformasi, tentu akan dijelaskan secara gamblang.

Pemimpin tertinggi Revolusi Islam Iran dengan gamblang menegaskan arti reformasi. Beliau mengatakan secara jelas beberapa hal yang perlu diperbaiki. Kemiskinan, korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi isu nasional. Apakah ada orang yang menyangkal pemberantasan kebusukan ini? Berikan penjelasan apa adanya dan tegas. Apakah ada yang tertipu dengan retorika ini? Apa yang telah disebutkan tentang empat kebusukan itu merupakan tuntutan suci para Nabi dan segenap umat manusia. Semua ingin memerangi empat masalah ini. Namun apakah semua berbicara seperti ini? Reformasi seperti inikah yang mereka inginkan? Mengapa sekelompok orang tidak mau menjelaskan apa maksudnya? Tidak lain karena ingin mencampuradukkan antara kebenaran dan kebatilan. Bila kondisi telah keruh dengan mudah ia mengail apa saja yang diinginkannya.

Mereka yang benar-benar concern terhadap agama dan masyarakat, seyogyanya menyatakan segala hal yang benar dan jelas. Hak dan batil harus dibedakan, sehingga masyarakat dengan mudah memilih mana yang benar. Ketahuilah, siapa saja yang berusaha menyampaikan pernyataan yang sedemikian rupa sehingga hak dan batil sulit untuk dipilah, pasti ia menyimpan maksud dan itikad yang tidak baik. Sebaliknya, pemilahan antara hak dan batil dapat ditemukan pada pernyataan siapa saja yang mengungkapkannya secara jelas. Orang seperti inilah yang benar-benar jujur, tulus dan beritikad baik dengan ucapannya.

Maka, salah satu faktor penyimpangan yang terjadi di masyarakat adalah para penyebar fitnah tidak pernah membiarkan masyarakat dapat dengan mudah memilah kebenaran dari kebatilan. Ungkapan yang dipergunakan senantiasa memiliki dua makna, samar, abu-abu, antara benar dan salah. Tidak pernah ada kejelasan yang pasti; mana yang mereka inginkan. Pada akhirnya, masyarakatlah yang menjadi korban retorika. Mereka selalu kebingungan. Justru pada saat-saat seperti inilah mereka menanti kesempatan kapan dapat mencapai kepentingan dan tujuan retorika mereka. Adalah kewajiban setiap orang untuk menjelaskan mana yang benar dan yang batil.[Saleh L]


[1] . Dar Partuye Ozarakhsy-e Nur, M.T.Misbah Yazdi, Muasasah Amuzesyi va Pezwuhesyi Imam Khomeini, Qom, 1381 HS.

Tidak ada komentar: