Imam Musa Shadr; Menggagas persatuan fiqih menggalang persatuan Islam
Imam Musa Shadr; Menggagas persatuan fiqih menggalang persatuan Islam
Saleh Lapadi
Apakah telah sampai kepadamu kisah tentang Musa? (Thaha: 9)
Waktu itu, sore hari tanggal 31 Agustus 1978 Imam Musa Shadr bersama dua orang yang bersamanya keluar dari hotel as-Syathi Beirut. Setelah itu, mereka menaiki mobil yang telah disiapkan oleh kedutaan Libia di Lebanon. Tujuan mereka adalah menemui Muammar Qaddafi. Itu adalah detik-detik di mana orang melihat Imam Musa Shadr dari seberang hotel. Sejak itu hingga kini telah berlalu 29 tahun, Imam Musa Shadr hilang tanpa jejak.
Dalam jenjang waktu 29 tahun ini, belum ada kabar tentang kematiannya. Sebaliknya, bukti-bukti menunjukkan bahwa ia masih hidup bersama beberapa pejuang Islam Arab lainnya. Mereka ditahan di penjara-penjara Libia.
Lima tahun yang lalu, situs gerakan pembebasan nasional Libia mengumumkan bahwa Imam Musa Shadr masih terlihat di penghujung tahun 1997. Keberadaannya dilaporkan oleh sebagian penghuni penjara Abu Sulaim kota Tripoli. Tidak lama setelah bulan Ramadhan, ia dipindahkan ke tempat yang tidak diketahui.
Kehadiran Imam Musa Shadr memang menjadi momok bagi Barat dan mereka yang tidak menginginkan persatuan Islam dan Kristen, sebagaimana kecemasan terlihat karena usaha-usahanya mempersatukan mazhab-mazhab Islam. Semua aksi sosial politiknya dalam rangka mewujudkan persatuan. Pertama, ia berusaha mewujudkan itu di Lebanon dan berusaha untuk mewujudkan di dunia Islam. Usaha melenyapkannya tidak semudah itu, karena ia diterima oleh semua kalangan baik mazhab Islam yang lainnya hingga Kristen. Jalan satu-satunya adalah menculik dan memenjarakannya hingga menemui ajalnya. Syahadahnya dapat memicu persatuan lebih dari yang sudah-sudah.
Riwayat hidup
Ayahnya adalah Ayatullah Shadr ad-Din Shadr. Keturunan dari Imam Musa Kazhim as. Ia lahir pada tahun 1298 HQ di kota Kazhimain. Setelah belajar di Karbala dan Najaf, ia kemudian hijrah ke Iran. Di sana ia menetap di kota Mashad dekat Haram Imam Ridha as. Ia kemudian menikah dengan putri Ayatullah Hussein Qummi. Setelah diajak oleh pengasas hauzah Qom Ayatullah Syaikh Kazhim Hairi Yazdi, ia menuju Qom. Ia bersama Ayatullah Khunsari dan Ayatullah Hujjat diberi tugas untuk menangani hauzah ilmiah Qom. Ayahnya menulis buku tentang Imam Mahdi af bersumber dari buku-buku Ahli Sunah. Karya besarnya dalam mendekatkan mazhab-mazhab Islam adalah buku yang berjudul Liwa al-Hamdi Fi al-Akhbar al-Khashah Wa al-Ammah. Buku ini mengumpulkan semua hadis-hadis dari mazhab-mazhab Islam yang ada dari Nabi Muhammad saw, mulai dari masalah akidah dan syariat. Tujuan pengumpulan hadis-hadis ini agar menjadi buku rujukan seluruh kaum muslimin setelah al-Quran. Ini adalah usaha untuk menyatukan Sunah Nabi Muhammad saw.
Ibunya adalah putri dari Ayatullah Husein al-Qummi. Namanya adalah Shafiyah. Ia biasa dipanggil dengan Bibi Shafiyah. Pada tanggal 12 Sya’ban 1419 HQ meninggal di kota Qom. Ayahnya Ayatullah Husein al-Qummi adalah keturunan ke 27 dari Imam Hasan as.
Imam Musa Shadr lahir pada tanggal 14 Khurdad 1307[1] (81 tahun lalu) di kota Qom. Ayahnya memberinya nama Musa. Imam Musa Shadr melalui masa kecilnya hingga remaja di daerah Eshqali kota Qom. Setelah menyelesaikan SMU, ia kemudian belajar di hauzah. Di samping belajar di hauzah ia juga diterima sebagai mahasiswa di universitas Teheran fakultas hukum. Selain menguasai bahasa Arab dan Persi, ia juga mampu berbahasa Inggris dan Prancis.
Imam Musa Shadr belajar pada guru-guru besar seperti Allamah Thaba’thaba’i, Muhaqqiq Damad, Sayyid Muhammad Taqi Khunsari dan lain-lain, ia juga mengajar. Sebagian dari murid-muridnya seperti Ayatullah Rafsanjani, Ayatullah Sane’i dan lain-lain.
Setelah ayahnya meninggal, ia melanjutkan pendidikannya ke Najaf. Selama 4 tahun ia belajar di sana kepada Ayatullah Muhsin al-Hakim, Sayyid Mahmud Sharudi, Sayyid Khu’i dan lain-lain. Selain belajar, ia juga mengajar. Sebelum ke Najaf ia sudah dikenal sebagai mujtahid.
Imam Musa Shadr pada tahun 1337 HS kembali ke Qom. Bersama teman-temannya ia mendirikan majalah bernama Maktab Islam. Majalah ini membahas mulai dari akidah, perbandingan mazhab, analisa sejarah Islam, agama-agama, ilmu Rijal, ekonomi, akhlak dan lain-lain. Dari makalah yang masuk, tulisan berserinya mengenai Iqtishad Dar Maktab Islam (Ekonomi dalam pandangan Islam) paling menyedot perhatian ulama dan pemikir. Makalahnya bersambung sampai 10 nomor yang kemudian dijadikan buku.
Pada tahun yang sama ia bersama-sama dengan Syahid Beheshti dan lain-lain mendirikan sekolah SMU dengan nama Shadr. Usaha ini dilakukannya dengan tujuan membentengi pemuda-pemuda Qom dari serangan budaya Barat lewat sekolah-sekolah negeri. Setelah berdiri, ia sekaligus menjadi kepala sekolah. Setelah ia pergi ke Lebanon, sekolah ini masih diteruskan.
Aktivitas di Lebanon
Pertama kali Imam Musa Shadr mengunjungi Lebanon atas undangan sejumlah ulama. Di sana ia tinggal selama sebulan. Setelah melihat kondisi mengenaskan orang-orang Syiah dan kaum muslimin di selatan Lebanon, ia memutuskan untuk tinggal dan membangun di sana.
Pada tahun 1920, Prancis merekayasa pendataan jumlah penduduk Lebanon. Hasilnya mayoritas berpihak pada Kristen Maronit setelah itu adalah muslim Sunni dan terakhir muslim Syiah. Karena Kristen Maronit sebagai mayoritas, saham mereka mencakup jabatan-jabatan penting; presiden, menteri pertahanan dan ketua bank sentral. Seluruh pos-pos di Lebanon dibagi dengan cara demikian 50 persen dikuasai oleh Kristen Maronit, 30 persen muslim Sunni dan 20 persen muslim Syiah.
Imam Musa Shadr meyakini pendapat para ilmuwan yang mengatakan bahwa sebab-sebab yang membuat kaum muslimin terkebelakang ada tiga; malas, bohong dan dijajah. Ia mulai dengan membuat pertanyaan mengapa kaum muslimin malas? Mengapa mereka punya moral yang jelek? Dan mengapa mereka dijajah? Ia menemukan jawabannya bahwa semua masalah itu kembali karena ketiadaan sistem yang harmonis antara seorang pemimpin dan pemerintahan dalam menuntun mereka. Untuk itu ia mulai menyingsingkan lengan bajunya untuk mengubah kaum muslimin di selatan Lebanon, terutama muslim Syiah.
Imam Musa Shadr terjun langsung ke tengah-tengah masyarakat . Secara aktif ia memberikan ceramah di masjid-masjid, sekolah dan universitas. Dengan cara ini ia berusaha untuk menyadarkan generasi muda. Dengan ceramah-ceramahnya ia berhasil menarik hari pemuda muslim bahkan Kristen. Dengan cara ini, sekolah-sekolah menjadi benteng yang kuat dalam menghadapi serangan budaya asing.
Imam Musa Shadr tidak hanya berkoar-koar untuk memperbaiki standar kehidupan kaum muslimin di selatan Lebanon. Ia meyakini adanya hubungan yang sangat erat antara kemajuan budaya dan tingkat kemakmuran. Dari sana, ia mendirikan pusat-pusat pendidikan dan ekonomi seperti sekolah kejuruan industri Jabal Amil untuk membekali keterampilan kepada pera pemuda, mengaktifkan kembali yayasan sosial yang dibangun oleh Allamah Syarafuddin Musawi untuk mendata orang-orang yang butuh bantuan, mendirikan rumah usaha untuk anak-anak wanita dengan dibekali dengan keterampilan menjahit, menenun dan lain-lain, mendirikan sekolah perawat, tempat pelatihan membuat permadani, mendirikan hauzah ilmiah, yayasan yatim piatu dan lain-lain. Program-program yang dijalankannya sampai sekarang masih menjadi proyek percontohan pemerintah Lebanon.
Dalam peran serta muslim Syiah dalam pemerintah, Imam Musa Shadr mendirikan Majelis Tertinggi Syiah Lebanon. Pendirian partai politik ini bukan dengan alasan bahwa ia milik orang-orang Syiah, tetapi kondisi mereka lebih jelek dari organisasi-organisasi Kristen dan muslim Sunni. Langkah berani ditempuhnya dengan mengajukan rancangan agar ada perwakilan Syiah di parlemen Lebanon. Pada hari senin tanggal 6 Safar 1387 HQ disetujui dan secara resmi semenjak itu muslim Syiah berhak memiliki wakil di parlemen Lebanon.
Imam Musa Shadr juga mendirikan dua gerakan penting. Pertama, gerakan orang-orang tidak mampu (Harakah Mahrumin) dan kedua organisasi militer Amal. Gerakan Mahrumin berhasil mengenyahkan kebergantungan kaum muslimin. Gerakan ini membekali para pemuda dengan informasi, budaya, akidah dan akhlak sehingga mereka betul-betul memahami ajaran Islam dengan baik. Kelas-kelas kursus dan bimbingan diadakan setiap hari dengan materi yang beragam. Allamah Sayyid Husein Fadhlullah dan Syaikh Mahdi Syamsuddin adalah sebagian dari nama-nama yang menjadi pembimbing pada waktu itu. Gerakan ini berkembang sampai ke seluruh Lebanon.
Setelah empat tahun, gerakan Mahrumin menjadi sebuah gerakan nasional. Imam Musa Shadr melihat para pemuda itu telah siap untuk mendapatkan pembekalan pendidikan militer. Pada tanggal 7 Muharam 1395, ia mendirikan organisasi militer Amal. Pada waktu itu, setiap partai di Lebanon memiliki sayap militer. Namun, karena tidak didukung dengan pandangan dunia yang jelas, mereka tidak pernah punya kekuatan dalam menghadapi ancaman negara asing. Di sini sayap militer Amal terjun untuk mewujudkan stabilitas keamanan di dalam maupun menghadapi ancaman negara asing.
Sayap militer Amal pada mulanya bergerak secara sembunyi-sembunyi. Mereka melakukan pelatihan di desa Yamunah di sekitar kota Baalbek dengan jumlah 70 orang. Setelah melakukan kerja sama dengan organisasi Fatah Palestina, pusat pelatihan ini pindah ke tempat yang lebih besar bernama Ain an-Nabih. Sekitar 7 bulan kegiatan dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Pada tanggal 14 Rabiul Tsani 1354 HQ, ketika mereka tengah melakukan latihan menjinakkan ranjau, salah satu dari ranjau itu meledak dan mengakibatkan 27 anggota terbaik mereka meninggal. Ini menyebabkan aktivitas mereka untuk sementara dihentikan dan pusat pelatihan dipindahkan ke tempat bernama Janata.
Merajut persatuan meredam fitnah
Peristiwa September Kelabu pada tahun 1970 mengakibatkan kurang lebih 15 ribu orang Palestina dibantai di tempat-tempat pengungsian. Yang masih hidup melarikan diri dari Palestina. Sebagian dari mereka lari ke tanah Lebanon. Imam Musa Shadr mewasiatkan kepada orang-orang Syiah Lebanon selatan untuk menerima mereka. Mereka mendapat rumah, tanah dan pusat-pusat rehabilitasi dan bahkan militer. Muslim Syiah Lebanon melakukan demonstrasi menentang pembantaian rakyat Palestina.
Tidak berapa lama, orang-orang Palestina mampu berdiri sendiri. Bahkan dalam aksi-aksinya mereka dapat menyerang kekuatan-kekuatan Israel secara sporadis. Kedekatan mereka dengan Syiah Lebanon yang dipimpin oleh Imam Musa Shadr membuat Israel menjadi khawatir, begitu juga pemerintah Lebanon dan partai kiri maupun kanan.
Partai-partai itu dengan bekerja sama dengan pemerintah Lebanon waktu itu di bawah perintah Israel mulai melakukan aksi-aksi membunuh dan merampok orang-orang Syiah. Dengan demikian ketakutan menyebar di kalangan Syiah dan untuk sementara mereka masih tetap bisa mendikte kelompok Syiah Lebanon. Inilah yang menjadi sumber perang bersaudara di Lebanon dengan alasan yang bermacam-macam.
Para pemimpin Kristen Palangists atau Kataib (kelompok militan Kristen Maronit) yang menjadi boneka Israel meminta agar bagian selatan Lebanon yang dihuni oleh orang-orang Kristen menjadi negara merdeka. Israel sangat mendukung keputusan mereka. Sementara itu, Partai sosialis yang dipimpin oleh Kamal Jumblatt ingin mendirikan negara komunis di Lebanon selatan. Untuk itu memberikan janji kepada Rusia (Uni Soviet kala itu) untuk memberikan bantuan menguasai pelabuhan Sur dan Sayda.
Tujuan mereka pada mulanya adalah menghancurkan kekuatan Syiah yang dipimpin oleh Imam Musa Shadr. Untuk itu, cara yang mereka pakai adalah berusaha untuk menciptakan suasana tidak aman dengan perang. Dalam salah satu catatannya Syahid Chamran menulis: “Selama seseorang tidak terjun langsung melihat krisis Lebanon, dia tidak akan dapat memahami esensi gerakan Imam Musa Shadr”.[2]
Berikut ini usaha-usaha Imam Musa Shadr meredam api fitnah di Lebanon:
1. Pembantaian tentara
Pada tahun 1973 beberapa orang dari anggota gerakan PFLP, sebuah gerakan Marxist untuk membebaskan Lebanon yang dipimpin oleh George Habash, meletakkan bom di bandar udara Beirut. Sebelum meledak, bom itu ditemukan oleh pihak keamanan. Partai PFLP meminta agar anggotanya dibebaskan, namun pemerintah tidak menyetujui. Sebagai gantinya mereka menawan seorang tentara dan komandannya dan dibawa ke daerah Sabra, tempat penampungan pengungsi Palestina.
Angkatan bersenjata mengejar mereka dan menembak dengan senjata artileri berat selama 14 hari. Pada saat yang sama, militer Syria untuk membela orang-orang Palestina memasuki Lebanon dan menguasai beberapa kota di Lebanon selatan. Pada saat yang sama, Israel memanfaatkan kesempatan dengan menyerang Selatan Lebanon.
Sekalipun pada awalnya kejadian ini diakibatkan oleh sebuah organisasi Palestina, namun Imam Musa Shadr terjun dalam krisis ini dan membela rakyat Palestina. Pertama, ia mengeluarkan pernyataan bila angkatan bersenjata Lebanon melanjutkan serangannya, ia akan membalas serangan itu. Setelah itu, ia mengajak para pemimpin agama dan mazhab untuk membentuk sebuah komite membela Palestina. Langkah selanjutnya, menghubungi Hafez Asad lewat telepon dan meyakinkannya agar menarik keluar pasukannya dari Lebanon. Dengan menekan kedua belah pihak, Imam Musa Shadr berhasil mewujudkan gencatan senjata antara pemerintah Lebanon dan para pejuang Palestina. Sekarang, semua pandangan mengarah pada musuh yang sama, Israel.
2. Usaha menjelekkan Palestina
Pada tahun 1974, untuk pertama kalinya masalah Palestina dibicarakan di PBB. Hasilnya memihak kepada Palestina. Kemenangan ini membuat markas intelijen Israel berusaha untuk membalikkan keadaan. Mereka berusaha untuk menunjukkan bahwa orang-orang Palestina sebagai perusuh dan pembuat onar. Dengan cara itu, mereka berusaha mencegah para pemimpin Palestina untuk ikut dalam pertemuan di PBB.
Rencana telah disiapkan. Orang-orang Palestina diadu dengan orang-orang Kristen dan terjadi bentrokan di antara mereka. Sebulan sebelum itu, kelompok militan Kristen Maronit, Kataib, membunuh 11 orang Palestina di sekitar kota Beirut. Dengan ini telah disiapkan sebuah skenario perang antar Kristen dan Palestina.
Melihat kondisi yang semakin krisis, Yasir Arafat segera meminta tolong kepada Imam Musa Shadr untuk menenangkan suasana. Sebuah aksi berani dilakukan oleh Imam Musa Shadr dengan menelepon Pierre Gemayel. Setelah melakukan pembicaraan, kondisi perlahan-lahan kembali seperti semula. Sebulan setelah itu, dalam pertemuan Sidanag Umum PBB untuk pertama kalinya Palestina diakui secara resmi oleh 105 negara.[3]
3. Pada bulan Maret tahun 1975, rakyat Sayda yang dipimpin oleh Ma’ruf Saad melakukan demonstrasi besar-besaran menentang perusahaan Amerika yang menginjak-injak hak-hak nelayan Sayda. Orang-orang yang ingin muncul fitnah menembak Ma’ruf Saad yang berada di tengah-tengah masyarakat Sayda yang sedang melakukan demonstrasi. Karena peluru yang mengenai Ma’ruf Saad berasal dari arah tentara, terjadilah konflik hebat antara masyarakat dengan tentara. Melihat itu, militan Kristen Maronit, Kataib, mengambil kesempatan di samping tentara membantai orang-orang yang ikut demonstrasi. Pembunuhan ini sedemikian luasnya sehingga tidak satu pun dari tokoh nasional, politik dan agama yang berani keluar. Masyarakat menjadi sangat ketakutan.
Dalam kondisi yang mencekam itu, hanya imam Musa Shadr seorang diri yang keluar ikut melayat jenazah Ma’ruf Saad. Dengan sikapnya itu, masyarakat kembali merasa aman. Dalam prosesi penyemayaman mayat Ma’ruf Saad, Imam Musa Shadr berceramah yang isinya:
“... Tentara harus menjadi penjaga dan pengayom masyarakat. Tentara harus membela teritorial negara. Akan tetapi, bila peluru yang seyogianya diarahkan ke selatan Lebanon menghantam Israel, harus mengenai seorang pejuang nasional seperti Ma’ruf Saad dan bila tentara menjadi alat bagi kelompok tertentu, maka lebih baik tentara yang seperti ini untuk selamanya harus dilenyapkan ...”[4]
Ucapan keras Imam Musa Shadr terhadap tentara membuat rakyat turun ke jalan-jalan. Usaha musuh menjadi gagal dan akhirnya ketenangan dan keamanan kembali lagi.
4. Peristiwa Ayn Ramanah
Keadaan Lebanon belum tenang ketika kembali kelompok militan Kristen Maronit mengajak partai-partai yang ada di Lebanon untuk mempersenjatai diri. Pada waktu itu ada kapal yang merapat di Lebanon penuh dengan senjata dan amunisi. Senjata itu kemudian dikuasai oleh orang-orang Kataib. Di sisi lain, publikasi kebencian terhadap Islam dan orang-orang Palestina meningkat. Orang muslim dituduh sebagai pelaku pencurian dan pembunuhan. Masyarakat Syiah di selatan Lebanon dianggap sebagai pengkhianat karena membela orang-orang Palestina. Konflik di Lebanon bak api dalam sekam yang menanti waktu untuk meledak.
Tujuannya jelas, mereka sekali lagi ingin menjadikan orang-orang Palestina sebagai kambing hitam. Dengan ini, Israel punya alasan untuk membunuh semua orang Palestina dan untuk selamanya tidak akan ada lagi negara Palestina.
Pada hari Minggu bulan April tahun 1975 mendekati waktu zuhur, tiba-tiba terdengar ledakan dahsyat. Sebuah bus yang penuh dengan penumpang orang-orang muslim Lebanon dan Palestina yang sedang melewati sebuah gereja Kristen militan Maronit di kota Ayn Ramanah diserang secara ganas. Seluruh penumpang yang ada dibunuh secara sadis. Selama beberapa jam mayat-mayat mereka terlantar di atas jalanan. Melihat kenyataan itu, orang-orang muslim menjadi sangat marah. Pada saat itu, partai sosialis ikut dalam mengobarkan terjadinya perang bersaudara yang dahsyat.
Imam Musa Shadr yang menyaksikan kenyataan itu, mempergunakan seluruh kekuatan dan pengaruhnya agar kedua belah pihak menyetujui gencatan senjata. Imam Musa Shadr berhasil membawa kedua belah pihak duduk di satu meja perundingan. Gencatan senjata berubah menjadi sebuah perdamaian yang lebih kokoh. Bahkan kelompok Kataib menjadi tertekan dan kemudian mengakui perbuatan dan meminta maaf secara terbuka. 14 orang yang ikut dalam pembantaian penumpang bus diserahkan ke pengadilan untuk diadili.
Kelompok sosialis pertamanya tidak ingin berdamai. Mereka mendesak untuk melanjutkan peperangan. Namun, dengan kelihaian diplomasinya, Imam Musa Shadr berhasil memaksa mereka untuk menandatangani perjanjian damai. Kamal Jumblatt pemimpin partai sosialis ketika keluar dari ruangan perundingan berkata kepada Imam Musa Shadr: “Engkau begitu dicintai rakyat! Engkau sangat terkenal. Bila engkau ingin popularitasmu tetap bertahan, engkau harus menyetujui perang bukannya perdamaian!” Imam Musa Shadr menjawab: “Aku tidak mencari popularitas untuk diriku. Aku berjuang untuk rakyat yang tertindas”.[5]
Gencatan senjata ini sebanyak 17 kali dilanggar oleh kedua kelompok ini. Semua usaha dilakukan oleh Imam Musa Shadr bahkan dengan melakukan mogok makan. Akhirnya perdamaian tercipta.[6]
5. Pembunuhan KTP
Perdamaian dan gencatan senjata yang telah diusahakan oleh Imam Musa Shadr tidak bertahan lama. Namun, kali ini konflik berganti nama menjadi pembunuhan KTP. Kelompok kiri yang sosialis dan kanan yang Kristen membawa pembunuhan ke tengah-tengah masyarakat. Di kota yang mayoritasnya adalah muslim, orang-orang Kristen dibunuh. Begitu juga sebaliknya, di kota-kota yang mayoritasnya Kristen, orang-orang muslim dibantai. Mereka yang Kristen akhirnya berlindung pada kelompok kanan dan sekaligus dipersenjatai. Sementara mereka yang muslim bergabung dengan kelompok kiri. Fitnah konflik ini telah menguasai Lebanon.
Melihat peristiwa itu, Imam Musa Shadr dengan tawakal kepada Allah melakukan kunjungan ke kota-kota dan memberikan ceramah yang dihadiri oleh orang-orang muslim dan Kristen. Selain membongkar maksud-maksud dari dikobarkannya pembunuhan ini, ia mengajak seluruh rakyat Lebanon untuk bersatu. Kota Baalbek yang menjadi pusat konflik didatanginya. Sambil mengungkap niat-niat di balik peperangan yang ada ia berkata:
“... Bila di Beirut anak saya dibunuh, niscaya saya tidak akan membiarkan seorang kristen yang tidak berdosa di kota Baalbek terbunuh. Karena kedua masalah ini tidak punya hubungan. Kedua-duanya terbunuh oleh musuh rakyat Lebanon...”[7]
Sekalipun gerakan yang dilakukannya dapat sedikit meredam pertikaian yang ada, namun kalimat yang diucapkannya oleh kelompok kiri dengan menggunakan media yang mereka kuasai untuk menuduh Imam Musa Shadr pro Kristen. Imam Musa Shadr akhirnya melakukan sebuah gerakan bersejarah dengan melakukan mogok makan. Ia melakukan mogok makan di mulai dari hari jumat tanggal 27 Juni 1975 di masjid Amiliyah Beirut. Dalam pernyataan bersejarahnya di masjid Amilyah, ia berkata bahwa tidak akan berhenti melakukan mogok makan sampai beberapa poin yang diinginkannya terpenuhi:
a. Stop pembunuhan dan semua pihak harus menerima gencatan senjata.
b. Penerimaan sebuah “pemerintahan kecil” yang tidak disertai oleh kelompok kiri dan kanan.
c. Pembentukan komite penyidik pelaku pembunuhan dan penyidangan mereka.
d. Pembentukan komite untuk mengevaluasi kerugian yang diderita rakyat dan ganti rugi.
Ketika kelompok-kelompok masyarakat mendengar bahwa Imam Musa Shadr melakukan mogok makan, berbondong-bondong mereka menuju masjid Amiliyah dan bergabung dengannya. Melihat itu, mereka yang tidak ingin masyarakat bergabung dengan Imam Musa Shadr melarang penjualan bensin, Lebanon diumumkan tidak aman dan secara teratur mereka memublikasikan terjadi pertikaian di jalan-jalan Beirut. Namun usaha itu tidak berhasil, karena rakyat berbondong-bondong mendukung sikap imam Musa Shadr.
Pada hari kedua pemogokan, orang-orang Kristen dengan mengeluarkan pernyataan mendukung terbentuknya pemerintahan kecil yang diusulkan Imam Musa Shadr. Banyak orang Kristen ikut melakukan mogok makan di Gereja-gereja. Hal itu membuat banyak dari kaum muslimin ikut bersama mereka melakukan pemogokan makan.
Pada hari ketiga, tokoh-tokoh kristen mendatangi Imam Musa Shadr di masjid Amiliyah. Mayoritas tokoh-tokoh Lebanon, para politikus, mufti Hasan Khalid (Mufti agung Ahli Sunah), Yasir Arafat, Khaddam menteri luar negeri Syiria ikut bergabung di masjid Amiliyah untuk menunjukkan dukungannya.
Masjid Amiliyah tidak mampu menampung masyarakat yang hadir. Banyak dari mereka yang berada di samping masjid mendengarkan ceramah Imam Musa Shadr yang mencerahkan. Di saat Imam Musa Shadr menyampaikan ceramahnya, kelompok kiri dan kanan tanpa tujuan yang pasti menembak ke angkasa dan ke tanah. Mereka ingin membuat keributan agar ceramahnya tidak sampai didengar dengan baik oleh mereka yang hadir di sana.
Kelompok kiri yang terdiri dari orang-orang muslim sosialis mulai kasak-kusuk menyebarkan isu. Mereka mengatakan bahwa Imam Musa Shadr sebagai penakut. Mereka berkata: “Engkau dahulu punya slogan bahwa “senjata adalah hiasan laki-laki”, mengapa sekarang engkau bersembunyi di dalam masjid?!”
Pada akhirnya, kekuatan rakyat yang terdiri dari Syiah, Sunni dan Kristen bergabung dengan Imam Musa Shadr. Masyarakat yang berkumpul dengannya mulai marah dan tidak menerima kondisi yang ada. Pemerintah akhirnya menyerah dan menyetujui keinginan Imam Musa Shadr untuk membentuk Pemerintah Kecil.
Pada hari keempat, Imam Musa Shadr menghentikan mogok makannya. Ia mengirimkan pesannya kepada rakyat sambil tidak lupa mengucapkan terima kasih atas dukungan mereka. Ia menulis:
“... Saya duduk di masjid melakukan mogok agar rakyat Lebanon dan seluruh dunia tahu dan saya ingin membuktikan bahwa di negara ini ada senjata paling penting selain senjata yang dipakai untuk membunuh sesama. Senjata itu lebih berguna dan lebih tajam. Senjata itu adalah IMAN, HATI NURANI dan KESADARAN. Senjata yang dimiliki oleh mayoritas rakyat Lebanon...”[8]
Memaknai persatuan Islam
Ulama Islam dalam sejarah banyak yang berbicara mengenai persatuan Islam. Persatuan Islam mendapat penekanan penting oleh Sayyid Jamaluddin al-Afghani. Setelah perjuangannya menyadarkan umat Islam tentang pentingnya persatuan Islam, slogan ini kemudian diteruskan oleh murid-muridnya. Ketika revolusi Islam di Iran menang, semboyan persatuan Islam kembali menjadi penekanan. Kali ini dari Imam Khomeini.
Setiap ulama punya tafsiran dan bahkan usulan mengenai persatuan Islam. Untuk itu perlu kiranya mengetahui beberapa makna tentang persatuan Islam itu sendiri:
1. Persatuan dengan jalan menutup mata dari kenyataan sejarah.
Sangat mungkin dipahami dari persatuan kaum muslimin adalah menutup mata dari kenyataan sejarah. Bahwa sejarah Islam pernah mencatat kejadian-kejadian yang kelak menjadi prinsip sebuah akidah.
Persatuan dengan pemahaman seperti ini, memiliki dampak-dampak positif dan memberikan hasil yang baik. Namun, persatuan yang lahir dari cara pandang seperti ini adalah sebuah persatuan pemanis bibir dan tidak mendalam. Mengajak orang bersatu dengan berusaha menutup mata dari kenyataan sejarah dapat memberikan hasil hanya untuk sementara waktu. Persatuan model ini tidak akan bertahan lama dan langgeng. Karena orang tidak dapat memenjarakan pikiran orang lain. Bahkan lebih dari itu, problema yang dihadapi oleh umat Islam tidak dapat diselesaikan dengan baik tanpa melihat kenyataan sejarah. Cepat atau lambat, kenyataan sejarah itu akan muncul kembali.
Ulama juga tidak melihat ini sebagai cara terbaik dalam usaha mewujudkan persatuan umat Islam, sekalipun tidak melupakan bahwa dalam kondisi tertentu ide ini dapat memberikan solusi.
2. Persatuan dengan mengorbankan akidah.
Makna lain dari persatuan umat Islam adalah setiap mazhab Islam yang ada mengorbankan sebuah prinsip akidahnya demi mewujudkan sebuah persatuan. Sebagian dari akidah yang dimiliki dikorbankan demi sebuah persatuan Islam.
Persatuan dengan model seperti ini bukan termasuk solusi yang baik. Karena siapa saja yang meyakini kebenaran sebuah akidah, tidak akan meninggalkannya. Orang yang merasa bahwa akidahnya benar tidak akan mengorbankannya dengan alasan apapun. Apa lagi bila ia harus mengorbankannya atas sebuah keyakinan yang dianggap tidak benar.
Ulama tidak melihat ini sebagai jalan keluar yang baik dalam merumuskan substansi persatuan kaum muslimin.
3. Persatuan mazhab dan bukan Islam.
Slogan persatuan dapat juga diartikan sebagai persatuan antar mazhab dan bukan persatuan Islam. Hal ini dapat terwujudkan dengan pengikut setiap mazhab menjadikan sebuah mazhab sebagai ikutan bagi yang lain. Dengan disepakatinya sebuah mazhab dari mazhab-mazhab yang ada, mazhab yang lain lenyap dan bergabung dengan mazhab yang telah disepakati. Salah satu tolok ukurnya dapat dijadikan mazhab mayoritas sebagai mazhab yang disepakati bersama dan dengan sendirinya, mazhab-mazhab yang tidak punya pengikut mayoritas bergabung di dalamnya.
Cara pandang persatuan dengan model ini juga tidak akan menyelesaikan masalah dari akarnya. Masalahnya bukan seseorang mengikuti mazhab lain, tapi masalahnya adalah setiap mazhab mengakui secara resmi mazhab lain. Dalam pengakuan secara resmi inilah persatuan Islam dapat ditumbuhkan dengan hubungan timbal balik yang lebih baik. Komunikasi menjadi lebih mudah dan bersahabat. Dengan ini, perpecahan yang selama ini ada dapat diminimalkan.
4. Persatuan dalam sikap politik.
Pendekatan lain dalam melihat persatuan kaum muslimin adalah persatuan dalam sikap politik. Dalam kebijakan-kebijakan praktis menghadapi musuh, kaum muslimin hendaknya bersatu. Umat Islam bersatu dalam sebuah barisan dalam menghadapi musuh Islam.
Seringnya perselisihan dan konflik dalam tubuh umat Islam tidak memiliki akar masalah yang benar. Seringnya itu merupakan konspirasi musuh-musuh Islam agar lupa akan masalah yang sebenarnya. Dengan demikian, mengambil satu sikap dalam menghadapi musuh Islam merupakan sebuah keharusan. Itulah mengapa ulama Islam menerima model persatuan yang seperti ini. Karena persatuan model ini dapat melindungi Islam dan dunia Islam. Kebanyakan semboyan-semboyan yang diucapkan oleh para penyeru persatuan merujuk ke makna ini.
5. Persatuan dalam mendekatkan pemikiran.
Sebuah makna lain dari persatuan kaum muslimin adalah pendekatan. Dalam hal ini, persatuan tidak dipakai dalam makna literalnya. Karena memang tidak ada persatuan dalam arti bersatu atau menjadi satu. Persatuan yang seperti ini hanya berusaha untuk mendekatkan pemikiran setiap mazhab yang ada. Dengan artian, ada usaha untuk saling melakukan kajian dan dialog dengan tidak mengikutkan fanatik buta. Cara ini dapat mencairkan sebagian besar dari perselisihan yang ada di kalangan kaum muslimin.
Persatuan dan pendekatan pemikiran berbeda dengan penafsiran pertama tentang persatuan Islam. Di sini, setiap mazhab yang ada punya hak untuk tetap meyakini kebenaran akidahnya, namun kerancuan pemahamannya tentang mazhab lain dapat diselesaikan lewat kajian dan dialog yang sehat. Penafsiran ini lebih moderat dari penafsiran pertama dan karenanya, banyak ulama yang memaknai persatuan seperti ini.
Merenungi kembali makna-makna persatuan Islam, makna keempat dan lima merupakan pemaknaan yang lebih bisa diterima. Dalam tataran wacana dan teori, konsep persatuan Islam adalah pendekatan antar sesama mazhab untuk saling mengkaji dan meneliti mazhab lainnya agar kerancuan dan kesalahpahaman yang selama ini ada dapat dihilangkan. Dan, pada tataran praksis, ketika musuh Islam membahayakan Islam dan kaum muslimin, maka sikap yang harus dipilih adalah persatuan dan satu kata untuk menolak bahkan membela kaum muslimin di mana pun berada.
Dengan membagi konsep persatuan umat Islam pada tataran teoritis dan praksis, kita kemudian mengenal dua istilah; Taqrib dan Wahdah. Taqrib atau pendekatan dengan maksud mendekatkan konsep antar mazhab dalam Islam, sementara Wahdah atau persatuan adalah kesamaan sikap dan tindakan dalam menghadapi musuh Islam.
Ulama yang menjadi motor penggerak persatuan Islam dengan kedua maknanya, menyikapi dua fenomena ini secara berbeda. Ada memberikan penekanan pada Taqrib dan lemah dalam sikap dan tindakan sekaitan dengan Wahdah. Sebaliknya, ada juga yang lebih senang mengarahkan persatuan Islam hanya pada konotasi Wahdahnya saja, sementara sisi Taqribnya kurang diperhatikan. Sikap seperti ini sering membuat sebuah usaha mewujudkan persatuan Islam menjadi timpang. Persatuan Islam harus diwujudkan dengan mengikutsertakan kedua unsur ini.
Gagasan persatuan Islam Imam Musa Shadr tidak lepas dari pengaruh pemikiran Allamah Sayyid Syarafuddin Musawi. Ia bahkan di juluki sebagai Syarafuddin muda. Allamah Syarafuddin Musawi dalam buku-bukunya berpijak di atas konsep Taqrib dan Wahdah. Allamah Syarafuddin berusaha mewujudkan konsep persatuan Islam lewat Taqrib. Persatuan Islam dalam pandangannya bukannya sebuah mazhab meninggalkan keyakinannya lalu masuk dan melebur dengan mazhab lainnya. Menurutnya, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah dengan mengakui Syiah sebagai salah satu mazhab sama seperti mazhab lainnya. Menurutnya, dengan ini, pecahan-pecahan kaum muslimin yang ada ini menjadi sebuah masyarakat yang satu. Ini akan membuat ikatan sosial umat Islam menjadi kuat.[9]
Usaha keras Allamah Syarafuddin mewujudkan persatuan Islam membuatnya diterima baik di kalangan ulama dan masyarakat Ahli Sunah. Ia menjadi satu-satunya dari ulama Syiah yang sempat menjadi imam salat di Masjidul Haram.
Namun, ini belum menyelesaikan masalah, bahkan dapat dikatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Allamah Syarafuddin Musawi barulah langkah awal. Masih ada kesenjangan yang sangat panjang antara Taqrib dan Wahdah. Imam Musa Shadr datang berusaha memperpendek jarak yang ada.
Usaha pertama yang dilakukannya adalah dengan menyerupakan permasalahan mazhab dengan problem etnis dalam sebuah negara yang dalam hal ini Lebanon. Dalam ceramahnya yang berjudul “Kecemasan akan masa depan Lebanon” yang dimuat oleh koran al-Ashr cetakan Sayda (5 Desember 1962), Imam Musa Shadr mengatakan bahwa bila keragaman etnis membuat lemah dan lambatnya pembangunan di sebuah negara, maka keragaman itu merupakan ancaman bagi bangsa itu. Namun, bila keragaman itu dapat menjadi sarana bagi alih pengetahuan, pengalaman dan peradaban, maka keragaman itu menjadi modal pertumbuhan sebuah negara. Dengan demikian, bahaya bukan pada keragaman etnis, tapi bila arahnya menjadi negatif keragaman menjadi ancaman. Hal yang sama dengan partai dan juga mazhab.
Menurutnya, sebuah negara harus berdiri lebih tinggi dari kelompok-kelompok yang ada, bahkan dari yang mayoritas sekalipun. Ia mempertanyakan, bila negara hanya melihat kelompok minoritas, maka itu kezaliman terhadap mayoritas. Begitu pula sebaliknya, bila mayoritas yang diperhatikan, lalu akan ke mana kelompok minoritas? Sambil mengatakan bahwa ia tidak menutup mata bahwa dalam sebuah negara ada yang zalim dan ada yang terzalimi. Namun, yang lebih penting jangan sampai yang terzalimi menjadi zalim dan begitu juga sebaliknya. Ia mempertanyakan, di mana ada seorang Kristen melakukan protes karena seorang muslim terzalimi dan begitu juga sebaliknya? Bila seorang anggota masyarakat punya rasa memiliki akan bangsanya secara jujur, ia tidak akan merasa asing di negaranya sendiri. Setiap ada ketidakadilan dan kezaliman, ia akan bangkit menyuarakan dan membelanya.
Imam Musa Shadr mendekati masalah persatuan juga dengan menekankan sisi maslahat. Baik itu maslahat sebuah negara atau maslahat umat Islam sedunia. Ini yang membuatnya mencari sebuah formula untuk menarik jarak antara Taqrib dan Wahdah. Imam Musa Shadr berhasil mengumpulkan antara konsep dan praksis dalam sebuah ide besarnya yang disebutnya “Persatuan Fiqih”. Itulah mengapa mengkaji konsep fiqih persatuan Imam Musa Shadr menjadi sangat penting. Ia tidak hanya menjadi konseptor ide persatuan Islam tapi juga eksekutornya.
Persatuan Fiqih
Kata persatuan fiqih “Wahdah Fiqh” pertama kalinya diperkenalkan oleh Imam Musa Shadr setelah terbentuknya Majelis Tertinggi Syiah Lebanon dan sekaligus ia menjadi pimpinannya. Dalam pidatonya pertamanya sebagai ketua tanggal 23 Mei 1969, ia meletakkan dua khitthah penting:
1. Prinsip mencegah perselisihan antar kaum muslimin dan usaha keras demi terwujudnya persatuan.
2. Kerja sama dengan semua kelompok etnis dan mazhab di Lebanon dan menjaga persatuan nasional.
Imam Musa Shadr tidak cukup dengan menjelaskan khitthahnya tapi langsung berbuat. Pada bulan Oktober 1969, ia menuliskan sebuah surat bersejarah yang ditujukan kepada Mufti Lebanon Syaikh Hasan Khalid.[10] Dalam isi surat itu untuk pertama kalinya Imam Musa Shadr mempergunakan kata persatuan fiqih. Selain menjelaskan konsepnya, ia memerikan beberapa petunjuk pelaksanaan. Membicarakan konsep persatuan fiqih Imam Musa Shadr harus dilihat dari dua sisi. Pertama, masalah penjelasan substansi konsep persatuan fiqih dan kedua, aksi-aksi Imam Musa Shadr dalam mewujudkan ide-idenya.
Konsep persatuan fiqih
Imam Musa Shadr memulai konsep persatuan fiqihnya dengan mengingatkan kembali akan prinsip-prinsip Islam. Pada dasarnya umat Islam satu dalam akidah, kitab suci, pencipta dan keyakinan akan hari akhir. Kesamaan yang luas semacam ini membutuhkan kesatuan pula dalam masalah-masalah parsial. Persatuan kaum muslimin dalam masalah parsial juga merupakan keinginan ulama terdahulu kita. Sambil membeberkan beberapa nama seperti Syaikh Thusi yang menulis buku al-Khilaf sebagai buku fiqih perbandingan. Menurutnya, fiqih perbandingan adalah modal utama dalam mewujudkan persatuan fiqih dan penyempurna syariat yang satu.
Menurut Imam Musa Shadr, persatuan fiqih adalah bentuk paling sempurna dari fiqih, bahkan syariat. Namun, itu tidak dengan makna bahwa Imam Musa Shadr menutup mata dari perbedaan yang ada. Menurut Imam Musa Shadr, selama perbedaan itu hanya pada tataran teoritis dan tidak sampai pada fatwa, maka perbedaan itu dapat diterima bahkan dipuji. Perbedaan pandangan dari setiap mazhab yang ada bukanlah titik akhir dari fiqih Islam, namun sebuah jembatan untuk mencapai kesatuan dalam tindakan.
Keragaman fatwa yang berhubungan erat dengan tindakan dan perilaku dalam sebuah masyarakat, tanpa disadari mengakibatkan terpecahnya pengikut fatwa. Terpecahnya pengikut fatwa sangat merugikan sebuah masyarakat dalam sebuah negara atau bahkan dalam konsep yang lebih luas lagi adalah umat Islam. Oleh karenanya, diperlukan sebuah fatwa agar umat Islam tidak terpecah belah.
Dalam suratnya, ia membeberkan tiga bidang yang dapat digarap sekaitan dengan masalah persatuan fiqih ini; tujuan-tujuan syariat, sosial dan negara. Dalam tulisan ini hanya akan membahas masalah syariat. Dan sebagai usulannya, Imam Musa Shadr mengajak untuk membicarakan sebuah usulan mengenai masalah penentuan hari raya Idul fitri. Ia mengajak Mufti Lebanon untuk memakai alat teropong dan lainnya untuk menentukan munculnya hilal. Dengan ini, diharapkan seluruh kaum muslimin di Lebanon merayakan lebaran secara bersamaan.
Menurutnya, hanya ada satu hari raya akan sangat menghemat waktu, pikiran, tenaga dan materi. Hari libur juga menjadi jelas dan anjang sana ke sanak famili tidak punya masalah. Berbilangnya hari raya bagi umat Islam bukan sebuah maslahat.
Tentunya, usulan Imam Musa Shadr ini bukan harga mati dan tidak boleh ada kesepakatan mengenai penentuan hilal dengan menggunakan cara ru’yat. Itu boleh-boleh saja, namun harus sesuai dengan kesepakatan yang akhirnya sama dengan cara sebelumnya. Cara silahkan dipilih, namun menurut Imam Musa Shadr yang terpenting adalah ketika mengeluarkan keputusan hari raya hanya satu.
Tahun 1970 Imam Musa Shadr mengikuti konferensi tahunan Majma Buhuts Islami dan menyampaikan ide-idenya tentang persatuan fiqih. Dalam menjawab pertanyaan wartawan majalah al-Mushawwir cetakan Kairo tentang persatuan antar mazhab ia menjawab:
“... Masalah ini akan terwujud setelah diterapkannya konsep persatuan fiqih. Hanya dengan dialog dan pembahasan kosong antara para pemimpin mazhab, harapan persatuan antara mazhab tidak akan terwujud. Karena mazhab telah terpatri dalam jiwa setiap pengikutnya. Saya sangat berharap dari Majma yang anggotanya dari ulama besar Islam dapat mewujudkan persatuan fiqih ini...”[11]
Setiap kali mengikuti konferensi Majma Buhuts Islami, Imam Musa Shadr senantiasa menyampaikan ide-idenya tentang persatuan fiqih. Konferensi ke enam yang dilaksanakan tanggal 19 April 1971 diikutinya juga. Setelah konferensi, dalam pertemuannya dengan para tokoh dan kalangan militer Mesir di terusan Suez ia menekankan lagi masalah persatuan umat Islam dan khususnya ide persatuan fiqih selain menjelaskan pentingnya jihad melawan rezim Zionis. Konferensi ke tujuh dilaksanakan di Aljazair. Di sana ketika diwawancarai oleh majalah al-Mujahid ia kembali menjelaskan idenya tentang persatuan fiqih.[12]
Penerapan persatuan fiqih
Usaha-usaha yang dilakukan oleh Imam Musa Shadr untuk merealisasikan persatuan fiqih sangat banyak. Ada beberapa contoh yang dapat disebutkan:
1. Orang-orang Syiah Lebanon tidak punya masjid untuk melakukan salat Jumat. Setelah didirikannya Majelis Tertinggi Syiah Lebanon, Imam Musa Shadr berhasil meminta kepada tokoh-tokoh Ahli Sunah untuk melaksanakan salat Jumat secara bergantian. Seminggu yang mengimami dari Ahli Sunah dan seminggu kemudian dari Syiah. Pelaksanaan salat Jumat ini disiarkan langsung oleh radio Lebanon.
Suatu waktu, hari Jumat bertepatan dengan hari Idul Ghadir. Imam Musa Shadr mengadakan acara yang meriah. Ia mengundang ulama Ahli Sunah untuk hadir. Salah satu dari mereka Syaikh Abdullah ‘Alaili diminta untuk menyampaikan ceramah. Syaikh ‘Alaili dalam ceramahnya menyinggung hadis Ghadir dan mengatakan bahwa hadis ini merupakan hadis qath’i.
2. Presiden Lebanon setiap tahunnya mengundang tokoh-tokoh agama untuk berbuka bersama. Sebagai ketua Majelis Tertinggi Syiah, Imam Musa Shadr diundang untuk hadir. Waktu berbuka puasa antara Syiah dan Ahli Sunah berbeda sedikit. Syiah berbuka beberapa menit setelah matahari terbenam. Sementara Ahli Sunah berbuka ketika matahari terbenam. Perbedaan ini cukup mencemaskan tuan rumah karena khawatir akan muncul keributan.
Ketika matahari terbenam, Imam Musa Shadr mengambil segelas teh. Semua yang hadir melihat perilaku Imam Musa Shadr dan merasa heran. Satu tangannya yang lain diangkatnya ke atas dan mulai berdoa. Imam Musa Shadr berdoa dan hadirin mengucapkan amin. Doa dilakukan sehingga masuk waktu berbuka puasa bagi orang-orang Syiah. Setelah berdoa, dengan tersenyum ia mengucapkan “Allahumma Laka Shumtu Wa Ala Rizqika Afthartu Wa Alaika Tawakkaltu” dan meminum tehnya.
3. Imam Musa Shadr melakukan perjalanan ke Iran untuk menyambangi teman-temannya. Tentang pengalamannya ia berkata: “Aku bak seorang veteran perang yang kembali dari medan pertempuran. Allah menganugerahkan tempat kerjaku berdekatan dengan musuh. Aku berada di garis depan berhadapan dengan musuh. Aku melihat dari dekat serangan dan perusakan musuh”.
Ia mengatakan bahwa salah masalah terbesar masyarakat Syiah adalah berbilangnya marja. Ketika Marja Ayatullah Hakim pergi menunaikan haji dan pesawat yang membawanya melewati Lebanon, saya bertanya kepada presiden Lebanon. Mengapa engkau tidak mengucapkan pesan kepadanya, padahal ia adalah pemimpin Syiah. Sementara engkau memberikan pesan penghormatan kepada Paus pemimpin Katolik? Presiden menjawab: “Paus adalah sebuah jabatan resmi dan di Lebanon ia punya duta besar begitu juga kami punya duta di Vatikan.
Ayatullah Hakim dan para marja yang lain tidak diakui secara resmi dan buka satu sehingga kami bisa bersikap dengan jelas. Saya tidak menyampaikan pesan penghormatan karena ini dan bukan karena tidak menghormati.
Penutup
Konsep persatuan fiqih adalah sebuah pandangan paling berani dalam usaha mempersatukan umat Islam. Persatuan fiqih merupakan jembatan antara Taqrib dan Wahdah. Usaha pendekatan antara mazhab saja tidak akan pernah bisa menghasilkan persatuan antara mazhab, apa lagi persatuan umat Islam. Ini tidak berarti bahwa usaha pendekatan antar mazhab yang selama ini tidak memiliki arti, namun dengan melihat tujuan Taqrib itu sendiri menjadi sangat sulit mewujudkan persatuan mazhab.
Wahdah akan terwujudkan bila persatuan fiqih menjadi kenyataan. Kendala terbesar dari persatuan adalah masih terikatnya setiap pengikut mazhab dengan fatwa ulamanya. Sementara itu, bila fatwa yang akan diamalkan telah menjadi satu, maka sikap yang akan diambil juga tidak mendua.
Lebih dari itu, konsep persatuan fiqih akan menjadi landasan yang baik dalam kajian-kajian fiqih lintas mazhab yang sedang berkembang di Indonesia. Tanpa menjadikan persatuan fiqih sebagai dasar pemikirannya, studi fiqih lintas mazhab hanya daur ulang apa yang telah dilakukan ulama sebelumnya dengan menempelkan sejumlah istilah-istilah baru.
Sumber:
1. Imam Musa Shadr Soroushe Vahdat, Abdurrahim Aba Zari, Teheran, 1383 HS.
2. Mardi Keh Zendeh Mi Manad, Hassan Mowla Dust, Qom, 1384 HS.
3. Majmuah Maqalat Farsi Kongreye Bainul Milali Bozorg Dasht Allamah Syarafuddin, vol 3, Qom, 1385 HS.
4. CD Syarh Shadr, memuat pemikiran dan sejarah Imam Musa Shadr, Mashad, Muasseseh Farhanggi Narm Afzar Arman.
5. Situs Imam Musa Shadr www.imamsadr.ir
Qom, 7 April 2007
[1] . Sesuai dengan data yang tertulis di KTP.
[2] . Syahid Mustafa Chamran, Lebanon, hal 95.
[3] . Mustafa Chamran, Lebanon, hal 146.
[4] . Ibid, hal 150.
[5] . Ibid, hal 151.
[6] . Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai mogok makan Imam Musa Shadr agar terjadi perdamaian di Lebanon, silahkan melihat buku “Imam Musa Shadr; Umid Mahruman”, Abdurrahim Abazari.
[7] . Ibid, hal 182.
[8] . Al-Imam Musa Shadr; ar-Rajul, al-Mauqif, al-Qadhiyah, Beirut, hal 184.
[9] . Al-Murajaat, surat ke empat.
[10] . Surat itu dimuat oleh surat kabar al-Muharrir Lebanon tanggal 19 Oktober 1969.
[11] . Teks lengkapnya di muat oleh harian al-anwar Beirut tanggal 7 Maret 1970.
[12] . Majalah al-Mujahid cetakan Aljazair, vol 678, 1973.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar