Selasa, 30 Januari 2007
Senin, 29 Januari 2007
Peran Wanita Di Karbala
Peran Wanita Di Karbala
Saleh Lapadi
Peristiwa pembantaian di padang pasir Karbala adalah sebuah pertarungan antara kebenaran dan kebatilan. Dalam peristiwa itu, Imam Husein as dengan rombongannya berhasil mendemonstrasikan secara sempurna simbol-simbol asli agama. Dengan indah sebuah ketaatan terhadap pemimpin diperankan oleh sahabat-sahabat, kaum kerabat, wanita dan anak-anak. Kesabaran menjadi tulang punggung pertunjukkan kebenaran. Amar makruf dan nahi mungkar tidak pernah lepas dari sikap dan tindakan.
Setiap variabel yang ada saling mendukung sehingga berhasil memunculkan sebuah adegan paling dramatik dalam sejarah kehidupan manusia. Ali Asghar bayi yang masih menyusui dengan indah memainkan perannya sehingga siapa saja yang mendengar kisah itu bakal tersentuh hatinya. Ada anak-anak seperti Abdullah yang akhirnya merenggut cawan kesahidan berdampingan dengan Imam Husein as. Ada seorang anak remaja yang bernama Qasim. Seorang remaja tampan yang wajah dan perilakunya paling mirip Nabi Muhammad saw. Setiap sahabat yang merindukan Nabi, pasti akan mencarinya untuk memuaskan kerinduannya. Pemuda, wanita dan orang-orang tua semuanya memainkan perannya dengan sempurna.
Ketika setiap pribadi yang hadir di Karbala memainkan perannya dengan sempurna, maka yang menjadi pertanyaan adalah apa peran para wanita di Karbala. Mungkinkah kita dapat mencari hubungan antara sikap dan tindakan wanita dengan pemimpinnya (Imamah)? Dalam kondisi bingung karena perang yang berkecamuk, bagaimana mereka memainkan perannya sebagai istri yang melihat jasad suaminya dibantai? Pada saat yang bersamaan mereka juga harus bersikap sebagai seorang ibu dan saudara. Peran yang sangat sulit dibebankan kepada mereka. Namun, itulah Karbala. Para wanita yang lemah dari sisi fisik, mampu membalik keadaan. Kekalahan fisik yang dialami oleh rombongan Asyura dibalik menjadi kemenangan. Mereka menggantikan kekerasan dengan cinta. Mereka menggantikan materi dengan maknawiyah. Keserakahan dengan pengorbanan.
Prolog
Memahami peran wanita di Karbala tidak sesulit yang dibayangkan. Peran itu akan terungkap dengan memulainya dari beberapa pertanyaan. Apa sebenarnya tujuan keberangkatan Husein ke Karbala? Pendekatan apa yang dipakai oleh Imam Husein as untuk menggolkan tujuannya? Seperti apa usaha Imam Husein as untuk memobilisasi orang-orang untuk mendukung idenya? Media seperti apa yang dimilikinya untuk memublikasikan perjuangannya? Ini merupakan sejumlah pertanyaan yang dapat menyingkap peran wanita dalam peristiwa Karbala.
Sejarah mencatat bahwa alat publikasi hanya dimiliki oleh penguasa. Imam Husein as dengan tangan kosong memasuki kawasan Karbala. Bisa dibayangkan bahwa bila dalam peperangan di Karbala Imam Husein as menang, itu tidak dapat berbuat banyak dalam mengubah keadaan. Karena media dipegang oleh penguasa dan dengan mudah mereka akan meniup isu baru untuk melenyapkan kabar kemenangan itu. Atau dengan jumlah yang lebih besar, Yazid akan mengirim pasukan untuk membasmi Imam Husein as. Apa lagi bila Imam Husein as mengalami kekalahan. Padahal pesan Karbala harus sampai kepada setiap manusia merdeka. Kawasan padang pasir Karbala tidak boleh menjadi kuburan perjuangan Imam Husein as. Padang Karbala harus menjadi titik tolak penyebaran pesan Karbala. Untuk itu, diperlukan media yang dapat mengantarkan pesan Asyura ke setiap penjuru dunia.
Imam Husein as memerlukan media untuk menyampaikan pesannya. Kepergiannya bukan untuk kepentingan pribadi. Ia menuju Kufah untuk menegakkan agama kakeknya. Amar makruf dan nahi mungkar menjadi landasan revolusi Husein.
Di sisi lain, masyarakat hanya mengetahui bahwa penguasa adalah lambang kebenaran. Karena mereka telah menggagahi konsep khalifatullah untuk kepentingan mereka. Setiap yang menjadi khalifah adalah wakil Tuhan di bumi. Dan pada saat yang sama, dengan memakai topeng khalifah mereka hendak menghancurkan agama.
Untuk melakukan pencerahan, perlu cara yang tepat. Imam Husein as dengan cerdik membaca semua itu dan memikirkan cara terbaik untuk melawan penguasa yang tidak saja korup, tapi juga berkeinginan untuk menghapus agama. Di sini konsep Imamah menjadi penting. Dalam sejarah, kecerdikan setiap Imam dalam merespon dan menyikapi masyarakat dan kondisi yang dihadapinya membuat agama selamat sampai ke tangan kita. Wilayah menjadi rahasia besar mengapa agama tidak dapat dipisahkan dari politik.
Itulah salah satu alasan mengapa Imam Husein as membawa besertanya anak-anak dan wanita. Anak-anak dan wanita merupakan pelanjut dan media untuk menjelaskan apa sebenarnya yang terjadi. Sejarah mencatat hanya dalam jangka waktu yang tidak lama. Dimulai dari Karbala hingga sampai di istana Yazid, berapa banyak orang yang tersadarkan dengan ucapan-ucapan anak-anak. Bagaimana di tengah kerumunan orang, Zainab al-Kubra as saudara Imam Husein as bangkit dengan lantang berpidato yang membuat orang-orang tercengang bahwa apa yang selama ini terjadi hanya permainan media penguasa. Itulah mengapa disebutkan bahwa Husein sebagai yang memulai revolusi Karbala, tapi Zainab yang mengekalkannya hingga hari ini.
Disain Asyura
Untuk menghadapi musuh, Imam Husein as memanfaatkan semua kemampuan dan potensi yang ada. Tanpa diragukan salah satunya adalah wanita.
Islam muncul dan memberikan cara pandang baru kepada manusia tentang wanita. Pada zaman Nabi, wanita bersikap aktif, berperan dan ikut andil dalam perjalanan sejarah Islam. Di zaman Yazid, wanita mulai dikembalikan perannya seperti zaman jahiliah. Saat itu wanita dianggap sebagai ongkos dan bukan modal. Wanita hanya dilihat sebagai alat dan bukan makhluk yang berpikir dan memiliki loyalitas. Wanita balik kembali menjadi alat tanpa kehendak dan bukan manusia yang independen. Mampu mengambil sikap sendiri. Imam Husein as membawa besertanya para wanita untuk sekali mengembalikan nilai-nilai wanita yang diperjuangkan oleh kakeknya.
Kembali pada masalah Karbala. Setiap revolusi memiliki dua sisi. Filsafat yang mendasarinya dan metode yang dipakai untuk melakukan revolusi. Ketika mendisain Karbala, Imam Husein as juga telah memikirkannya. Imam membagi dua; syahadah dan atau tertawan. Wanita memainkan perannya pada edisi kedua Karbala, menjadi tawanan.
Tepat sore harinya ketika Imam Husein as menemui syahadah, Zainab menerima tongkat estafet pesan risalah Karbala. Pesan yang harus disampaikannya kepada dunia. Dengan mantap dan tanpa ada keraguan sedikit pun, Zainab mulai melakukan tugasnya. Ia senantiasa mengajukan pertanyaan dan membongkar apa yang sesungguhnya terjadi di Karbala. Pasukan Yazid yang menawan Zainab dan para wanita dan anak-anak, terpaksa hanya bisa menjawab dengan terbata-bata. Mereka lemah di hadapan Zainab. Rombongan Imam Husein as memang lemah dari sisi jumlah, namun kekuatan Zainab sang public relation Karbala mampu membalikkan keadaan. Yazid dan antek-antek terpaksa tidak dapat berbuat banyak di bawah sorotan mata rakyat yang meminta penjelasan dan pertanggungjawabannya. Pada akhirnya, Yazid malah menyalahkan komandan pasukannya di Karbala.
Zainab al-Kubra dengan diplomasi cerdas mampu membalikkan keadaan. Ia berhasil membuat penguasa mati kutu dan hanya bisa menjawab dan memberikan pertanggungan jawab di hadapan khalayak ramai. Rakyat juga akhirnya mengetahui bahwa Yazid dan antek-anteknya sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam peristiwa ini.
Tiga hal yang menjadi tugas Zainab al-Kubra. Dan ketiga-tiganya dilaksanakan dengan baik dan sempurna. Tugasnya adalah:
1. Memperkenalkan siapa pemimpin yang sebenarnya dengan jalan menyiapkan informasi lebih lanjut kepada masyarakat.
2. Mengevaluasi perilaku Yazid dan antek-anteknya sebelum dan sesudah peristiwa Karbala.
3. Mencerahkan rakyat dengan menjelaskan kebijakan dan niat buruk penguasa.
Wanita dan Karbala
1. Pembelaan sebelum terjadi peristiwa Karbala.
Sejarah Karbala sebuah sejarah yang memiliki kekhususannya sendiri. Sejarah yang penuh dengan cinta, ubudiah dan pengorbanan. Para wanita memainkan peran yang sangat penting. Mariah, seorang wanita dari kabilah Abdul Qais. Rumahnya, di Kufah, biasa dipakai sebagai tempat kumpul orang-orang yang mencintai Ahlul Bait as. Ketika mendapat kabar bahwa Imam Husein as telah sampai di Karbala, ia memerintahkan kepada laki-laki yang biasa hadir di rumahnya untuk membantu Imam Husein as.[1]
Mereka yang berani menolong utusan Imam Husein as, Muslim bin Aqil hanyalah wanita. Thau’ah ibu dari Walad, istri dari Asid al-Hadhrami yang memberikan tempat berlindung.[2]
Dalhum binti Amr, istri dari Zahir bin Qais, memarahi suaminya yang menolak bertemu dengan Imam Husein as ketika didatangi oleh utusannya. Mendengar itu, istrinya langsung memaksanya untuk menemui Imam Husein as. “Mengapa engkau menolak diajak oleh anak Rasulllah? Pergi dan dengarkan apa katanya! Begitu yang diucapkan oleh istrinya.[3] Setelah menemui Imam Husein as ia menceritakan apa yang terjadi. Ia akan bergabung dengan pasukan Imam Husein as. Istrinya sangat bahagia mendengar keputusannya itu.
Saleh Lapadi
Peristiwa pembantaian di padang pasir Karbala adalah sebuah pertarungan antara kebenaran dan kebatilan. Dalam peristiwa itu, Imam Husein as dengan rombongannya berhasil mendemonstrasikan secara sempurna simbol-simbol asli agama. Dengan indah sebuah ketaatan terhadap pemimpin diperankan oleh sahabat-sahabat, kaum kerabat, wanita dan anak-anak. Kesabaran menjadi tulang punggung pertunjukkan kebenaran. Amar makruf dan nahi mungkar tidak pernah lepas dari sikap dan tindakan.
Setiap variabel yang ada saling mendukung sehingga berhasil memunculkan sebuah adegan paling dramatik dalam sejarah kehidupan manusia. Ali Asghar bayi yang masih menyusui dengan indah memainkan perannya sehingga siapa saja yang mendengar kisah itu bakal tersentuh hatinya. Ada anak-anak seperti Abdullah yang akhirnya merenggut cawan kesahidan berdampingan dengan Imam Husein as. Ada seorang anak remaja yang bernama Qasim. Seorang remaja tampan yang wajah dan perilakunya paling mirip Nabi Muhammad saw. Setiap sahabat yang merindukan Nabi, pasti akan mencarinya untuk memuaskan kerinduannya. Pemuda, wanita dan orang-orang tua semuanya memainkan perannya dengan sempurna.
Ketika setiap pribadi yang hadir di Karbala memainkan perannya dengan sempurna, maka yang menjadi pertanyaan adalah apa peran para wanita di Karbala. Mungkinkah kita dapat mencari hubungan antara sikap dan tindakan wanita dengan pemimpinnya (Imamah)? Dalam kondisi bingung karena perang yang berkecamuk, bagaimana mereka memainkan perannya sebagai istri yang melihat jasad suaminya dibantai? Pada saat yang bersamaan mereka juga harus bersikap sebagai seorang ibu dan saudara. Peran yang sangat sulit dibebankan kepada mereka. Namun, itulah Karbala. Para wanita yang lemah dari sisi fisik, mampu membalik keadaan. Kekalahan fisik yang dialami oleh rombongan Asyura dibalik menjadi kemenangan. Mereka menggantikan kekerasan dengan cinta. Mereka menggantikan materi dengan maknawiyah. Keserakahan dengan pengorbanan.
Prolog
Memahami peran wanita di Karbala tidak sesulit yang dibayangkan. Peran itu akan terungkap dengan memulainya dari beberapa pertanyaan. Apa sebenarnya tujuan keberangkatan Husein ke Karbala? Pendekatan apa yang dipakai oleh Imam Husein as untuk menggolkan tujuannya? Seperti apa usaha Imam Husein as untuk memobilisasi orang-orang untuk mendukung idenya? Media seperti apa yang dimilikinya untuk memublikasikan perjuangannya? Ini merupakan sejumlah pertanyaan yang dapat menyingkap peran wanita dalam peristiwa Karbala.
Sejarah mencatat bahwa alat publikasi hanya dimiliki oleh penguasa. Imam Husein as dengan tangan kosong memasuki kawasan Karbala. Bisa dibayangkan bahwa bila dalam peperangan di Karbala Imam Husein as menang, itu tidak dapat berbuat banyak dalam mengubah keadaan. Karena media dipegang oleh penguasa dan dengan mudah mereka akan meniup isu baru untuk melenyapkan kabar kemenangan itu. Atau dengan jumlah yang lebih besar, Yazid akan mengirim pasukan untuk membasmi Imam Husein as. Apa lagi bila Imam Husein as mengalami kekalahan. Padahal pesan Karbala harus sampai kepada setiap manusia merdeka. Kawasan padang pasir Karbala tidak boleh menjadi kuburan perjuangan Imam Husein as. Padang Karbala harus menjadi titik tolak penyebaran pesan Karbala. Untuk itu, diperlukan media yang dapat mengantarkan pesan Asyura ke setiap penjuru dunia.
Imam Husein as memerlukan media untuk menyampaikan pesannya. Kepergiannya bukan untuk kepentingan pribadi. Ia menuju Kufah untuk menegakkan agama kakeknya. Amar makruf dan nahi mungkar menjadi landasan revolusi Husein.
Di sisi lain, masyarakat hanya mengetahui bahwa penguasa adalah lambang kebenaran. Karena mereka telah menggagahi konsep khalifatullah untuk kepentingan mereka. Setiap yang menjadi khalifah adalah wakil Tuhan di bumi. Dan pada saat yang sama, dengan memakai topeng khalifah mereka hendak menghancurkan agama.
Untuk melakukan pencerahan, perlu cara yang tepat. Imam Husein as dengan cerdik membaca semua itu dan memikirkan cara terbaik untuk melawan penguasa yang tidak saja korup, tapi juga berkeinginan untuk menghapus agama. Di sini konsep Imamah menjadi penting. Dalam sejarah, kecerdikan setiap Imam dalam merespon dan menyikapi masyarakat dan kondisi yang dihadapinya membuat agama selamat sampai ke tangan kita. Wilayah menjadi rahasia besar mengapa agama tidak dapat dipisahkan dari politik.
Itulah salah satu alasan mengapa Imam Husein as membawa besertanya anak-anak dan wanita. Anak-anak dan wanita merupakan pelanjut dan media untuk menjelaskan apa sebenarnya yang terjadi. Sejarah mencatat hanya dalam jangka waktu yang tidak lama. Dimulai dari Karbala hingga sampai di istana Yazid, berapa banyak orang yang tersadarkan dengan ucapan-ucapan anak-anak. Bagaimana di tengah kerumunan orang, Zainab al-Kubra as saudara Imam Husein as bangkit dengan lantang berpidato yang membuat orang-orang tercengang bahwa apa yang selama ini terjadi hanya permainan media penguasa. Itulah mengapa disebutkan bahwa Husein sebagai yang memulai revolusi Karbala, tapi Zainab yang mengekalkannya hingga hari ini.
Disain Asyura
Untuk menghadapi musuh, Imam Husein as memanfaatkan semua kemampuan dan potensi yang ada. Tanpa diragukan salah satunya adalah wanita.
Islam muncul dan memberikan cara pandang baru kepada manusia tentang wanita. Pada zaman Nabi, wanita bersikap aktif, berperan dan ikut andil dalam perjalanan sejarah Islam. Di zaman Yazid, wanita mulai dikembalikan perannya seperti zaman jahiliah. Saat itu wanita dianggap sebagai ongkos dan bukan modal. Wanita hanya dilihat sebagai alat dan bukan makhluk yang berpikir dan memiliki loyalitas. Wanita balik kembali menjadi alat tanpa kehendak dan bukan manusia yang independen. Mampu mengambil sikap sendiri. Imam Husein as membawa besertanya para wanita untuk sekali mengembalikan nilai-nilai wanita yang diperjuangkan oleh kakeknya.
Kembali pada masalah Karbala. Setiap revolusi memiliki dua sisi. Filsafat yang mendasarinya dan metode yang dipakai untuk melakukan revolusi. Ketika mendisain Karbala, Imam Husein as juga telah memikirkannya. Imam membagi dua; syahadah dan atau tertawan. Wanita memainkan perannya pada edisi kedua Karbala, menjadi tawanan.
Tepat sore harinya ketika Imam Husein as menemui syahadah, Zainab menerima tongkat estafet pesan risalah Karbala. Pesan yang harus disampaikannya kepada dunia. Dengan mantap dan tanpa ada keraguan sedikit pun, Zainab mulai melakukan tugasnya. Ia senantiasa mengajukan pertanyaan dan membongkar apa yang sesungguhnya terjadi di Karbala. Pasukan Yazid yang menawan Zainab dan para wanita dan anak-anak, terpaksa hanya bisa menjawab dengan terbata-bata. Mereka lemah di hadapan Zainab. Rombongan Imam Husein as memang lemah dari sisi jumlah, namun kekuatan Zainab sang public relation Karbala mampu membalikkan keadaan. Yazid dan antek-antek terpaksa tidak dapat berbuat banyak di bawah sorotan mata rakyat yang meminta penjelasan dan pertanggungjawabannya. Pada akhirnya, Yazid malah menyalahkan komandan pasukannya di Karbala.
Zainab al-Kubra dengan diplomasi cerdas mampu membalikkan keadaan. Ia berhasil membuat penguasa mati kutu dan hanya bisa menjawab dan memberikan pertanggungan jawab di hadapan khalayak ramai. Rakyat juga akhirnya mengetahui bahwa Yazid dan antek-anteknya sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam peristiwa ini.
Tiga hal yang menjadi tugas Zainab al-Kubra. Dan ketiga-tiganya dilaksanakan dengan baik dan sempurna. Tugasnya adalah:
1. Memperkenalkan siapa pemimpin yang sebenarnya dengan jalan menyiapkan informasi lebih lanjut kepada masyarakat.
2. Mengevaluasi perilaku Yazid dan antek-anteknya sebelum dan sesudah peristiwa Karbala.
3. Mencerahkan rakyat dengan menjelaskan kebijakan dan niat buruk penguasa.
Wanita dan Karbala
1. Pembelaan sebelum terjadi peristiwa Karbala.
Sejarah Karbala sebuah sejarah yang memiliki kekhususannya sendiri. Sejarah yang penuh dengan cinta, ubudiah dan pengorbanan. Para wanita memainkan peran yang sangat penting. Mariah, seorang wanita dari kabilah Abdul Qais. Rumahnya, di Kufah, biasa dipakai sebagai tempat kumpul orang-orang yang mencintai Ahlul Bait as. Ketika mendapat kabar bahwa Imam Husein as telah sampai di Karbala, ia memerintahkan kepada laki-laki yang biasa hadir di rumahnya untuk membantu Imam Husein as.[1]
Mereka yang berani menolong utusan Imam Husein as, Muslim bin Aqil hanyalah wanita. Thau’ah ibu dari Walad, istri dari Asid al-Hadhrami yang memberikan tempat berlindung.[2]
Dalhum binti Amr, istri dari Zahir bin Qais, memarahi suaminya yang menolak bertemu dengan Imam Husein as ketika didatangi oleh utusannya. Mendengar itu, istrinya langsung memaksanya untuk menemui Imam Husein as. “Mengapa engkau menolak diajak oleh anak Rasulllah? Pergi dan dengarkan apa katanya! Begitu yang diucapkan oleh istrinya.[3] Setelah menemui Imam Husein as ia menceritakan apa yang terjadi. Ia akan bergabung dengan pasukan Imam Husein as. Istrinya sangat bahagia mendengar keputusannya itu.
2. Pembelaan di Karbala.
Peristiwa yang paling menggiriskan hati adalah ketika di Karbala. Padang pasir Karbala pada tanggal 10, mulai dari pagi hingga sore hari, menyaksikan pembantaian cucu Nabi. Para wanita juga melakukan tugasnya dengan baik.
Pada malam harinya tanggal 9 Muharam, Imam Husein as mengumpulkan sahabat-sahabatnya. Beliau mempersilahkan para sahabatnya untuk pergi meninggalkannya seorang diri. Karena musuh hanya mencarinya saja. Namun, mereka satu-satu menunjukkan sikap kekesatriaannya dan tidak bergeming dari niat sebelumnya, bersama cucu Rasulullah hingga titik darah penghabisan. Karena mereka bertahan, Imam Husein as meminta kepada mereka yang ikut bersama istrinya untuk membawa istrinya ke tempat yang aman. Sementara keluarga Imam Husein as tetap bersamanya di Karbala. Di sini, Imam Husein as tidak membawa anak-anak dan wanita dari keluarganya. Karena mereka adalah pembawa pesan Karbala.
Salah seorang sahabat bernama Ali bin Mazhahir kembali ke kemahnya, ia disapa oleh istrinya. ‘Apa yang dibicarakan oleh Imam Husein as?, tanyanya. Ali menyampaikan apa yang dikatakan oleh Imam Husein as. Seketika ia menangis tersedu-sedu. Ia berkata: “Wahai anak Mazhahiri! Engkau tidak bersikap adil terhadapku. Engkau ingin masuk surga seorang diri tanpaku”. Ali tidak tahan mendengar ucapan istrinya. Ia menemui Imam Husein as dan menyampaikan apa yang terjadi. Ia berkata: “Wahai Ibn Rasulullah! Istriku tidak bersedia dibawa ke tempat aman”. Sebelum Imam menjawab, tiba-tiba terdengar suara tangisan keras di balik kemah. Ia berkata: “Wahai anak Fathimah! Apakah kami tidak layak untuk membantu anak-anak dan saudara-saudaramu?”[4]
3. Pembelaan setelah peristiwa Karbala.
Topi Imam Husein as, pengalas topi perangnya, berasal dari kulit. Seseorang mengambilnya dan dibawa pulang. Topi itu dicuci karena terkena darah Imam Husein as. Istrinya, Ummu Abdillah, berkata: “Mengapa engkau mencuri pakaian cucu Rasullah dari anak perempuannya dan mencucinya di rumahku? Pergi! Keluar dari rumah ini![5]
Salah satu dari anggota pasukan Umar bin Saad bernama Khuli bin Yazid, membawa pulang kepala Imam Husein as ke rumahnya. Hal itu dilakukan karena pintu istana Ubaidillah tertutup ia terpaksa membawanya ke rumahnya. Ia meletakkan kepala Imam Husein as di rumah istri keduanya. Setelah meletakkan kepala Imam Husein as, ia mendekati istri keduanya, Nawwar dari kabilah Asad Hadhrami. Ketika ditanya oleh istrinya, ia menjawab bahwa ia membawa kejutan. Aku membawa kepala Husein dan kepala itu ada di rumahmu. Seketika istrinya berteriak dan menyuruhnya keluar dari rumah. Celakalah engkau yang telah membawa kepala cucu Rasulullah! Demi Allah! Aku tidak sudi bersamamu dalam satu atap. Ia berdiri dan keluar dari rumah sembari mengajak istri pertama.[6]
4. Pembelaan di Istana Yazid.
Ketika tawanan sampai di Syam, para tawanan dipersilahkan masuk ke dalam istana Yazid. Terlebih dahulu di sana telah ditancapkan kepala Imam Husein as di atas tombak. Zainab al-Kubra ketika memasuki ruangan dan melihat kepala saudaranya di ujung tombak, secara tiba-tiba langsung berteriak “Ya Husainaa.., Wahai kecintaan Allah! Wahai putra Mekkah dan Mina! Wahai putra Fathimah az-Sahra penghulu para wanita! Wahai putra dari anak wanita Musthafa![7]
Mendengar ratapan Zainab yang memilukan hati, semua yang hadir menangis tersedu-sedu. Yazid dan antek-anteknya hanya terdiam bungkam seribu bahasa. Zainab dengan cerdas memilih kata-kata yang memang pernah didengar oleh sebagin besar yang hadir. Hanya dengan beberapa ucapan, Zainab berhasil menguasai keadaan dan mengubahnya dari kebencian terhadap Husein menjadi kecintaan.
Epilog
Keberadaan wanita dalam menyukseskan misi Karbala memainkan peran yang sangat penting. Tidak memperhitungkan keberadaan mereka sama artinya dengan menafikan kesinambungan pesan Asyura. Pesan untuk umat manusia. Dan itu hanya dapat dilakukan oleh wanita.
[1] Abu Mikhnaf, Maqtal al-Husein, hal 18.
[2] . Ibid.
[3] . Ibid.
[4] . Muhammad Washif, Enghelab Mughaddas Husein as, 1386, hal 153.
[5] . Syaikh Abbas Qummi, Nafas al-Mahmum, Beirut, 1992, hal 132.
[6] . Ibid, hal 207.
[7] . Ibid, hal 13.
Qom 28 Januari 2007
Diposting oleh Saleh Lapadi di 12.19 0 komentar
Label: Artikel
Minggu, 28 Januari 2007
Ketika Kedudukan Menjadi Tujuan
Ketika Kedudukan Menjadi Tujuan[1]
Dalam sistem politik Islam, kedudukan, posisi dan jabatan hanya alat. Sementara tujuannya adalah pengaturan urusan masyarakat dan negara, pelayanan terhadap masyarakat, usaha sungguh-sungguh dan berkelanjutan, undang-undang yang dapat memberikan solusi bagi problem yang ada dan sebagai landasan bagi perkembangan baik dari sisi budaya, politik dan ekonomi.
Sistem politik Islam menganggap posisi, jabatan dan kedudukan sebagai sebuah keniscayaan. Kedudukan dan jabatan membantu mempercepat, mengatur dan mengembangkan potensi yang ada. Di sini, pengertian kedudukan sebagai alat dalam rangka pemanfaatan yang sehat atas kekuasaan.
Pemanfaatan yang demikian atas kedudukan dalam sistem politik Islam dapat terwujudkan dengan perubahan dan pendidikan etika politik dan etika manajemen dari dalam. Dengan ini diharapkan munculnya ketakwaan politik.
Dalam sistem politik Islam, kedudukan tidak boleh menjadi tujuan. Semua penyimpangan dan kemunduran berangkat dari cara pandang yang salah terhadap kedudukan. Akhir dari kesalahan cara pandang ini adalah terjerembab di pelukan hawa nafsu yang akhirnya menguasai seseorang atau kelompok. Ketidakmampuan memahami masalah ini dengan benar, menciptakan kebingungan ketika terjadi kontradiksi antara kebenaran dan kebatilan. Antara kebenaran dan kepentingan diri atau kelompok. Pada gilirannya hal ini mengakibatkan terjadinya pertentangan dengan agama. Cukup mengherankan, bahwa permusuhan terhadap agama biasanya dimulai dengan alasan keinginan dan perjuangan atas nama agama. Semua dimulai atas nama agama dan dunia.
Ketika kedudukan menjadi tujuan, semua instrumen yang dapat dipakai dapat dibenarkan. Ini merupakan semboyan semua sistem politik setan dari semua pemerintahan yang batil dari dahulu hingga sekarang. Semua sikap dan tindakan para penguasa yang memusuhi Islam menyesuaikan diri dengan konsep ini.
Pada peristiwa Karbala, pertentangan antara hak dan batil, dapat temukan pribadi-pribadi yang sebelumnya memiliki reputasi baik, terpuruk dalam mengambil sikap. Mereka menjadikan kedudukan sebagai tujuan. Terjerembab dalam kitiran hawa nafsu. Akhirnya, mereka harus menghadapi pribadi agung seperti Imam Husein as sebagai musuh. Orang-orang yang akhirnya namanya tercatat dalam sejarah sebagai manusia-manusia pengkhianat.
Umar bin Saad adalah salah satu contohnya. Dengan memilih kedudukan, ia membunuh kehidupannya. Umar bin Saad adalah anak dari Saad bin Waqqash, salah seorang panglima dan sahabat Nabi. Ia ikut bersama ayahnya dalam penaklukan Irak.[2]
Umar bin Saad memiliki latar belakang yang cemerlang. Ayahnya adalah salah satu sahabat besar Nabi. Ia sendiri dikenal sebagai orang ahli ibadah dan zuhud. Masyarakat sangat mempercayainya. Sebelum ikut memerangi Imam Husein as, ia adalah seorang yang tidak punya permusuhan dengan Ahlul Bait.
Kelemahan terbesar dari Umar bin Saad adalah kecintaannya akan kedudukan. Ia terlihat rapuh bila berhadapan dengan godaan kedudukan. Tidak ragu bahwa kelemahan yang dimilikinya lahir dari kurangnya pengetahuan dan pendidikan akhlak. Kekurangan ini membuat ia tidak mampu mencapai akhlak yang mulia dan kemantapan hati. Ia sama seperti orang-orang lain yang tidak memperhatikan usaha pencapaian kesempurnaan diri baik lewat studi-studi teoritis maupun praktis. Sehingga dengan itu, kelemahan-kelemahan yang selama ini dimiliki dapat dihilangkan dan diisi dengan akhlak mulia. Akhirnya, di hadapan kedudukan, ia sering lupa akan dirinya, kehilangan kontrol. Ia tidak mampu bertahan dari tawaran kedudukan dari penguasa Bani Umayah.
Umar bin Saad menjadikan kedudukan sebagai tujuan dan akhirnya menjual agamanya.
Sikap dan keputusan yang dipilihnya ini membuktikan bahwa ibadah dan zuhudnya juga baru pada tingkat permulaan yang belum memiliki landasan kokoh. Bila ibadah dan kezuhudan mengakar dalam pribadi seseorang, niscaya ia akan berubah dan sampai pada kebebasan maknawi dan akhlak mulia. Dengan ini, bukan hanya ia tidak dapat ditawan oleh kedudukan, ia dapat mengubah instrumen kedudukan ini untuk melayani tujuan. Bahkan lebih dari itu, ia tidak akan dapat dipengaruhi oleh hal-hal keduniaan.
Ubaidillah bin Ziyad menawarkan kedudukan sebagai gubernur Rey. Setelah menerima tawaran itu, Umar bin Saad siap untuk bergerak menyongsong kedudukan yang diinginkannya.
Ketika Imam Husein as sampai di Karbala, ternyata tawaran menjadi gubernur Rey punya konsekuensi. Ubaidillah memerintahkan ia untuk berhadap-hadapan dengan Imam Husein as. Ubaidillah berkata: “Segeralah pergi menemui Husein bin Ali! Bila pekerjaanmu telah selesai, engkau dapat pergi ke kota Rey”.
Sesaat Umar bin Saad termenung dan berpikir. Ia tidak pernah membayangkan bila konsekuensi yang harus dibayar sedemikian mahalnya. Ia harus berhadapan dengan Husein dan harus membunuhnya. Ia tidak mampu untuk berperang dengan anak Fathimah Zahra as. Seorang yang memiliki kepribadian agung dan suci. Sesaat setelah berpikir, ia menghadap Ubaidillah dan tidak menerima tawaran itu.
Ubaidillah menjawab penolakan itu: “Bila memang demikian keputusanmu, surat pengangkatanmu sebagai gubernur Rey harus engkau kembalikan!”[3]
Untuk ke sekian kalinya Umar tertunduk dan berpikir. Ia tidak ingin melepaskan kesempatan emas menjadi gubernur Rey begitu saja. Pada saat yang sama ia juga tidak ingin berperang dengan Imam Husein as. Akhirnya ia berkata kepada Ubaidillah: “Hari ini beri aku waktu untuk berkonsultasi dengan orang-orang yang aku baik. Setelah itu aku akan memberikan keputusan terakhir”.
Orang-orang yang diajaknya untuk bermusyawarah melarangnya untuk berperang dengan Imam Husein as. Keponakan perempuan dari adik perempuannya berkata: “Demi Allah! Jangan berperang dengan Imam Husein as! Harta dan kedudukan tidak lebih berharga dari darah Husein as. Bagaimana engkau akan menghadap Allah dengan darah Husein as?
Malam itu adalah malam paling sulit untuk Umar bin Saad. Dalam hatinya ia bergumam:
“Apakah aku harus mencampakkan kedudukan sebagai gubernur Rey yang selama ini kuimpi-impikan ataukah aku harus membunuh anak Fathimah? Membunuh Imam Husein as menjadi penyebab aku masuk neraka. Tapi, bagaimana aku dapat melepaskan begitu saja kedudukan sebagai gubernur Rey, yang dapat mengangkat derajatku?
Ketika matahari muncul di pagi hari, Umar pergi menemui Ubaidillah. Ia memohon agar orang lain yang dipilih dari Kufah untuk menghadapi Imam Husein as. Ubaidillah tidak menerima usulan Umar dan berkata: “Aku tidak menerima usulan orang-orang yang kau ajak konsultasi. Engkau hanya punya dua pilihan; pergi menghadapi Husein atau kembalikan surat pengangkatanmu sebagai gubernur Rey![4]
Umar akhirnya menerima tawaran itu dan bersama 4000 pasukan menuju Karbala.Ia sudah tidak sabar lagi untuk segera menjadi gubernur Rey. Di Karbala ia berusaha agar tidak perlu sampai ada pertumpahan darah. Ia mengirim seorang utusan kepada Imam Husein as. Dalam menjawab, Imam menjelaskan tentang surat-surat yang dilayangkan kepada beliau dari penduduk Kufah. Bila mereka berbalik dari niat sebelumnya dan tidak menginginkan saya ke Kufah, maka saya akan pulang.
Umar bin Saad menulis surat kepada Ubaidillah dan menjelaskan keinginan Imam Husein as. Ia juga menulis surat ke Kufah agar Ubaidillah tidak perlu untuk memerintahkan berperang dengan Imam Husein as. Ubaidillah mengetahui bahwa Umar bin Saad hanya ingin menghabiskan waktu dan tidak ingin berperang. Ia kemudian memanggil Syimr bin Dzil Jausyan untuk menghadapnya di istana dan menginformasikan semua tingkah laku Umar bin Saad berkenaan dengan Imam Husein as. Akhirnya, Ubaidillah mengambil keputusan untuk segera memerangi Imam Husein as. Dalam surat yang ditujukan kepada Umar bin Saad disebutkan bahwa bila ia tidak ingin melaksanakan perintah, maka pimpinan pasukan akan diberikan kepada Syimr. Karena Syimr pasti segera melaksanakan tugas yang diembannya.[5]
Umar bin Saad melihat bahwa dia tidak punya pilihan lain lagi untuk menahan jangan sampai terjadi pertempuran. Ia juga ingin tetap menjadi pimpinan pasukan. Akhirnya dia melakukan tindakan yang membuatnya sampai pada cita-cita sebelumnya. Menjadi penguasa di kota Rey. Dari sini, keinginannya semakin kuat untuk memerangi Imam Husein as.
Imam Husein as yang memahami perang batin yang dialami oleh Umar bin Saad memberikan dia sebuah kesempatan. Ia mengirimkan utusan kepada Umar bin Saad. Isi pesan adalah agar beliau dengan Umar dapat bertemu empat mata dan melakukan perundingan.
Ketika keduanya bertemu, Imam Husein as mengajaknya untuk meninggalkan pasukan Yazid dan bergabung dengannya. Imam Husein as berkata: ‘Wahai anak Saad! Apakah engkau tidak takut ketika kembali kepada Allah? Apakah engkau benar-benar ingin berperang denganku? Padahal engkau tahu benar siapa aku dan siapa ayahku? Apakah engkau tidak ingin bergabung denganku dan meninggalkan Bani Umayah? Bila engkau menerima saranku, itu akan membuatmu lebih dekat kepada Allah”.
Untuk menolak ajakan Imam Husein as, Umar mulai mengeluarkan sejumlah alasan. Ia berkata: “Bila aku menerima ajakanmu, mereka pasti akan merusak rumahku”. Imam Husein as menenangkannya dengan mengatakan bahwa ia akan memperbaiki kembali rumahnya. Lagi-lagi ia mencari alasan, mereka akan merampok semua hartaku. Imam Husein as memberikan jaminan bahwa ia akan menggantikannya lebih dari yang dirampok. Tidak cukup itu. Ia kemudian beralasan: “Bagaimana dengan anak dan istriku?
Imam Husein as melihat bahwa Umar bin Saad tidak bakal menerima tawarannya. Akhirnya beliau berkata dengan keras: “Mengapa engkau begitu taat dengan perintah setan dan bersikeras untuk mengamalkan bisikannya?” Imam Husein as mencela sikapnya dan menjelaskan apa yang bakal menimpanya dikemudikan hari lalu meninggalkannya. [6]
Antara Imam Husein as dan Umar bin Saad ada perundingan lain lagi. Dalam perundingan ini, Imam berkata: “Wahai anak Saad! Apakah engkau akan membunuh aku? Hanya dengan harapan Ubaidillah bin Ziyad, anak haram, akan menjadikanmu sebagai gubernur Rey? Demi Allah! Ubaidillah tidak akan pernah memberikan itu kepadamu...”[7]
Sesuai dengan perintah dari surat terakhir yang dikirim oleh Ubaidillah, Umar bin Saad harus menutup jalur air yang mengarah ke perkemahan Imam Husein as. Hal itu membuat rombongan Imam Husein as dalam kehausan. Umar bin Saad dengan melepas anak panah dari busurnya, mengumumkan bahwa peperangan telah dimulai. Ia berkata kepada pasukannya: “Kalian harus bersaksi di hadapan Ubaidillah bahwa aku adalah orang pertama yang melepaskan anak panahnya ke perkemahan Husein”.[8]
Tidak itu saja, ia juga melaksanakan perintah terakhir Ubaidillah. Perintahnya adalah ia dan pasukan berkuda berjalan dan menginjak-injak jasad Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya sehingga hancur tak dikenali.[9]
Dengan perbuatannya, Umar bin Saad yang semula bingung untuk memilih kedudukan dan bergabung dengan kebatilan dibandingkan dengan memilih ikut bersama Imam Husein as. Umar akhirnya memilih kedudukan yang dilihatnya sebagai tujuan. Dan karena kedudukan sebagai tujuan, maka segala cara ditempuhnya bahkan dengan membunuh Imam Husein as, putra Fathimah Zahra as. Umar memandang kedudukan sebagai tujuan dan keluar dari pemahaman yang benar dari kedudukan. Kedudukan adalah alat yang dapat melayani masyarakat. Pribadi yang lemah, pendidikan moral yang kurang dan ketiadaan cara pandang yang dalam tentang agama membuat ia tenggelam. Ia terseret arus kebatilan karena tak mampu membaca dengan benar, mana hak dan mana batil. Akhirnya, ia harus membunuh Imam Husein as, putra Fathimah Zahra as.
Bahaya kedudukan karena menganggapnya sebagai tujuan karena daya tariknya memang telah memakan banyak korban di sepanjang sejarah kehidupan manusia. Sebuah realita yang tidak dapat dipungkiri. Dan tidak bisa tinggal diam. Ini sebuah penyakit. Ia harus dikenali dan dikuasai agar tidak lepas kendali.
Orang-orang yang mengenal dengan baik filsafat dunia tidak akan terjerat. Mereka tahu bahwa kenikmatan dunia hanya sementara. Bila itu diyakini, kedudukan bagi mereka bukanlah tujuan. Karena ia bakal lenyap dan musnah. Kedudukan bukan sebuah tujuan. Ia hanya alat untuk melayani masyarakat. Kedudukan adalah alat untuk melawan hegemoni. Untuk membela ketidakadilan. Kedudukan adalah alat untuk menghilangkan kebejatan.
Orang-orang yang betul-betul memahami masalah ini sangat minoritas tapi ada dan hadir di tengah-tengah masyarakat. Mereka juga berperan serta dalam bidang politik dan pemerintahan. Dengan keikhlasan, moral dan kejujuran, mereka punya semangat untuk mewujudkan kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. [Saleh Lapadi]
[1] . Artikel koran Jomhouri-ye Eslami, edisi 7976. Judul asli “An gah keh Magam va Riasat ha Hadaf mi Shawad”.
[2] . Farhang Ashura, Javad Muhaddisi, Nashr Maruf, hal 353.
[3] . Naf sal-Mahmum, Abbas Qummi, hal 261.
[4] . Ibid, hal 262.
[5] . Irsyad, Mufid, jilid 2, hal 89-90.
[6] . Farhang Sukhanan Emam Husein as, hal 586.
[7] . Jala’u al-‘Uyun, Najisi, Bab ke 5, hal 660.
[8] . Irsyad, Mufid, jilid 2, hal 104.
[9] . Ibid, hal 118.
Dalam sistem politik Islam, kedudukan, posisi dan jabatan hanya alat. Sementara tujuannya adalah pengaturan urusan masyarakat dan negara, pelayanan terhadap masyarakat, usaha sungguh-sungguh dan berkelanjutan, undang-undang yang dapat memberikan solusi bagi problem yang ada dan sebagai landasan bagi perkembangan baik dari sisi budaya, politik dan ekonomi.
Sistem politik Islam menganggap posisi, jabatan dan kedudukan sebagai sebuah keniscayaan. Kedudukan dan jabatan membantu mempercepat, mengatur dan mengembangkan potensi yang ada. Di sini, pengertian kedudukan sebagai alat dalam rangka pemanfaatan yang sehat atas kekuasaan.
Pemanfaatan yang demikian atas kedudukan dalam sistem politik Islam dapat terwujudkan dengan perubahan dan pendidikan etika politik dan etika manajemen dari dalam. Dengan ini diharapkan munculnya ketakwaan politik.
Dalam sistem politik Islam, kedudukan tidak boleh menjadi tujuan. Semua penyimpangan dan kemunduran berangkat dari cara pandang yang salah terhadap kedudukan. Akhir dari kesalahan cara pandang ini adalah terjerembab di pelukan hawa nafsu yang akhirnya menguasai seseorang atau kelompok. Ketidakmampuan memahami masalah ini dengan benar, menciptakan kebingungan ketika terjadi kontradiksi antara kebenaran dan kebatilan. Antara kebenaran dan kepentingan diri atau kelompok. Pada gilirannya hal ini mengakibatkan terjadinya pertentangan dengan agama. Cukup mengherankan, bahwa permusuhan terhadap agama biasanya dimulai dengan alasan keinginan dan perjuangan atas nama agama. Semua dimulai atas nama agama dan dunia.
Ketika kedudukan menjadi tujuan, semua instrumen yang dapat dipakai dapat dibenarkan. Ini merupakan semboyan semua sistem politik setan dari semua pemerintahan yang batil dari dahulu hingga sekarang. Semua sikap dan tindakan para penguasa yang memusuhi Islam menyesuaikan diri dengan konsep ini.
Pada peristiwa Karbala, pertentangan antara hak dan batil, dapat temukan pribadi-pribadi yang sebelumnya memiliki reputasi baik, terpuruk dalam mengambil sikap. Mereka menjadikan kedudukan sebagai tujuan. Terjerembab dalam kitiran hawa nafsu. Akhirnya, mereka harus menghadapi pribadi agung seperti Imam Husein as sebagai musuh. Orang-orang yang akhirnya namanya tercatat dalam sejarah sebagai manusia-manusia pengkhianat.
Umar bin Saad adalah salah satu contohnya. Dengan memilih kedudukan, ia membunuh kehidupannya. Umar bin Saad adalah anak dari Saad bin Waqqash, salah seorang panglima dan sahabat Nabi. Ia ikut bersama ayahnya dalam penaklukan Irak.[2]
Umar bin Saad memiliki latar belakang yang cemerlang. Ayahnya adalah salah satu sahabat besar Nabi. Ia sendiri dikenal sebagai orang ahli ibadah dan zuhud. Masyarakat sangat mempercayainya. Sebelum ikut memerangi Imam Husein as, ia adalah seorang yang tidak punya permusuhan dengan Ahlul Bait.
Kelemahan terbesar dari Umar bin Saad adalah kecintaannya akan kedudukan. Ia terlihat rapuh bila berhadapan dengan godaan kedudukan. Tidak ragu bahwa kelemahan yang dimilikinya lahir dari kurangnya pengetahuan dan pendidikan akhlak. Kekurangan ini membuat ia tidak mampu mencapai akhlak yang mulia dan kemantapan hati. Ia sama seperti orang-orang lain yang tidak memperhatikan usaha pencapaian kesempurnaan diri baik lewat studi-studi teoritis maupun praktis. Sehingga dengan itu, kelemahan-kelemahan yang selama ini dimiliki dapat dihilangkan dan diisi dengan akhlak mulia. Akhirnya, di hadapan kedudukan, ia sering lupa akan dirinya, kehilangan kontrol. Ia tidak mampu bertahan dari tawaran kedudukan dari penguasa Bani Umayah.
Umar bin Saad menjadikan kedudukan sebagai tujuan dan akhirnya menjual agamanya.
Sikap dan keputusan yang dipilihnya ini membuktikan bahwa ibadah dan zuhudnya juga baru pada tingkat permulaan yang belum memiliki landasan kokoh. Bila ibadah dan kezuhudan mengakar dalam pribadi seseorang, niscaya ia akan berubah dan sampai pada kebebasan maknawi dan akhlak mulia. Dengan ini, bukan hanya ia tidak dapat ditawan oleh kedudukan, ia dapat mengubah instrumen kedudukan ini untuk melayani tujuan. Bahkan lebih dari itu, ia tidak akan dapat dipengaruhi oleh hal-hal keduniaan.
Ubaidillah bin Ziyad menawarkan kedudukan sebagai gubernur Rey. Setelah menerima tawaran itu, Umar bin Saad siap untuk bergerak menyongsong kedudukan yang diinginkannya.
Ketika Imam Husein as sampai di Karbala, ternyata tawaran menjadi gubernur Rey punya konsekuensi. Ubaidillah memerintahkan ia untuk berhadap-hadapan dengan Imam Husein as. Ubaidillah berkata: “Segeralah pergi menemui Husein bin Ali! Bila pekerjaanmu telah selesai, engkau dapat pergi ke kota Rey”.
Sesaat Umar bin Saad termenung dan berpikir. Ia tidak pernah membayangkan bila konsekuensi yang harus dibayar sedemikian mahalnya. Ia harus berhadapan dengan Husein dan harus membunuhnya. Ia tidak mampu untuk berperang dengan anak Fathimah Zahra as. Seorang yang memiliki kepribadian agung dan suci. Sesaat setelah berpikir, ia menghadap Ubaidillah dan tidak menerima tawaran itu.
Ubaidillah menjawab penolakan itu: “Bila memang demikian keputusanmu, surat pengangkatanmu sebagai gubernur Rey harus engkau kembalikan!”[3]
Untuk ke sekian kalinya Umar tertunduk dan berpikir. Ia tidak ingin melepaskan kesempatan emas menjadi gubernur Rey begitu saja. Pada saat yang sama ia juga tidak ingin berperang dengan Imam Husein as. Akhirnya ia berkata kepada Ubaidillah: “Hari ini beri aku waktu untuk berkonsultasi dengan orang-orang yang aku baik. Setelah itu aku akan memberikan keputusan terakhir”.
Orang-orang yang diajaknya untuk bermusyawarah melarangnya untuk berperang dengan Imam Husein as. Keponakan perempuan dari adik perempuannya berkata: “Demi Allah! Jangan berperang dengan Imam Husein as! Harta dan kedudukan tidak lebih berharga dari darah Husein as. Bagaimana engkau akan menghadap Allah dengan darah Husein as?
Malam itu adalah malam paling sulit untuk Umar bin Saad. Dalam hatinya ia bergumam:
“Apakah aku harus mencampakkan kedudukan sebagai gubernur Rey yang selama ini kuimpi-impikan ataukah aku harus membunuh anak Fathimah? Membunuh Imam Husein as menjadi penyebab aku masuk neraka. Tapi, bagaimana aku dapat melepaskan begitu saja kedudukan sebagai gubernur Rey, yang dapat mengangkat derajatku?
Ketika matahari muncul di pagi hari, Umar pergi menemui Ubaidillah. Ia memohon agar orang lain yang dipilih dari Kufah untuk menghadapi Imam Husein as. Ubaidillah tidak menerima usulan Umar dan berkata: “Aku tidak menerima usulan orang-orang yang kau ajak konsultasi. Engkau hanya punya dua pilihan; pergi menghadapi Husein atau kembalikan surat pengangkatanmu sebagai gubernur Rey![4]
Umar akhirnya menerima tawaran itu dan bersama 4000 pasukan menuju Karbala.Ia sudah tidak sabar lagi untuk segera menjadi gubernur Rey. Di Karbala ia berusaha agar tidak perlu sampai ada pertumpahan darah. Ia mengirim seorang utusan kepada Imam Husein as. Dalam menjawab, Imam menjelaskan tentang surat-surat yang dilayangkan kepada beliau dari penduduk Kufah. Bila mereka berbalik dari niat sebelumnya dan tidak menginginkan saya ke Kufah, maka saya akan pulang.
Umar bin Saad menulis surat kepada Ubaidillah dan menjelaskan keinginan Imam Husein as. Ia juga menulis surat ke Kufah agar Ubaidillah tidak perlu untuk memerintahkan berperang dengan Imam Husein as. Ubaidillah mengetahui bahwa Umar bin Saad hanya ingin menghabiskan waktu dan tidak ingin berperang. Ia kemudian memanggil Syimr bin Dzil Jausyan untuk menghadapnya di istana dan menginformasikan semua tingkah laku Umar bin Saad berkenaan dengan Imam Husein as. Akhirnya, Ubaidillah mengambil keputusan untuk segera memerangi Imam Husein as. Dalam surat yang ditujukan kepada Umar bin Saad disebutkan bahwa bila ia tidak ingin melaksanakan perintah, maka pimpinan pasukan akan diberikan kepada Syimr. Karena Syimr pasti segera melaksanakan tugas yang diembannya.[5]
Umar bin Saad melihat bahwa dia tidak punya pilihan lain lagi untuk menahan jangan sampai terjadi pertempuran. Ia juga ingin tetap menjadi pimpinan pasukan. Akhirnya dia melakukan tindakan yang membuatnya sampai pada cita-cita sebelumnya. Menjadi penguasa di kota Rey. Dari sini, keinginannya semakin kuat untuk memerangi Imam Husein as.
Imam Husein as yang memahami perang batin yang dialami oleh Umar bin Saad memberikan dia sebuah kesempatan. Ia mengirimkan utusan kepada Umar bin Saad. Isi pesan adalah agar beliau dengan Umar dapat bertemu empat mata dan melakukan perundingan.
Ketika keduanya bertemu, Imam Husein as mengajaknya untuk meninggalkan pasukan Yazid dan bergabung dengannya. Imam Husein as berkata: ‘Wahai anak Saad! Apakah engkau tidak takut ketika kembali kepada Allah? Apakah engkau benar-benar ingin berperang denganku? Padahal engkau tahu benar siapa aku dan siapa ayahku? Apakah engkau tidak ingin bergabung denganku dan meninggalkan Bani Umayah? Bila engkau menerima saranku, itu akan membuatmu lebih dekat kepada Allah”.
Untuk menolak ajakan Imam Husein as, Umar mulai mengeluarkan sejumlah alasan. Ia berkata: “Bila aku menerima ajakanmu, mereka pasti akan merusak rumahku”. Imam Husein as menenangkannya dengan mengatakan bahwa ia akan memperbaiki kembali rumahnya. Lagi-lagi ia mencari alasan, mereka akan merampok semua hartaku. Imam Husein as memberikan jaminan bahwa ia akan menggantikannya lebih dari yang dirampok. Tidak cukup itu. Ia kemudian beralasan: “Bagaimana dengan anak dan istriku?
Imam Husein as melihat bahwa Umar bin Saad tidak bakal menerima tawarannya. Akhirnya beliau berkata dengan keras: “Mengapa engkau begitu taat dengan perintah setan dan bersikeras untuk mengamalkan bisikannya?” Imam Husein as mencela sikapnya dan menjelaskan apa yang bakal menimpanya dikemudikan hari lalu meninggalkannya. [6]
Antara Imam Husein as dan Umar bin Saad ada perundingan lain lagi. Dalam perundingan ini, Imam berkata: “Wahai anak Saad! Apakah engkau akan membunuh aku? Hanya dengan harapan Ubaidillah bin Ziyad, anak haram, akan menjadikanmu sebagai gubernur Rey? Demi Allah! Ubaidillah tidak akan pernah memberikan itu kepadamu...”[7]
Sesuai dengan perintah dari surat terakhir yang dikirim oleh Ubaidillah, Umar bin Saad harus menutup jalur air yang mengarah ke perkemahan Imam Husein as. Hal itu membuat rombongan Imam Husein as dalam kehausan. Umar bin Saad dengan melepas anak panah dari busurnya, mengumumkan bahwa peperangan telah dimulai. Ia berkata kepada pasukannya: “Kalian harus bersaksi di hadapan Ubaidillah bahwa aku adalah orang pertama yang melepaskan anak panahnya ke perkemahan Husein”.[8]
Tidak itu saja, ia juga melaksanakan perintah terakhir Ubaidillah. Perintahnya adalah ia dan pasukan berkuda berjalan dan menginjak-injak jasad Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya sehingga hancur tak dikenali.[9]
Dengan perbuatannya, Umar bin Saad yang semula bingung untuk memilih kedudukan dan bergabung dengan kebatilan dibandingkan dengan memilih ikut bersama Imam Husein as. Umar akhirnya memilih kedudukan yang dilihatnya sebagai tujuan. Dan karena kedudukan sebagai tujuan, maka segala cara ditempuhnya bahkan dengan membunuh Imam Husein as, putra Fathimah Zahra as. Umar memandang kedudukan sebagai tujuan dan keluar dari pemahaman yang benar dari kedudukan. Kedudukan adalah alat yang dapat melayani masyarakat. Pribadi yang lemah, pendidikan moral yang kurang dan ketiadaan cara pandang yang dalam tentang agama membuat ia tenggelam. Ia terseret arus kebatilan karena tak mampu membaca dengan benar, mana hak dan mana batil. Akhirnya, ia harus membunuh Imam Husein as, putra Fathimah Zahra as.
Bahaya kedudukan karena menganggapnya sebagai tujuan karena daya tariknya memang telah memakan banyak korban di sepanjang sejarah kehidupan manusia. Sebuah realita yang tidak dapat dipungkiri. Dan tidak bisa tinggal diam. Ini sebuah penyakit. Ia harus dikenali dan dikuasai agar tidak lepas kendali.
Orang-orang yang mengenal dengan baik filsafat dunia tidak akan terjerat. Mereka tahu bahwa kenikmatan dunia hanya sementara. Bila itu diyakini, kedudukan bagi mereka bukanlah tujuan. Karena ia bakal lenyap dan musnah. Kedudukan bukan sebuah tujuan. Ia hanya alat untuk melayani masyarakat. Kedudukan adalah alat untuk melawan hegemoni. Untuk membela ketidakadilan. Kedudukan adalah alat untuk menghilangkan kebejatan.
Orang-orang yang betul-betul memahami masalah ini sangat minoritas tapi ada dan hadir di tengah-tengah masyarakat. Mereka juga berperan serta dalam bidang politik dan pemerintahan. Dengan keikhlasan, moral dan kejujuran, mereka punya semangat untuk mewujudkan kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. [Saleh Lapadi]
[1] . Artikel koran Jomhouri-ye Eslami, edisi 7976. Judul asli “An gah keh Magam va Riasat ha Hadaf mi Shawad”.
[2] . Farhang Ashura, Javad Muhaddisi, Nashr Maruf, hal 353.
[3] . Naf sal-Mahmum, Abbas Qummi, hal 261.
[4] . Ibid, hal 262.
[5] . Irsyad, Mufid, jilid 2, hal 89-90.
[6] . Farhang Sukhanan Emam Husein as, hal 586.
[7] . Jala’u al-‘Uyun, Najisi, Bab ke 5, hal 660.
[8] . Irsyad, Mufid, jilid 2, hal 104.
[9] . Ibid, hal 118.
Diposting oleh Saleh Lapadi di 02.33 9 komentar
Label: Artikel
Khutbah Qardhawi; Mencari aib orang lain lebih mudah?
Khutbah Qardhawi; Mencari aib orang lain lebih mudah?
Saleh Lapadi
Yusuf Qardhawi hari Jumat kemarin dalam khotbahnya kembali menekankan agar Iran yang Syi’ah segera mengambil langkah-langkah praktis untuk mencegah pembunuhan orang-orang Sunni di Irak. Qardhawi meyakini bahwa pembunuhan orang-orang Sunni dilakukan oleh orang-orang Syi’ah. Dalam khutbah Jumatnya sebelum melawat ke Indonesia ia sempat menyeru kepada Sayyid Ali Khamene’i agar ikut secara aktif menghentikan pembunuhan terhadap orang-orang Sunni oleh Syi’ah. Dalam lawatannya ke Indonesia, masalah ini juga diulang-ulangi dalam pertemuan dengan tokoh-tokoh Indonesia.
Yusuf Qardhawi seakan-akan tidak mau tahu apakah tokoh-tokoh Syi’ah baik Ayatullah Sayyid Ali Sistani di Irak dan Ayatullah Sayyid Ali Khamane’i di Iran pernah berkata apa tentang isu “konflik sektarian”. Qardhawi mengerti benar bahwa kedua tokoh besar Syi’ah berkali-kali memfatwakan keharaman memprovokasi perselisihan Sunni dan Syi’ah. Siapa saja yang melakukan itu berarti ia telah melakukan perbuatan haram dan berdosa. Lebih dari itu, Sayyid Ali Khamene’i mengulangi ucapan Imam Khomeini bahwa siapa saja membuat perselisihan antara Sunni dan Syi’ah bukan seorang Syi’ah dan Sunni.
Buat Qardhawi, saat ini ucapan dia diakses secara luar biasa. Hal itu setelah al-Jazirah menyiapkan siaran khususnya yang bernama “as-Syari’ah wa al-Hayah” (syariat dan kehidupan). Mendapat dukungan dari al-Jazirah membuat namanya semakin melambung. Beberapa komentar-komentarnya memang menyejukkan. Ia termasuk salah satu ulama Ahli Sunah yang membela Palestina. Ia juga dikenal sebagai ulama yang berusaha mendekatkan Sunni dan Syi’ah. Ketika Israel menyerang Hizbullah, di mana ulama Wahabi termasuk tidak setuju dan menganggap perjuangan Hizbullah tidak termasuk jihad Islam, Qardhawi membela Hizbullah.
Semua ini berubah ketika Saddam dihukum gantung. Karena ketidaksetujuannya atas hukuman mati Saddam yang dilakukan pada hari Idul Qurban. Semenjak itu, dalam menyikapi “konflik sektarian” di Irak, Qardhawi tidak lagi terlihat obyektif melihat masalah. Statemen Ayatullah Sayyid Ali Sistani tidak pernah digubris. Ayatullah Sayyid Ali Sistani mengutuk pembunuhan masyarakat sipil di Irak. Ayatullah Sistani, selaku tokoh Syi’ah Irak tidak pernah melemparkan kesalahan dan pemicu ini ke pundak Ahli Sunah Irak. Ayatullah Sistani dalam setiap kesempatan melemparkan penyebab ini kepada Amerika dan Inggris, sisa-sisa anggota Ba’ts dan kelompok takfir. Hal sama yang ditekankan oleh Ayatullah Sayyid Ali Khamene’i dalam ceramah-ceramahnya.
Di sini, hubungan Qardhawi dan al-Jazirah, perlu mendapat perhatian lebih. Apakah Qardhawi yang merasa mendapat dukungan al-Jazirah sehingga tidak mau lagi melihat kenyataan ataukah sebaliknya? Pendapat pertama kelihatannya lebih sulit untuk diterima. Dengan sedikit melihat latar belakang Qardhawi, sebagaimana sebagiannya telah disebutkan di muka, kemungkinan itu kelihatannya kecil sekali. Apa lagi, sebagai media internasional dan profesional, al-Jazirah tidak bakal mau dipakai sebagai alat. Sebisa mungkin ia mencari subyek tertentu untuk menaikkan rating dan jumlah pemirsanya. Dan sudah umum di dunia media, bila seorang tokoh, karena satu dan lain hal, tersandung sebuah kasus yang dapat mengancam citranya, maka tokoh itu pun akan dijauhi. Dan untuk sementara Qardhawi masih sesuai dengan misi mereka.
Kemungkinan kedua lebih bisa diterima. Secara terstruktur dan sistematis, al-Jazirah mampu menguasai Qardhawi. Kebencian al-Jazirah dapat terbaca dengan jelas. Setelah hukuman mati Saddam mereka mengambil gambar di sebuah kota kecil di Mesir dan menyebutkan bahwa seluruh Mesir melakukan upacara berkabung. Al-Jazirah tidak pernah menayangkan dan memberitakan berapa banyak orang-orang Syi’ah Irak yang terbunuh. Sekitar 70 persen orang yang mati, dari orang Syi’ah akibat teror yang dilakukan selama ini. Pemboman Samarra, Kazhimain, Najaf, Karbala dan kawasan-kawasan yang dihuni oleh orang-orang Syi’ah dan korbannya juga dari orang-orang Syi’ah.
Yusuf Qardhawi tidak mau tahu bahwa pada saat yang sama, ketika ia menyampaikan khutbah Jumatnya di Doha, sebuah masjid orang-orang Syi’ah diledakkan oleh orang yang mengatakan melakukan bom bunuh diri karena melakukan jihad. Ledakkan itu mengakibatkan puluhan orang mati dan luka-luka.
Yusuf Qardhawi seakan-akan lupa bahwa ada kelompok takfir yang juga ikut ambil bagian dalam “konflik sektarian” ini? Kelompok yang tidak hanya mengafirkan Syi’ah, tapi juga Ahli Sunah. Mereka tidak pernah memilih-milih korbannya kecuali berdasarkan kepentingan. Kelompok takfir yang dikenal sebagai Wahabi. Wahabi yang mendapat sokongan dana besar-besaran dari pemerintah Arab Saudi. Mengapa Yusuf Qardhawi tidak melontarkan ucapan yang sama kepada ulama Wahabi? Mengapa Qardhawi tidak mengambil sikap dan meminta kepada mufti-mufti Wahabi untuk menahan diri dan tidak mengafirkan Syi’ah. Mengapa ia tidak meminta kepada mufti besar Arab Saudi agar memerintahkan kepada kelompok takfir yang ikut bermain di Irak untuk tidak melakukan tindakan pembalasan yang sama?
Dalam khotbahnya hari Jumat kemarin, Qardhawi menyampaikan bahwa ia akan mengirim utusan ke Iran untuk membicarakan masalah pembunuhan orang-orang Syi’ah terhadap Sunni sekaligus mencarikan solusinya. Usaha yang baik dan patut untuk dihargai. Setidak-tidaknya ia bakal mendapatkan berita tidak secara sepihak. Walaupun terlambat, namun kita dapat berharap banyak, dari sikap yang diambil oleh Qardhawi. Sehingga diharapkan ia tidak hanya mendengar kabar dari al-Jazirah. Masih segar dalam ingatan, al-Jazirah memutar balikkan fakta pembunuhan massal yang terjadi di kota Sadr. Di sana sekitar 220 orang terbunuh dan ratusan lagi luka-luka. Al-Jazirah memberitakan bahwa telah terjadi penyerbuan ke masjid Ahli Sunah. Mengapa tidak ada pemberitaan yang seimbang mengenai korban yang tewas di pihak Syi’ah? Terima atau tidak, al-Jazirah termasuk yang memiliki saham meluasnya “konflik sektarian” di Irak.
Keinginan Qardhawi mengirim utusan ke Iran masih menunjukkan keinginan baiknya. Pertanyaannya di sini adalah, mengapa ia tidak mengirimkan utusan juga ke Arab Saudi? Seluruh ulama Syi’ah baik di Iran maupun Irak mengharamkan siapa saja yang ikut berperang atas nama perang Sunni dan Syi’ah. Bila pengiriman utusan ke Iran untuk menasihati ulama Syi’ah, maka pengiriman utusan ke Arab Saudi jauh lebih wajib untuk dilakukan. Bertahun-tahun ulama Wahabi memfatwakan Syi’ah kafir, orang-orang Syi’ah halal darahnya. Apakah fatwa-fatwa ini tiba-tiba terhapus dari ingatan Qardhawi?
Mengapa Qardhawi harus jauh-jauh mengirim utusan ke Iran. Berapa kilometer dari tempatnya menyampaikan khutbah Jumat ada pangkalan militer Amerika. Pangkalan ini menjadi pusat logistik bantuan Amerika kepada Israel untuk membom rakyat Sipil Lebanon. Pusat logistik untuk pasukan Amerika di Irak agar dengan mudah mereka membunuh rakyat tidak berdosa Irak. Beranikah Qardhawi dalam siaran khususnya menyampaikan kepada Amir Qatar agar pangkalan militer yang telah membunuh ratusan orang Arab untuk dibekukan? Militer Amerika harus meninggalkan Qatar sebagai negara berdaulat
Menasihati orang lain memang mudah. Tapi menasihati diri sendiri adalah sangat sulit. Itulah mengapa sebelum seorang diangkat sebagai Nabi, yang tugasnya menasihat masyarakat, selain tugas lainnya, untuk terlebih dahulu membersihkan dirinya. Karena kebersihan diri terlebih dahulu membuat seorang Nabi bersikap sama dan tidak memihak. Itulah mengapa dengan mudah Nabi Muhammad saw mengatakan bahwa bila Fathimah mencuri niscaya aku potong tangannya. Mungkinkah Qardhawi memotong tangan kelompok takfir di Irak dengan mengirim utusan ke Arab Saudi dan berbicara dengan ulama Wahabi?
Bapak Yusuf Qardhawi...
Mencari aib orang lain memang lebih mudah.
Qom, 27 Januari 2007
Saleh Lapadi
Yusuf Qardhawi hari Jumat kemarin dalam khotbahnya kembali menekankan agar Iran yang Syi’ah segera mengambil langkah-langkah praktis untuk mencegah pembunuhan orang-orang Sunni di Irak. Qardhawi meyakini bahwa pembunuhan orang-orang Sunni dilakukan oleh orang-orang Syi’ah. Dalam khutbah Jumatnya sebelum melawat ke Indonesia ia sempat menyeru kepada Sayyid Ali Khamene’i agar ikut secara aktif menghentikan pembunuhan terhadap orang-orang Sunni oleh Syi’ah. Dalam lawatannya ke Indonesia, masalah ini juga diulang-ulangi dalam pertemuan dengan tokoh-tokoh Indonesia.
Yusuf Qardhawi seakan-akan tidak mau tahu apakah tokoh-tokoh Syi’ah baik Ayatullah Sayyid Ali Sistani di Irak dan Ayatullah Sayyid Ali Khamane’i di Iran pernah berkata apa tentang isu “konflik sektarian”. Qardhawi mengerti benar bahwa kedua tokoh besar Syi’ah berkali-kali memfatwakan keharaman memprovokasi perselisihan Sunni dan Syi’ah. Siapa saja yang melakukan itu berarti ia telah melakukan perbuatan haram dan berdosa. Lebih dari itu, Sayyid Ali Khamene’i mengulangi ucapan Imam Khomeini bahwa siapa saja membuat perselisihan antara Sunni dan Syi’ah bukan seorang Syi’ah dan Sunni.
Buat Qardhawi, saat ini ucapan dia diakses secara luar biasa. Hal itu setelah al-Jazirah menyiapkan siaran khususnya yang bernama “as-Syari’ah wa al-Hayah” (syariat dan kehidupan). Mendapat dukungan dari al-Jazirah membuat namanya semakin melambung. Beberapa komentar-komentarnya memang menyejukkan. Ia termasuk salah satu ulama Ahli Sunah yang membela Palestina. Ia juga dikenal sebagai ulama yang berusaha mendekatkan Sunni dan Syi’ah. Ketika Israel menyerang Hizbullah, di mana ulama Wahabi termasuk tidak setuju dan menganggap perjuangan Hizbullah tidak termasuk jihad Islam, Qardhawi membela Hizbullah.
Semua ini berubah ketika Saddam dihukum gantung. Karena ketidaksetujuannya atas hukuman mati Saddam yang dilakukan pada hari Idul Qurban. Semenjak itu, dalam menyikapi “konflik sektarian” di Irak, Qardhawi tidak lagi terlihat obyektif melihat masalah. Statemen Ayatullah Sayyid Ali Sistani tidak pernah digubris. Ayatullah Sayyid Ali Sistani mengutuk pembunuhan masyarakat sipil di Irak. Ayatullah Sistani, selaku tokoh Syi’ah Irak tidak pernah melemparkan kesalahan dan pemicu ini ke pundak Ahli Sunah Irak. Ayatullah Sistani dalam setiap kesempatan melemparkan penyebab ini kepada Amerika dan Inggris, sisa-sisa anggota Ba’ts dan kelompok takfir. Hal sama yang ditekankan oleh Ayatullah Sayyid Ali Khamene’i dalam ceramah-ceramahnya.
Di sini, hubungan Qardhawi dan al-Jazirah, perlu mendapat perhatian lebih. Apakah Qardhawi yang merasa mendapat dukungan al-Jazirah sehingga tidak mau lagi melihat kenyataan ataukah sebaliknya? Pendapat pertama kelihatannya lebih sulit untuk diterima. Dengan sedikit melihat latar belakang Qardhawi, sebagaimana sebagiannya telah disebutkan di muka, kemungkinan itu kelihatannya kecil sekali. Apa lagi, sebagai media internasional dan profesional, al-Jazirah tidak bakal mau dipakai sebagai alat. Sebisa mungkin ia mencari subyek tertentu untuk menaikkan rating dan jumlah pemirsanya. Dan sudah umum di dunia media, bila seorang tokoh, karena satu dan lain hal, tersandung sebuah kasus yang dapat mengancam citranya, maka tokoh itu pun akan dijauhi. Dan untuk sementara Qardhawi masih sesuai dengan misi mereka.
Kemungkinan kedua lebih bisa diterima. Secara terstruktur dan sistematis, al-Jazirah mampu menguasai Qardhawi. Kebencian al-Jazirah dapat terbaca dengan jelas. Setelah hukuman mati Saddam mereka mengambil gambar di sebuah kota kecil di Mesir dan menyebutkan bahwa seluruh Mesir melakukan upacara berkabung. Al-Jazirah tidak pernah menayangkan dan memberitakan berapa banyak orang-orang Syi’ah Irak yang terbunuh. Sekitar 70 persen orang yang mati, dari orang Syi’ah akibat teror yang dilakukan selama ini. Pemboman Samarra, Kazhimain, Najaf, Karbala dan kawasan-kawasan yang dihuni oleh orang-orang Syi’ah dan korbannya juga dari orang-orang Syi’ah.
Yusuf Qardhawi tidak mau tahu bahwa pada saat yang sama, ketika ia menyampaikan khutbah Jumatnya di Doha, sebuah masjid orang-orang Syi’ah diledakkan oleh orang yang mengatakan melakukan bom bunuh diri karena melakukan jihad. Ledakkan itu mengakibatkan puluhan orang mati dan luka-luka.
Yusuf Qardhawi seakan-akan lupa bahwa ada kelompok takfir yang juga ikut ambil bagian dalam “konflik sektarian” ini? Kelompok yang tidak hanya mengafirkan Syi’ah, tapi juga Ahli Sunah. Mereka tidak pernah memilih-milih korbannya kecuali berdasarkan kepentingan. Kelompok takfir yang dikenal sebagai Wahabi. Wahabi yang mendapat sokongan dana besar-besaran dari pemerintah Arab Saudi. Mengapa Yusuf Qardhawi tidak melontarkan ucapan yang sama kepada ulama Wahabi? Mengapa Qardhawi tidak mengambil sikap dan meminta kepada mufti-mufti Wahabi untuk menahan diri dan tidak mengafirkan Syi’ah. Mengapa ia tidak meminta kepada mufti besar Arab Saudi agar memerintahkan kepada kelompok takfir yang ikut bermain di Irak untuk tidak melakukan tindakan pembalasan yang sama?
Dalam khotbahnya hari Jumat kemarin, Qardhawi menyampaikan bahwa ia akan mengirim utusan ke Iran untuk membicarakan masalah pembunuhan orang-orang Syi’ah terhadap Sunni sekaligus mencarikan solusinya. Usaha yang baik dan patut untuk dihargai. Setidak-tidaknya ia bakal mendapatkan berita tidak secara sepihak. Walaupun terlambat, namun kita dapat berharap banyak, dari sikap yang diambil oleh Qardhawi. Sehingga diharapkan ia tidak hanya mendengar kabar dari al-Jazirah. Masih segar dalam ingatan, al-Jazirah memutar balikkan fakta pembunuhan massal yang terjadi di kota Sadr. Di sana sekitar 220 orang terbunuh dan ratusan lagi luka-luka. Al-Jazirah memberitakan bahwa telah terjadi penyerbuan ke masjid Ahli Sunah. Mengapa tidak ada pemberitaan yang seimbang mengenai korban yang tewas di pihak Syi’ah? Terima atau tidak, al-Jazirah termasuk yang memiliki saham meluasnya “konflik sektarian” di Irak.
Keinginan Qardhawi mengirim utusan ke Iran masih menunjukkan keinginan baiknya. Pertanyaannya di sini adalah, mengapa ia tidak mengirimkan utusan juga ke Arab Saudi? Seluruh ulama Syi’ah baik di Iran maupun Irak mengharamkan siapa saja yang ikut berperang atas nama perang Sunni dan Syi’ah. Bila pengiriman utusan ke Iran untuk menasihati ulama Syi’ah, maka pengiriman utusan ke Arab Saudi jauh lebih wajib untuk dilakukan. Bertahun-tahun ulama Wahabi memfatwakan Syi’ah kafir, orang-orang Syi’ah halal darahnya. Apakah fatwa-fatwa ini tiba-tiba terhapus dari ingatan Qardhawi?
Mengapa Qardhawi harus jauh-jauh mengirim utusan ke Iran. Berapa kilometer dari tempatnya menyampaikan khutbah Jumat ada pangkalan militer Amerika. Pangkalan ini menjadi pusat logistik bantuan Amerika kepada Israel untuk membom rakyat Sipil Lebanon. Pusat logistik untuk pasukan Amerika di Irak agar dengan mudah mereka membunuh rakyat tidak berdosa Irak. Beranikah Qardhawi dalam siaran khususnya menyampaikan kepada Amir Qatar agar pangkalan militer yang telah membunuh ratusan orang Arab untuk dibekukan? Militer Amerika harus meninggalkan Qatar sebagai negara berdaulat
Menasihati orang lain memang mudah. Tapi menasihati diri sendiri adalah sangat sulit. Itulah mengapa sebelum seorang diangkat sebagai Nabi, yang tugasnya menasihat masyarakat, selain tugas lainnya, untuk terlebih dahulu membersihkan dirinya. Karena kebersihan diri terlebih dahulu membuat seorang Nabi bersikap sama dan tidak memihak. Itulah mengapa dengan mudah Nabi Muhammad saw mengatakan bahwa bila Fathimah mencuri niscaya aku potong tangannya. Mungkinkah Qardhawi memotong tangan kelompok takfir di Irak dengan mengirim utusan ke Arab Saudi dan berbicara dengan ulama Wahabi?
Bapak Yusuf Qardhawi...
Mencari aib orang lain memang lebih mudah.
Qom, 27 Januari 2007
Diposting oleh Saleh Lapadi di 02.29 0 komentar
Label: Artikel
Sabtu, 27 Januari 2007
Wawancara Dengan Antoine Bara; Penulis buku "Husein Menurut Seorang Kristen"1
Husein Rahasia Kekekalan Semua Agama[1]
Antoine Bara adalah seorang Kristen yang sejak mudanya melakukan penelitian atas kehidupan dan perjuangan Imam Husein as. Penelitiannya kemudian dibukukan dan ditulis berdasarkan Injil dan ucapan-ucapan Isa as. Sebuah buku yang sulit dicari bandingannya karena ditulis oleh seorang Kristen. Ia kemudian memberikan nama bukunya “Al-Husein fi al-Fikr al-Masihi” (Husein as menurut seorang Kristen). Antoine Bara dalam bukunya menekankan tiga sisi penelitian, sastra dan emosional. Ia berhasil menggabungkan pandangan Islam dan Kristen dengan sangat baik. Ia membuat perbandingan antara kehidupan dan kesahidan Isa as dan kehidupan dan kesahidan Imam Husein as. Analisa yang dilakukannya terkadang sampai pada titik di mana ia benar-benar menuangkan kreativitasnya. Usaha ini perlu diacungi jempol oleh seorang muslim yang obyektif dan perlu dibaca.
Buku “Husein as menurut seorang Kristen” untuk pertama kalinya dicetak pada tahun 1978. Dan beberapa kali naik cetak yang disertai dengan tambahan-tambahan darinya. Cetakan ke empat buku ini beberapa bulan yang lalu telah dicetak. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam 17 bahasa dan di 5 universitas sebagai buku pegangan di tingkat pasca sarjana dan doktor.
Antoine Bara adalah keturunan Suriah yang memiliki warga negara Kuwait dan tinggal di sana. Ia dikenal sebagai seorang penulis sastra yang memiliki genre penulisan tersendiri. Sampai saat ini kurang lebih ada 15 jilid buku yang telah ditulisnya yang isinya kebanyakan berbicara tentang roman dan sastra. Sampai saat ini ia masih berprofesi sebagai wartawan dan saat ini adalah tahun ke 41 ia menekuni profesinya. Tulisan-tulisannya banyak mengiasi media-media terkenal. Saat ini ia adalah pimpinan redaksi majalah mingguan Al-Hawadits Network Kuwait.
Untuk pertama kalinya pada minggu kemarin ia menginjakkan kakinya ke Iran. Ia datang ke Iran memenuhi undangan untuk menghadiri konferensi Internasional Allamah Bahrani yang ke dua (15-17 Januari 2007). Koran Kayhan segera menangkap kesempatan emas ini dengan mengajaknya melihat gedung Kayhan sekaligus mewawancarainya. Ia bersama istrinya melihat aktivitas di Kayhan. Wawancara yang semulanya direncanakan singkat ternyata molor hingga tiga jam. Hal itu karena Bara tidak sungkan-sungkan dalam menjawab pertanyaan yang dilontarkan. Semua dijawab dengan kesederhanaan dan terbuka.
Pandangan-pandangannya tentang Imam Husein as membuat dia sering disebut sebagai Kristen Syi’ah. Seorang Kristen yang bermazhab Syi’ah. Menurut Bara, Syi’ah adalah puncak dari rasa cinta ilahi. Ia menegaskan bahwa Imam Husein as tidak hanya milik Syi’ah atau kaum muslimin, tapi Husein milik dunia.
Ia menyebutkan bahwa sampai saat ini telah membaca Nahjul Balaghah sebanyak 25 kali secara sempurna. Setiap kali ia membaca, selalu saja ia menemukan poin-poin baru.
Pada akhir dari tanya jawab itu, ia mengucapkan sebuah kalimat yang luar biasa. Dengan penuh perasaan ia berkata: “Husein berada dalam hati saya”.
Soal: Sebagai pertanyaan pembuka, sudikah Anda menceritakan tentang keluarga, kehidupan, pendidikan dan aktivitas sosial Anda?
AB: Saya Antoine Bara. Lahir di Suriah pada tahun 1943. Saya memiliki empat orang saudara laki-laki dan tiga orang saudara perempuan. Saya dikaruniai empat orang anak; Talal, Maryam, Feisal dan Yusuf. Kakek-kakek saya aslinya dari daerah Najd Arab Saudi. Sejak lama mereka kemudian pindah ke suriah (Syam dahulunya). Keluarga saya berasal dari kalangan menengah. Kebanyakan keluarga saya memilih profesi sebagai tukang kayu dan pembuat alat-alat yang diperlukan oleh para petani. Saya mulai masuk sekolah SD pada sebuah sekolah swasta yang dimiliki oleh orang-orang Kristen. Setelah menamatkan SD, bersama saudara saya Habib, kami melanjutkan ke sekolah pemerintah. Kami termasuk orang Kristen pertama yang sekolah di sana. Selama ini hanya pelajar muslim yang belajar di sana.
Pertemuan pertama pelajaran agama Islam, guru kami mengajak kami ke sebuah ruangan dan berkata: “Bila kalian tidak mengikuti pelajaran ini tidak masalah. Nilai kalian bisa diberikan lewat pelajaran bahasa Arab”. Pulang sekolah, masalah ini kami bicarakan dengan ayah. Orang tua kami malah mengatakan agar kami berdua ikut pelajaran itu. Kalian harus mengetahui agama-agama dunia. Kalian pelajari budaya Islam. Kita sebagai Arab Kristen kaya dengan budaya Islam Oleh karenanya, jangan sampai kalian tidak mengetahui budaya mereka.
Nasihat ayah sangat mempengaruhi kami. Ayah juga berbicara langsung dengan guru agama dan akhirnya kami ikut kelas agama Islam. Ayah sangat berjasa dalam rangka memperkenalkan kami dengan agama Islam.
Masuk SMU, saya memilih jurusan sastra. Sejak itu saya aktif menulis. Ketika pindah ke Kuwait, saya menjadi penulis berita olah raga di harian Akhbar al-Kuwait. Semenjak itu saya sering berpindah-pindah menulis berita olah raga, budaya, ekonomi, seni dan kabar daerah juga pernah saya lakoni. Menjadi penulis atau pimpinan redaksi koran atau majalah sudah merupakan pekerjaan saya. Kira-kira tahun ini adalah tahun ke 41 saya menekuni dunia jurnalistik.
Soal: Saat ini apa aktivitas Anda?
AB: Saat ini saya selaku direktur majalah mingguan Al-Hawadits Network. Majalah yang menyoroti masalah seni, sosial, budaya dan hukum. Tapi tidak itu saja kerja saya. Karena saya punya kontrak dengan sebagian majalah dan radio. Hanya saja saat ini konsentrasi saya pada buku-buku sastra dan roman. Saat ini saya punya buku yang ditulis sejak 25 tahun lalu. Buku itu berjudul “Zainab; Sharkhah Akmalat Masirah” (Zainab; Teriakan yang menyempurnakan perjalanan Husein as). Sampai saat ini belum selesai. Saya memberikan kemungkinan kualitasnya masih di bawah buku saudaranya “Al-Husein Fi al-Fikr al-Masihi”.
Soal: Maukah Anda menceritakan bagaimana Anda sampai mengenal tentang Ahul Bait, terutama Imam Husein as? Di mana Anda mulai pertama kali mengenal Imam Husein? Bagaimana itu terjadi sehingga Anda berpikiran untuk menulis tentang Imam Husein as?
AB: Semuanya terjadi begitu saja tanpa direncanakan. Apa yang saya baca mengenai Karbala sangat sedikit. Saat masih muda dan lagi semangat-semangatnya bekerja, bersama teman-teman kami pergi menemui almarhum Ayatullah Sayyid Muhammad Syirazi. Saat itu beliau bertanya kepada saya: “Apakah engkau mengetahui tentang peristiwa Karbala? Jawab saya: “Yang saya ketahui Karbala merupakan perang antara Yazid dan Husein”. Beliau melanjutkan: “Apakah engkau mengetahui tentang apa yang terjadi pada perang itu? “Tidak”, jawab saya. Beliau kemudian memberikan kepada saya beberapa buku tentang Karbala. Salah satunya adalah buku yang menceritakan kejadian rinci peristiwa Karbala berjudul al-Muqarram.
Sekembali dari sana, saya mulai membaca buku itu. Di samping membaca buku itu, saya secara aktif memberikan catatan-catatan di pinggir buku. Setelah sebulan saya kembali bertemu dengan Ayatullah Muhammad Syirazi. Beliau bertanya: “Apakah engkau telah membacanya? saya menjawab: “Iya”. Selain itu juga saya memberikan catatan pinggir dalam buku tersebut. Enam bulan setelah itu, Ayatullah Syirazi meminta saya untuk memperlihatkan catatan pinggir. Setelah membacanya, beliau berkata bahwa catatan-catatan yang saya berikan atas buku itu punya nilai untuk dijadikan sebuah buku. Karena dalam catatan itu ada banyak poin-poin yang belum ditulis oleh penulis Syi’ah maupun Sunni. Karena ini ditulis oleh seorang Kristen yang tidak pernah tahu akan kesucian tokoh yang bakal ditulis. Seorang yang tidak memandang sejarah hanya dari sisi materi tapi menukik jauh mengeksplorasi sisi maknawinya. Engkau sebagai seorang Kristen yang hidup di tengah-tengah peradaban Islam memiliki gaya tulisan dan sudut pandang yang berbeda. Mendapat dorongan itu saya hanya dapat menjawab: “Usia saya masih sangat muda untuk mengumpulkan ide-ide lalu menuliskannya. Ini sebuah pekerjaan besar dan sulit”. Beliau menasihati saya: “Mulailah bekerja! Allah dengan berkah Imam Husein as akan menolongmu”.
Semenjak itu saya mulai menulis. Namun, setiap kali saya mulai untuk menulis, terasa bahwa pekerjaan ini semakin sulit. Karena pekerjaan ini akan menyebabkan sebagian kelompok akan senang dan sebagian lainnya tidak senang. Khususnya, banyaknya data-data sejarah yang saling kontradiksi. Hal ini membuat saya seperti sedang berjalan di antara ranjau. Jalur yang saya pilih merupakan tempat persimpangan akidah dan mazhab yang memiliki masa lalu dimulai dari peristiwa Saqifah hingga pembantaian Karbala. Di sini ada kelompok yang pro dan ada yang kontra.
Sebagian seperti Ibn Qayyim al-Jauzi mengatakan bahwa kesalahan terbesar adalah kebangkitan dan perlawanan Husein. Sementara sejarawan lain menyebutkan bahwa gerakan Husein merupakan pergerakan yang berlandaskan akidah.
Dari sini, saya melihat bahwa betapa penting dan riskannya saya selaku seorang Kristen melihat masalah ini. Karena saya bukan seorang muslim sehingga tidak dipengaruhi secara emosional oleh kejadian. Saya bukan pula seorang orientalis yang tidak punya kepedulian mengkaji sisi emosi dan maknawi dari peristiwa Karbala.
Untuk menulis buku ini, saya melakukan rujukan terhadap ratusan sumber. Cukup lama saya melakukan penelitian. Setiap kali mulai menulis, saya merasa ikut secara emosi dan berkali-kali pula saya menghapus dan mulai menulis lagi sampai benar-benar saya puas dengan hasil tulisan saya sendiri. Penelitian yang saya lakukan menghabiskan waktu 5 tahun. Setelah itu saya mulai menulis. Dalam proses menulis buku ini, saya merasakan ada kekuatan yang tidak terlihat yang mendorong dan memacu saya untuk menyelesaikan tulisan. Sekarang, 32 tahun berlalu semenjak saya menulis buku ini. Dengan pengalaman di dunia jurnalistik, saya tidak yakin dapat menghasilkan karya yang lebih baik dari buku ini. Buku ini punya arti tersendiri buat saya dibandingkan 15 buah buku saya yang lain. Karena pengaruh dan reaksi yang indah dan positif muncul dalam usaha saya menulis buku ini. Analisa rasional yang saya pakai dalam mendekati masalah Karbala membuat saya sampai pada sebuah capaian. Saya merasa berhasil membuka cakrawala baru dalam mengkaji masalah Karbala.
Soal: Anda telah berbicara banyak mengenai buku “Husein as menurut seorang Kristen”. Kami akan sangat berterima kasih bila Anda mau berbicara lebih lanjut mengenai kekhususan buku ini?
AB: Kelebihan buku ini adalah cara pandang terhadap masalah. Perbedaan itu baik dari sisi kaum muslimin sendiri atau dari penulis-penulis orientalis. Kebanyakan orang yang telah membaca buku ini menyimpulkan bahwa ia ditulis dengan menjaga sikap obyektif, tidak memihak.
Kekhususan lain yang dimiliki adalah berusaha untuk melakukan perbandingan antara pribadi Husein dan Isa, baik dari sisi cara pandang, sikap, tindakan, ucapan dan cara mereka menemui kesahidan karena memperjuangkan akidah dan keyakinannya. Saya melihat banyak kesamaan antara pribadi Husein dan Isa sebagai seorang martir dan bukan sebagai seorang Nabi. Berkenaan dengan kehidupan dan kesahidan Husein saya banyak melakukan penelitian. Sungguh menakjubkan, banyak saya temukan perilaku, tindakan, ucapan, cara menyampaikan keyakinan dan bagaimana membela keyakinannya yang memiliki kesamaan dengan Isa. Ini satu hal yang baru buat saya. Tema ini secara terperinci saya kaji yang memunculkan pertanyaan mengapa kedua orang ini lebih memilih mati. Terlebih buat Husein yang masih punya kesempatan untuk meraih keuntungan material. Ia dapat saja memilih kedudukan dan kekayaan duniawi bila sedikit menunjukkan kelenturannya dalam menyikapi keadaan yang ada. Ia dapat saja menerima keinginan Muawiyah dan Yazid. Dengan mudah ia dapat menyelamatkan dirinya dari kematian. Namun, berdasarkan ayat, “Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan atau pun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah” (at-Taubah: 41), ia melakukan pergerakan yang luar biasa. Ia tidak mempedulikan semua pangkat, kedudukan dan kekayaan. Sementara itu pada saat bersamaan, para pecinta dunia tamak akan semua itu. Husein meninggalkan semua itu dan menuju pada jalan kesahidan. Dalam usahanya menuju jalan kesahidan ia tidak lupa membawa keluarganya menuju syahadah. Ia tahu betul bahwa mereka berada di jalur akidah.
Soal: Kami mendengar bahwa pada cetakan keempat ini Anda melakukan revisi serta menambahkan tulisan lain sehingga buku ini terlihat lebih berisi dan kaya. Apakah Anda mau memberikan penjelasan lebih lanjut?
AB: Pada cetakan keempat, saya menambahkan komentar-komentar dari tokoh-tokoh kaum muslimin; baik dari Sunni maupun Syi’ah. Komentar yang pernah dimuat di media. Begitu juga saya menambahkan tentang pemberitaan buku ini. Karena buku ini sempat di meja hijaukan oleh pemerintah Kuwait dan dilarang peredarannya. Tambahan lain adalah adanya 50 gambar yang dihasilkan oleh seniman Iran dan Arab yang menggambarkan bagaimana terjadinya peristiwa Karbala. Gambar-gambar ini saya letakkan di akhir buku. Yang lebih penting dari semua itu adalah penambahan sumber-sumber rujukan baru yang tidak terdapat pada cetakan sebelumnya. Ringkasnya, cetakan ke empat merupakan hasil usaha penelitian baru selama 20 tahun dengan analisa yang lebih rinci dan detil guna memperkaya buku ini. Alhamdulillah, cetakan keempat ini telah dicetak dan lebih bisa diterima.
Soal: Pelarangan peredaran buku Anda seperti apa?
AB: Masalah di meja hijaukan buku ini merupakan hal yang aneh. Mengapa saya katakan aneh, karena sangkaan itu berdasarkan ibarat tentang kepemimpinan Utsman atas kaum muslimin, cara ia memerintah dan bagaimana masyarakat melakukan demonstrasi terhadapnya. Saya menukil ibarat-ibarat itu dari buku rujukan yang paling dipercaya. Buku yang saya jadikan rujukan ada tersimpan rapi di perpustakaan Kuwait. Pada tahun 1986 ada surat panggilan dari pengadilan untuk saya. Alasannya adalah ibarat yang saya pakai tentang Utsman merupakan hasil karangan saya belaka dan tidak ada data yang jelas.
Untuk membuktikan ketidakbersalahan saya, puluhan rujukan dan buku yang menulis tentang Utsman saya bawakan dan perlihatkan kepada mereka. Saya katakan bahwa masalah ini sangat jelas dan tidak ada yang perlu ditutup-tutupi. Bahkan, yang menarik, saya menemukan ibarat yang lebih keras di sebuah majalah al-Arabi yang berafiliasi dengan Kementrian Penerangan Kuwait. Ibarat yang ada dengan isi yang sama, namun dengan nada keras berbicara tentang Utsman.
Ironisnya, karena sejak awal niat mereka adalah berusaha agar buku ini tidak diterbitkan, pertama mereka menuntut saya mengganti rugi sebesar 50 dinar. Setelah itu terbit pelarangan dan penarikan kembali buku ini. Saya tidak terima. Saya minta naik banding. Dalam pengadilan banding, saya membawakan data-data sejarah kira-kira setebal 150 halaman. Hakim pada pengadilan banding, tanpa berusaha mau melihat data-data yang saya bawakan, yang kesemuanya dari buku-buku Ahli Sunah, memenangkan amar putusan pengadilan sebelumnya. Saya dapat merasakan bagaimana hakim punya niat tidak baik sejak awal. Saya tahu betul bahwa hakim punya hubungan erat dengan gerakan salafi.
Setelah lama berlalu, pada akhirnya saya tahu bahwa apa yang terkait dengan Syi’ah bakal disidangkan dan pasti putusannya adalah pelarangan peredaran. Pada akhirnya, buku saya pada tahun itu termasuk yang berada di daftar buku-buku hitam yang dilarang terbit.
Dengan kejadian itu, saya berkesimpulan untuk tidak mencetak untuk keduakalinya. Semenjak itu, kurang lebih selama 20 tahun, yang saya lakukan adalah mengedit kembali dengan memberikan tambahan. Saya hanya melakukan itu hingga dua tahun terakhir saya melangkah lebih jauh dengan terjun langsung melakukan lay out dan mencetaknya. Akhirnya cetakan baru keluar tanpa kekurangan dan kritik.
Soal: Apa reaksi dan respon pembaca buku Anda?
AB: Setelah buku itu terbit, kira-kira 3 bulan, salah seorang salafi yang ekstrim menulis buku dengan judul “Yazid Amir al-Mukminin” (Yazid pemimpin kaum mukminin), yang tujuannya sebagai jawaban dan kritikan atas buku saya. Ia salah seorang pengikut kelompok yang sesat. Dengan semua fasilitas yang dimilikinya berusaha untuk menyesatkan pemikiran Islam dan Syi’ah. Ia membawa bukunya untuk dicetak di percetakan di mana buku saya dicetak. Pimpinan percetakan yang melihat gelagat tidak baik, lantas memintanya untuk mendapatkan izin cetak terlebih dahulu baru dicetak. Ucapan ini membuatnya tidak jadi memaksakan bukunya untuk dicetak. Setelah setahun, saya baru tahu kalau buku itu dicetak di Arab Saudi. Buku ini isinya penuh dengan hinaan dan cemoohan terhadap Husein yang dipengaruhi oleh pemikiran ibn Jauzi.
Selain buku di atas, ada beberapa buku lain yang diterbitkan. Buku-buku ini pada bagian-bagian tertentu dari pembahasannya sedikit banyaknya berusaha melakukan kritik atas buku saya. Begitu juga di media massa dengan mudah dapat ditemukan, baik dahulu atau sekarang, tulisan-tulisan yang melakukan kritik. Semua itu dilakukan oleh kaum muslim ekstrim.
Dari sisi lain, banyak dari kalangan muslim, baik itu Sunni atau Syi’ah, memberikan pujian atas keberadaan buku ini. Buku ini mencerminkan rasa persatuan dan mencoba melihat masalah secara lebih obyektif. Menurut mereka, sikap obyektif yang tercermin dari buku ini merupakan kelebihan buku ini. Mereka menegaskan bahwa buku ini ditulis jauh dari sikap fanatik dan tendensi tertentu. Gaya kajian buku ini mempergunakan metode rasional dan tidak memihak.
Mereka yang kontra mengatakan bahwa semua yang tertulis dalam buku ini tidak benar. Semua kesamaan antara Husein dan Isa, pada kenyataannya tidak ada. Bila nampak seperti ada kesamaan, maka itu hanya kebetulan saja.
Secara umum, setelah peluncuran buku ini, banyak yang pro dan kontra, namun yang pro lebih banyak.
Soal: Anda sendiri melihat bagaimana reaksi ulama Islam dan para pendeta tentang buku ini?
AB: Di kalangan kaum muslimin, kebanyakan ulama Syi’ah dan sebagian kelompok dari ulama Ahli Sunah menunjukkan sikap positif atas terbitnya buku ini. Mereka menyebutkan sebuah buku yang menganalisa secara rasional, indah dan perlu dibaca. Buku ini mampu menjaga sikap obyektif. Ulama Syi’ah secara keseluruhan memberikan penilaian bahwa buku ini membawa ide-ide yang benar-benar baru, teori dan analisa yang diberikan lahir dari kreativitas penulis. Sementara sebagian ulama salafi yang ekstrim menganggap muatan buku ini tidak benar dan memuat ajaran dan keyakinan Syi’ah.
Ilmuwan dan para pendeta menunjukkan sikap positif. Mereka memuji hasil kerja saya. Bahkan sebagian dari mereka sangat senang dengan diterbitkannya buku yang seperti ini. Mereka berkeyakinan usaha ini adalah upaya untuk mendekatkan agama-agama dan mencoba menyatukan perbuatan para wali dan Nabi.
Umumnya, mereka yang mengkritik buku ini tidak memiliki dalil dan data yang cukup. Saya sendiri melihat bahwa kritikan itu lahir dari sikap fanatik dan tendensi tertentu. Kefanatikan mereka begitu besar sehingga menutup mata mereka untuk menanyakan, mengapa cucu Nabi harus melakukan penentangan atas penguasa? Semua fasilitas tidak digubrisnya, malah mengajak keluarga menuju jalan yang penuh bahaya. Apakah tujuan Husein bersifat pribadi? Bila untuk itu, ia tidak akan membahayakan dirinya. Namun, kita melihat bagaimana setelah berabad-abad, generasi demi generasi, ide dan jalan yang ditempuh Husein disucikan. Jutaan manusia mengingat Husein dengan penghormatan. Apakah ini bukan rahasia ilahi?
Ada yang mengkritik saya dengan mengatakan bahwa bukankah engkau bukan seorang muslim, mengapa harus menulis tentang Husein? Jawaban saya: “Bagaimana mungkin seseorang tidak tertarik dan luruh di hadapan pribadi sebesar Husein yang berasal dari keturunan Nabi, Ali dan Fathimah Zahra? Dalam catatan sejarah tidak pernah dalam kehidupannya ditemukan ia menunjukkan kesan lemah dan hina. Saya tidak sendiri disedot oleh karisma dan kepribadian Husein. Lihatlah Gandi! Seorang Hindu yang mengatakan bahwa bila kalian ingin menang dalam perjuangan, maka berjalanlah di jalur Husein. Saya belajar dari Husein untuk menjadi mazlum agar dapat menang”.
Apakah Gandi seorang muslim sehingga ia harus mengucapkan kalimat-kalimat seperti itu? Atau Jibran Khalil Jibran seorang Kristen yang berbicara tentang Husein. Ia berkata: “Husein adalah pelita yang menerangi semua agama”. Saya juga ingin menggambarkan sosok itu, “Husein rahasia kekekalan semua agama”.
Soal: Di dalam Islam banyak pribadi agung yang dapat menjadi teladan, khususnya di Syi’ah ada para Imam, seperti Imam Ali as. Mengapa Anda memilih Zainab dan Husein as? Apakah selain keduanya, Anda punya tulisan juga?
AB: Pertanyaan bagus. Dalam buku ini, saya menuliskan ibarat yang berbunyi, “Islam dimulai oleh Muhammad dan kelanjutannya oleh Husein. Perjuangan Karbala dimulai oleh Husein dan kelanjutannya oleh Zainab”. Tuhan pada masa tertentu akan memilih sekelompok orang yang mampu menghidupkan hati manusia. Husein merupakan sebagian dari penghidup itu. Dengan pergerakan yang dilakukannya banyak “orang mati” yang hidup kembali. Dengan segala penghormatan terhadap semua Imam as, terutama Imam Ali as yang begitu dicintai oleh sebagian besar orang-orang Kristen Arab, perjuangan yang dilakukan oleh Husein merupakan perjuangan yang jelas dan dicatat oleh sejarah dan pengaruhnya tertanam dalam hati manusia. Percikan api yang terjadi di Karbala saat ini bak sinar lampu yang menerangi sejarah kehidupan manusia. Lihat bagaimana lampu yang coba dinyalakan oleh Muawiyah dan Yazid telah padam dan lenyap. Saat ini apa yang Anda ketahui tentang kuburan Yazid? Siapa yang menghormati kuburannya? Di Suriah, kuburannya telah berubah menjadi tempat sampah, tempat kucing mengaisi makanannya. Bandingkan dengan beberapa meter dari kuburannya, tempat kepala Husein dikuburkan. Tempat itu dihormati oleh kaum muslimin. Penghormatan kepada para Imam as, saya tunjukkan dengan alasan memilih Husein.
Perlu diketahui bahwa sekaitan dengan Imam Ali as, saya juga melakukan kajian tentangnya. Saya meneliti Imam Ali as berbarengan atau di sela-sela penelitian saya terhadap Husein. Saya telah membaca Nahjul Balaghah sebanyak 25 kali. Dan setiap kali saya membacanya terungkap poin-poin baru. Dalam tulisan-tulisan saya, bahkan dalam buku ini, ucapan-ucapan Imam Ali as banyak menghiasi. Sampai saat ini, ada beberapa artikel yang saya tuliskan tentang Imam Ali as.
Soal: Setelah melakukan kajian panjang dan dalam berhubungan dengan sejarah Islam tentang pribadi Imam Husein as, bagaimana sekarang Anda mendefinisikan Imam Husein as. Dengan ibarat lain, bagaimana Anda melihat dan mendefinisikan Imam Husein as?
AB: Definisi saya tentang Husein sama dengan ibarat pendek tentangnya dalam buku ini. Saya menyebutnya, “Husein rahasia kekekalan semua agama”. Saya memperkenalkan Husein sebagai martir yang tidak memiliki kedudukan dan kekayaan seperti Fir’aun dan Kisra. Husein begitu rendah hati dan untuk menjaga agama dan bergerak pada jalur kakeknya ia mulai menapaki jalannya. Ia memulai dengan berdialog dengan Muawiyah dan Yazid. Sayangnya, metode dialog tidak mempan. Husein tahu bakal terbunuh tapi ia tetap memilih jalan penuh bahaya itu. Dengan pasukan kecil berjumlah 70 orang ia menghadapi 70 ribu pasukan Ubaidillah. Ia dan pasukannya bergerak menuju Kufah agar pergerakan ini dapat menyentuh masyarakat.
Perjuangan Husein tidak khusus milik Sunni dan Syi’ah. Perjuangan Husein milik setiap orang mukmin. Itu yang diungkapkan oleh hadis, “Sesungguhnya pembantaian Husein membuat gejolak di dada orang mukmin yang tidak bakal padam selamanya”. Hadis ini tidak menyebutkan di dada muslim, melainkan mencakup setiap manusia bebas yang percaya dan mukmin akan jalan dan cara Husein. Oleh karenanya, setiap pemikir yang menyadari sejarah Husein bakal tertarik dan mengikutinya, sebagaimana mereka tertarik dan mengikuti jalan dan cara Ali bin Abi Thalib as.
Soal: Dalam buku Anda, disebutkan bahwa Nabi Isa as mengetahui kedatangan Husein ke Karbala. Nabi Isa as juga memberikan kabar tentang Husein. Apakah klaim Anda ini bisa dibuktikan?
AB: Iya! Argumentasi saya semuanya bisa ditemukan di Injil. Dalam sejarah disebutkan bahwa Isa sempat pergi ke Karbala. Isa as kemudian berkata kepada Bani Israil: “Barang siapa yang menemui Husein di sana, hendaknya ia menolongnya”. Sebagian meragukan riwayat sejarah ini. Saya tidak melihat ada keraguan tentang masalah ini. Karena Isa as memiliki banyak mukjizat. Ia dapat menghidupkan orang mati dan dapat pula menyembuhkan penyakit yang sulit sembuh. Oleh karenanya, apakah sulit buat dia untuk membuka rahasia masa depan dan mengatakan siapa yang bakal menjadi martir setelah dirinya?
Soal: Anda melakukan kajian yang luas dan mendalam mengenai kehidupan dan ucapan-ucapan Imam Husein as. Sisi mana dari pribadinya yang paling menarik perhatian Anda?
AB: Pertanyaan indah. Saya sangat tertarik pada sisi revolusioner dari pribadi Husein. Ketika keluar untuk melawan ia berkata: “Aku tidak melawan dengan alasan hawa nafsu, kesenangan, kerusakan dan kezaliman. Aku bangkit melawan untuk memperbaiki umat kakekku dan berdasarkan amar makruf dan nahi mungkar”. Semangat revolusioner semacam ini dapat menciptakan mukjizat. Pada tahun-tahun terakhir kita dapat melihat kemenangan revolusi, kemuliaan dan kebanggaan. Masyarakat Iran dengan pemimpinnya bahu membahu bangkit melawan hegemoni dan kezaliman berdasarkan filsafat ini.
Sisi lain dari kepribadian Husein yang sangat menarik perhatian saya adalah kerendahan hati di samping semangat revolusioner yang dimilikinya. Ini dua sifat yang tidak mungkin berdampingan pada diri seseorang. Sikap rendah hati merupakan sifat orang-orang pilihan Tuhan. Husein di samping memiliki semangat harga diri dan kebebasan di hadapan musuh, juga rendah hati. Ini sifat mulia yang menjadi kekhususan Husein.
Bersambung...
[1] . Wawancara dengan Antoine Bara pemikir Kristen yang menulis buku “Al-Husein fi al-Fikr al-Masihi” (Husein as Menurut Seorang Kristen). Wawancara ini dilakukan oleh harian Kayhan berbahasa Parsi di kantor Kayhan selama tiga jam dan dimuat pada tanggal 24 Januari 2007.
Antoine Bara adalah seorang Kristen yang sejak mudanya melakukan penelitian atas kehidupan dan perjuangan Imam Husein as. Penelitiannya kemudian dibukukan dan ditulis berdasarkan Injil dan ucapan-ucapan Isa as. Sebuah buku yang sulit dicari bandingannya karena ditulis oleh seorang Kristen. Ia kemudian memberikan nama bukunya “Al-Husein fi al-Fikr al-Masihi” (Husein as menurut seorang Kristen). Antoine Bara dalam bukunya menekankan tiga sisi penelitian, sastra dan emosional. Ia berhasil menggabungkan pandangan Islam dan Kristen dengan sangat baik. Ia membuat perbandingan antara kehidupan dan kesahidan Isa as dan kehidupan dan kesahidan Imam Husein as. Analisa yang dilakukannya terkadang sampai pada titik di mana ia benar-benar menuangkan kreativitasnya. Usaha ini perlu diacungi jempol oleh seorang muslim yang obyektif dan perlu dibaca.
Buku “Husein as menurut seorang Kristen” untuk pertama kalinya dicetak pada tahun 1978. Dan beberapa kali naik cetak yang disertai dengan tambahan-tambahan darinya. Cetakan ke empat buku ini beberapa bulan yang lalu telah dicetak. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam 17 bahasa dan di 5 universitas sebagai buku pegangan di tingkat pasca sarjana dan doktor.
Antoine Bara adalah keturunan Suriah yang memiliki warga negara Kuwait dan tinggal di sana. Ia dikenal sebagai seorang penulis sastra yang memiliki genre penulisan tersendiri. Sampai saat ini kurang lebih ada 15 jilid buku yang telah ditulisnya yang isinya kebanyakan berbicara tentang roman dan sastra. Sampai saat ini ia masih berprofesi sebagai wartawan dan saat ini adalah tahun ke 41 ia menekuni profesinya. Tulisan-tulisannya banyak mengiasi media-media terkenal. Saat ini ia adalah pimpinan redaksi majalah mingguan Al-Hawadits Network Kuwait.
Untuk pertama kalinya pada minggu kemarin ia menginjakkan kakinya ke Iran. Ia datang ke Iran memenuhi undangan untuk menghadiri konferensi Internasional Allamah Bahrani yang ke dua (15-17 Januari 2007). Koran Kayhan segera menangkap kesempatan emas ini dengan mengajaknya melihat gedung Kayhan sekaligus mewawancarainya. Ia bersama istrinya melihat aktivitas di Kayhan. Wawancara yang semulanya direncanakan singkat ternyata molor hingga tiga jam. Hal itu karena Bara tidak sungkan-sungkan dalam menjawab pertanyaan yang dilontarkan. Semua dijawab dengan kesederhanaan dan terbuka.
Pandangan-pandangannya tentang Imam Husein as membuat dia sering disebut sebagai Kristen Syi’ah. Seorang Kristen yang bermazhab Syi’ah. Menurut Bara, Syi’ah adalah puncak dari rasa cinta ilahi. Ia menegaskan bahwa Imam Husein as tidak hanya milik Syi’ah atau kaum muslimin, tapi Husein milik dunia.
Ia menyebutkan bahwa sampai saat ini telah membaca Nahjul Balaghah sebanyak 25 kali secara sempurna. Setiap kali ia membaca, selalu saja ia menemukan poin-poin baru.
Pada akhir dari tanya jawab itu, ia mengucapkan sebuah kalimat yang luar biasa. Dengan penuh perasaan ia berkata: “Husein berada dalam hati saya”.
Soal: Sebagai pertanyaan pembuka, sudikah Anda menceritakan tentang keluarga, kehidupan, pendidikan dan aktivitas sosial Anda?
AB: Saya Antoine Bara. Lahir di Suriah pada tahun 1943. Saya memiliki empat orang saudara laki-laki dan tiga orang saudara perempuan. Saya dikaruniai empat orang anak; Talal, Maryam, Feisal dan Yusuf. Kakek-kakek saya aslinya dari daerah Najd Arab Saudi. Sejak lama mereka kemudian pindah ke suriah (Syam dahulunya). Keluarga saya berasal dari kalangan menengah. Kebanyakan keluarga saya memilih profesi sebagai tukang kayu dan pembuat alat-alat yang diperlukan oleh para petani. Saya mulai masuk sekolah SD pada sebuah sekolah swasta yang dimiliki oleh orang-orang Kristen. Setelah menamatkan SD, bersama saudara saya Habib, kami melanjutkan ke sekolah pemerintah. Kami termasuk orang Kristen pertama yang sekolah di sana. Selama ini hanya pelajar muslim yang belajar di sana.
Pertemuan pertama pelajaran agama Islam, guru kami mengajak kami ke sebuah ruangan dan berkata: “Bila kalian tidak mengikuti pelajaran ini tidak masalah. Nilai kalian bisa diberikan lewat pelajaran bahasa Arab”. Pulang sekolah, masalah ini kami bicarakan dengan ayah. Orang tua kami malah mengatakan agar kami berdua ikut pelajaran itu. Kalian harus mengetahui agama-agama dunia. Kalian pelajari budaya Islam. Kita sebagai Arab Kristen kaya dengan budaya Islam Oleh karenanya, jangan sampai kalian tidak mengetahui budaya mereka.
Nasihat ayah sangat mempengaruhi kami. Ayah juga berbicara langsung dengan guru agama dan akhirnya kami ikut kelas agama Islam. Ayah sangat berjasa dalam rangka memperkenalkan kami dengan agama Islam.
Masuk SMU, saya memilih jurusan sastra. Sejak itu saya aktif menulis. Ketika pindah ke Kuwait, saya menjadi penulis berita olah raga di harian Akhbar al-Kuwait. Semenjak itu saya sering berpindah-pindah menulis berita olah raga, budaya, ekonomi, seni dan kabar daerah juga pernah saya lakoni. Menjadi penulis atau pimpinan redaksi koran atau majalah sudah merupakan pekerjaan saya. Kira-kira tahun ini adalah tahun ke 41 saya menekuni dunia jurnalistik.
Soal: Saat ini apa aktivitas Anda?
AB: Saat ini saya selaku direktur majalah mingguan Al-Hawadits Network. Majalah yang menyoroti masalah seni, sosial, budaya dan hukum. Tapi tidak itu saja kerja saya. Karena saya punya kontrak dengan sebagian majalah dan radio. Hanya saja saat ini konsentrasi saya pada buku-buku sastra dan roman. Saat ini saya punya buku yang ditulis sejak 25 tahun lalu. Buku itu berjudul “Zainab; Sharkhah Akmalat Masirah” (Zainab; Teriakan yang menyempurnakan perjalanan Husein as). Sampai saat ini belum selesai. Saya memberikan kemungkinan kualitasnya masih di bawah buku saudaranya “Al-Husein Fi al-Fikr al-Masihi”.
Soal: Maukah Anda menceritakan bagaimana Anda sampai mengenal tentang Ahul Bait, terutama Imam Husein as? Di mana Anda mulai pertama kali mengenal Imam Husein? Bagaimana itu terjadi sehingga Anda berpikiran untuk menulis tentang Imam Husein as?
AB: Semuanya terjadi begitu saja tanpa direncanakan. Apa yang saya baca mengenai Karbala sangat sedikit. Saat masih muda dan lagi semangat-semangatnya bekerja, bersama teman-teman kami pergi menemui almarhum Ayatullah Sayyid Muhammad Syirazi. Saat itu beliau bertanya kepada saya: “Apakah engkau mengetahui tentang peristiwa Karbala? Jawab saya: “Yang saya ketahui Karbala merupakan perang antara Yazid dan Husein”. Beliau melanjutkan: “Apakah engkau mengetahui tentang apa yang terjadi pada perang itu? “Tidak”, jawab saya. Beliau kemudian memberikan kepada saya beberapa buku tentang Karbala. Salah satunya adalah buku yang menceritakan kejadian rinci peristiwa Karbala berjudul al-Muqarram.
Sekembali dari sana, saya mulai membaca buku itu. Di samping membaca buku itu, saya secara aktif memberikan catatan-catatan di pinggir buku. Setelah sebulan saya kembali bertemu dengan Ayatullah Muhammad Syirazi. Beliau bertanya: “Apakah engkau telah membacanya? saya menjawab: “Iya”. Selain itu juga saya memberikan catatan pinggir dalam buku tersebut. Enam bulan setelah itu, Ayatullah Syirazi meminta saya untuk memperlihatkan catatan pinggir. Setelah membacanya, beliau berkata bahwa catatan-catatan yang saya berikan atas buku itu punya nilai untuk dijadikan sebuah buku. Karena dalam catatan itu ada banyak poin-poin yang belum ditulis oleh penulis Syi’ah maupun Sunni. Karena ini ditulis oleh seorang Kristen yang tidak pernah tahu akan kesucian tokoh yang bakal ditulis. Seorang yang tidak memandang sejarah hanya dari sisi materi tapi menukik jauh mengeksplorasi sisi maknawinya. Engkau sebagai seorang Kristen yang hidup di tengah-tengah peradaban Islam memiliki gaya tulisan dan sudut pandang yang berbeda. Mendapat dorongan itu saya hanya dapat menjawab: “Usia saya masih sangat muda untuk mengumpulkan ide-ide lalu menuliskannya. Ini sebuah pekerjaan besar dan sulit”. Beliau menasihati saya: “Mulailah bekerja! Allah dengan berkah Imam Husein as akan menolongmu”.
Semenjak itu saya mulai menulis. Namun, setiap kali saya mulai untuk menulis, terasa bahwa pekerjaan ini semakin sulit. Karena pekerjaan ini akan menyebabkan sebagian kelompok akan senang dan sebagian lainnya tidak senang. Khususnya, banyaknya data-data sejarah yang saling kontradiksi. Hal ini membuat saya seperti sedang berjalan di antara ranjau. Jalur yang saya pilih merupakan tempat persimpangan akidah dan mazhab yang memiliki masa lalu dimulai dari peristiwa Saqifah hingga pembantaian Karbala. Di sini ada kelompok yang pro dan ada yang kontra.
Sebagian seperti Ibn Qayyim al-Jauzi mengatakan bahwa kesalahan terbesar adalah kebangkitan dan perlawanan Husein. Sementara sejarawan lain menyebutkan bahwa gerakan Husein merupakan pergerakan yang berlandaskan akidah.
Dari sini, saya melihat bahwa betapa penting dan riskannya saya selaku seorang Kristen melihat masalah ini. Karena saya bukan seorang muslim sehingga tidak dipengaruhi secara emosional oleh kejadian. Saya bukan pula seorang orientalis yang tidak punya kepedulian mengkaji sisi emosi dan maknawi dari peristiwa Karbala.
Untuk menulis buku ini, saya melakukan rujukan terhadap ratusan sumber. Cukup lama saya melakukan penelitian. Setiap kali mulai menulis, saya merasa ikut secara emosi dan berkali-kali pula saya menghapus dan mulai menulis lagi sampai benar-benar saya puas dengan hasil tulisan saya sendiri. Penelitian yang saya lakukan menghabiskan waktu 5 tahun. Setelah itu saya mulai menulis. Dalam proses menulis buku ini, saya merasakan ada kekuatan yang tidak terlihat yang mendorong dan memacu saya untuk menyelesaikan tulisan. Sekarang, 32 tahun berlalu semenjak saya menulis buku ini. Dengan pengalaman di dunia jurnalistik, saya tidak yakin dapat menghasilkan karya yang lebih baik dari buku ini. Buku ini punya arti tersendiri buat saya dibandingkan 15 buah buku saya yang lain. Karena pengaruh dan reaksi yang indah dan positif muncul dalam usaha saya menulis buku ini. Analisa rasional yang saya pakai dalam mendekati masalah Karbala membuat saya sampai pada sebuah capaian. Saya merasa berhasil membuka cakrawala baru dalam mengkaji masalah Karbala.
Soal: Anda telah berbicara banyak mengenai buku “Husein as menurut seorang Kristen”. Kami akan sangat berterima kasih bila Anda mau berbicara lebih lanjut mengenai kekhususan buku ini?
AB: Kelebihan buku ini adalah cara pandang terhadap masalah. Perbedaan itu baik dari sisi kaum muslimin sendiri atau dari penulis-penulis orientalis. Kebanyakan orang yang telah membaca buku ini menyimpulkan bahwa ia ditulis dengan menjaga sikap obyektif, tidak memihak.
Kekhususan lain yang dimiliki adalah berusaha untuk melakukan perbandingan antara pribadi Husein dan Isa, baik dari sisi cara pandang, sikap, tindakan, ucapan dan cara mereka menemui kesahidan karena memperjuangkan akidah dan keyakinannya. Saya melihat banyak kesamaan antara pribadi Husein dan Isa sebagai seorang martir dan bukan sebagai seorang Nabi. Berkenaan dengan kehidupan dan kesahidan Husein saya banyak melakukan penelitian. Sungguh menakjubkan, banyak saya temukan perilaku, tindakan, ucapan, cara menyampaikan keyakinan dan bagaimana membela keyakinannya yang memiliki kesamaan dengan Isa. Ini satu hal yang baru buat saya. Tema ini secara terperinci saya kaji yang memunculkan pertanyaan mengapa kedua orang ini lebih memilih mati. Terlebih buat Husein yang masih punya kesempatan untuk meraih keuntungan material. Ia dapat saja memilih kedudukan dan kekayaan duniawi bila sedikit menunjukkan kelenturannya dalam menyikapi keadaan yang ada. Ia dapat saja menerima keinginan Muawiyah dan Yazid. Dengan mudah ia dapat menyelamatkan dirinya dari kematian. Namun, berdasarkan ayat, “Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan atau pun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah” (at-Taubah: 41), ia melakukan pergerakan yang luar biasa. Ia tidak mempedulikan semua pangkat, kedudukan dan kekayaan. Sementara itu pada saat bersamaan, para pecinta dunia tamak akan semua itu. Husein meninggalkan semua itu dan menuju pada jalan kesahidan. Dalam usahanya menuju jalan kesahidan ia tidak lupa membawa keluarganya menuju syahadah. Ia tahu betul bahwa mereka berada di jalur akidah.
Soal: Kami mendengar bahwa pada cetakan keempat ini Anda melakukan revisi serta menambahkan tulisan lain sehingga buku ini terlihat lebih berisi dan kaya. Apakah Anda mau memberikan penjelasan lebih lanjut?
AB: Pada cetakan keempat, saya menambahkan komentar-komentar dari tokoh-tokoh kaum muslimin; baik dari Sunni maupun Syi’ah. Komentar yang pernah dimuat di media. Begitu juga saya menambahkan tentang pemberitaan buku ini. Karena buku ini sempat di meja hijaukan oleh pemerintah Kuwait dan dilarang peredarannya. Tambahan lain adalah adanya 50 gambar yang dihasilkan oleh seniman Iran dan Arab yang menggambarkan bagaimana terjadinya peristiwa Karbala. Gambar-gambar ini saya letakkan di akhir buku. Yang lebih penting dari semua itu adalah penambahan sumber-sumber rujukan baru yang tidak terdapat pada cetakan sebelumnya. Ringkasnya, cetakan ke empat merupakan hasil usaha penelitian baru selama 20 tahun dengan analisa yang lebih rinci dan detil guna memperkaya buku ini. Alhamdulillah, cetakan keempat ini telah dicetak dan lebih bisa diterima.
Soal: Pelarangan peredaran buku Anda seperti apa?
AB: Masalah di meja hijaukan buku ini merupakan hal yang aneh. Mengapa saya katakan aneh, karena sangkaan itu berdasarkan ibarat tentang kepemimpinan Utsman atas kaum muslimin, cara ia memerintah dan bagaimana masyarakat melakukan demonstrasi terhadapnya. Saya menukil ibarat-ibarat itu dari buku rujukan yang paling dipercaya. Buku yang saya jadikan rujukan ada tersimpan rapi di perpustakaan Kuwait. Pada tahun 1986 ada surat panggilan dari pengadilan untuk saya. Alasannya adalah ibarat yang saya pakai tentang Utsman merupakan hasil karangan saya belaka dan tidak ada data yang jelas.
Untuk membuktikan ketidakbersalahan saya, puluhan rujukan dan buku yang menulis tentang Utsman saya bawakan dan perlihatkan kepada mereka. Saya katakan bahwa masalah ini sangat jelas dan tidak ada yang perlu ditutup-tutupi. Bahkan, yang menarik, saya menemukan ibarat yang lebih keras di sebuah majalah al-Arabi yang berafiliasi dengan Kementrian Penerangan Kuwait. Ibarat yang ada dengan isi yang sama, namun dengan nada keras berbicara tentang Utsman.
Ironisnya, karena sejak awal niat mereka adalah berusaha agar buku ini tidak diterbitkan, pertama mereka menuntut saya mengganti rugi sebesar 50 dinar. Setelah itu terbit pelarangan dan penarikan kembali buku ini. Saya tidak terima. Saya minta naik banding. Dalam pengadilan banding, saya membawakan data-data sejarah kira-kira setebal 150 halaman. Hakim pada pengadilan banding, tanpa berusaha mau melihat data-data yang saya bawakan, yang kesemuanya dari buku-buku Ahli Sunah, memenangkan amar putusan pengadilan sebelumnya. Saya dapat merasakan bagaimana hakim punya niat tidak baik sejak awal. Saya tahu betul bahwa hakim punya hubungan erat dengan gerakan salafi.
Setelah lama berlalu, pada akhirnya saya tahu bahwa apa yang terkait dengan Syi’ah bakal disidangkan dan pasti putusannya adalah pelarangan peredaran. Pada akhirnya, buku saya pada tahun itu termasuk yang berada di daftar buku-buku hitam yang dilarang terbit.
Dengan kejadian itu, saya berkesimpulan untuk tidak mencetak untuk keduakalinya. Semenjak itu, kurang lebih selama 20 tahun, yang saya lakukan adalah mengedit kembali dengan memberikan tambahan. Saya hanya melakukan itu hingga dua tahun terakhir saya melangkah lebih jauh dengan terjun langsung melakukan lay out dan mencetaknya. Akhirnya cetakan baru keluar tanpa kekurangan dan kritik.
Soal: Apa reaksi dan respon pembaca buku Anda?
AB: Setelah buku itu terbit, kira-kira 3 bulan, salah seorang salafi yang ekstrim menulis buku dengan judul “Yazid Amir al-Mukminin” (Yazid pemimpin kaum mukminin), yang tujuannya sebagai jawaban dan kritikan atas buku saya. Ia salah seorang pengikut kelompok yang sesat. Dengan semua fasilitas yang dimilikinya berusaha untuk menyesatkan pemikiran Islam dan Syi’ah. Ia membawa bukunya untuk dicetak di percetakan di mana buku saya dicetak. Pimpinan percetakan yang melihat gelagat tidak baik, lantas memintanya untuk mendapatkan izin cetak terlebih dahulu baru dicetak. Ucapan ini membuatnya tidak jadi memaksakan bukunya untuk dicetak. Setelah setahun, saya baru tahu kalau buku itu dicetak di Arab Saudi. Buku ini isinya penuh dengan hinaan dan cemoohan terhadap Husein yang dipengaruhi oleh pemikiran ibn Jauzi.
Selain buku di atas, ada beberapa buku lain yang diterbitkan. Buku-buku ini pada bagian-bagian tertentu dari pembahasannya sedikit banyaknya berusaha melakukan kritik atas buku saya. Begitu juga di media massa dengan mudah dapat ditemukan, baik dahulu atau sekarang, tulisan-tulisan yang melakukan kritik. Semua itu dilakukan oleh kaum muslim ekstrim.
Dari sisi lain, banyak dari kalangan muslim, baik itu Sunni atau Syi’ah, memberikan pujian atas keberadaan buku ini. Buku ini mencerminkan rasa persatuan dan mencoba melihat masalah secara lebih obyektif. Menurut mereka, sikap obyektif yang tercermin dari buku ini merupakan kelebihan buku ini. Mereka menegaskan bahwa buku ini ditulis jauh dari sikap fanatik dan tendensi tertentu. Gaya kajian buku ini mempergunakan metode rasional dan tidak memihak.
Mereka yang kontra mengatakan bahwa semua yang tertulis dalam buku ini tidak benar. Semua kesamaan antara Husein dan Isa, pada kenyataannya tidak ada. Bila nampak seperti ada kesamaan, maka itu hanya kebetulan saja.
Secara umum, setelah peluncuran buku ini, banyak yang pro dan kontra, namun yang pro lebih banyak.
Soal: Anda sendiri melihat bagaimana reaksi ulama Islam dan para pendeta tentang buku ini?
AB: Di kalangan kaum muslimin, kebanyakan ulama Syi’ah dan sebagian kelompok dari ulama Ahli Sunah menunjukkan sikap positif atas terbitnya buku ini. Mereka menyebutkan sebuah buku yang menganalisa secara rasional, indah dan perlu dibaca. Buku ini mampu menjaga sikap obyektif. Ulama Syi’ah secara keseluruhan memberikan penilaian bahwa buku ini membawa ide-ide yang benar-benar baru, teori dan analisa yang diberikan lahir dari kreativitas penulis. Sementara sebagian ulama salafi yang ekstrim menganggap muatan buku ini tidak benar dan memuat ajaran dan keyakinan Syi’ah.
Ilmuwan dan para pendeta menunjukkan sikap positif. Mereka memuji hasil kerja saya. Bahkan sebagian dari mereka sangat senang dengan diterbitkannya buku yang seperti ini. Mereka berkeyakinan usaha ini adalah upaya untuk mendekatkan agama-agama dan mencoba menyatukan perbuatan para wali dan Nabi.
Umumnya, mereka yang mengkritik buku ini tidak memiliki dalil dan data yang cukup. Saya sendiri melihat bahwa kritikan itu lahir dari sikap fanatik dan tendensi tertentu. Kefanatikan mereka begitu besar sehingga menutup mata mereka untuk menanyakan, mengapa cucu Nabi harus melakukan penentangan atas penguasa? Semua fasilitas tidak digubrisnya, malah mengajak keluarga menuju jalan yang penuh bahaya. Apakah tujuan Husein bersifat pribadi? Bila untuk itu, ia tidak akan membahayakan dirinya. Namun, kita melihat bagaimana setelah berabad-abad, generasi demi generasi, ide dan jalan yang ditempuh Husein disucikan. Jutaan manusia mengingat Husein dengan penghormatan. Apakah ini bukan rahasia ilahi?
Ada yang mengkritik saya dengan mengatakan bahwa bukankah engkau bukan seorang muslim, mengapa harus menulis tentang Husein? Jawaban saya: “Bagaimana mungkin seseorang tidak tertarik dan luruh di hadapan pribadi sebesar Husein yang berasal dari keturunan Nabi, Ali dan Fathimah Zahra? Dalam catatan sejarah tidak pernah dalam kehidupannya ditemukan ia menunjukkan kesan lemah dan hina. Saya tidak sendiri disedot oleh karisma dan kepribadian Husein. Lihatlah Gandi! Seorang Hindu yang mengatakan bahwa bila kalian ingin menang dalam perjuangan, maka berjalanlah di jalur Husein. Saya belajar dari Husein untuk menjadi mazlum agar dapat menang”.
Apakah Gandi seorang muslim sehingga ia harus mengucapkan kalimat-kalimat seperti itu? Atau Jibran Khalil Jibran seorang Kristen yang berbicara tentang Husein. Ia berkata: “Husein adalah pelita yang menerangi semua agama”. Saya juga ingin menggambarkan sosok itu, “Husein rahasia kekekalan semua agama”.
Soal: Di dalam Islam banyak pribadi agung yang dapat menjadi teladan, khususnya di Syi’ah ada para Imam, seperti Imam Ali as. Mengapa Anda memilih Zainab dan Husein as? Apakah selain keduanya, Anda punya tulisan juga?
AB: Pertanyaan bagus. Dalam buku ini, saya menuliskan ibarat yang berbunyi, “Islam dimulai oleh Muhammad dan kelanjutannya oleh Husein. Perjuangan Karbala dimulai oleh Husein dan kelanjutannya oleh Zainab”. Tuhan pada masa tertentu akan memilih sekelompok orang yang mampu menghidupkan hati manusia. Husein merupakan sebagian dari penghidup itu. Dengan pergerakan yang dilakukannya banyak “orang mati” yang hidup kembali. Dengan segala penghormatan terhadap semua Imam as, terutama Imam Ali as yang begitu dicintai oleh sebagian besar orang-orang Kristen Arab, perjuangan yang dilakukan oleh Husein merupakan perjuangan yang jelas dan dicatat oleh sejarah dan pengaruhnya tertanam dalam hati manusia. Percikan api yang terjadi di Karbala saat ini bak sinar lampu yang menerangi sejarah kehidupan manusia. Lihat bagaimana lampu yang coba dinyalakan oleh Muawiyah dan Yazid telah padam dan lenyap. Saat ini apa yang Anda ketahui tentang kuburan Yazid? Siapa yang menghormati kuburannya? Di Suriah, kuburannya telah berubah menjadi tempat sampah, tempat kucing mengaisi makanannya. Bandingkan dengan beberapa meter dari kuburannya, tempat kepala Husein dikuburkan. Tempat itu dihormati oleh kaum muslimin. Penghormatan kepada para Imam as, saya tunjukkan dengan alasan memilih Husein.
Perlu diketahui bahwa sekaitan dengan Imam Ali as, saya juga melakukan kajian tentangnya. Saya meneliti Imam Ali as berbarengan atau di sela-sela penelitian saya terhadap Husein. Saya telah membaca Nahjul Balaghah sebanyak 25 kali. Dan setiap kali saya membacanya terungkap poin-poin baru. Dalam tulisan-tulisan saya, bahkan dalam buku ini, ucapan-ucapan Imam Ali as banyak menghiasi. Sampai saat ini, ada beberapa artikel yang saya tuliskan tentang Imam Ali as.
Soal: Setelah melakukan kajian panjang dan dalam berhubungan dengan sejarah Islam tentang pribadi Imam Husein as, bagaimana sekarang Anda mendefinisikan Imam Husein as. Dengan ibarat lain, bagaimana Anda melihat dan mendefinisikan Imam Husein as?
AB: Definisi saya tentang Husein sama dengan ibarat pendek tentangnya dalam buku ini. Saya menyebutnya, “Husein rahasia kekekalan semua agama”. Saya memperkenalkan Husein sebagai martir yang tidak memiliki kedudukan dan kekayaan seperti Fir’aun dan Kisra. Husein begitu rendah hati dan untuk menjaga agama dan bergerak pada jalur kakeknya ia mulai menapaki jalannya. Ia memulai dengan berdialog dengan Muawiyah dan Yazid. Sayangnya, metode dialog tidak mempan. Husein tahu bakal terbunuh tapi ia tetap memilih jalan penuh bahaya itu. Dengan pasukan kecil berjumlah 70 orang ia menghadapi 70 ribu pasukan Ubaidillah. Ia dan pasukannya bergerak menuju Kufah agar pergerakan ini dapat menyentuh masyarakat.
Perjuangan Husein tidak khusus milik Sunni dan Syi’ah. Perjuangan Husein milik setiap orang mukmin. Itu yang diungkapkan oleh hadis, “Sesungguhnya pembantaian Husein membuat gejolak di dada orang mukmin yang tidak bakal padam selamanya”. Hadis ini tidak menyebutkan di dada muslim, melainkan mencakup setiap manusia bebas yang percaya dan mukmin akan jalan dan cara Husein. Oleh karenanya, setiap pemikir yang menyadari sejarah Husein bakal tertarik dan mengikutinya, sebagaimana mereka tertarik dan mengikuti jalan dan cara Ali bin Abi Thalib as.
Soal: Dalam buku Anda, disebutkan bahwa Nabi Isa as mengetahui kedatangan Husein ke Karbala. Nabi Isa as juga memberikan kabar tentang Husein. Apakah klaim Anda ini bisa dibuktikan?
AB: Iya! Argumentasi saya semuanya bisa ditemukan di Injil. Dalam sejarah disebutkan bahwa Isa sempat pergi ke Karbala. Isa as kemudian berkata kepada Bani Israil: “Barang siapa yang menemui Husein di sana, hendaknya ia menolongnya”. Sebagian meragukan riwayat sejarah ini. Saya tidak melihat ada keraguan tentang masalah ini. Karena Isa as memiliki banyak mukjizat. Ia dapat menghidupkan orang mati dan dapat pula menyembuhkan penyakit yang sulit sembuh. Oleh karenanya, apakah sulit buat dia untuk membuka rahasia masa depan dan mengatakan siapa yang bakal menjadi martir setelah dirinya?
Soal: Anda melakukan kajian yang luas dan mendalam mengenai kehidupan dan ucapan-ucapan Imam Husein as. Sisi mana dari pribadinya yang paling menarik perhatian Anda?
AB: Pertanyaan indah. Saya sangat tertarik pada sisi revolusioner dari pribadi Husein. Ketika keluar untuk melawan ia berkata: “Aku tidak melawan dengan alasan hawa nafsu, kesenangan, kerusakan dan kezaliman. Aku bangkit melawan untuk memperbaiki umat kakekku dan berdasarkan amar makruf dan nahi mungkar”. Semangat revolusioner semacam ini dapat menciptakan mukjizat. Pada tahun-tahun terakhir kita dapat melihat kemenangan revolusi, kemuliaan dan kebanggaan. Masyarakat Iran dengan pemimpinnya bahu membahu bangkit melawan hegemoni dan kezaliman berdasarkan filsafat ini.
Sisi lain dari kepribadian Husein yang sangat menarik perhatian saya adalah kerendahan hati di samping semangat revolusioner yang dimilikinya. Ini dua sifat yang tidak mungkin berdampingan pada diri seseorang. Sikap rendah hati merupakan sifat orang-orang pilihan Tuhan. Husein di samping memiliki semangat harga diri dan kebebasan di hadapan musuh, juga rendah hati. Ini sifat mulia yang menjadi kekhususan Husein.
Bersambung...
[1] . Wawancara dengan Antoine Bara pemikir Kristen yang menulis buku “Al-Husein fi al-Fikr al-Masihi” (Husein as Menurut Seorang Kristen). Wawancara ini dilakukan oleh harian Kayhan berbahasa Parsi di kantor Kayhan selama tiga jam dan dimuat pada tanggal 24 Januari 2007.
Diposting oleh Saleh Lapadi di 12.56 0 komentar
Label: Artikel
Jumat, 26 Januari 2007
Raja Abdullah; Terima kasih anda telah menghina Asyura!
Raja Abdullah; Terima kasih anda telah menghina Asyura!
Abdullah bin Abdul Aziz, raja Arab Saudi bersama para petinggi negara menghadiri sebuah acara. Dalam acara itu, sang penceramah melecehkan Asyura. Hal ini membuat orang-orang syi’ah Arab Saudi tidak senang.
Acara tersebut diadakan di istana kerajaan Al-Yamamah. Acaranya ditayangkan langsung oleh chanel 1 TV Arab Saudi. Pertemuan ini dihadiri antara lain oleh raja Abdullah, mufti besar Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah Ali as-Syeikh, pemimpin bidang penelitian ilmiah dan fatwa Arab Saudi, Syeikh saleh bin Muhammad al-Lahidan, ketua syura pengadilan tinggi dan seluruh ulama Wahabi. Penceramah pada acara itu adalah seorang ulama muda. Isinya ceramahnya mempertanyakan hakikat dan peristiwa Asyura. Katanya: “Sekarang kita berada di ambang hari Asyura, di bulan Muharam. Kita harus mengetahui hakikat mengenai hari ini. Kita harus berusaha menghapus kebohongan-kebohongan hari yang menyenangkan ini”.
Ia menyebutkan bahwa puasa pada hari Tasu’a (9 Muharam) dan hari ke sebelas Muharam hukumnya sunah. Ditambahkan olehnya: “barang siapa yang berpuasa pada hari-hari tersebut maka ia telah mengikuti Rasulullah saw dan Nabi Musa as. Hari Asyura adalah hari di mana Allah menenggelamkan Firaun di sungai Nil dan menyelamatkan Nabi Musa as dan para pengikutnya”.
Tanpa menyinggung syahadah Imam Husein as dan para sahabatnya di hari Asyura, penceramah membacakan beberapa ayat Al-Qur’an dan tafsirannya, ia menambahkan bahwa hari ini adalah hari besar, hari terjadinya peristiwa-peristiwa besar yang menggembirakan. Semua orang perlu tahu dan menjadikan hari ini sebagai hari kesenangan dan berpuasa. Ia bahkan mengajak hadirin untuk mempersiapkan dirinya mulai hari ini untuk berpesta pora di hari Asyura. Karena ungkapan ini, raja Abdullah berdiri menyambut penceramah dan mengucapkan terima kasih dan menciumnya.
Penayangan pidato semacam ini, di hari-hari ‘aza (kesedihan) Imam Husein as. melalu chanel 1 TV Saudi menyebabkan kemarahan orang-orang Syi’ah negara ini. Orang-orang Syi’ah yang mayoritas tinggal di bagian timur Arab Saudi.
Pemerintah Arab Saudi melarang untuk mengadakan acara untuk memperingati pembantaian Imam Husein as dan keluarga beserta rombongannya di hari Asyura. Segala bentuk ‘aza dan pembacaan ziarah Asyura di hari Asyura dilarang keras.
Pada zaman jahiliah, puasa hari Asyura menjadi perhatian. Orang-orang Yahudi berpuasa di hari itu dan mengadakan pesta pora. Hari Asyura disebut sebagai “Hari Raya Kipur”.
Sementara orang-orang Syi’ah meyakini bahwa hari Asyura adalah hari di mana Bani Umayyah bersenang-senang. Mereka bergembira karena berhasil membunuh cucu Nabi Muhammad saw. Mereka bergembira karena berhasil melecehkan kehormatan Ahlul Bait Nabi as. [Emi Ms]
Abdullah bin Abdul Aziz, raja Arab Saudi bersama para petinggi negara menghadiri sebuah acara. Dalam acara itu, sang penceramah melecehkan Asyura. Hal ini membuat orang-orang syi’ah Arab Saudi tidak senang.
Acara tersebut diadakan di istana kerajaan Al-Yamamah. Acaranya ditayangkan langsung oleh chanel 1 TV Arab Saudi. Pertemuan ini dihadiri antara lain oleh raja Abdullah, mufti besar Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah Ali as-Syeikh, pemimpin bidang penelitian ilmiah dan fatwa Arab Saudi, Syeikh saleh bin Muhammad al-Lahidan, ketua syura pengadilan tinggi dan seluruh ulama Wahabi. Penceramah pada acara itu adalah seorang ulama muda. Isinya ceramahnya mempertanyakan hakikat dan peristiwa Asyura. Katanya: “Sekarang kita berada di ambang hari Asyura, di bulan Muharam. Kita harus mengetahui hakikat mengenai hari ini. Kita harus berusaha menghapus kebohongan-kebohongan hari yang menyenangkan ini”.
Ia menyebutkan bahwa puasa pada hari Tasu’a (9 Muharam) dan hari ke sebelas Muharam hukumnya sunah. Ditambahkan olehnya: “barang siapa yang berpuasa pada hari-hari tersebut maka ia telah mengikuti Rasulullah saw dan Nabi Musa as. Hari Asyura adalah hari di mana Allah menenggelamkan Firaun di sungai Nil dan menyelamatkan Nabi Musa as dan para pengikutnya”.
Tanpa menyinggung syahadah Imam Husein as dan para sahabatnya di hari Asyura, penceramah membacakan beberapa ayat Al-Qur’an dan tafsirannya, ia menambahkan bahwa hari ini adalah hari besar, hari terjadinya peristiwa-peristiwa besar yang menggembirakan. Semua orang perlu tahu dan menjadikan hari ini sebagai hari kesenangan dan berpuasa. Ia bahkan mengajak hadirin untuk mempersiapkan dirinya mulai hari ini untuk berpesta pora di hari Asyura. Karena ungkapan ini, raja Abdullah berdiri menyambut penceramah dan mengucapkan terima kasih dan menciumnya.
Penayangan pidato semacam ini, di hari-hari ‘aza (kesedihan) Imam Husein as. melalu chanel 1 TV Saudi menyebabkan kemarahan orang-orang Syi’ah negara ini. Orang-orang Syi’ah yang mayoritas tinggal di bagian timur Arab Saudi.
Pemerintah Arab Saudi melarang untuk mengadakan acara untuk memperingati pembantaian Imam Husein as dan keluarga beserta rombongannya di hari Asyura. Segala bentuk ‘aza dan pembacaan ziarah Asyura di hari Asyura dilarang keras.
Pada zaman jahiliah, puasa hari Asyura menjadi perhatian. Orang-orang Yahudi berpuasa di hari itu dan mengadakan pesta pora. Hari Asyura disebut sebagai “Hari Raya Kipur”.
Sementara orang-orang Syi’ah meyakini bahwa hari Asyura adalah hari di mana Bani Umayyah bersenang-senang. Mereka bergembira karena berhasil membunuh cucu Nabi Muhammad saw. Mereka bergembira karena berhasil melecehkan kehormatan Ahlul Bait Nabi as. [Emi Ms]
Diposting oleh Saleh Lapadi di 11.31 2 komentar
Label: Artikel
Jawaban Al-Biruni Buat Raja Abdullah
Abu Raihan Al-Biruni;
Reaksi Terhadap Pewaris Bani Umayah Masa Kini
Rasul Ja’fariyan
Dalam kabar sebelumnya disebutkan bahwa raja Abdullah sang penguasa Arab Saudi bangkit dari tempat duduknya menyambut penceramah yang menyebutkan bahwa hari Asyura, hari kesepuluh dari bulan Muharam, sebagai hari lebaran. Sikap Abdullah ini memicu kemarahan Syi’ah Arab Saudi.
Sebenarnya masalah ini telah dibahas secara terperinci dalam buku-buku. Semua buku yang ada menyebutkan bahwa menerima hari Asyura sebagai hari raya merupakan warisan Islam warna Mu’awiyah. Bukan ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw.
Sekalipun demikian, tampaknya tidak salah bila saya berusaha kembali mengulangi lagi membahas masalah ini. Sebagai pembuka, saya akan membuka kajian ini dengan melihat analisa historikal yang dilakukan oleh Abu Raihan al-Biruni (360-440). Seorang penulis sejarah yang kritis dan diakui oleh semua mazhab Islam. Analisanya akan saya nukilkan kemudian disambung dengan penjelasan dari saya.
Abu Raihan al-Biruni dalam bukunya “al-Atsar al-Baqiyah” buku yang mencoba membandingkan ilmu penanggalan yang ada di masyarakat dunia sekaligus membicarakan masalah ilmu perbintangan. Dalam bukunya itu ia menulis:
“Hari pertama bulan Muharam merupakan hari besar. Karena hari itu merupakan hari pertama perpindahan tahun. Sementara hari kesembilan di bulan Muharam disebut Tasu’a. Hari kesembilan disebut demikian dengan membandingkannya dengan Asyura, hari kesepuluh. Hari kesembilan adalah hari di mana-mana orang-orang zuhud Syi’ah melakukan salat. Sementara hari kesepuluh disebut Asyura karena hari ini merupakan hari yang mengandung fadhilah. Keutamaan hari ini telah dikenal dan masyhur.
Diriwayatkan dari Rasulullah saw: “Ya Ayyuhannas! Pada hari ini bersegeralah kalian untuk melakukan perbuatan baik. Ini hari besar. Dan pada hari ini Allah memberi berkah-Nya”.
Kaum muslimin menganggap dan menghormati hari ini sebagai hari besar, sehingga Husein bin Ali terbunuh di kota Tuff. Ia dibunuh bersama Ahlul Bait Nabi Muhammad saw dari keturunan Ali bin Abi Thalib. Mereka melakukan perbuatan terhadap Husein dan keluarga Nabi yang tidak pernah dilakukan oleh masyarakat manapun di dunia. Bahkan tidak ada satu kelompok pun yang melakukan perbuatan yang demikian terhadap orang yang paling jahat sekalipun. Perbuatan mereka adalah membunuh dengan terlebih dahulu membuat Husein dan keluarga Nabi kehausan, kemah-kemah mereka dibakar, kepala-kepala mereka dipenggal dan ditancapkan di ujung rombak lalu diacung-acungkan, menggiring kuda-kuda untuk menginjak-injak jasad mereka, menghina kehormatan mereka, menawan wanita dan anak-anak lalu menaikkan mereka di atas unta sambil menghina.
Pada hari ini, Bani Umayah menghias diri, memakai celak mata dan memakai pakaian baru. Hari ini mereka merayakannya sebagai hari raya. Mengadakan acara perkawinan, melayani tamu dan membagi-bagikan makanan. Kebiasaan ini dilakukan sepanjang mereka berkuasa di tengah-tengah masyarakat. Kebiasaan ini tetap dilakukan sepeninggal dinasti Umayyah.
Sementara itu, orang-orang Syi’ah membaca sair-sair kesedihan. Mereka menangis dan meratapi kejadian yang menimpa Husein. Hal ini dilakukan di kota Baghdad dan kota-kota lainnya. Mereka pada hari ini pergi ke Karbala untuk melakukan ziarah. Mereka tidak senang dengan kelakuan masyarakat yang ikut memakai pakaian baru dan memperbaharui perkakas mereka pada hari itu.
Ketika berita syahadah Husein sampai di Madinah. Anak perempuan Aqil bin Abi Thalib keluar sambil membaca sair:
Apa jawaban kalian terhadap Nabi (di hari kiamat)
Bila ia bertanya: “Kalian sebagai umat terakhir apa yang kalian lakukan?
Apa yang kalian lakukan dengan keluargaku ketika aku tiada?
Sebagian dari mereka kalian bunuh dan sebagian lainnya kalian tawan?
Aku telah menasihati kalian
Ini bukan balasan yang seharusnya kalian lakukan
Kalian melakukan perbuatan dosa terhadap keluargaku!”[1]
Beberapa poin yang perlu diketahui:
Abu Raihan al-Biruni menyebutkan bahwa hari ke sepuluh bulan Muharam sebagai hari yang memiliki berkah sesuai dengan riwayat yang dibuat oleh Bani Umayah. Riwayat ini tidak memiliki dasar. Untuk membenarkan perilaku dan kebijakan mereka atas pembantaian mereka atas Imam Husein as dan keluarganya di Karbala, mereka terpaksa harus membuat hadis-hadis palsu semacam ini.
Hal yang menarik dalam tulisan al-Biruni, ia menangkap riwayat ini sebagai hadis buatan. Ini dapat ditemui pada kelanjutan buku tersebut. Saat al-Biruni berusaha menjelaskan kata Asyura, ia menukil sebuah hadis dari Rasulullah saw. Riwayat itu menceritakan bahwa ketika Nabi memasuki kota Madinah dengan melakukan puasa Asyura. Al-Biruni lantas melakukan penghitungan matematis untuk menetapkan kapan persisnya Nabi memasuki kota Madinah. Ia berhasil membuktikan bahwa kedatangan Nabi di Madinah tidak ada hubungannya dengan bulan Muharam. Ini sekaligus membuktikan bohongnya hadis yang menyebutkan bahwa Nabi memasuki kota Madinah untuk pertama kalinya dengan berpuasa.
Ini menunjukkan bahwa pada dasarnya, menganggap hari Asyura sebagai hari yang memiliki berkah dan berpuasa pada waktu itu hanya sebuah kebohongan sejarah. Lebih lanjut lagi, al-Biruni ketika menukil lebih lanjut ucapan-ucapan tentang berkah hari Asyura memberikan penekanan bahwa riwayat-riwayat ini berasal dari “awam muhadditsin” (ahli hadis yang awam). Mereka melakukan ini agar pengikut Ahli Kitab di zaman itu menjadi tenang dan senang.
Perlu kiranya menyorot lebih jauh mengenai laporan al-Biruni mengenai ketidaksetujuan orang-orang Syi’ah dengan kebijakan penguasa Bani Umayah pada waktu itu. Ketidaksenangan mereka bersumber dari peristiwa Karbala. Peristiwa pembantaian Imam Husein as beserta keluarga dan rombongannya. Dan kebiasaan yang masih tersisa dari perilaku Bani Umayah adalah apa yang dilakukan sampai saat ini oleh sebagian orang.
Ironis! Sepanjang sejarah dapat ditemukan bagaimana orang-orang Ahli Sunah mengenang kejadian paling menyedihkan dalam sejarah. Tapi orang-orang yang masih mengikuti kebiasaan Bani Umayah berusaha untuk menghidupkan kembali perilaku itu dengan menjadikan sepuluh hari pertama bulan Muharam, terutama hari kesepuluh, Asyura, sebagai hari besar dan dirayakan dengan penuh kegembiraan. [Saleh Lapadi]
Reaksi Terhadap Pewaris Bani Umayah Masa Kini
Rasul Ja’fariyan
Dalam kabar sebelumnya disebutkan bahwa raja Abdullah sang penguasa Arab Saudi bangkit dari tempat duduknya menyambut penceramah yang menyebutkan bahwa hari Asyura, hari kesepuluh dari bulan Muharam, sebagai hari lebaran. Sikap Abdullah ini memicu kemarahan Syi’ah Arab Saudi.
Sebenarnya masalah ini telah dibahas secara terperinci dalam buku-buku. Semua buku yang ada menyebutkan bahwa menerima hari Asyura sebagai hari raya merupakan warisan Islam warna Mu’awiyah. Bukan ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw.
Sekalipun demikian, tampaknya tidak salah bila saya berusaha kembali mengulangi lagi membahas masalah ini. Sebagai pembuka, saya akan membuka kajian ini dengan melihat analisa historikal yang dilakukan oleh Abu Raihan al-Biruni (360-440). Seorang penulis sejarah yang kritis dan diakui oleh semua mazhab Islam. Analisanya akan saya nukilkan kemudian disambung dengan penjelasan dari saya.
Abu Raihan al-Biruni dalam bukunya “al-Atsar al-Baqiyah” buku yang mencoba membandingkan ilmu penanggalan yang ada di masyarakat dunia sekaligus membicarakan masalah ilmu perbintangan. Dalam bukunya itu ia menulis:
“Hari pertama bulan Muharam merupakan hari besar. Karena hari itu merupakan hari pertama perpindahan tahun. Sementara hari kesembilan di bulan Muharam disebut Tasu’a. Hari kesembilan disebut demikian dengan membandingkannya dengan Asyura, hari kesepuluh. Hari kesembilan adalah hari di mana-mana orang-orang zuhud Syi’ah melakukan salat. Sementara hari kesepuluh disebut Asyura karena hari ini merupakan hari yang mengandung fadhilah. Keutamaan hari ini telah dikenal dan masyhur.
Diriwayatkan dari Rasulullah saw: “Ya Ayyuhannas! Pada hari ini bersegeralah kalian untuk melakukan perbuatan baik. Ini hari besar. Dan pada hari ini Allah memberi berkah-Nya”.
Kaum muslimin menganggap dan menghormati hari ini sebagai hari besar, sehingga Husein bin Ali terbunuh di kota Tuff. Ia dibunuh bersama Ahlul Bait Nabi Muhammad saw dari keturunan Ali bin Abi Thalib. Mereka melakukan perbuatan terhadap Husein dan keluarga Nabi yang tidak pernah dilakukan oleh masyarakat manapun di dunia. Bahkan tidak ada satu kelompok pun yang melakukan perbuatan yang demikian terhadap orang yang paling jahat sekalipun. Perbuatan mereka adalah membunuh dengan terlebih dahulu membuat Husein dan keluarga Nabi kehausan, kemah-kemah mereka dibakar, kepala-kepala mereka dipenggal dan ditancapkan di ujung rombak lalu diacung-acungkan, menggiring kuda-kuda untuk menginjak-injak jasad mereka, menghina kehormatan mereka, menawan wanita dan anak-anak lalu menaikkan mereka di atas unta sambil menghina.
Pada hari ini, Bani Umayah menghias diri, memakai celak mata dan memakai pakaian baru. Hari ini mereka merayakannya sebagai hari raya. Mengadakan acara perkawinan, melayani tamu dan membagi-bagikan makanan. Kebiasaan ini dilakukan sepanjang mereka berkuasa di tengah-tengah masyarakat. Kebiasaan ini tetap dilakukan sepeninggal dinasti Umayyah.
Sementara itu, orang-orang Syi’ah membaca sair-sair kesedihan. Mereka menangis dan meratapi kejadian yang menimpa Husein. Hal ini dilakukan di kota Baghdad dan kota-kota lainnya. Mereka pada hari ini pergi ke Karbala untuk melakukan ziarah. Mereka tidak senang dengan kelakuan masyarakat yang ikut memakai pakaian baru dan memperbaharui perkakas mereka pada hari itu.
Ketika berita syahadah Husein sampai di Madinah. Anak perempuan Aqil bin Abi Thalib keluar sambil membaca sair:
Apa jawaban kalian terhadap Nabi (di hari kiamat)
Bila ia bertanya: “Kalian sebagai umat terakhir apa yang kalian lakukan?
Apa yang kalian lakukan dengan keluargaku ketika aku tiada?
Sebagian dari mereka kalian bunuh dan sebagian lainnya kalian tawan?
Aku telah menasihati kalian
Ini bukan balasan yang seharusnya kalian lakukan
Kalian melakukan perbuatan dosa terhadap keluargaku!”[1]
Beberapa poin yang perlu diketahui:
Abu Raihan al-Biruni menyebutkan bahwa hari ke sepuluh bulan Muharam sebagai hari yang memiliki berkah sesuai dengan riwayat yang dibuat oleh Bani Umayah. Riwayat ini tidak memiliki dasar. Untuk membenarkan perilaku dan kebijakan mereka atas pembantaian mereka atas Imam Husein as dan keluarganya di Karbala, mereka terpaksa harus membuat hadis-hadis palsu semacam ini.
Hal yang menarik dalam tulisan al-Biruni, ia menangkap riwayat ini sebagai hadis buatan. Ini dapat ditemui pada kelanjutan buku tersebut. Saat al-Biruni berusaha menjelaskan kata Asyura, ia menukil sebuah hadis dari Rasulullah saw. Riwayat itu menceritakan bahwa ketika Nabi memasuki kota Madinah dengan melakukan puasa Asyura. Al-Biruni lantas melakukan penghitungan matematis untuk menetapkan kapan persisnya Nabi memasuki kota Madinah. Ia berhasil membuktikan bahwa kedatangan Nabi di Madinah tidak ada hubungannya dengan bulan Muharam. Ini sekaligus membuktikan bohongnya hadis yang menyebutkan bahwa Nabi memasuki kota Madinah untuk pertama kalinya dengan berpuasa.
Ini menunjukkan bahwa pada dasarnya, menganggap hari Asyura sebagai hari yang memiliki berkah dan berpuasa pada waktu itu hanya sebuah kebohongan sejarah. Lebih lanjut lagi, al-Biruni ketika menukil lebih lanjut ucapan-ucapan tentang berkah hari Asyura memberikan penekanan bahwa riwayat-riwayat ini berasal dari “awam muhadditsin” (ahli hadis yang awam). Mereka melakukan ini agar pengikut Ahli Kitab di zaman itu menjadi tenang dan senang.
Perlu kiranya menyorot lebih jauh mengenai laporan al-Biruni mengenai ketidaksetujuan orang-orang Syi’ah dengan kebijakan penguasa Bani Umayah pada waktu itu. Ketidaksenangan mereka bersumber dari peristiwa Karbala. Peristiwa pembantaian Imam Husein as beserta keluarga dan rombongannya. Dan kebiasaan yang masih tersisa dari perilaku Bani Umayah adalah apa yang dilakukan sampai saat ini oleh sebagian orang.
Ironis! Sepanjang sejarah dapat ditemukan bagaimana orang-orang Ahli Sunah mengenang kejadian paling menyedihkan dalam sejarah. Tapi orang-orang yang masih mengikuti kebiasaan Bani Umayah berusaha untuk menghidupkan kembali perilaku itu dengan menjadikan sepuluh hari pertama bulan Muharam, terutama hari kesepuluh, Asyura, sebagai hari besar dan dirayakan dengan penuh kegembiraan. [Saleh Lapadi]
[1] . Abu Raihan al-Biruni, al-Atsar al-Baqiyah, hal 420.
Diposting oleh Saleh Lapadi di 11.27 0 komentar
Label: Artikel
Anda Bertanya Kami Menjawab
Filsafat memperingati Imam Husein as
dan perbedaannya dengan Imam yang lain
Saleh Lapadi
Soal: Jelaskan filsafat memperingati peristiwa pembantaian Imam Husein as dan perbedaan apa saja yang ada dengan memperingati pembunuhan Imam yang lain?
Jawab: Filsafat memperingati meninggal dan syahadahnya para Imam tidak berbeda dengan hikmah yang ada ketika memperingati syahadah Imam Husein as. Bila ada perbedaan, maka perbedaan itu tidak pada substansinya tapi kembali pada kualitas. Karena setiap Imam diutus dengan tujuan yang sama. Kewajiban mereka juga tidak berbeda. Yang membuat perbedaan dalam sikap mereka bukan mereka tapi kondisi yang ada. Ketika merespons kondisi mereka harus melakukan evaluasi untuk menentukan tindakan apa yang harus dilakukan. Tindakan yang tentunya, selain tidak kontra produktif, harus mampu menjelaskan dan menjaga agama.
Dengan memahami bahwa perbedaan dalam sikap Imam dengan lainnya tidak pada substansi, tapi karena kondisi yang berbeda, maka setidak-tidaknya ada dua hal yang dapat membedakan hikmah dan filsafat memperingati peristiwa Karbala Imam Husein as dibanding dengan para Imam yang lain. Hal ini tentunya dengan melihat bahwa hikmah dan filsafat memperingati peristiwa syahadah para Imam untuk membentuk manusia. Membentuk manusia menjadi khalifah Allah di muka bumi. Membentuk manusia dalam segala dimensinya.
1. Luasnya dimensi
Perbedaan ketika seorang memperingati peristiwa syahadah Imam Husein as bila dibandingkan dengan memperingati syahadah salah satu dari Imam yang lain, akan ditemukan bahwa dimensi yang dimiliki lebih luas. Keluasan dimensi yang dimiliki dalam memperingati peristiwa Karbala dapat dibuktikan dengan kompleksnya variabel yang mendukung. Imam Husein as ketika menjemput kesahidannya tidak sendiri. Beliau bersama sahabat-sahabat, anak dan familinya ikut menjadi korban di ladang pembantaian Karbala. Bahkan tidak itu saja, para wanita dan anak-anak, sekalipun tidak menemui kematian pada waktu itu, tapi memainkan peran penting baik sebelum, sedang dan setelah peristiwa Karbala.
Tidak saja unsur-unsur pendukung Imam Husein as beragam, tapi juga kekejaman yang dilakukan oleh pasukan Yazid bin Muawiyah yang di bawah komando Umar bin Saad memainkan peranan penting dalam menganalisa luasnya spektrum kekejaman mereka. Air sebagai sumber kehidupan dalam peristiwa Karbala dipakai sebagai alat pembunuh. Ini semua faktor-faktor yang menunjukkan bahwa dimensi filsafat dan hikmah memperingati peristiwa Asyura dan syahadah Imam Husein as lebih luas dari filsafat dan hikmah memperingati syahadah Imam yang lain.
2. Lebih cepat
Pengaruh dan dampak memperingati acara dan peristiwa pembantaian Imam Husein as dalam membentuk pribadi manusia muslim lebih cepat dibandingkan dengan pengaruh yang bakal diterima oleh seseorang yang memperingati syahadah Imam yang lain. Dalam riwayat disebutkan: “Seluruh Imam as bak perahu hidayah dan keselamatan. Namun, perahu penyelamat Imam Husein as lebih cepat dari yang lain.
Para Imam as memiliki tugas dan kewajiban yang sama. Memberi petunjuk jalan keselamatan kepada umat manusia. Dalam usaha memberi petunjuk, setiap Imam sesuai dengan kondisi zamannya memilih metode yang terbaik untuk menunjuki umat manusia. Imam Ali as dengan ketegasannya dalam menegakkan keadilan, harus meneguk cawan syahadah karena keadilannya. Imam Hasan as dengan keberaniannya di medan pertempuran harus menerima gencatan senjata dan terpaksa berunding dengan Muawiyah. Setiap Imam memilih jalannya menunjuki umat manusia. Dalam kehidupannya mereka memilih cara apa yang terbaik. Ketika menghadapi maut pun mereka memilih cara mati yang paling tepat untuk menunjuki manusia ke jalan petunjuk. Imam Husein as memilih mendapat kehormatan menemui kematiannya di padang tandus Karbala.
Imam Husein as dan rombongannya mendemonstrasikan dengan sempurna nilai-nilai. Ibadah yang dilakukan bahkan sampai menjelang ajal. Pengorbanan demi menolong orang lain yang ditunjukkan oleh Abbas saudaranya untuk mengambil air yang berujung pada kesahidan setelah terlebih dahulu menyaksikan kedua tangannya terpisah dari badan. Keberanian yang ditunjukkan oleh seorang remaja, Ali Akbar. Tanpa takut ia merangsek maju menghadapi pasukan musuh yang bersenjata lengkap. Ketika keletihan karena kehausan, ia kembali menghadap ayahnya agar diberi seteguk air. Ketika Imam Husein as mengatakan bahwa sebentar lagi kakeknya akan menuangkan air langsung dari tangannya, dengan sigap ia kembali maju dengan gagahnya berperang menghadapi musuh.
Nilai-nilai seperti tawakal, sabar, amar makruf dan nahi mungkar, tidak menerima pemimpin zalim seperti Yazid, kemuliaan dan ketenangan menghadapi kematian merupakan bagian kecil dari perjuangan yang mereka tunjukkan. Kelompok kecil ini berhasil mengajarkan bagaimana seorang disebut manusia yang bebas.
Setidak-tidaknya ada tiga pelajaran besar yang dapat diambil dari peristiwa Asyura:
1.Protes dan tidak tunduk atas kezaliman.
2.Faktor penguat sikap penegakan keadilan.
3.Persiapan dan pembentukan masyarakat Syi’ah menemui kemenangan dan membela kebenaran.
Pantang hina!
Qom, 26 Januari 2007
Saleh Lapadi
Soal: Jelaskan filsafat memperingati peristiwa pembantaian Imam Husein as dan perbedaan apa saja yang ada dengan memperingati pembunuhan Imam yang lain?
Jawab: Filsafat memperingati meninggal dan syahadahnya para Imam tidak berbeda dengan hikmah yang ada ketika memperingati syahadah Imam Husein as. Bila ada perbedaan, maka perbedaan itu tidak pada substansinya tapi kembali pada kualitas. Karena setiap Imam diutus dengan tujuan yang sama. Kewajiban mereka juga tidak berbeda. Yang membuat perbedaan dalam sikap mereka bukan mereka tapi kondisi yang ada. Ketika merespons kondisi mereka harus melakukan evaluasi untuk menentukan tindakan apa yang harus dilakukan. Tindakan yang tentunya, selain tidak kontra produktif, harus mampu menjelaskan dan menjaga agama.
Dengan memahami bahwa perbedaan dalam sikap Imam dengan lainnya tidak pada substansi, tapi karena kondisi yang berbeda, maka setidak-tidaknya ada dua hal yang dapat membedakan hikmah dan filsafat memperingati peristiwa Karbala Imam Husein as dibanding dengan para Imam yang lain. Hal ini tentunya dengan melihat bahwa hikmah dan filsafat memperingati peristiwa syahadah para Imam untuk membentuk manusia. Membentuk manusia menjadi khalifah Allah di muka bumi. Membentuk manusia dalam segala dimensinya.
1. Luasnya dimensi
Perbedaan ketika seorang memperingati peristiwa syahadah Imam Husein as bila dibandingkan dengan memperingati syahadah salah satu dari Imam yang lain, akan ditemukan bahwa dimensi yang dimiliki lebih luas. Keluasan dimensi yang dimiliki dalam memperingati peristiwa Karbala dapat dibuktikan dengan kompleksnya variabel yang mendukung. Imam Husein as ketika menjemput kesahidannya tidak sendiri. Beliau bersama sahabat-sahabat, anak dan familinya ikut menjadi korban di ladang pembantaian Karbala. Bahkan tidak itu saja, para wanita dan anak-anak, sekalipun tidak menemui kematian pada waktu itu, tapi memainkan peran penting baik sebelum, sedang dan setelah peristiwa Karbala.
Tidak saja unsur-unsur pendukung Imam Husein as beragam, tapi juga kekejaman yang dilakukan oleh pasukan Yazid bin Muawiyah yang di bawah komando Umar bin Saad memainkan peranan penting dalam menganalisa luasnya spektrum kekejaman mereka. Air sebagai sumber kehidupan dalam peristiwa Karbala dipakai sebagai alat pembunuh. Ini semua faktor-faktor yang menunjukkan bahwa dimensi filsafat dan hikmah memperingati peristiwa Asyura dan syahadah Imam Husein as lebih luas dari filsafat dan hikmah memperingati syahadah Imam yang lain.
2. Lebih cepat
Pengaruh dan dampak memperingati acara dan peristiwa pembantaian Imam Husein as dalam membentuk pribadi manusia muslim lebih cepat dibandingkan dengan pengaruh yang bakal diterima oleh seseorang yang memperingati syahadah Imam yang lain. Dalam riwayat disebutkan: “Seluruh Imam as bak perahu hidayah dan keselamatan. Namun, perahu penyelamat Imam Husein as lebih cepat dari yang lain.
Para Imam as memiliki tugas dan kewajiban yang sama. Memberi petunjuk jalan keselamatan kepada umat manusia. Dalam usaha memberi petunjuk, setiap Imam sesuai dengan kondisi zamannya memilih metode yang terbaik untuk menunjuki umat manusia. Imam Ali as dengan ketegasannya dalam menegakkan keadilan, harus meneguk cawan syahadah karena keadilannya. Imam Hasan as dengan keberaniannya di medan pertempuran harus menerima gencatan senjata dan terpaksa berunding dengan Muawiyah. Setiap Imam memilih jalannya menunjuki umat manusia. Dalam kehidupannya mereka memilih cara apa yang terbaik. Ketika menghadapi maut pun mereka memilih cara mati yang paling tepat untuk menunjuki manusia ke jalan petunjuk. Imam Husein as memilih mendapat kehormatan menemui kematiannya di padang tandus Karbala.
Imam Husein as dan rombongannya mendemonstrasikan dengan sempurna nilai-nilai. Ibadah yang dilakukan bahkan sampai menjelang ajal. Pengorbanan demi menolong orang lain yang ditunjukkan oleh Abbas saudaranya untuk mengambil air yang berujung pada kesahidan setelah terlebih dahulu menyaksikan kedua tangannya terpisah dari badan. Keberanian yang ditunjukkan oleh seorang remaja, Ali Akbar. Tanpa takut ia merangsek maju menghadapi pasukan musuh yang bersenjata lengkap. Ketika keletihan karena kehausan, ia kembali menghadap ayahnya agar diberi seteguk air. Ketika Imam Husein as mengatakan bahwa sebentar lagi kakeknya akan menuangkan air langsung dari tangannya, dengan sigap ia kembali maju dengan gagahnya berperang menghadapi musuh.
Nilai-nilai seperti tawakal, sabar, amar makruf dan nahi mungkar, tidak menerima pemimpin zalim seperti Yazid, kemuliaan dan ketenangan menghadapi kematian merupakan bagian kecil dari perjuangan yang mereka tunjukkan. Kelompok kecil ini berhasil mengajarkan bagaimana seorang disebut manusia yang bebas.
Setidak-tidaknya ada tiga pelajaran besar yang dapat diambil dari peristiwa Asyura:
1.Protes dan tidak tunduk atas kezaliman.
2.Faktor penguat sikap penegakan keadilan.
3.Persiapan dan pembentukan masyarakat Syi’ah menemui kemenangan dan membela kebenaran.
Pantang hina!
Qom, 26 Januari 2007
Diposting oleh Saleh Lapadi di 11.22 0 komentar
Label: Artikel
Kamis, 25 Januari 2007
Masalah Air di Karbala2
Usaha Imam Husein as untuk mendapatkan air
Usaha musuh untuk menghalang-halangi Imam Husein as mendapatkan air merupakan sebuah hakikat yang tidak saja diakui oleh sejarawan. Kenyataan ini juga ditegaskan oleh Imam Mahdi af. Dalam doa ziarah Nahiyah Muqaddasah dari beliau diriwayatkan: “Mereka menghalangimu dari usaha untuk mendapatkan air demi menghilangkan dahagamu”.
Satu hal yang disepakati oleh semua sejarawan, mulai dari hari ketujuh bulan Muharam, musuh secara serius berusaha untuk menghalang-halangi Imam Husein mendapatkan air. Dengan demikian, rasa haus yang mendera Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya terutama wanita dan anak-anak hanya berhubungan dengan tiga hari terakhir, hari ketujuh hingga hari kesepuluh. Pada hari-hari itulah Imam Husein as berusaha untuk mendapatkan air demi rombongannya, terutama anak-anak dan para wanita.
Berdasarkan riwayat Ibn ‘Atsam al-Kufi dan Ibn Syahr Asub disebutkan bahwa Imam Husein as berusaha menggali sumur di depan kemah. Dari sumur tersebut bersumber air yang jernih.[1] Ibn ‘Atsam menjelaskan lebih lanjut:
“Karena rasa haus yang sudah tidak terkira menguasai dirinya dan rombongannya, Imam Husein as mulai menggali sumur. Sumur itu tepat di samping kemah para wanita. Dari samping kemah wanita beliau sambil menghadap Ka’bah sekitar 19 langkah beliau menjauh. Di situlah Imam Husein as menggali sumur. Dari sumur tersebut keluar air yang jernih dan tawar. Beliau memerintahkan kepada sahabat-sahabatnya untuk mengambil air dari sumur dan minum. Mereka memenuhi tempat-tempat air yang dibawa. Setelah semua memenuhi tempat airnya dan minum sampai hilang dahaganya, air kemudian tidak muncul lagi bak tertelan bumi. Setelah itu sumur tersebut tidak lagi terlihat.”[2]
Penggalian sumur yang dilakukan oleh Imam Husein as adalah hal yang biasa. Apalagi bila hal itu dikaitkan dengan posisinya sebagai Imam. Sumur yang memancarkan air bersih, jernih dan tawar. Ditambahkan lagi dengan adanya riwayat yang menyebutkan bahwa pada masa itu, antara Imam Husein as dan kejernihan air dan berkahnya memiliki hubungan yang sangat erat dan bermakna. Berdasarkan riwayat dari Ibn ‘Asakir, Imam Husein as ketika berangkat dari Madinah menuju kota Makkah, di pertengahan jalan mereka berpapasan dengan Abdullah bin Muthi’. Saat itu, Abdullah bin Muthi’ sedang menggali sumur. Kepada Imam Husein as Ibn Muthi’ berkata: “Sumur yang saya gali ini dapat menyampaikan saya ke air. Saat ini kami sangat membutuhkan air dan itu akan kami lakukan dengan timba. Sudikah engkau berdoa agar Allah memberkahi sumur ini? Imam Husein as menjawab: “Bawakan aku air dari sumur ini! Ibn Muthi’ kemudian membawa dan memberikannya kepada Imam Husein as. Beliau minum dan kemudian berkumur-kumur dengannya. Air yang tersisa kemudian dituangkan ke dalam sumur. Setelah itu, sumur menjadi penuh, tawar dan jernih”.[3]
Masalah ini tidak hanya dilakukan oleh Imam Husein as, tapi juga pernah dilakukan oleh Imam yang lain. Hal itu dikuatkan oleh Syaikh Shaduq dan Ibn Syahr Asub dari Abu as-Shalt. Abu as-Shalt meriwayatkan: “Ketika Imam Ridha as dipaksa menghadap Ma’mun. Karena telah melewati perjalanan jauh, mereka berkata kepada Imam Ridha as: “Wahai Ibnu Rasulillah! Telah masuk waktu zuhur. Apakah engkau tidak ingin melakukan salat? Imam Ridha as kemudian turun dari tunggangannya dan meminta air untuk melakukan wudu. Mereka menjawab: “Kami tidak membawa air”. Akhirnya beliau menyingsingkan tangannya kemudian mulai menggali sumur. Dari sumur tersebut memancar air jernih. Mereka yang hadir bersamanya waktu itu kemudian mengambil air wudu. Saat ini sumber air itu masih ada”.[4]
Ringkasnya, saat Imam Husein as menyaksikan bagaimana musuh tidak mengizinkan mereka untuk mendapatkan air, beliau kemudian menggali sumur untuk mendapatkan air. Apa yang dilakukan oleh Imam Husein as ini terlihat oleh pasukan musuh. Segera mereka melaporkan kepada Ubaidillah bin Ziyad apa yang dilakukan oleh Imam Husein as. Ubaidillah kemudian menulis surat kepada Umar bin Saad yang isinya, “Saya mendapatkan kabar bahwa Husein dan sahabat-sahabatnya menggali sumur dan mendapat air dari sana. Engkau tidak boleh membiarkan hal ini terjadi. Bila engkau telah membaca surat ini, segera berusaha bagaimana caranya agar mereka tidak dapat memanfaatkan sumur itu”.[5]
Sekaitan dengan surat itu, tidak ada data sejarah yang mencatat mengenai usaha Umar bin Saad untuk menghalang-halangi Imam Husein as untuk memanfaatkan sumur itu. Apalagi usahanya untuk menutup sumur tersebut. Sebaliknya, kita punya data bagaimana 30 orang berkuda dan 20 orang pejalan kaki dari rombongannya yang dipimpin oleh saudaranya Abbas untuk mengambil air dari sungai Furat. Usaha itu mengakibatkan timbulnya bentrokan bersenjata. Akhirnya pasukan Imam Husein as berhasil mengisi 20 tempat air mereka dan membawanya pulang.[6] Atas dasar ini, tidak jelas nasib sumur yang disebutkan itu. Riwayat yang dilukiskan oleh Ibn ‘Atsam al-Kufi bahwa sumur itu kemudian lenyap begitu saja tidak dapat dijadikan pegangan.
Benar, menggali sumur bagi Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya bukan masalah sulit. Mereka dengan waktu singkat dapat menggali parit yang cukup lebar di sekeliling kemah yang ada.[7] Di sisi lain, ada riwayat yang menceritakan bagaimana Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya pada pagi hari Asyura (hari kesepuluh bulan Muharam), mereka sempat membersihkan dirinya (mandi) dengan mencukur bulu badan.[8] Riwayat ini menunjukkan bahwa sampai pagi hari Asyura Imam Husein as dan rombongan masih memiliki air yang cukup. Karena bila air mereka tidak cukup, maka mereka tidak akan membersihkan badan dengan air. Artinya, mereka tidak mungkin membiarkan anak-anak dan wanita dalam kondisi tidak memiliki air. Namun, akibat dari penjagaan musuh atas air sungai Furat perlahan-lahan mengakibatkan persediaan air menipis bahkan habis. Terutama bagi anak-anak dan wanita.
Melihat kondisi anak-anak dan wanita yang mulai kehausan, sebagian dari sahabat Imam Husein as dengan suara lantang memprotes sikap pasukan musuh. Membawakan contoh dari ucapan salah satu dari sahabat Imam Husein as, dapat menjelaskan bagaimana Imam Husein as dan rombongannya berada dalam kondisi yang berat dan sulit. Hurr dan Burair bin Hadir Hamadani berteriak kepada pasukan musuh: “Kalian mencegah wanita dan anak-anak untuk mendapatkan air dari sungai Furat. Sementara pada saat yang sama kalian membiarkan anjing dan babi bermain-main di sana. Kaum Majusi dan Kristen dengan bebas dapat mengambil air dan meminumnya”.[9]
Sebagaimana telah disebutkan di muka, bahwa saya tidak punya informasi mengenai nasib sumur yang digali di depan kemah. Di sisi lain, usaha Imam Husein as bersama sahabatnya berusaha keras, terutama Abbas, untuk mendapatkan air. Di saat yang sama, rasa haus yang mendera rombongan dan keluarganya memberikan kejelasan bahwa sekalipun masih ada sedikit air di kemah, namun tidak ada lagi berita tentang adanya sumur. Bila kita masih bersikeras untuk menerima berita yang dinukil oleh Ibn ‘Atsir al-Kufi, karena tidak adanya data lain, maka itu hanya dapat diterima dengan mengatakan bahwa hal itu merupakan keramat Imam Husein as atau ujian bagi rombongan dan keluarga beliau.
Yang jelas, Imam Husein as dan sahabat-sahabanya yang sibuk menghadapi serbuan musuh dari segala arah pada hari Asyura, membuat mereka memerlukan air lebih banyak. Dan pada saat yang sama, mereka tidak mampu mendapatkan air. Kondisi ini dapat menggambarkan bagaimana mereka menghadapi situasi yang sangat sulit. Pada kondisi seperti ini, kemungkinan besar mereka akan memberikan sisa air mereka untuk anak-anak dan wanita. Itulah mengapa mereka menahan dirinya untuk tidak minum dan memberikannya kepada wanita dan anak-anak dan menjemput ajalnya dengan kehausan.
Berdasarkan riwayat Ibn Syahr Asub, Ali Akbar yang berperang dengan gagah berani menghadapi musuh, ketika rasa haus semakin menyengatnya balik menuju ayahnya, Imam Husein as, untuk meminta seteguk air. Imam Husein as hanya dapat berkata: “Engkau akan mendapatkan air langsung dari tangan kakekmu Muhammad saw”.[10] Ibnu Syahr Asub menambahkan, “Abbas saudara Imam Husein as diperintahkan oleh kakaknya untuk mengambil air di sungai Furat. Akan tetapi hasilnya adalah syahadah. Musuh memotong kedua tangannya dan sambil ditegakkan dengan besi ia dibunuh. Dalam kejadian ini pun tidak disebutkan apakah ia berhasil membawa air atau tidak.[11] Dalam riwayat lain, Ibn Syahr Asub menukil, “Imam Husein as menangis di antara kemah dan sungai Furat. Ia menangisi mayat Abbas dan keluarganya yang sedang menderita kehausan”.[12]
Kita dapat melihat dalam penukilan Abu Hanifah Dinwari: “Pada saat-saat terakhir karena merasa sangat haus meminta tempat air untuk minum. Ketika tempat air telah dekat ke mulutnya, Hashin bin Namir, melepaskan panah tepat mengenai mulut Imam Husein as. Beliau tidak sempat meneguk air. Lalu tempat air dibiarkan”.[13] Hadis itu menunjukkan bahwa di kemah masih ada sisa air. Di mana sisa dari air itu diberikan kepada Imam Husein as. Karena jelas masalahnya bahwa tidak mungkin musuh yang memberinya air.
Majlisi menceritakan dalam bukunya, “Ketika Abbas telah mendapat izin dari saudaranya Imam Husein as untuk berperang, Imam meminta darinya untuk mengambil sedikit air untuk anak-anak. Abbas sendiri mendengar suara anak-anak yang merintih karena kehausan. Suara rintihan anak-anak menunjukkan bagaimana persediaan air telah habis. Berdasarkan penukilan Majlisi juga dapat disimpulkan bahwa Abbas tidak berhasil membawa air.[14][15] Abu Mikhnaf juga memberikan penjelasan bagaimana Imam Husein as berhasil menyerang pasukan penjaga air sungai Furat. Beliau berhasil mencapai tepi sungai. Pada saat ketika beliau hendak meminum air, ada yang sengaja berteriak bahwa kemah diserang. Mendengar itu, Imam Husein as tidak sempat untuk minum dan segera kembali.[16]
Dengan melihat penukilan yang dilakukan oleh para sejarawan Islam, menunjukkan bahwa Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya tetap berusaha untuk mendapatkan air bagi anak-anak dan wanita. Dengan ini diharapkan tekanan musuh dapat dikurangi.
Ada satu masalah yang perlu untuk dijelaskan. Dalam peristiwa Karbala, tidak ada satu sumber sejarah pun yang menyebutkan bahwa Imam Husein as menggendong bayinya menghadap barisan pasukan musuh sambil meminta air. Menurut data sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan adalah beliau menggendong bayinya untuk mengucapkan perpisahan. Saat itu ada yang memanah dan tepat mengenai bayi yang mati seketika. Abu Hanifah Dinwari menulis: “Pada detik-detik terakhir, Imam Husein as tinggal seorang diri berperang melawan musuh. Beliau meminta bayinya untuk digendong. Seorang tentara musuh dari Bani Asad menarik anak panahnya dan melesakkannya tepat mengenai bayi Imam Husein as. Bayinya, Ali Ashgar syahid seketika dalam pelukan ayahnya”.[17] Sejarawan lain juga menukilkan kejadian yang serupa dengan sedikit perbedaan dalam lafaznya.[18]
Kesimpulan
Pasukan Yazid bin Muawiyah yang dipimpin oleh Umar bin Saad mempergunakan air sebagai senjata untuk menekan Imam Husein as dan rombongan untuk menyerah. Namun, usaha itu tidak berhasil karena usaha Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya tidak pernah berhenti untuk mengusahakan air. Begitu juga anak-anak dan wanita yang menunjukkan kesabaran yang luar biasa menghadapi kondisi yang sulit ini. Semangat ini yang membuat Imam Husein as dan rombongan hingga detik-detik terakhir tidak menyerah. Dengan menahan rasa haus yang sangat Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya bertahan dan berperang dengan gigih. Ini jugalah yang sempat membuat kebingungan musuh. [Saleh Lapadi] Poin penting lainnya dari riwayat ini adalah Imam Husein as hingga detik-detik terakhir tidak melepaskan perhatiannya dari penjaga air. Menurut riwayat Mufid, “Imam Husein dan Abbas bersama-sama menuju Furat dan menyerang para penjaga air. Dalam bentrokan bersenjata itu, Imam terluka di dagunya, sementara Abbas mereguk cawan syahadah”.
Usaha musuh untuk menghalang-halangi Imam Husein as mendapatkan air merupakan sebuah hakikat yang tidak saja diakui oleh sejarawan. Kenyataan ini juga ditegaskan oleh Imam Mahdi af. Dalam doa ziarah Nahiyah Muqaddasah dari beliau diriwayatkan: “Mereka menghalangimu dari usaha untuk mendapatkan air demi menghilangkan dahagamu”.
Satu hal yang disepakati oleh semua sejarawan, mulai dari hari ketujuh bulan Muharam, musuh secara serius berusaha untuk menghalang-halangi Imam Husein mendapatkan air. Dengan demikian, rasa haus yang mendera Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya terutama wanita dan anak-anak hanya berhubungan dengan tiga hari terakhir, hari ketujuh hingga hari kesepuluh. Pada hari-hari itulah Imam Husein as berusaha untuk mendapatkan air demi rombongannya, terutama anak-anak dan para wanita.
Berdasarkan riwayat Ibn ‘Atsam al-Kufi dan Ibn Syahr Asub disebutkan bahwa Imam Husein as berusaha menggali sumur di depan kemah. Dari sumur tersebut bersumber air yang jernih.[1] Ibn ‘Atsam menjelaskan lebih lanjut:
“Karena rasa haus yang sudah tidak terkira menguasai dirinya dan rombongannya, Imam Husein as mulai menggali sumur. Sumur itu tepat di samping kemah para wanita. Dari samping kemah wanita beliau sambil menghadap Ka’bah sekitar 19 langkah beliau menjauh. Di situlah Imam Husein as menggali sumur. Dari sumur tersebut keluar air yang jernih dan tawar. Beliau memerintahkan kepada sahabat-sahabatnya untuk mengambil air dari sumur dan minum. Mereka memenuhi tempat-tempat air yang dibawa. Setelah semua memenuhi tempat airnya dan minum sampai hilang dahaganya, air kemudian tidak muncul lagi bak tertelan bumi. Setelah itu sumur tersebut tidak lagi terlihat.”[2]
Penggalian sumur yang dilakukan oleh Imam Husein as adalah hal yang biasa. Apalagi bila hal itu dikaitkan dengan posisinya sebagai Imam. Sumur yang memancarkan air bersih, jernih dan tawar. Ditambahkan lagi dengan adanya riwayat yang menyebutkan bahwa pada masa itu, antara Imam Husein as dan kejernihan air dan berkahnya memiliki hubungan yang sangat erat dan bermakna. Berdasarkan riwayat dari Ibn ‘Asakir, Imam Husein as ketika berangkat dari Madinah menuju kota Makkah, di pertengahan jalan mereka berpapasan dengan Abdullah bin Muthi’. Saat itu, Abdullah bin Muthi’ sedang menggali sumur. Kepada Imam Husein as Ibn Muthi’ berkata: “Sumur yang saya gali ini dapat menyampaikan saya ke air. Saat ini kami sangat membutuhkan air dan itu akan kami lakukan dengan timba. Sudikah engkau berdoa agar Allah memberkahi sumur ini? Imam Husein as menjawab: “Bawakan aku air dari sumur ini! Ibn Muthi’ kemudian membawa dan memberikannya kepada Imam Husein as. Beliau minum dan kemudian berkumur-kumur dengannya. Air yang tersisa kemudian dituangkan ke dalam sumur. Setelah itu, sumur menjadi penuh, tawar dan jernih”.[3]
Masalah ini tidak hanya dilakukan oleh Imam Husein as, tapi juga pernah dilakukan oleh Imam yang lain. Hal itu dikuatkan oleh Syaikh Shaduq dan Ibn Syahr Asub dari Abu as-Shalt. Abu as-Shalt meriwayatkan: “Ketika Imam Ridha as dipaksa menghadap Ma’mun. Karena telah melewati perjalanan jauh, mereka berkata kepada Imam Ridha as: “Wahai Ibnu Rasulillah! Telah masuk waktu zuhur. Apakah engkau tidak ingin melakukan salat? Imam Ridha as kemudian turun dari tunggangannya dan meminta air untuk melakukan wudu. Mereka menjawab: “Kami tidak membawa air”. Akhirnya beliau menyingsingkan tangannya kemudian mulai menggali sumur. Dari sumur tersebut memancar air jernih. Mereka yang hadir bersamanya waktu itu kemudian mengambil air wudu. Saat ini sumber air itu masih ada”.[4]
Ringkasnya, saat Imam Husein as menyaksikan bagaimana musuh tidak mengizinkan mereka untuk mendapatkan air, beliau kemudian menggali sumur untuk mendapatkan air. Apa yang dilakukan oleh Imam Husein as ini terlihat oleh pasukan musuh. Segera mereka melaporkan kepada Ubaidillah bin Ziyad apa yang dilakukan oleh Imam Husein as. Ubaidillah kemudian menulis surat kepada Umar bin Saad yang isinya, “Saya mendapatkan kabar bahwa Husein dan sahabat-sahabatnya menggali sumur dan mendapat air dari sana. Engkau tidak boleh membiarkan hal ini terjadi. Bila engkau telah membaca surat ini, segera berusaha bagaimana caranya agar mereka tidak dapat memanfaatkan sumur itu”.[5]
Sekaitan dengan surat itu, tidak ada data sejarah yang mencatat mengenai usaha Umar bin Saad untuk menghalang-halangi Imam Husein as untuk memanfaatkan sumur itu. Apalagi usahanya untuk menutup sumur tersebut. Sebaliknya, kita punya data bagaimana 30 orang berkuda dan 20 orang pejalan kaki dari rombongannya yang dipimpin oleh saudaranya Abbas untuk mengambil air dari sungai Furat. Usaha itu mengakibatkan timbulnya bentrokan bersenjata. Akhirnya pasukan Imam Husein as berhasil mengisi 20 tempat air mereka dan membawanya pulang.[6] Atas dasar ini, tidak jelas nasib sumur yang disebutkan itu. Riwayat yang dilukiskan oleh Ibn ‘Atsam al-Kufi bahwa sumur itu kemudian lenyap begitu saja tidak dapat dijadikan pegangan.
Benar, menggali sumur bagi Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya bukan masalah sulit. Mereka dengan waktu singkat dapat menggali parit yang cukup lebar di sekeliling kemah yang ada.[7] Di sisi lain, ada riwayat yang menceritakan bagaimana Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya pada pagi hari Asyura (hari kesepuluh bulan Muharam), mereka sempat membersihkan dirinya (mandi) dengan mencukur bulu badan.[8] Riwayat ini menunjukkan bahwa sampai pagi hari Asyura Imam Husein as dan rombongan masih memiliki air yang cukup. Karena bila air mereka tidak cukup, maka mereka tidak akan membersihkan badan dengan air. Artinya, mereka tidak mungkin membiarkan anak-anak dan wanita dalam kondisi tidak memiliki air. Namun, akibat dari penjagaan musuh atas air sungai Furat perlahan-lahan mengakibatkan persediaan air menipis bahkan habis. Terutama bagi anak-anak dan wanita.
Melihat kondisi anak-anak dan wanita yang mulai kehausan, sebagian dari sahabat Imam Husein as dengan suara lantang memprotes sikap pasukan musuh. Membawakan contoh dari ucapan salah satu dari sahabat Imam Husein as, dapat menjelaskan bagaimana Imam Husein as dan rombongannya berada dalam kondisi yang berat dan sulit. Hurr dan Burair bin Hadir Hamadani berteriak kepada pasukan musuh: “Kalian mencegah wanita dan anak-anak untuk mendapatkan air dari sungai Furat. Sementara pada saat yang sama kalian membiarkan anjing dan babi bermain-main di sana. Kaum Majusi dan Kristen dengan bebas dapat mengambil air dan meminumnya”.[9]
Sebagaimana telah disebutkan di muka, bahwa saya tidak punya informasi mengenai nasib sumur yang digali di depan kemah. Di sisi lain, usaha Imam Husein as bersama sahabatnya berusaha keras, terutama Abbas, untuk mendapatkan air. Di saat yang sama, rasa haus yang mendera rombongan dan keluarganya memberikan kejelasan bahwa sekalipun masih ada sedikit air di kemah, namun tidak ada lagi berita tentang adanya sumur. Bila kita masih bersikeras untuk menerima berita yang dinukil oleh Ibn ‘Atsir al-Kufi, karena tidak adanya data lain, maka itu hanya dapat diterima dengan mengatakan bahwa hal itu merupakan keramat Imam Husein as atau ujian bagi rombongan dan keluarga beliau.
Yang jelas, Imam Husein as dan sahabat-sahabanya yang sibuk menghadapi serbuan musuh dari segala arah pada hari Asyura, membuat mereka memerlukan air lebih banyak. Dan pada saat yang sama, mereka tidak mampu mendapatkan air. Kondisi ini dapat menggambarkan bagaimana mereka menghadapi situasi yang sangat sulit. Pada kondisi seperti ini, kemungkinan besar mereka akan memberikan sisa air mereka untuk anak-anak dan wanita. Itulah mengapa mereka menahan dirinya untuk tidak minum dan memberikannya kepada wanita dan anak-anak dan menjemput ajalnya dengan kehausan.
Berdasarkan riwayat Ibn Syahr Asub, Ali Akbar yang berperang dengan gagah berani menghadapi musuh, ketika rasa haus semakin menyengatnya balik menuju ayahnya, Imam Husein as, untuk meminta seteguk air. Imam Husein as hanya dapat berkata: “Engkau akan mendapatkan air langsung dari tangan kakekmu Muhammad saw”.[10] Ibnu Syahr Asub menambahkan, “Abbas saudara Imam Husein as diperintahkan oleh kakaknya untuk mengambil air di sungai Furat. Akan tetapi hasilnya adalah syahadah. Musuh memotong kedua tangannya dan sambil ditegakkan dengan besi ia dibunuh. Dalam kejadian ini pun tidak disebutkan apakah ia berhasil membawa air atau tidak.[11] Dalam riwayat lain, Ibn Syahr Asub menukil, “Imam Husein as menangis di antara kemah dan sungai Furat. Ia menangisi mayat Abbas dan keluarganya yang sedang menderita kehausan”.[12]
Kita dapat melihat dalam penukilan Abu Hanifah Dinwari: “Pada saat-saat terakhir karena merasa sangat haus meminta tempat air untuk minum. Ketika tempat air telah dekat ke mulutnya, Hashin bin Namir, melepaskan panah tepat mengenai mulut Imam Husein as. Beliau tidak sempat meneguk air. Lalu tempat air dibiarkan”.[13] Hadis itu menunjukkan bahwa di kemah masih ada sisa air. Di mana sisa dari air itu diberikan kepada Imam Husein as. Karena jelas masalahnya bahwa tidak mungkin musuh yang memberinya air.
Majlisi menceritakan dalam bukunya, “Ketika Abbas telah mendapat izin dari saudaranya Imam Husein as untuk berperang, Imam meminta darinya untuk mengambil sedikit air untuk anak-anak. Abbas sendiri mendengar suara anak-anak yang merintih karena kehausan. Suara rintihan anak-anak menunjukkan bagaimana persediaan air telah habis. Berdasarkan penukilan Majlisi juga dapat disimpulkan bahwa Abbas tidak berhasil membawa air.[14][15] Abu Mikhnaf juga memberikan penjelasan bagaimana Imam Husein as berhasil menyerang pasukan penjaga air sungai Furat. Beliau berhasil mencapai tepi sungai. Pada saat ketika beliau hendak meminum air, ada yang sengaja berteriak bahwa kemah diserang. Mendengar itu, Imam Husein as tidak sempat untuk minum dan segera kembali.[16]
Dengan melihat penukilan yang dilakukan oleh para sejarawan Islam, menunjukkan bahwa Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya tetap berusaha untuk mendapatkan air bagi anak-anak dan wanita. Dengan ini diharapkan tekanan musuh dapat dikurangi.
Ada satu masalah yang perlu untuk dijelaskan. Dalam peristiwa Karbala, tidak ada satu sumber sejarah pun yang menyebutkan bahwa Imam Husein as menggendong bayinya menghadap barisan pasukan musuh sambil meminta air. Menurut data sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan adalah beliau menggendong bayinya untuk mengucapkan perpisahan. Saat itu ada yang memanah dan tepat mengenai bayi yang mati seketika. Abu Hanifah Dinwari menulis: “Pada detik-detik terakhir, Imam Husein as tinggal seorang diri berperang melawan musuh. Beliau meminta bayinya untuk digendong. Seorang tentara musuh dari Bani Asad menarik anak panahnya dan melesakkannya tepat mengenai bayi Imam Husein as. Bayinya, Ali Ashgar syahid seketika dalam pelukan ayahnya”.[17] Sejarawan lain juga menukilkan kejadian yang serupa dengan sedikit perbedaan dalam lafaznya.[18]
Kesimpulan
Pasukan Yazid bin Muawiyah yang dipimpin oleh Umar bin Saad mempergunakan air sebagai senjata untuk menekan Imam Husein as dan rombongan untuk menyerah. Namun, usaha itu tidak berhasil karena usaha Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya tidak pernah berhenti untuk mengusahakan air. Begitu juga anak-anak dan wanita yang menunjukkan kesabaran yang luar biasa menghadapi kondisi yang sulit ini. Semangat ini yang membuat Imam Husein as dan rombongan hingga detik-detik terakhir tidak menyerah. Dengan menahan rasa haus yang sangat Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya bertahan dan berperang dengan gigih. Ini jugalah yang sempat membuat kebingungan musuh. [Saleh Lapadi] Poin penting lainnya dari riwayat ini adalah Imam Husein as hingga detik-detik terakhir tidak melepaskan perhatiannya dari penjaga air. Menurut riwayat Mufid, “Imam Husein dan Abbas bersama-sama menuju Furat dan menyerang para penjaga air. Dalam bentrokan bersenjata itu, Imam terluka di dagunya, sementara Abbas mereguk cawan syahadah”.
[1] . Ibn Syahr Asub, ibid, jilid 4, hal 50. Ibn ‘Atsam al-Kufi, ibid, hal 893.
[2] . Ibid, hal 893. Al-Majlisi, ibid, jilid 44, hal 337.
[3] . Ibn ‘Asakir, Tarjamah Raihanah Rasulullah al-Imam Mahdi Fi Sabilillah al-Husein bin Ali bin Abi Thalib Min Tarikh Madinah Dimasyq, Beirut, 1978, hal 155. Az-Dzahabi, Tarikh al-Islam Wafayat al-Masyahir Wa al-‘Alam, Beirut, 1990, jilid 5, hal 8.
[4] . Qommi, Syaikh Abbas, Muntaha al-Amal, 1368, hal 894.
[5] . Ibn ‘Atsam al-Kufi, ibid, hal 893.
[6] . Thabari, ibid, jilid 7, hal 3006-3007. Ibn Atsir, ibid, jilid 5, hal 159. Ibn ‘Atsam al-Kufi, ibid, hal 894. Abu al-Futuh al-Ishfahani, ibid, hal 119. BAladzri, ibid, jilid 2, juz 3, hal 181. Dinwari, ibid, hal 301-302. Al-Majlisi, ibid, jilid 44, hal 338.
[7] . Al-Majlisi, ibid, jilid 45, hal 4.
[8] . Thabari, ibid, jilid 7, hal 3021. Ibn Atsir, jilid 5, hal 167.
[9] . Thabari, ibid, jilid 7, hal 3029. Ibn Atsir, ibid, jilid 5, hal 173. Baladzri, ibid, jilid 2, juz 3, hal 189. Ibn ‘Atsam al-Kufi, ibid, hal 902. Mufid, ibid, jilid 2, hal 104.
[10] .Ibn Syahr Asub, ibid, jilid 4, hal 109. Ibn ‘Atsam al-Kufi, ibid, hal 907. Al-Majlisi, ibid, jilid 44, hal 321.
[11] . Ibid, jilid 4, hal 108.
[12] . Ibid, jilid 4, hal 108.
[13] . Abu Hanifah Dinwari, ibid, hal 304.
[14] . Al-Majlisi, ibid, jilid 45, hal 41.
[15] . Mufid, ibid, jilid 2, hal 113-114. Baladzari, jilid 2, juz 3, hal 201. Al-Majlisi, ibid, jilid 45, hal 50.
[16] . Ibn Syahr Asub, ibid, jilid 4, hal 58. Al-Majlisi, ibid, 45, hal 51.
[17] . Abu Hanifah Dinwari, ibid, hal 308.
[18] . Ibn Syahr Asub, ibid, jilid 4, hal 109. Ibn ‘Atsam al-Kufi, hal 908. Ibn Atsir, ibid, jilid 5, hal 186. Thabari, ibid, jilid 7, hal 3055. Mufid, ibid, jilid 2, hal 112. Baladzri, ibid, jilid 2, juz 3, hal 201. Qommi, Syaikh Abbas, Naf sal-Mahmum Nafatsah al-Mashdur, tanpa tahun, hal 161-162.
Diposting oleh Saleh Lapadi di 18.40 0 komentar
Label: Artikel
Langganan:
Postingan (Atom)